KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
1/5/2009
KEDEPUTIAN BIDANG KOORDINASI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK Jakarta, 2008
1
PENGANTAR Indonesia untuk melaksanakan Beijing Platform for Action 1995 yang terurai Komitmen dalam 12 Bidang Kritis Program Aksi, serta upaya pembangunan yang terencana guna mencapai Millenium Development Goals 2000, telah membawa posisi perempuan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan bangsa Indonesia. Namun, perkembangannya masih relatif lambat sehingga masih perlu upaya lebih keras agar kesejahteraan dalam kesetaraan dan keadilan gender dapat segera terwujud. Berbagai upaya telah kita lakukan dalam rangka meningkatkan kesetaraan dan keadilan jender. Namun, kita masih dihadapkan pada rendahnya kualitas hidup perempuan yang dicirikan dengan masih tingginya angka kematian ibu, rendahnya tingkat pendidikan perempuan dan belum optimalnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi. Sehingga upaya pemberdayaan perempuan harus dilaksanakan secara sinergis, terkoordinasi dengan baik dan berkelanjutan. Penyusunan Profil Perempuan dan Anak Indonesia dengan data terpilah, secara periodik dan bersifat time series, sangat penting dilakukan guna mengevaluasi dan menyusun kebijakan, program dan kegiatan yang akan datang di dalam rangka pemberdayaan perempuan, baik pada tataran nasional, provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota sampai ke perdesaan. Di samping perempuan yang masih perlu ditempatkan pada posisi yang lebih baik, anak juga perlu mendapatkan perhatian. Permasalahan anak yang dapat dikategorikan ke dalam tiga hal yakni perlakuan salah terhadap anak, penelantaran anak, dan eksploitasi anak juga masih memerlukan berbagai upaya penanggulangan oleh berbagai pihak terkait. Disadari bahwa Buku Profil Perempuan dan Anak Tahun 2007 ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, diharapkan masukan yang konstruktif sehingga dapat dijadikan bahan guna penyempurnaan buku ini. Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada lembaga pemerintah terkait, LSM dalam dan luar negeri, organisasi masyarakat dan perguruan tinggi serta individu yang secara langsung atau tidak langsung telah membantu tersusunnya buku ini.
Jakarta, Desember 2008 Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Anak,
Dra. Maswita Djaja, MSc
DAFTAR ISI PENGANTAR………………………………………………………………………………… DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….. DAFTAR TABEL …………………………………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………...... TIM PENYUSUN…………………………………………………………………………….. PENDAHULUAN…………………………………………………………………………….
Hal i ii iii iv vii 1
PEREMPUAN INDONESIA………………………………………………………………. 1. Perempuan dan Bonus Demografi …………………………………………………. 2. Jumlah Penduduk Indonesia ………………………………………………………... 3. Kualitas Bangsa Indonesia …..……………………………………………………… 4. Mobilitas Penduduk Indonesia ………………………………………………………
3 3 5 8 13
KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK............................................................ 1. Kemiskinan ......................................................................................................... 2. Kesehatan .......................................................................................................... 3. Pendidikan dan Pelatihan ................................................................................... 4. Kekerasan Terhadap Perempuan ...................................................................... 5. Perempuan dan Konflik Bersenjata .................................................................... 6. Ekonomi ............................................................................................................. 7. Perempuan sebagai Pemegang Kekuasan dan Pengambilan Keputusan ......... 8. Mekanisme Institusional Pemajuan Perempuan ................................................ 9. Hak Azasi Perempuan ........................................................................................ 10. Perempuan dan Media Massa ........................................................................... 11. Perempuan dan Lingkungan .............................................................................. 12. Anak-Anak Perempuan ...................................................................................... 13. Kemitraan ...........................................................................................................
18 18 19 35 43 52 56 62 67 73 76 78 81 89
PENUTUP ................................................................................................................... PENGERTIAN.............................................................................................................. REFERENSI................................................................................................................
93 95 98
ii
DAFTAR TABEL No.
Judul Tabel
1. Perkembangan Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia, Tahun 1945 – 2007 ......................................................................................... 2. Jumlah dan Prosentase Penduduk Usia kerja, Angkatan Kerja Indonesia dan Pengangguran Terbuka 1980 – 2000 ....................................................... 3. Jumlah dan Prosentase Penduduk Usia kerja, Angkatan Kerja Indonesia dan Pengangguran Terbuka 2004 – 2007........................................................ 4. Jumlah dan Prosentase Angkatan kerja Indonesia Berdasarkan Tingkat Pendidikan, 1990 – 2007.................................................................................. 5. Perkembangan HDI dan GDI Indonesia, Tahun 1975 – 2005 ......................... 6. Perkembangan Ranking HDI dan GDI Negara Negara ASEAN, Tahun 1999 – 2005 ......................................................................................... 7. Perkembangan PDB Indonesia, 1950 – 2007.................................................. 8. Jumlah Migrasi Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, Tahun 2001 – 2007........................................................................................... 9. Penerimaan Devisa Tenaga Kerja Indonesia dari Luar Negeri, Tahun 2001 – 2007........................................................................................... 10. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia, Tahun 1976 s/d 2007............................. 11. Perkembangan Status Gizi Balita Tahun 1990 s/d 2006 ................................. 12. Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia, Tahun 1971 – 2007........................... 13. Jumlah Kasus HIV/AIDs Di Indonesia, Tahun 1971 – 2007............................. 14. Jumlah Penderita AIDs terkait Injecting Drug Use (IDU’s), Tahun 2001 – 2007 (Desember)…………………………………………………... 15. Jumlah Kasus Narkoba Indonesia, Tahun 2001 – 2007................................... 16. Jumlah Tahanan/Nara Pidana Narkoba, Tahun 2002 – 2006.......................... 17. Jumlah Korban Penyalahgunaan Narkoba Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, Tahun 2001 – 2007...................................................... 18. Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah Anak Usia 7 – 18, Tahun 1971 – 2007........................................................................................... 19. Perkembangan Jumlah Peserta Didik di Indonesia, Tahun 2004 – 2006......... 20. Jumlah Siswa Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan, Tahun 1971 – 2007........................................................................................... 21. Persentase Siswa Putus sekolah, Usia 7-18 Tahun Menurut kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2001 – 2007........................................................... 22. Perkembangan Prestasi Siswa Tahun Kedelapan (SLTP) Di Beberapa Negara ASEAN, 1995 – 2003 .......................................................................... 23. Perkembangan Prestasi Siswa Usia 15 Tahun Ke-atas (SLTA) Di Beberapa Negara ASEAN, 2000, 2003, dan 2005............................................................ 24. Perkembangan Prestasi Internasioal Ilmu Fisika Siswa SLTA Indonesia, Tahun 2000 – 2006........................................................................................... 25. Perkembangan Prestasi Internasioal Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Siswa SMP Indonesia, Tahun 2000 – 2007................................................................
Hal
5 6 7 7 8 9 11 14 16 19 20 25 32 33 33 34 35 36 37 38 39 40 40 41 41
iii
26. Perkembangan Prestasi Internasioal Siswa SD Indonesia, Tahun 2000 – 2008........................................................................................... 27. Prosentase Penduduk Berusia 10 Tahun Ke-atas yang Buta Huruf, Tahun 1961 – 2007.......................................................................................... 28. Persentase Penduduk 10 Tahun Ke-atas menurut Ijazah/STTB Terakhir yang dimiliki,Tahun 1975 – 2007...................................................................... 29. Jumlah Kasus KDRT di LBH APIK Jakarta, Tahun 1998 – 2007..................... 30. Jumlah Kasus Perdagangan Orang Di Indonesia, Tahun 1999 – 2007........... 31. Jumlah Kasus dan Korban Perdagangan Orang Di Indonesia, 2002 – 2007... 32. Perkembangan Proses Hukum Pelaku Perdagangan Orang (Trafficking) Di Indonesia, Tahun 2004 – 2005..................................................................... 33. Jumlah Putusan Kasus Perdagangan Orang Di Indonesia, Tahun 2003 – 2006........................................................................................... 34. Jumlah Korban Perdagangan Orang Yang Di Pulangkan, Tahun 2005 – 2007........................................................................................... 35. Jumlah Pendampingan Korban Perdagangan Orang, Tahun 2005 – 2007...... 36. Jumlah Pengungsi Menurut Provinsi Di Indonesia, Tahun 2001 – 2005.......... 37. Jumlah Pengungsi Akibat bencana Alam Menurut Provinsi Di Indonesia, Tahun 2002 – 2007........................................................................................... 38. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan, Tahun 1986 – 2002.......................................................................................... 39. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan, Tahun 2003 – 2007........................................................................................... 40. Jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia Menurut jenis Kelamin, Tahun 1980 – 2000........................................................................................... 41. Jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2004 – 2007........................................................................................... 42. Tingkat Pendidikan Pengangguran Terbuka Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2000 - 2003 .................................................... 43. Tingkat Pendidikan Pengangguran Terbuka Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2004 – 2007.................................................... 44. Jumlah Kebutuhan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, Tahun 2004 – 2006.......................................................................................... 45. Perkembangan Promosi TKI ke Luar Negeri.................................................... 46. Jumlah dan Prosentase Anggota DPR, DPRD, dan MPR Periode 1992-1999, 1999-2004, 2004-2009..................................................... 47. Jumlah dan Prosentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997 – 2007.................................................... 48. Jumlah dan Prosentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia Menurut Pendidikan dan Jenis Kelamin, Tahun 2005 – 2007......................... 49. Jumlah dan Prosentase Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997 – 2007................................... 50. Jumlah dan Prosentase Profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997 – 2007....................................................
