Quo Vadis NU
NU adalah sebuah organisasi yang bergerak dalam ranah keagamaan dan juga kemasyarakatan. Oraganisasi Islam terbesar yang didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 oleh KH. Hasyim Asyari dan KH. Wahab Hasbullah yang , dengan berlandaskan paham ahlus sunnah wal jama’ah. Selain itu, NU menganut empat madzhab dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta meningkatkan ukhuwah islamiyah. Di bidang sosial, NU mengusahakan terwujudnya keadilan sosial dan keadilan hukum bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan umat di dunia dan keselamatan di akherat. Namun dinamika yang terjadi ke depannya adalah semakin berkembangnya NU dan juga memasuki ranah politik praktis, makalah yang saya tulis ini nantinya akan lebih pada membahas dinamika persentuhan NU dengan dunia politik dan juga perilaku warga NU sendiri dalam perpolitikan Indonesia. Hal ini sengaja saya angkat agar dapat mengetahui kemanakah NU ini akan diabawa oleh para pemimpinannya, yaitu para kiai ‘alim ulama’.
NU dan POLITIK
Secara garis besar, dinamika NU, baik dari segi khidmatnya maupun persentuhannya dengan dunia politik dibagi dalam empat periode besar. Periode pertama yaitu pada awal berdirinya, NU oleh KH. Hasyim Asyari didirikan sebagai organisasi sosial-keagamaan. Peranan NU memang hanya pada ranah keagamaan dan juga sosial kemasyarakatan, diantaranya untuk meningkatan mutu pendidikan Islam dengan
memperbaiki fasilitas-fasilitas sekolah-sekolah Islam sehingga pengetahuan yang diketahui oleh masyarakat Indonesia khususnya uamt Islam dapat lebih maju. Juga untuk meningkatkan komunikasi antar ulama-ulama daerah yang bertujuan untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia, apalagi pada saat itu masih dalam rangka masa penjajahan sehingga dibutuhakan peranan masyarakat Indonesia dalam melakukan perlawanan. Dan juga mengakomodasi semua sektor masyarakat kelas bawah, semisalnya petani dengan mendirikan badan-badan pertanian yang bertujuan untuk membantu petani dalam penyaluran hasil bumi mereka. Pada masa itu, yaitu awal berdirinya tahun 1926-1930an NU masih menjadi sebuah organisasi yang betul-betul bergerak pada ranah sosial-keagamaan. Dengan meningkatan kualitas pendidikan Islam, terutama pada pesantren dan sekolah-sekolah Islam dengan menyeleksi kitab-kitab mana yang cocok dipakai dalam pendidikan tersebut sehingga dapat menciptakan generasi bangsa yang berwawasan luas dan Islami. Namun pada tahun 1930an NU mulai bersentuhan dengan dunia politik walaupun masih berjalan bertahap dan setengah hati, inilah periode NU yang kedua. NU mulai bergabung dengan organisasi-organisasi keagamaan lainnya dalam kampanyekampanye menentang kebijakan-kebijakan kolonial yang isinya banyak menyudutkan umat Islam dan memusuhinya dari berbagai segi. Hingga pada tahun 1945, NU secara politik formal masuk sebagai bagian dari unsur oragnisasi partai politik Masyumi. Setelah masuk dalam bagian partai Masyumi, NU memasuki era baru sebagai oraganisasi yang tidak hanya bergerak pada ranah sosial-keagamaan namun juga dunia politik, yang jelas saja mempengaruhi perkembangan perpolitikan Indonesia pada awal kemerdekaan. Hingga pada tahun 1955 NU keluar dari Masyumi karena berbagai alasan
yang mempengaruhinya, mulai pada saat itu juga NU memasuki dunia politik praktis dengan mendirikannya partai independen yaitu NU sendiri. Peranan NU yang secara total menjadi parpol dan memsuki dunia politik diawali dengan mengikuti pemilu pada tahun 1955. Pada saat itulah segala energi warga NU dicurahkan untuk partai dan politik, yang menyebabkan apa yang menjadi tujuan awal didirikannya NU menjadi terbengkalai yaitu pada bidang sosial-keagamaan dengan peningkatan pendidikan dan pembelajaran keagamaan pada masyarakat yang sebenaranya belum sepenuhnya selesai karena belum menyentuh pada akar-akarnya. Periode ketiga terjadi setelah adanya Muktamar tahun 1984 yang dilaksanakan di Sukorejo