PUASA “Dul, kamu puasa?” “Puasa, Pakde” jawabku. “Berapa kali batal?” “alhamdulillah, belum pernah Pakde!” kataku mantap. “selama bulan puasa ini, berapa kali kamu marah?” “hemmm…” aku berpikir, menebak apa yang dimaui oleh orang tua ini. “berapa kali mengumpat?” Aku diam. “berapa kali menggunjing?” Aku masih diam. “berapa kali mendendam?” Aku tetap diam. “berapa kali kamu membenci?” Aku masih tetap diam. Membeku. “Dul, tahu tidak, apa itu puasa?” tanya Pakde. “puasa itu poso. Nopo-nopo kerso, hehehe” jawabku guyonan untuk mencairkan suasana. “Ngapain kamu berlama-lama makan bangku sekolahan, telah belajar di manamana kalau puasa saja kamu tidak mengerti” katanya serius. Ternyata Pakde tidak bercanda toh hehehe. Seakan merasa dijotos hati ini, saya pun melakukan pembelaan “puasa itu artinya imsak, menahan diri…”. Belum selesai saya berucap, Pakde memotongnya “Dari mana kamu mengartikan itu dengan menahan diri” tampak beliau tidak dalam semangat berdialog, tetapi menceramahi. Karenanya lebih lanjut saya lebih memilih diam saja, sambil cengarcengir di depannya, merasa dibodohkan tanpa ada ruang keberanian untuk melakukan pembelaan. “Kamu kan paham bahasa Arab” lanjut beliau yang profesor ini, “lacak itu makna puasa. Mengapa di dalam bahasa Indonesia kemudian diterjemahkan dengan menahan diri? Ini tidak sekadar permasalahan bahasa, tetapi di balik bahasa itu ada hakikat, dan dengan bahasa hakikat itu diajarkan. Jika salah mengartikannya, salah pula cara mengajarkannya, dan hilanglah intinya. Akibatnya… pemahaman yang salah terus berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya”. Aku benar-benar dibuatnya tidak berkutik. Mati kutu. Serasa dihempaskan dari lantai tigabelas. Selama ini aku merasa sudah memiliki pengetahuan final tentang puasa, ternyata sekarang semuanya dimentahkan. Sedikit sedikit kugeser cara dudukku untuk menghilangkan ketidaknyamanan ini, namun tetap saja suasana tidak berpihak kepadaku. “Dul, sehari saja kamu bisa berpuasa” katanya lebih lanjut, “maka kamu akan belajar sesuatu yang mampu memberikan perubahan luar biasa baik pada dirimu, maupun pada orang yang berinteraksi denganmu. Itu baru kamu seorang. Bagaimana kalau berdua, bertiga, berempat, berpuluh orang, beratus, beribu, berjuta-juta penduduk Indonesia. Bagaimana kalau itu tidak hanya sehari, tetapi dua hari, tiga hari bahkan tigahpuluh hari. Tidak terbayangkan olehku, Dul. Indonesia akan damai…”. Lebih lanjut beliau mengatakan: “apakah puasa yang kamu artikan menahan diri itu bisa merubah seperti itu? Apalagi itu sekadar menahan diri dari lapar dahaga. Itu puasa kanak-kanak. Sangat amat gampang dan ringan sekali”.
“Terus.. menurut Pakde, puasa itu apa?” aku mencoba bertanya untuk berdamai dengan suasana. “puasa itu membuang! Melepaskan! melenyapkan” jawabnya, “melepaskan angkara murka. Membuang dendam. Melenyapkan benci. Bisakah kamu mendoakan kebaikan bagi seseorang yang telah melalimi dirimu?.. itulah puasa! Bisakah kamu memaafkan orang yang telah membuatmu cacat seumur hidup? Itulah puasa. Bisakah kamu tetap tulus tersenyum kepada orang yang telah membuatmu kehilangan sesuatu yang kamu cintai? Itulah puasa! Jadi tidak hanya sekadar menahan diri. Kalau menahan, itu berarti menyimpan bara yang lama kelamaan akan meledak juga, bahkan lebih dasyat akibatnya. Puasa itu tidak membalas kejahatan dengan kejahatan!”. Aku diam seribu bahasa. Tidak memberikan komentar apapun. Cuman pikiranku belum bisa menerima pengertian tersebut, karena bagiku serasa konsep itu mustahil bisa diejahwantahkan. Sebagai cita-cita ideal iya. Tetapi praktiknya seperti punuk merindukan rembulan. Mana ada manusia yang bisa berpuasa seperti itu. Karena hal yang demikian justru akan menyalahi takdir kemanusiaannya yang telah dikaruniai potensi nafsu. Potensi ini bagiku netral, terlepas dari nilai baik-jahat. Kitalah yang kemudian diwajibkan berpuasa untuk berimsak, mengendalikan dan memenej nafsu itu. Agar terarahkan menjadi an-nafs al-muthmainnah, bukan sebaliknya an-nafs al-ammarah bis su`. Nah kalau, potensi nafsu ini dilenyapkan, maka manusia tak ubahnya seperti robot yang dungu tanpa ikhtiyar. Ditampar pipi kiri diberikan pula pipi kanan. “Hei, Dul. Kok diam? Paham tidak?” tiba-tiba suara pakde menyadarkanku. “paham Pakde, tetapi saya kurang setuju..” jawabku sepontan, saya baru tersadarkan dari mana saya punya jawaban seperti itu. “ya, udah. Terserah kamu. Itu sudah adzan, selamat berbuka wahai orang yang berpuasa kanak-kanak hehehe!” katanya menyindirku.. “Ayo pakde, buka sama-sama” pintaku dengan takdzim. “Gak usah, saya sudah makan siang tadi” Katanya sambil berlalu menuju kamar. “Oh..” saya baru sadar kalau Pakdeku ini adalah non-muslim.[] Joyosuko, 7/9/2009.