41 42 43 46 49 49 50 50 51 52 54 55 57 58 58 59 60 60 61 62 63 64 64 65 66
iv
51. Jumlah dan Prosentase Pejabat (Hakim) di Institusi Peradilan Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997 – 2007.................................................... 52. Institusi Pemberdayaan Perempuan Menurut Eselonisasi Provinsi di Indonesia, Tahun 2007................................................................................. 53. Jumlah Pusat Studi Wanita Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2005......... 54. Peraturan Perundang-undangan Terkait HAM, Tahun 2007............................ 55. Jumlah Kasus Pornografi di Indonesia, Tahun 1999 – 2006............................ 56. Konsumsi Per Bulan dan Prosentase Rumah Tangga yang Menggunakan Minyak Tanah, Gas/LPG dan Kayu Bakar, Tahun 2003 dan Tahun 2004....... 57. Prosentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum, Tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007.................................................................. 58. Prosentase Rumah Tangga Dengan Fasilitas Tempat Buang Air Besar, Tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007.................................................................. 59. Jumlah Anak Jalanan di Indonesia dan Beberapa Kota Besar, Tahun 1996 – 2006........................................................................................... 60. Jumlah Anak Cacat dan Jenis Kecacatan Indonesia, Tahun 2000 – 2006...... 61. Jumlah Pekerja Anak Menurut Perdesaan dan Perkotaan, Tahun 2000 – 2006........................................................................................... 62. Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak, Tahun 2000 – 2007................ 63. Jumlah dan Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Periode 2002 s/d 2005..................................................................................... 64. Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak Tahun, 2000 s/d 2007 ............. 65. Jumlah dan Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Rakyat Korban Bencana, Tahun 2000 s/d 2007........................................................................ 66. Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak, Tahun 2000 s/d 2007.............. 67. Jumlah Sambungan Telpon dan Personal Computer di Indonesia dan Beberapa Negara Tetangga, Tahun 2002........................................................ 68. Pertumbuhan Information and Communication Technology Opportunity Index (ICT-OI) Negara-negara ASEAN, Tahun 2006……………………………
67 68 70 73 77 79 80 80 82 84 86 87 88 88 89 89 90 91
v
DAFTAR GAMBAR No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Judul Gambar
Hal
Window of Opportunity .................................................................................... Angka Harapan Hidup Penduduk Indonesia, Tahun 1971 – 2006................... Angka Kelahiran Total (TFR), Tahun 1971 – 2007.......................................... Jumlah TKI yang Bekerja di Sektor Formal dan Informal di Luar Negeri, Tahun 2007...................................................................................................... Prosentase Prevalensi Resiko Perempuan Menderita KEK, Tahun 1999 – 2005......................................................................................... Angka Kematian Balita, 2000 – 2005.............................................................. Persentase Wanita Pernah Kawin denag Usia Kawin Pertama < 16 Tahun (di Perdesaan).................................................................................................. Persentase Wanita Pernah Kawin denag Usia Kawin Pertama < 16 Tahun (di Perkotaan)................................................................................................... Persentase Wanita Pernah Kawin denag Usia Kawin Pertama < 16 Tahun (di Perdesaan dan Perkotaan)......................................................................... Prosentase Kunjungan/Informasi KB Wanita Remaja...................................... Situasi Epidemi : Kasus AIDs Kumulatif s/d maret 2008.................................. Prosentase Penduduk Buta Huruf Uisa > 10 Tahun 2001 – 2007................... Pelaporan Kasus KDRT Sebelum UU – KDRT................................................ Pelaporan Kasus KDRT Sesudah UU – KDRT................................................ Prosentase Rumah Tangga Dengan fasilitas Buang Air Besar, Tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007................................................................. Jumlah Panti, Tahun 2002 – 2007................................................................... Jumlah Anak Asuh, Tahun 2002 – 2007..........................................................
3 10 11 15
22 23 28 28 28 29 31 42 45 45 80 85 85
vi
TIM PENYUSUN Pengarah : Dra. Maswita Djaja, MSc Penanggung Jawab: Dra. Detty Rosita, MPd Koordinator dan Editor: 1. Dra. Eka Yulianti, MSc. 2. Ir. Parjoko, MAppSc. 3. Dra. Byarlina Gyarmirti, MSc. Analisa dan Pengumpul Data: 1. Ir. Wahyuni Tri Indarty. 2. Johan Arifin Milono. 3. DR. Ir. Moon Cahyani. 4. Ir. Tri Rahayu, MM. 5. Drs. Wagiran, MM. 6. Drs. Made Agustina. 7. Drs. Rudoro Susanto E, Msi. Administrasi dan Pengolahan Data: 1. Rr. Puji Astuti, S Sos. 2. Budi Rahayu, SE. 3. Rini Rahmawati. 4. Endang Susilowati. Kontributor Data: 1. Dewi Sartika (BKN). 2. Grace Ginting (KPAN). 3. GRM. Suryo Darsono (Dep. Sosial RI). 4. Irma Hadjamuddin (Dep. Luar Negeri RI). 5. Ismaya H. Wardanie (Kejaksaan Agung RI). 6. Puji Hartanto (Deputi Operasional POLRI). 7. Purim (BKKBN). 8. R. Pribudhian (Ditjen. PNFI Dep. DIKNAS). 9. Sapari (BNN). 10. Siwi Lestari (Meneg. Pemberdayaan Perempuan). 11. Sri Wahyu F. Firman (PPN). 12. Supiyati Dimas (Dep. Luar Negeri RI). 13. Togi Siahaan (BPS). 14. Wiwik Arumwati (BPS). Design Cover: Ir. Alvita Niken Arumdati, MArch.
vii
PENDAHULUAN________________________ ejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, penduduk Indonesia berkembang dengan cepat. Ketika itu, jumlah penduduk Indonesia mencapai kisaran 73,3 juta, tetapi 62 tahun kemudian yakni pada tahun 2007 meningkat hampir tiga kali lipat menjadi 225,18 juta. Dari jumlah tersebut 50,08 persen berjenis kelamin perempuan, dan 82,16 juta (36,49 %) anak-anak di bawah usia 18 tahun.