Situbondo, yang menegaskan NU kembali ke khittah 1926 yaitu kembali lagi pada tujuan awal organisasi ini didirikan. Kembali lagi pada masalah sosial-keagamaan, kesejahteraan masyarakat dan pengembangan ekonomi. Munculnnya pernyataan “NU kembali ke khittah 1926” adalah akibat dari permainan pemerintah orde baru yang memarginalkan NU yang pada saat itu menjadi bagian dari partai PPP, hal tersebut dilakukan pemerintah dikrenakan NU pada saat itu menjadi salah satu organisasi yang bisa dikatakan oposisi dari pemerintah dan juga pemerintah yang saat itu dipegang oleh elit militer tidak ingin mendapat gangguan dalam memegang kekuasaan. Pada periode inilah NU, terutama generasi muda yang memiliki basis kuat tradisi Islam klasik, mulai merambah bidang garap pemikiran keislaman kontemporer. Terlebih lagi ditambah perkenalannya dengan pirarti keilmuan Barat yang dikembangkan diberbagai perguruan tinggi umum. Kaum muda NU yang sekarang tergabung dalam LKiS di Yogyakarta, Lakpesdam NU, kajian 164 dan eLSAS di Jakarta, dan berbagai lembaga kajian keislaman di Malang, Surabaya, Semarang, Purwokerto, dan Bandung,
merupakan generasi hasil dari kerja dari kesadaran para pimpinan elite NU untuk menggarap bidang garap sosio-kultural di kalangan masyarakat dan generasi mudanya. Periode keempat adalah pada saat setelah runtuhnya Orde Baru, NU masuk (lagi) dalam dunia politik dengan mengusung konsep baru. Hal ini ditandai dengan runutuhnya orde baru dan berganti dengan era reformasi, dalam masa reformasi NU adalah organsasi yang membidani lahinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang akhirnya menjadi kendaraan baru NU dalam mengarungi “lautan” politik. Namun perbedaan yang ada antara pergerakan politik NU masa setelah kemerdekaan dengan NU masa reformasi adalah NU pada masa reformasi tetap pada khittahnya dan tidak secara langsung menjadi partai politik seperti yang terjadi pada masa setelah kemerdekaan. Dilihat PKB di bidang politik, maka NU kembali lagi disibukkan pada kegiatan poltik praktis. Energi warga NU kembali banyak tercurah pada perbincangan tentang kekuasaan, apalagi pada masa reformasi tersebut pemimpin organisasi NU yaitu KH. Abdurahman Wahid menjadi presiden RI sehingga warga NU lebih dalam terjerumus dalam permainan politik untuk menjaga kekuasaan yang sedang dalam gengaman. Hal itulah yang menyebabkan pada pilpres selanjutnya banyak kader-kader NU, baik dari cultural maupun structural terlibat dalam pesta demokrasi tertinggi negeri ini. Maka dengan kembalinya NU pada jalur politik sudah dapat kita duga proyekproyek pendidikan dan pemberdayaan masyarakat NU yang telah derencankan dan dijalankan setelah muktamar pada tahun 1984 menjadi terbengkalai lagi untuk kedua kalinya dikarenakan proyek pendidikan dan pemberdayaan tersebut belum sampai
menyentuh akarnya. Di sisi lain, “benturan kepentingan” dua kubu; kubu cultural dan politik akan menghambat proyek besar NU, sesuai dengan khittahnya. Bahkan, kaum muda NU yang pada mulanya bergerak ke arah yang lebih dinamis, sejak PKB didirikan utamanya Gus Dur menjadi presiden dan juga ketika petinggi NU terlibat dalam pencalonan pilpres ataupun pilkada di daerah, harus ikut sibuk mencari legitimasi keilmuan untuk membenarkan perilaku politik kiai-kiai mereka. Kalau dicermati dengan seksama, tindakan para tokoh NU ini cukup mengindikasikan adanya kecenderungan pergeseran sikap, orientasi dan bahkan perilaku politik (political action) pada diri NU. Kalau selama ini pola perilaku politik NU bercorak kultural (cultural oriented) dengan fokus gerakan pada pembelaan dan pemberdayaan masyarakat, kini perilaku politik NU kian menampakkan wajahnya yang struktural (structural oriented). Ali Maschan Moesa menyatakan bahwa pergeseran perilaku politik ini bisa dilihat dari peran politik NU yang independen dan oposan menjadi partisan, dan dari partai politik kerakyatan menjadi politik kekuasaan. Meski pergeseran perilaku