S
Dalam rangka pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan, pada tahun 1904 Indonesia meratifikasi Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, dan pada tahun 1985 ikut menandatangani Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA). Kemudian pada tahun 1999, Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (HAM), dan pada tahun 2000 berkomitmen terhadap Millenium Development Goals (MDGs). Selain itu, dari tahun 1999 - 2002 Indonesia telah mengamandemen UUD 1945 empat kali, diantaranya dengan memasukkan masalah HAM pada Pasal 28. Selanjutnya pada tahun 2005, Indonesia meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005, dan International Covenant on Civil and Poltical Rights melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005. Terkait dengan pemenuhan hak-hak anak, pada tahun 1979 Indonesia mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Kemudian pada tahun 1990, melalui Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 meratifikasi Convention on the Right of the Child (CRC). Pada tahun 1997 mengeluarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Untuk melindungi perempuan dan anak Indonesia, ditetapkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang diikuti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 45 dan Pasal 52 (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa hak perempuan dan hak anak adalah hak asasi manusia, sementara Pasal 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2005 dan Pasal 3 Undang-undang No. 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa negara menjamin hak-hak yang sederajat antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik. Selanjutnya, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 (4) dan Pasal 8 Undangundang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dinyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Sementara dalam Pasal 71 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dijelaskan bahwa: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain,
1
dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Pada Pasal 72 dinyatakan bahwa, “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain”. Selama 62 tahun Indonesia merdeka, berbagai upaya pemberdayaan perempuan dan anak dilakukan dan telah berhasil meningkatkan kualitas perempuan dan anak Indonesia. Walaupun upaya pemberdayaan tersebut masih relatif belum cukup menjadikan perempuan dan anak yang cerdas dan sejahtera jika dibandingkan dengan laki-laki ataupun perempuan dan anak-anak di belahan dunia lain. Masalah kecerdasan dan kesejahteraan perempuan menjadi sangat penting karena berbagai persyaratan untuk mewujudkan bonus demografi “window of opportunity” bagi Bangsa Indonesia yang mulai terjadi dan diperkirakan akan mencapai pucaknya pada beberapa dekade ke depan. Bonus demografi ini akan sangat dipengaruhi oleh peran penting perempuan, yakni terkait dengan kelangsungan penurunan angka kelahiran, terjaganya kesehatan keluarga, dan keamanan lingkungan. Perempuan juga sangat berperan dalam membentuk kecerdasan dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak sebagai generasi penerus Bangsa Indonesia. Indikasi keberhasilan pemenuhan, penegakan, pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak sebagaimana dikehendaki oleh undang-undang telah mulai menampakkan hasilnya. Untuk itu, dengan berbagai keterbatasan data yang ada, maka gambaran/profil perempuan dan anak secara nasional ini disusun dan diupayakan dapat disajikan secara terpilah baik laki-laki maupun perempuan dalam bentuk time-series. Profil perempuan dan anak ini, memberi gambaran bahwa pembangunan nasional secara bertahap telah menghasilkan berbagai kemajuan dalam rangka menempatkan perempuan dan anak sebagai obyek sekaligus subyek pembangunan. Dalam tataran implementasi, indikator yang terdapat dalam profil perempuan dan anak ini sebenarnya lebih diperlukan pada tingkat akar rumput untuk dijadikan sebagai bahan perumusan kebijakan, perencanaan program dan merancang kegiatan pemberdayaan perempuan dan anak sebagai bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pemanfaatan data terpilah, mutakhir dan lengkap di tingkat perdesaan akan menghasilkan program dan kegiatan yang lebih mengakar di tingkat lapangan, tepat sasaran dan mendatangkan manfaat yang optimal bagi semua pihak, utamanya perempuan dan anak. Sehingga pada akhirnya, keseluruhan program dan kegiatan di perdesaan tersebut secara sinergis akan mampu memberikan kontribusi dan mengantarkan perempuan Indonesia menjadi sosok yang cantik dan menawan, sederhana, cerdas, serta mampu mengantarkan anak-anak Indonesia menjadi kalifah dijamannya.
2
PEREMPUAN INDONESIA__________________ 1. Perempuan dan Bonus Demografi Indonesia selama 13 - 23 tahun mendatang mempunyai peluang mendapatkan bonus demografi “window of opportunity” sebagai akibat menurunnya rasio ketergantungan (dependency ratio) yakni perbandingan antara jumlah penduduk usia non-produktif di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun, terhadap penduduk usia produktif 15-64 tahun. Menurut Yayasan Indonesia Forum (2007), sampai dengan tahun 2018 Indonesia telah menikmati “Bonus Demografi Pertama” sebagai akibat penurunan angka kelahiran yang berarti akan mengurangi proporsi konsumsi dalam pendapatan, sehingga meningkatkan jumlah tabungan keluarga dan masyarakat. Setelah tahun 2018, Indonesia akan mendapatkan “Bonus Demografi Kedua” yang disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup manusia Indonesia, yang berarti memperpanjang usia produktif dan memungkinkan arus pendapatan tidak terhenti sehingga potensi tabungan masyarakat tetap terus berlanjut. Program Nasional Keluarga Berencana dengan Norma Keluarga Kecil, Bahagia dan Sejahtera (NKKBS), sejauh ini telah berhasil menurunkan tingkat kelahiran yang ditandai dengan : (i) menurunnya proporsi penduduk non-produktif di bawah usia 15 tahun, (ii) mempercepat peningkatan proporsi penduduk usia kerja, dan (iii) melambatnya peningkatan proporsi penduduk lanjut usia. Pada tahun 1971, rasio ketergantungan penduduk Indonesia mencapai 86 per seratus, artinya bahwa dalam setiap 100 penduduk usia kerja mempunyai tanggungan 86 orang penduduk non-produktif dan hampir 93 persen terdiri dari anak-anak di bawah usia 15 tahun, sedang yang 7 persen adalah penduduk lansia, dengan jumlah yang relatif masih sedikit karena usia harapan hidup masih di bawah 65 tahun. Pada tahun 2000, rasio ketergantungan penduduk Indonesia menurun menjadi 54 per seratus, dan diperkirakan akan terus menurun mencapai angka terendah pada tahun 2020, 2025 dan 2030, di mana rasio ketergantungan pada periode itu berkisar 44 per seratus. Pada periode 2020-2030 inilah the window of opportuntiy untuk Indonesia terjadi, karena sesudahnya angka ketergantungan akan meningkat kembali yaitu sebagai akibat bertambahnya penduduk lansia. Namun jika penduduk lansia tersebut berada dalam keadaan sehat, berpendidikan dan produktif justru akan menambah potensi tabungan masyarakat.
3
Gambar 1.
90
Total
80 70
Pd dk usi am ud a (0
Persen
60 50 40
-14
30
th)
20
Pddk usia lanjut (+65 th)
10
20 50
20 40
20 30
20 20
20 10
20 00
19 90
19 80
19 70
19 60
19 50
0
Tahun
Namun, bonus demografi tersebut tidak datang dengan sendirinya karena diperlukan berbagai persyaratan, seperti tingkat fertilitas harus terus menurun menjadi 1,86 per wanita dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 18,9 per seribu kelahiran hidup pada tahun 2030. Pemenuhan persyaratan tersebut memerlukan peran penting perempuan. Peranan perempuan dalam ber-KB selama ini telah menjadikan mereka “pahlawan kependudukan” karena partisipasinya tersebut (57,43% dibanding pria yang hanya 1,5 %) telah mampu menggeser struktur penduduk pada proporsi penduduk usia produktif yang lebih besar. Selain itu, dengan melakukan KB telah memberikan waktu dan kebebasan bagi perempuan untuk lebih banyak mengaktualisasikan dirinya, dimana sebelumnya banyak tersita untuk urusan melahirkan dan merawat anak. Ketersediaan waktu dipergunakan untuk meningkatkan pendidikan, atau masuk ke pasar kerja yang banyak tersedia karena perkembangan industri manufaktur. Perempuan Indonesia kini telah berubah pandangannya, banyak yang menunda perkawinan, masuk ke pasar kerja, dan jika berkeluarga cukup mempunyai anak dua atau tiga. Dengan pola hidup yang lebih maju, perempuan menjadi lebih mementingkan kualitas dari pada jumlah anak dan tidak segan-segan menginvestasikan pendapatan untuk memelihara kesehatan dan memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi anak-anaknya, sehingga menjadi sumberdaya pembangunan yang berkualitas dan sejahtera. Investasi pemerintah di bidang pendidikan telah menghasilkan generasi yang lebih baik. Generasi kelahiran tahun 1980 -1985 dikenal dengan era KB, dan telah menamatkan pendidikan dasar sebesar 90 persen, 60 persen tamat SLTP, dan sekitar 30-40 persen tamat SLTA. Untuk generasi kelahiran tahun 1985-2010, adalah generasi yang dilahirkan oleh ibu yang berpendidikan, dalam keluarga yang kecil, memperoleh akses pelayanan kesehatan dan pendidikan, tumbuh di era pertumbuhan ekonomi tinggi (1980-1997, Oil Boom), serta
4
menikmati nilai-nilai kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Generasi ini nantinya akan menjadi angkatan kerja pada masa window of opportunity tahun 2020-2030 yang memiliki kualitas dan daya saing. Agar hal tersebut benar terjadi, diperlukan kebijakan human capital deepening untuk menyiapkan generasi berkualitas untuk menjadi modal sosial yang kuat bagi pembangunan nasional. Namun, kebijakan ini juga harus menyentuh angkatan kerja yang sudah terlanjur berpendidikan rendah dan berada di pasar kerja sekarang ini. Untuk itu, tenggang waktu 13-23 tahun mendatang harus dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
2. Jumlah Perempuan Indonesia Untuk negara berkembang yang sedang berupaya menanggulangi kemiskinan, peningkatan pendidikan guna meningkatkan kualitas penduduk akan sangat diuntungkan apabila angka pertumbuhan penduduk dapat diturunkan. Namun, apabila pertumbuhan penduduk tidak dapat diturunkan, maka kuantitas dan kualitas sumberdaya alam akan mengalami penurunan seiring dengan tingginya angka pertumbuhan penduduk. Pada periode tahun 60-an sampai dengan 80-an laju pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat tajam tetapi pada periode tahun 2000-2007 telah berhasil diturunkan menjadi 1,34 persen meskipun secara absolut tetap tinggi. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk tersebut tidak lepas dari partisipasi perempuan dalam keluarga berencana. Tabel 1.
Perkembangan Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia, Tahun1945-2007 Jumlah Penduduk (ribuan orang)
Tahun Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1945
Dta
Dta
73.300
1950 1961 1971 1980 1990 1995 2000
Dta Dta 58.338,6 72.951,7 89.375,7 96.929,9 101.814,4
Dta Dta 60.029,2 73.825,1 89.872,1 97.824,8 101.641,6
77.200 97.100 119.208,2 147.490,2 179.378,9 194.754,8 203.456,0
2004
108.876,0
108.196,2
217.072,3
2005
109.801,7
109.403,0
219.204,7
2006
111.560,8
111.174,6
222.735,4
2007 112.409,9 112.770,1 Dta: Data tidak ada Sumber: Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, 2005. SDKI 2007 ( laporan pendahuluan )
225.180,0
5
Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 1,0 2,1 2,1 2,3 2,0 1,7 1,5
1,34
Mencermati tabel di atas, ada kecenderungan apabila laju pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka partisipasi angkatan kerja Indonesia akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah angkatan kerja. Angka pengangguran, walaupun mengalami peningkatan yang relatif lambat, akan tetapi tingkat pengangguran terbuka akan cenderung naik. Artinya, bahwa jumlah kesempatan kerja yang tersedia belum mampu menampung bertambahnya angkatan kerja. Tabel di bawah ini menggambarkan situasi ketenagakerjaan di Indonesia pada periode 1980 s/d 2007. Tabel 2. Jumlah dan Prosentase Penduduk Usia Kerja, Angkatan Kerja Indonesia dan Pengangguran Terbuka, 1980-2000. Kategori
1980 Jumlah (ribu)
1990 %
Jumlah (ribu)
2000 %
Jumlah (ribu)
%
Angkatan Kerja
50.434,7
58,1
71.676,8
63,1
95.650,9
67,8
•
Bekerja
49.627,2
57,2
69.524,8
61,2
89.837,7
63,7
•
Cari Kerja
807,5
0,9
2.152,0
1,9
5.813,2
4,1
36.298,8
41,9
41.880,7
36,9
45.519,9
32,2
5.487,0
6,4
8.685,1
7,6
10.763,5
7,6
21.604,0
24,9
24.786,6
21,8
25.275,2
17,9
9.207,8
10,6
8.407,0
7,4
9.481,2
6,7
86.733,5
100
113.557,5
100
141.170,8
100
Bukan Angkatan Kerja
•
Sekolah
•
Rumah tangga
•
Lainnya
Penduduk Usia Kerja
•
TPAK
58,1
63,1
67,8
•
TPTerbuka
1,6
3,0
6,1
Sumber: BPS, SP 1980, 1990, Sakerrnas 2000.
6
Tabel 3. Jumlah dan Prosentase Penduduk Usia Kerja, Angkatan Kerja Indonesia dan Pengangguran Terbuka, 2004-2007. 2004 KATEGORI
Jumlah (ribu)
2005
2006
%
Jumlah (ribu)
%
2007
Jumlah (ribu)
%
Jumlah (ribu)
%
Angkatan Kerja
103.973,3
67,5
105.257,6
66,4
106.281,8
66,7
108.131.0
66,6
Bekerja
93.722,0
60,8
93.958,4
59,3
95.177,1
59,8
97.583,1
60,1
Cari Kerja Bukan Angkatan Kerja
10.251,3
6,7
11.899,3
7,5
11.104,7
7,0
10.547,9
6,5
49.950,2
32,5
52.633,7
33,2
52.975,9
33,3
54.220,9
33,4
• Sekolah
11.577,2
7,6
13.581,9
8,6
13.978,3
8,8
14.320,4
8,8
• Rumah
30.877,2
20,0
30.619,5
19,3
30.806,0
19,3
31.133,0
19,2
• Lainnya
7.495,7
4,9
9.432.3
6,0
8.191,6
5,1
8.767,4
5,4
153.923,6
100
158.491,4
100
159.257,7
100
162.352,0
100
• •
tangga
Penduduk Usia Kerja
• TPAK • PTerbuka
67,5
66,79
66,74
66,60
9,9
11,2
10,5
9,7
Sumber: BPS, Sakernas 2004, 2005, 2006, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 2007
Dilihat dari sisi pendidikan angkatan kerja Indonesia, nampak menunjukkan kecenderungan membaik dari tahun ke tahun, walaupun relatif masih rendah, akan tetapi sejak tahun 1990 – 2007 terus mengalami peningkatan, baik jenjang pendidikan SD, SLTP, SLTA maupun pendidikan tinggi. Secara rinci diuraikan pada tabel berikut : Tabel 4. Jumlah dan Prosentase Angkatan Kerja Indonesia Berdasarkan Tingkat Pendidikan,1990-2007. PENDIDIKAN Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Diploma
1990 Jml (000)
%
1998 Jml (000)
2005 Jml (000)
%
%
2006 Jml (000)
%
2007 Jml (000)
%
31.914,4
44,5
24.846,8
26,8
16.979,8
16,0
17.569,5
16,5
16.874,3
15,6
22.243,1
31,0
33.772,6
36,4
38.749,4
36,6
38.900,4
36,6
39.725,8
36,7
6.760,8
9,4
13.182,4
14,2
21.239,4
20,0
21.903,6
20,6
22.434,8
20,7
9.006,2
12,6
17.023,8
18,4
21.760,0
20,5
21.932,7
20,7
22.347,0
20,7
886,2
1,3
1.827,7
2,0
2.444,6
2,4
2.444,6
2,3
2.763,4
2,6
Sarjana
886,1
1,2
2.081,6
2,2
3.531,0
3,2
3,531,0
3,3
3.885.6
3,6
Jumlah
71.675,8
100
92.734,9
100
105.802,3
100
106.281,7
100
108.131,6
100
Sumber: BPS, SP 1990, Sakernas 1998, 2005, 2006. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 2007
7
3. Kualitas Bangsa Indonesia Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan penduduk, produktivitas, dan kemandirian agar menjadi sumberdaya manusia yang berdaya saing tinggi. Apabila hal ini terwujud, penduduk akan berubah dari kondisi yang kurang menguntungkan dan menjadi beban pembangunan ke arah penduduk yang memiliki kualitas dan kekuatan pembangunan yang mampu bersaing di era globalisasi. Berbagai indikator untuk mengukur peningkatan kualitas sumberdaya manusia, diantaranya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI), Gender-related Development Index (GDI), dan Gender Empowerment Measure (GEM). Pada periode 1975-2005, kualitas bangsa Indonesia telah mengalami perbaikan, hal ini terlihat dari HDI, GDI, dan GEM yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun meskipun masih relatif tertinggal apabila dibandingkan dengan negara lain. Tabel 5. Perkembangan HDI dan GDI Indonesia, Tahun 1975-2005. No.
Tahun
HDI
GDI
GEM
1.
1975
0,467
-
-
2.
1980
0,529
-
-
3.
1985
0,582
-
-
4.
1990
0,623
-
-
5.
1995
0,662
-
-
6.
1996
-
-
58,8 *)
7.
1998
0,670
0,664
-
8.
1999
0,677
0,671
49,5 *)
9.
2000
0,684
0,678
-
10.
2001
0,682
0,677
-
11.
2002
0,692
0,685
54,6 *)
12.
2003
0,697
0,691
-
13.
2004
0,711
0,704
-
14.
2005
0,728
0,721
- **)
Sumber: UN Human Dev. Report 2002, 2003, 2004, 2005, 2006,2007/2008 *) Data BPS, Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005. **) GEM diukur hanya ranking 1 – 93 dari 177 negara yang diukur.
Dari tabel di atas terlihat, bahwa HDI dan GDI Indonesia terus mengalami peningkatan, namun apabila dibandingkan dengan negara-negara lain pencapaian tersebut masih tergolong rendah karena bangsa Indonesia relatif masih belum menunjukkan tingkat kecerdasan, kesehatan dan kesejahteraan yang cukup. Menurut UN Human Development Report 2007, Indonesia masih berada pada urutan 107, lebih rendah dari Singapura (25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), Vietnam (105), tetapi lebih baik dari Kamboja (131), Myanmar (132), Laos (131).
8
Tabel 6. Perkembangan Ranking HDI dan GDI Negara-negara ASEAN, Tahun 1999-2005. RANKING HDI DAN GDI No
NEGARA
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005 GDI
HDI
GDI
HDI
GDI
HDI
GDI
HDI
GDI
HDI
GDI
HDI
GDI
HDI
1.