politik ini lebih bersifat personal atau komunal dalam NU sendiri bukan secara institusional yang melibatkan organisasi, dalam prakteknya susah dipisahkan antara keduanya. Karena tindakan personal atau kelompok yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU selalu mengusung simbol-simbol keorganisasian NU, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pergeseran perilaku politik ini juga bisa dilihat dari keterlibatan tokoh-tokoh NU yang secara intens memobilisir massa nahdliyyin guna menopang perolehan suara PKB pada pemilu1999 sebagaimana amanat hasil rapat pleno PBNU ke-4 tanggal 24 Juli
1998 di Jakarta. Hasil rapat ini berisi seruan agar seluruh warga NU memberikan dukungan dan memelihara PKB sebagai satu-satunya partai milik warga NU. Aksi tokohtokoh NU dengan segenap warga Nahdliyyin dalam melakukan keberpihakan terhadap Abdurrahman Wahid yang menduduki kursi kepresidenan ketika terjadi konfrontasi dengan MPR/DPR juga mengindikasikan pergeseran ini. Hal ini ditambah dengan pernyataan sikap para ulama NU yang mendukung Abdurrahman Wahid untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001 sebagai political counter terhadap maklumat MPR/DPR yang hendak mencabut mandat kepresidenan Abdurrahman Wahid melalui Sidang Istimewa (SI) MPR. Semua tindakan yang dilakukan NU tersebut, jelas tidak muncul begitu saja tanpa memiliki pretensi politik. Apa yang terjadi pada saat itu menguhkan bergesenya arah gerak NU yang semakin banyak kader-kadernya bermain dalam dunia politik dan semakin melupakan orientasi awal yang diinginkan NU. Hal ini semakin membuat bingung pada warga NU dari kalangan bawah yang tidak begitu tahu dengan apa yang dilakukan oleh para pemimpin mereka. Maka dalam lanjutan tulisan ini, saya akan memaparkan tentang perilaku politik yang ada pada NU, baik dari segi elit pimpinan dan juga dari kalangan bawah. Ini bisa kita lihat dari sepak terjang NU di Jawa Timur yang merupakan basis terbesar dari organisasi NU sendiri, namun selalu kalah dalam percaturan politik baik lokal maupun nasional.
NU di JAWA TIMUR Bila kita berbicara tentang NU, maka Jawa Timur adalah daerah yang mempunyai peranan sangat penting. Karena Jawa Timur adalah tempat lahirnya pendiri NU yaitu KH. Hasyim Asyari, dan juga sebagai tempat pendirian NU sendiri yaitu di
Surabaya. Di samping hal itu, di Jawa Timur terdapat banyak sekali pondok pesantren yang merupakan tempat cikal bakal dari NU juga sebagai tempat pendidikannya juga. Sehingga wajar jika di Jawa Timur NU berkembang sangat pesat dan mempunyai banyak pengikut. Namun dengan melihat kiprah politik NU di Jawa Timur beberapa saat ini, maka kita bisa saja mengatakan “benarkah basis terbesar NU di Jatim?”. Karena yang terjadi dalam pertarungan politik ditingkatan Jatim, NU hampir selalu kalah oleh para pesaing lainnya. Hal ini seharusnya menjadi pelajaran dan juga koreksi bagi NU sendiri, mengapa selalu kalah dalam percaturan di rumah sendiri kalau boleh saya katakan begitu. Ditunjang dengan banyaknya kader-kader NU yang secara nyata mulai ramai-ramai terjun ke dunia politik dan bertarung dengan sesama saudaranya hanya untuk sekedar mendapatkan jabatan. Kader-kader NU yang bersama-sama maju bertarung dengan para pesaing lain berusaha meraih suara yang sebanyak-banyaknya dari warga NU, maka yang dapat kita lihat adalah ajang perebutan suara di massa NU sendiri. Sehingga menimbulkan perpecahan pada suara warga NU, bagi mereka yang “direstui” oleh NU dengan PKB sebagai motornya belum tentu dapat memenangkan pertarungan politik. Karena bagi kader yang tidak mendapat “restu” akan mencari kendaraan partai lain yang mau memajukan mereka dan meninggalkan NU sesaat demi perebutan jabatan itu. Dan hal inilah yang dimanfaatkan oleh para pesaing PKB dan NU untuk dapat mengalahkan PKB yang mempunyai suara besar dari NU dengan mengambil kader-kader NU untuk dijadikan pendamping atau wakil dari calon partai mereka.