Singapura
26
26
25
24
28
28
25
28
25
-
25
-
25
-
2.
Brunei
32
30
32
31
31
31
33
-
33
-
34
-
30
31
3.
Malaysia
56
55
59
54
58
53
59
52
61
50
61
51
63
58
4.
Thailand
66
58
70
60
74
61
76
61
73
57
74
58
78
71
5.
Filipina
70
62
77
63
85
66
83
66
84
63
84
66
90
77
6.
Indonesia
102
92
110
91
112
91
111
90
110
87
108
81
107
94
7.
Vietnam
101
89
109
89
109
89
112
87
108
83
109
80
105
91
8.
Kamboja
121
109
130
109
130
105
130
105
130
99
129
97
131
114
9.
Myanmar
118
107
127
106
131
-
132
-
129
-
131
-
132
-
10
Laos
131
119
143
118
135
109
135
107
133
102
133
100
130
115
Sumber: UN Human Dev. Report 2000-2007/2008
HDI adalah suatu indeks komposit yang dihitung dari: (1) Angka Harapan Hidup (AHH) yang mencerminkan kesehatan (2) tingkat melek huruf dewasa (literate) dan angka partisipasi kasar yang mencerminkan penguasaan pengetahuan (3) dan Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengindikasikan kelayakan hidup. Sedang GDI dihitung berdasarkan kesetaraan distribusi komponen HDI dari penduduk laki-laki dan perempuan. Selisih yang semakin kecil antara GDI dan HDI mengindikasikan semakin kecilnya kesenjangan gender. Menurut UN Human Development Report 2006, dari 157 negara yang disurvey ranking GDI Indonesia masih berada pada urutan 81, lebih rendah dari Vietnam (80), Filipina (66), Thailand (58), Malaysia (51), namun Indonesia lebih baik dibandingkan Kamboja (97). Menurut UN Human Development Report 2007/2008, ranking GDI Indonesia menurun berada pada urutan 94, lebih rendah dari Vietnam (91), Filipina (77), Thailand (71), Malaysia (58), Brunei (31), namun Indonesia lebih baik dibandingkan Kamboja (114) dan Laos (115) Untuk mengindikasikan peran perempuan dalam bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan, digunakan Gender Empowerment Measures (GEM), yang jika nilainya semakin besar berarti semakin besar partisipasi perempuan (HDR, 2005). Menurut Data BPS, Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005, nilai GEM Indonesia pada tahun 1996 adalah 0,588 menurun menjadi 0,495 pada tahun 1999, kemudian meningkat sedikit menjadi 0,546 tahun 2002. Menurut HDR 2007/2008 Indonesia tidak dilakukan penilaian GEM (hanya negara yang HDI nya ranking 1 sd 93 yang diukur GEMnya) Dari sisi Angka Harapan Hidup (AHH) terus mengalami peningkatan, artinya pada tahun 1971 AHH penduduk Indonesia hanya mencapai 45, 7 tahun dan pada tahun 2005 meningkat
9
menjadi 69 tahun, perempuan (71,1 tahun) lebih tinggi dari pada laki-laki (67,1 tahun). Pada tahun 2006 menurut perhitungan BPS 2000-2025 Angka Harapan Hidup telah meningkat lagi menjadi 69,4 tahun, dengan AHH perempuan (71,5 tahun) lebih tinggi dari pada laki-laki (67,5 tahun). Gambar 2.
ANGKA HARAPAN HIDUP PENDUDUK INDONESIA 1971-2006 80 70 60
71.5 67.5 69.4
53.7 50.6 52.2
47.2 44.2 45.7
20
71.1 67.1 69
Laki-Laki
30
67.3 63.4 66.4
Indonesia
40 62.5 58.1 59.8
50
1990
2000
2005
2006*)
Perempuan
10 0 1971
1980
Sumber : Statistik Indonesia Merdeka 2005, HDR 2007/2008, Proyeksi Penduduk 2000-2005
Fertilitas perempuan Indonesia berhasil diturunkan dari waktu ke waktu. Menurut SDKI 2007, TFR Indonesia 2,6 kelahiran per perempuan pada tahun 2007 (perdesaan: 2,8 dan perkotaan: 2,3). TFR ini tidak berubah dibandingkan dengan tahun 2002. Menurut SDKI 20022003, TFR Indonesia 2,6 lebih rendah dari Laos (4,7), Kambodja (4,0), Filipina (3,7), Malaysia (2,9), dan Myanmar (2,8), tetapi masih lebih tinggi dari pada Brunei (2,5), Vietnam (1,9), Thailand (1,7) dan Singapura (1,4). TFR Indonesia tersebut masih lebih besar dari angka replacement fertility, yang oleh PBB ditetapkan 2,1 yaitu dalam rangka mencapai kondisi penduduk tumbuh seimbang. Menurut beberapa sumber TFR periode 1967 – 2007 adalah sebagai berikut :
10
Gambar 3. Angka Kelahiran Total (TFR) 1971 -2007
3,326
3,222
2,802 2,780
4,055
2,340
10,320
2,600
4,680
2,600 5,200
5,605
SP 1971
Supas 1976
SP 1980
Supas 1985
SP 1990
Supas 1995
SDKI 1997
SP 2000
SDKI '02-'03
SDKI 2007
SDKI 1991
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1950 PDB Indonesia hanya Rp 84 milyar, pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 2.296 trilyun atau Rp 10,64 juta per kapita atau US$ 1.185,6 per kapita. Pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 2.785 trilyun, tahun 2006 mencapai Rp 3.338 trilyun dan pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp. 3.957 trilyun, dengan pertumbuhan 6,3 persen. Tabel 7. Perkembangan PDB Indonesia, 1950-2007. No.
Tahun
PDB Harga Berlaku (Rp milyar)
PDB Harga Konstan (Rp milyar)
Pertumbuhan (%)
1.
1950
84
-
-
2.
1990
210.866,2
-
-
3.
1995
454.514,1
-
-
4.
2000
1.389.769,5
1.389.770,30
-
5.
2001
1.684.280,5
1.442.984,60
3,83
6.
2002
1.897.799,9
1.504.380,60
4,25
7.
2003
2.045.853,2
1.579.559,30
5,00
8.
2004
2.295.862,2
1.656.516,80
4,87
9.
2005
2.784.960,4
1.750.656,10
5,68
10.
2006
3.338.195,7
1.846.665,90
5,48
1.964.000,00
6,30
11. 2007 3.957.400,0 Sumber : BPS, Statistik Indonesia 2007, Berita Resmi Statistik (15 Febr 2008)
11
Kualitas penduduk Indonesia juga diindikasikan dari indeks kualitas hidup, daya saing, dan tingkat korupsi. 1.
Indeks Kualitas Hidup (Quality-of-Life Index, QOLI) Indonesia menurut The Economist Intelligence Unit yang disusun berdasarkan penilaian atas komponen biaya hidup, waktu luang dan kebudayaan, ekonomi, lingkungan, kebebasan, kesehatan, infrastruktur, resiko dan keamanan, serta masalah iklim, pada tahun 2005 berada pada urutan 106 dengan skor 55, di bawah Singapura (ranking 58, skor 63), dan Thailand (ranking 61, skor 62), tetapi masih di atas Malaysia (ranking 108, skor 54), Filipina (ranking 110, skor 54), Brunei (ranking 119, skor 52), Vietnam (ranking 145, skor 49), Kamboja (ranking 147, skor 48), Myanmar (ranking 167, skor 44) dan Laos (ranking 168, skor 44). Pada tahun 2006, QOLI Indonesia menurun ke urutan 138 dengan skor 52, di bawah Singapura (ranking 61, skor 65), Malaysia (ranking 70, skor 62), Thailand (ranking 71, skor 62), Filipina (ranking 124, skor 54), Brunei (ranking 126, skor 53), dan Kamboja (ranking 132, skor 52), namun masih di atas Myanmar (ranking 167, skor 47), Vietnam (ranking 177, skor 45) dan Laos (ranking 185, skor 43).
2.
Daya saing bisnis Indonesia selama tiga tahun terakhir (2004-2006) masih berada di tataran yang rendah. Menurut The International Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Yearbook (2005, 2006). Tahun 2005 Indonesia berada pada ranking 59, di bawah Singapura (3), Thailand (27), Malaysia (28), dan Filipina (49). Tahun 2006, Indonesia mengalami penurunan dan menduduki ranking 60 (setingkat di atas Venezuela), dan di bawah Malaysia (23), Thailand (32), serta Filipina (29). Pada periode tahun 2006-2007, daya saing di beberapa negara Asean mengalami fluktuasi, Indonesia menempati ranking 54, berada dibawah Singapura (8), Malaysia (19), Thailand ( 28), namun lebih baik dibanding Philipina (75), Vietnam ( 64), dan Kamboja ( 106). Demikian halnya pada periode tahun 2007 – 2008, ranking Indonesia (ranking 54, skor 4,24 ) berada di bawah Singapura (ranking 7, skor 5,45, Kamboja (ranking 11, skore 3,48), Malaysia ( ranking 21, skor 5,10, Thailand (ranking 28, skor 4,70) namun lebih baik dibandingkan Vietnam (ranking 68, skor 4,04) dan Philipina (ranking 71, skor 3,99)
3.
Tingkat korupsi di Indonesia dinilai Transparency International Corruption Perceptions Index (CPI) selama dua tahun terakhir (2005-2006) mengalami penurunan. Tahun 2005 mencapai skor CPI 2,2 dan berada di ranking 140. Tahun 2006, menempatkan Indonesia pada ranking 130 dengan skor CPI 2,4. Menurut Transparency International, Skor CPI bernilai nol yang berarti sangat korup dan nilai 10 berarti sangat bersih. Pada tahun 2005, persepsi tingkat korupsi di Indonesia lebih parah daripada Kamboja (ranking 131, skor 2,3), Filipina (ranking 124, skor 2,5), Vietnam (ranking 114, skor 2,6), Thailand (ranking 60, skor 3,8), Malaysia (ranking 39, skor 5,1), Singapura (ranking 5, skor 9,4), namun lebih baik dari Myanmar (ranking 156, skor 1,8). Selanjutnya pada tahun 2006, tingkat korupsi Indonesia mengalami penurunan dan berada pada ranking 130 sama dengan Papua New Guinea, namun lebih rendah apabila dibandingkan dengan Filipina (ranking 121, skor 2,5), Vietnam dan Timor Leste (ranking 111, skor 2,6), Thailand (ranking 63, skor 3,6), Malaysia (ranking 44, skor 5,0) dan Singapura (ranking 5, skor 9,4). Meskipun demikian, Indonesia lebih baik dari Kamboja (ranking 151, skor 2,1), dan Myanmar (ranking 160, skor 1,9).
12
4.
Indeks Kerapuhan Negara (Failed States Index/FSI) yang dikembangkan oleh The Fund for Peace (organisasi riset independen) yang menggunakan 12 indikator sosial, ekonomi, politik, dan militer. Organisasi ini membuat ranking sejumlah negara berdasarkan tingkat kerapuhannya dalam menghadapi kekerasan konflik internal dan memburuknya hubungan sosial. Semakin besar nilai indeksnya, maka semakin rapuh negara yang bersangkutan dan semakin kecil urutan rankingnya. Sepanjang tahun 2005, skor FSI Indonesia sebesar 87 dan berada di ranking 47, kemudian pada tahun 2006 skor Indonesia menjadi 89,2 dan berada di ranking 32. Tahun 2007, skor Indonesia menjadi 84,4 dan berada di ranking 55, dan ranking ini lebih baik daripada Myanmar (ranking 14 skor 97) dan Kamboja (ranking 48 skor 85,7). Namun, tetapi lebih rapuh dibandingkan dengan Filipina (ranking 56 skor 83,2), Vietnam (ranking 79 skor 77,8), Thailand (ranking 86 skor 76), Brunei (ranking 109 skor 71,2), dan Malaysia (ranking 120 skor 65,9).
4. Mobilitas Perempuan Indonesia Persoalan jumlah penduduk di Indonesia sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah distribusi penduduk yang tidak merata antar pulau, penduduk masih terkonsentrasi di Pulau Jawa yang sudah terjadi sejak zaman Belanda Kondisi ini dipicu oleh adanya kesenjangan pembangunan antar Jawa dan Luar Jawa, sehingga Pulau Jawa masih relatif menjadi pilihan bagi sebagian orang untuk mengadu nasib. Namun, akhir-kahir ini ada kecenderungan meningkatnya migrasi internasional ke berbagai negara. Hasil Supas pada tahun 1995, tingkat urbanisasi atau peningkatan penduduk urban di Indonesia adalah 35,91 persen, artinya bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan urbanisasi pada tahun 1980 yang baru mencapai 22,4 persen. Kemudian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 1998 mencapai 40,5 persen dan dalam kurun waktu 7 tahun angka tersebut meningkat menjadi 48,3 persen (2005). Meningkatnya urbanisasi sejalan dengan terjadinya konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan, sebagaimana yang terjadi di kawasan pantai utara Jawa yang mencapai sekitar 20 persen. Selain itu, dengan menyempitnya lapangan pekerjaan di bidang pertanian ikut mendorong terjadinya migrasi penduduk perdesaan ke perkotaan. Faktor migrasi desa-kota memegang peranan sangat penting dalam mempertinggi angka urbanisasi, bahkan ada kecenderungan aktivitas perekonomian akan terpusat pada suatu area yang memiliki konsentrasi penduduk cukup tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi akan menyebabkan semakin membesarnya area konsentrasi penduduk sehingga menimbulkan daerah perkotaan. Dengan demikian, urbanisasi sebenarnya merupakan suatu proses perubahan yang wajar, sebagai upaya masyarakat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Namun, proses urbanisasi tetap harus dikendalikan atau diarahkan, karena apabila tidak dikendalikan dan diarahkan maka dapat menimbulkan berbagai masalah sosial yang menyertainya.
13
Dari sisi migrasi internasional, oleh karena peluang dan kesempatan kerja di Indonesia relatif sempit, sehingga banyak warga negara Indonesia yang memiliki skill terbatas berbondong-bondong menjadi tenaga kerja di luar negeri, dan dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat. Tabel di bawah ini menunjukkan kecenderungan migrasi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Tabel 8. Jumlah Migrasi Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, Tahun 2001-2007 Tahun/Negara Tujuan
Laki- laki
2001
• • • •
272.428
338.992
Asia Pasifik
56.024
161.531
217.555
Timur Tengah & Afrika
10.291
110.889
12.180
225
3
228
24
5
29
116.779
363.614
480.393
Asia Pasifik
97.940
140.384
238.324
Timur Tengah & Afrika
18.771
223.190
241.961
33
7
40
35
33
68
79.987
213.782
293.709
Asia Pasifik
65.255
44.497
109.752
Timur Tengah & Afrika
14.513
169.257
183.770
144
27
171
15
1
16
84.078
296.612
380.690
Asia Pasifik
68.519
92.451
160.970
Timur Tengah & Afrika
15.539
204.160
219.699
17
-
17
3
1
4
149.265
325.134
474.399
137.292
159.999
297.291
11.973
165.135
177.108
-
-
-
Dta
Dta
Dta
138.292
541.708
680.000
114.355
212.456
326.811
13.937
329.525
353.189
Amerika
Amerika
Eropa 2003
• • • •
Amerika
Eropa 2004
• • • •
Amerika
Eropa 2005
• • • •
Jumlah
66.564
Eropa 2002
• • • •
Perempuan
Asia Pasifik Timur Tengah & Afrika Amerika
Eropa 2006
• Asia Pasifik • Timur Tengah & Afrika
14
Tahun/Negara Tujuan
Laki- laki
Jumlah
Dta
Dta
Dta
Dta
Dta
Dta
152.887
543.887
696.746
123.365
227.335
350.703
27.129
316.358
343.487
Amerika
1.191
72
1.263
Eropa dan Australia
1.199
94
1.293
• Amerika • Eropa 2007
• • • •
Perempuan
Asia Pasifik Timur Tengah & Afrika
Dta : Data tidak ada Sumber : Depnakertrans, Desember 2007
Gambar 4.
Jumlah TKI yang Bekerja Di sektor Formal dan Informal di Luar Negeri, Tahun 2007 350,000 333,171
300,000 250,000
Asia Pasifik
10,316 35,400 2,361
9,358
94 62,314
0
1,191
1,119
50,000
167,384
100,000
1,293
121,007
150,000
17,771
165,023
183,131
200,000
1,253 958
1,253
Timur Tengah & Afrika
Amerika
Eropa dan Australia
Sumber : BNP2TKI, Desember 2007
Data tahun 2007 menunjukkan, bahwa tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri lebih banyak di sektor informal dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki, baik di luar Asia maupun Timur Tengah. Sedangkan untuk tenaga kerja formal pada tahun 2007, jumlah tenaga kerja laki-laki lebih besar dibandingkan tenaga kerja perempuan, baik untuk kawasan Asia, Timur Tengah, Amerika maupun Eropa dan Australia. Tenaga kerja informal ini memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap praktek diskriminasi dan kekerasan.