Dengan mengambil kader dari NU atau PKB, maka partai lain berusaha meraih suara dari NU disamping dari suara bulat mereka sendiri. Apalagi ditambah dengan pecahnya NU yang mempunyai dua kendaraan politik akibat dari konflik internal yang terjadi. Sekarang warga NU menjadi bingung mau mengikuti paratai yang mana, karena semuanya membawa aspirasi warga NU, yaitu PKNU yang merupakan perpecahan dari PKB yang mereka anggap sudah tidak lagi dapat mewakili suara dari warga NU secara murni. Perpecahan dari NU saat ini dapat kita lihat pada pilgub Jatim periode 20082013, dari 5 pasangan calon gubernur yang maju dalam pilgub ada empat kader NU yang maju. Yaitu Khofifah Indar Parawansa, Ali Machsan Moesa, H. Achmady, dan Saifullah Yusuf dan hanya satu yang mendapat restu dari PKB sebagai kendaraan politik NU sedang yang lainnya maju dengan kendaraan partai lain. Kenapa terjadinya pergeseran perilku politik di NU sekarang lebih kentara, apalgi terjadi di basis NU yaitu Jawa Timur. Sejauh yang saya ketahui ada beberapa hal yang menyebabkan itu semua terjadi. Yang pertama adalah faktor eksistensi diri yang dinginkan para kader NU sendiri. Para kader-kader NU tersebut yang telah lama berkecimpung dalam perpolitikan, ingin lebih merasakan jabatan yang tinggi sebagai tolak ukur eksistensi yang mereka capai. Jadi meskipun harus bersaing dengan sesama kader NU hal tersebut sudah tidak lagi menjai persoalan bagi mereka. Yang kedua adalah ajakan dari partai lain yang menawarkan imbalan yang besar bagi mereka, sehingga melupakan apa yang sudah menjadi tanggung jawab mereka. Faktor ketiga adalah faktor yang paling parah yang jika tidak segera ditanggulangi akan menyebabkan hancurnya NU secara sendirinya, yaitu konflik internal yang berujung pada
lahirnya partai baru sebagi kendaraan lain warga NU yaitu PKNU. Konflik inilah yang menyebabkan tidak dapat bersatunya kader NU dan juga berlarinya para kader NU atau PKB ke partai laen. Disamping hal itu semua dan segala akibatnya, para warga simpatisan NU yang semakin bingung akan mengikuti yang mana dari salah satu calon tersebut. Semua para calon saling berlomba-lomba mendapatkan suara dari simpatisan warga NU dengan meraih dukungan dari para kiai-kiai daerah-daerah yang ada di Jatim. Sehingga banyak dari sebagian warga simpatisan NU yang berbelok arah mendukung calon lain akibat dari pecahnya NU dalam pemilihan tersebut, apalagi partai lain dapat memberikan jaminan yang baik pada simpatisan pelarian NU tersebut. Hal diatas semakin diperparah dengan semakin tidak harrmonisnya hubungan antara NU dengan PKB sebagai kendaraan politiknya. PKB tingkatan nasional sering menjadi perebutan dari para pimpinan partai tersebut yang akhirnya memecah PKB menjadi dua kubu. Konflik terakhir adalah perselisihan antara Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar yang ujungnya menyebabkan pecahnya PKB menjadi dua kubu yaitu kubu Muktamar Ancol (Gus Dur) dan kubu Muktamar Parung (Muhaimin Iskandar) yang saling mengklaim bahwa muktamar yang mereka lakukan adalah muktamar yang sah sebagai tanda pemilik PKB. Sungguh hal tersebut menyesakkan hati saya sebagi salah satu anak NU, dimulai dari plin-plannya NU yang keluar masuk dunia politik dan melupakan tujuan dasar yang mereka inginkan ketika mendirikan NU, yaitu sebagai organisasi sosialkeagamaan. Namun hal itu rusak ketika NU mulai bersenggolan dengan dunia politik, mereka seakan-akan berlomba-lomba merebut kekuasaan yang siatnya sementara.
Memang seperti yang banyak pemikir katakan, bahwa sekali orang telah merasakan kursi kekuasaan maka mereka akan selalu ingin kembali lagi bagaimanapun caranya. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat saya ambil dari tulisan saya ini adalah, bahwasannya NU yang notabenenya didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah sebuah organisasi yang bergerak pada bidang sosial keagamaan. Yang tujuannya meningkatka pendidikan dan kejahteraan masyarakat NU. Namun seiring perjalanannya NU, mereka semakin bergeser dari apa yang mereka cita-citakan dan hal ini diperparah, bersentuhannya NU dengan dunia politik yang membuat cita-cita dan proyek pendidikan semakin kabur dan hilang. Setalah masuknya NU total dengan membentuk PKB sebagai kendaraan politiknya maka arah organisasi ini semakin tidak jelas. Yang menjadi korban dari itu semua adalah para warga nahdliyin yang tidak begitu mengerti dengan permainan elite atas mereka. Hal itu ditambah dengan perpecahan yang terjadi di NU sendiri hingga menghasilkan kendaraan politik baru yang didasari ketidakpuasan pada PKB. Hanya tersisa pertanyaan, mau dibawa kemanakah NU ini?,sungguh pertanyaan yang sangat dilematis jika melihat sejarah NU yang sedemikian rupa. Kita sebagai pemuda NU hanya bisa berusaha merumuskan kembali formula yang cocok bagi organisasi ini dengan tetap berlandaskan pada tujuan awal berdirinya NU. Faqih Alfian Mahasiswa Fisip Unair