15
Tabel 9. Penerimaan Devisa Tenaga Kerja Indonesia dari Luar Negeri, Tahun 2001-2007. Tahun/Negara Tujuan
TKI (Orang)
Devisa US$
2001
338.992
537.654.777
•
Asia Pasifik
217.555
355.088.125
•
Timur Tengah & Afrika
29
180.839.612
•
Amerika
121.180
1.532.160
•
Eropa
228
194.880
2002
480.393
2.198.019.604
•
Asia Pasifik
238.324
1.812.660.673
•
Timur Tengah & Afrika
68
443.520
•
Amerika
241.961
384.693.651
•
Eropa
40
221.760
2003
293.694
75.639.513
•
Asia Pasifik
109.722
23.088.764
•
Timur Tengah & Afrika
183.770
34.713.101
•
Amerika
171
5.945.882
•
Eropa
31
11.891.765
244.624
170.869.287
67.817
60.263.238
176.788
110.362.494
16
119.724
3
123.831
2005 **)
474.399
2.709.534.159
• • • •
Asia Pasifik
297.291
979.056.157
Timur Tengah & Afrika
177.108
1.729.757.906
Amerika
-
598.547
Eropa
-
121.549
Asia Pasifik
326.811
1.884.827.180
Timur Tengah & Afrika
353.189
1.529.748.517
Amerika
-
1.724.423
Eropa
-
-
2004 *)
•
Asia Pasifik
•
Timur Tengah & Afrika
•
Amerika
•
Eropa
2006
• • • •
16
Tahun/Negara Tujuan
TKI (Orang)
Devisa US$
2007
696.746
6.006.623.553
• • • •
Asia Pasifik
350.703
3.823.585.214
Timur Tengah & Afrika
343.487
2.104.220.971
1.263
59.881.206
1.293 Eropa dan Australia Sumber: Depnakertrans, 2005, 2006,2007 ; BNP2TKI, Desember 2007 *) Januari - September 2004. **) Januari – Nopember 2005.
13.936.162
Amerika
Tabel di atas menggambarkan, bahwa sebagian besar TKI adalah kaum perempuan (77,65 %), dan hampir 70 % bekerja di sektor informal yang rentan dengan ketidakpastian mengenai upah, pendapatan, dan jaminan sosial. Umumnya tidak dilengkapi dengan dokumen dan overstay sehingga TKI tersebut diidentifikasi sebagai pendatang asing tanpa ijin (PATI) dan dianggap sebagai penyandang masalah sosial. Pada tahun 2004 ketika Pemerintah Malaysia mengambil kebijakan untuk memulangkan PATI ke negara asal masing-masing, diperkirakan sebanyak 960 ribu orang berasal dari Indonesia. Sampai akhir tahun 2005, Ditjen. Imigrasi Indonesia melaporkan, bahwa 526.841 orang TKI Bermasalah telah dipulangkan dari Malaysia melalui sebelas entry point di Indonesia. Kemudian pada tahun 2006, TKI Bermasalah yang dideportasi dari Malaysia mencapai 30.604 orang, setelah dipenjara dan mendapat hukuman cambuk. Tahun 2007, tercatat 35.233 TKI Bermasalah dideportasi dari Malaysia, dan 40.000 WNI overstayer juga akan dideportasi. Selain masalah dokumen dan overstay, banyak TKI yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari majikannya. Sekretariat Nasional Kopbumi (2006) melaporkan bahwa selama tahun 2004 -2005, terdapat 911 kasus buruh migran Indonesia yang hilang kontak, gaji tindak dibayar, penyiksaan, penipuan dan gagal berangkat, bahkan meninggal dunia. Kasus tersebut melibatkan 183 PJTKI, belum termasuk dengan deportasi dari Malaysia, Arab Saudi dan Kuwait.
17
KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK______ 1. Kemiskinan Kemiskinan sebagai suatu gejala ekonomi akan berbeda dengan kemiskinan sebagai gejala sosial. Gejala kemiskinan akan mudah dikenali yang ditandai dengan kekurangan gizi, buta huruf, rentan terhadap penyakit, lingkungan yang kumuh, kematian bayi yang tinggi dan rendahnya angka harapan hidup. Namun, bukan suatu hal yang mudah untuk merumuskan dan mengukur angka kemiskianan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan didasarkan pada indikator pengeluaran, dan untuk menentukan garis kemiskinan sebagai batas tingkat pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non-pangan per kapita per bulan, yaitu untuk membiayai konsumsi 2.100 kalori pangan per kapita per hari ditambah dengan pemenuhan kebutuhan minimal non-pangan: sandang, papan, kesehatan, pendidikan, jasa, bahan bakar angkutan dan lain sebagainya. BPS pada tahun 2006 mencatat, bahwa jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan naik dari 35,1 juta (15,97%) pada Februari 2005 menjadi 39,05 juta (17,75%) pada Maret 2006, dan kemudian menunjukkan kecenderungan menurun pada Maret 2007 menjadi 37,17 juta (16,58 %), dan Maret 2008 jumlah penduduk miskin menurun lagi menjadi 34,96 juta (15,42 % ) dari total penduduk Indonesia. Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), menuntut ditiadakannya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh hak-haknya di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, pekerjaan, perkawinan, kewarganegaraan, hukum, dan politik, serta hak-haknya untuk terbebas dari kekerasan, perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran. Kurang dipenuhinya hak-hak tersebut, menyebabkan terjadinya kemiskinan tidak saja kemiskinan dari segi pendapatan (ekonomi), tetapi juga kemiskinan insani (human poverty) dan kemiskinan martabat (voicelessness, powerlessness, dan vulnerability). Landasan Aksi Beijing dalam rangka mengurangi kemiskinan bagi perempuan adalah: (a) Menelaah, menetapkan dan memberlakukan kebijakan-kebijakan ekonomi makro dan strategi pembangunan yang diarahkan untuk menangani kebutuhan dan upaya-upaya perempuan yang hidup dalam kemiskinan (b) Memperbaiki perundang-undangan dan praktek-praktek administrasi untuk menjamin persamaan hak dan akses perempuan untuk memperoleh sumberdaya-sumberdaya ekonomi (c) Menyediakan kesempatan bagi Perempuan untuk menabung serta memanfaatkan mekanisme dan lembaga-lembaga kredit lainnya (d) Mengembangkan metodologi-metodologi berdasar gender dan melakukan penelitian untuk menangani peningkatan kemiskinan di kalangan perempuan. Millenium Development Goals (MDGs) yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, mempunyai indikator capaian: (1) proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional (2) proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari satu dollar per hari (3) kontribusi quantil pertama penduduk berpendapatan terendah terhadap konsumsi nasional (4) prevalensi balita kurang gizi (5) proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimum 2.100 kkal per kapita per hari.
18
Tahun 1976
Tabel 10. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia, Tahun 1976 s/d 2008 Perempuan Laki-laki (juta) Jumlah (juta) (juta) Dta Dta 54,2
% 40,08
1980
Dta
Dta
42,3
28,56
1984
Dta
Dta
35,0
21,64
1990
Dta
Dta
27,2
15,08
1996
Dta
Dta
22,5
11,34
1998
Dta
Dta
49,5
24,23
1999
Dta
Dta
37,5
17,17
2000
18,77
18,49
37,26
18,95
2001
18,56
18,55
37,11
18,40
2002
17,76
17,92
35,68
17,60
2003
18,81
18,53
37,34
17,42
2004
18,07
18,08
36,15
16,66
2005
18,47
18,33
36,80
16,69
2006
19,82
19,48
39,30
17,75
2007
18,60
18,67
37,17
16,58
2008
Dta
Dta
34,96
15,42
Dta: Data tidak ada Sumber: Baknas 2002; BPS 2003, 2004, 2005, 2006, 2007. Maret 2008
2. Kesehatan Unsur penting di dalam pembangunan manusia adalah kesehatan, dan salah satu indikator kesehatan adalah angka kematian bayi (IMR). Kematian bayi (anak) secara langsung disebabkan oleh kesakitan bayi (anak) dalam pengertian luas, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab tidak langsung dan salah satunya adalah kekurangan gizi. Indikasi mengenai balita kurang gizi, berdasarkan SDKI 2002-2003, prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak balita (0-59 bulan) adalah sebesar 25,8 persen. Berbeda dengan angka hasil Survei Garam Yodium 2005, yang mencatat bahwa prevalensi gizi kurang meningkat menjadi 28,0 persen terdiri balita gizi buruk 8,8 persen dan balita dengan gizi kurang 19,2 persen. Selain kurang gizi, juga banyak balita yang menderita anemia, tahun 1995 prevalensi balita yang menderita anemia sebesar 40,5 persen, tahun 1997 turun menjadi 40 persen dan kembali meningkat menjadi 48,1 persen pada tahun 2001 (Depkes 2004). Pada tahun 2005, terdapat 8,1 juta (48,0 %) balita yang menderita anemia (Depkes, 2007).
19
Perkembangan status gizi Balita periode 1989 sampai dengan 2006 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 11. Perkembangan Status Gizi Balita Tahun 1990 s/d 2006 No.
Tahun
1.
Keadaan Gizi Buruk/Kurang (%)
Laki-laki + Perempuan (%)
Laki-laki
Perempuan
1989
-
-
43,80
2.
1990
-
-
41,80
3.
1992
-
-
33,57
4.
1995
-
-
53,20
5.
1998
-
-
40,00
6.
1999
-
-
34,50
7.
2000
-
-
24,66
8
2001
-
-
32,40
9
2002
28,20
27,50
24,10
10
2003
30,80
26,12
26,17
11
2005
29,99
26,01
28,04
-
28,05
12 2006 Sumber : BPS 2005, SDKI 2007, MDGs 2007, Depkes 2007. Catatan : Gizi Buruk 8,8 % dan Gizi Kurang 19,25 % Tahun2005
Menurut Komnas Perlindungan Anak Indonesia (2006), anak-anak yang menderita malnutrisi pada tahun 2005 berjumlah 744.698 anak dengan rincian sebanyak 55,9 persen menderita kurang gizi diantaranya 42,7 persen menderita gizi buruk, dan 1,3 persen menderita busung lapar. Anak-anak juga banyak terserang berbagai penyakit, dimana terdapat 13.441 anak terserang berbagai penyakit seperti diare (5.645 anak, meninggal 112 anak), demam berdarah (penderita 5.127 anak, meninggal 129 anak), polio (324 anak), lumpuh layu (451 anak), campak (1.652 anak, meninggal 23 anak), flu burung (43 anak, meninggal 10 anak). Hasil Survey Garam Yodium tahun 2005, persentase wanita usia subur (15–49 tahun) di Indonesia yang mengalami atau menderita Kurang Energi Kronis (KEK) sebesar 16,24 persen. Kondisi ini semakin membaik jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
20
Gambar 5.
Prosentase Prevalensi Resiko Perempuan Menderita KEK 1999 -2005 45 41.29 40 35 30
35.8
34.3
35.7
35.1 32.5
30.2 27
25
19.2
21.4
16
20
27.7
23.7
23.7
23.1
14.7
13.8
14.5
15
15-19 20-24 25-29
10 5 0 1999
2000
2001
2002
2003
2005
Sumber : Depkes 2007
Selain itu, pembangunan kesehatan juga harus dipandang sebagai suatu investasi untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Dan kondisi pembangunan kesehatan secara umum dapat dilihat dari status kesehatan dan gizi masyarakat, yaitu angka kematian balita, angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, prevalensi gizi kurang dan angka harapan hidup (umur). Angka kematian balita (AKBA) Indonesia berhasil diturunkan dari 111 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1986, menjadi 81 tahun 1994, dan menjadi 79 selama periode 1988-1992, dan terus menurun menjadi 46 per seribu kelahiran hidup pada periode 1998-2002 (SDKI 2002-2003). Dan menurut UNICEF (2007), kematian anak di bawah lima tahun di seluruh dunia semakin menurun, di bawah 10 juta jiwa. Angka terakhir kematian Balita (2006) tercatat 44 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Grafik berikut, menggambarkan perkembangan AKBA periode Thun 2000 sampai dengan tahun 2005.
22
Gambar 6.
Angka Kematian Balita 2000 - 2005 60 2000
50
2002 40
2003
30
2004
20
2005
10
2001
0 Laki-Laki
Perempuan Sumber : BPS 2008
Lk + Prp
Dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, pada tahun 2003, AKBA Indonesia relatif cukup menggembirakan. Myanmar dan Kamboja berturut-turut merupakan negara dengan AKBA tertinggi di antara negara-negara di ASEAN, berdasarkan laporan UNICEF dalam The State of World's Children 2005. AKBA di kedua negara tersebut berada di atas 100, yakni 140 untuk Kamboja dan 107 untuk Myanmar, sedangkan Laos menduduki urutan ketiga dengan AKBA sebesar 91 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Indonesia, Philipina, Thailand dan Vietnam berturut-turut menduduki peringkat ke 4, 5, 6 dan 7 dengan AKBA sebesar 41, 36, 26 dan 23 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.
23
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 12 mewajibkan negara untuk meniadakan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan di bidang pemeliharaan dan pelayanan kesehatan, dan keluarga berencana. Negara juga wajib menjamin pelayanan yang layak kepada perempuan berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan, dengan memberikan makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui. Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan perempuan dan kesehatan adalah: (a) Meningkatkan akses perempuan sepanjang umurnya pada pelayanan kesehatan yang memadai, terjangkau dan berkualitas, informasi dan pelayanan terkait (b) Memperkuat program-program pencegahan terhadap penyakit yang memajukan kesehatan perempuan (c) Mengambil prakarsa-prakarsa yang peka gender guna menanggulangi penularan penyakit-penyakit kelamin, HIV/AIDS dan permasalahan kesehatan seksual dan reproduksi (d) Memajukan penelitian dan menyebarluaskan informasi mengenai kesehatan perempuan (e) Memperbesar sumber-sumber dan memantau tindak lanjutan bagi kesehatan perempuan. Masalah kesehatan ini menjadi tujuan keempat, kelima dan keenam MDGs. Tujuan keempat MDGs adalah “menurunkan angka kematian anak” yang diindikasikan dari (a) Angka kematian balita (b) angka kematian bayi (c) persentase anak di bawah satu tahun yang diimunisasi campak. Tujuan kelima MDGs adalah “meningkatkan kesehatan ibu” yang diindikasikan dari (a) angka kematian ibu (b) proporsi pertolongan persalinan yang ditangani oleh tenaga persalinan terlatih (c) angka pemakaian kontrasepsi. Sedang tujuan keenam MDGs adalah “memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya” yang diindikasikan dari (a) prevalensi HIV di kalangan ibu hamil yang berusia antara 15-24 tahun (b) penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi (c) penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi (d) persentase anak muda usia 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS (e) prevalensi malaria dan angka kematiannya (f) persentase penduduk yang menggunakan cara pencegahan yang efektif untuk memerangi malaria (g) persentase penduduk yang mendapat penanganan malaria secara efektif (h) prevalensi TBC dan angka kematian penderita TBC dengan sebab apapun selama pengobatan OAT (i) angka penemuan penderita TBC BTA positif baru (j) angka kesembuhan penderita TBC.
Sementara itu, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam merupakan negara-negara dengan AKBA terendah masing-masing sebesar 3, 6 dan 7 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia juga telah mengalami penurunan, yakni dari 145 kematian bayi per seribu kelahiran hidup pada tahun 1971,menjadi 57 pada tahun 1994, kemudian 46 pada tahun 1997, dan terus menurun menjadi 35 per seribu kelahiran hidup pada tahun 2002 (SDKI 2002-2003). Dan pada tahun 2006, angka kematian bayi turun mencadi 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007) Berdasarkan laporan UNICEF (2005), AKB tertinggi di Asean pada tahun 2003 terjadi di Kamboja dan diikuti oleh Laos dan Myanmar yang mencapai angka 97, 82 dan 76 per seribu kelahiran hidup. AKB terendah terjadi di Singapura (3 per seribu kelahiran hidup), diikuti oleh Brunei Darussalam dan Malaysia dengan angka 5 dan 7 kematian per seribu kelahiran hidup. Sedangkan Vietnam, Thailand, Filipina dan Indonesia berada ditengah-tengah dengan AKB berturut-turut 19, 23, 27 dan 31 kematian untuk setiap seribu kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia 2004). Pada awal tahun 2008 UNICEF mengeluarkan laporan berjudul Countdown to 2015 Maternal, New Born and Child Survival : Tracking Progress in Maternal, New Born and Child Survival. Unicef melaporkan ada 68 negara yang memiliki permasalahan berat dalam pencapaian MDGs 4 dan 5. Tiga puluh empat dari 68 negara tersebut harus benar-benar mendapat perhatian karena memiliki anak-anak dalam kondisi kekurangan gizi yang sangat tinggi. Enam diantara 10 negara yang hadir dalam pertemuan Sherpa di Jakarta yaitu Brazil,
24
Indonesia, Liberia, Mozambik, Senegal dan Tanzania termasuk dalam 68 negara tersebut. Brazil akan mampu mencapai sasaran MDGs 4, Indonesia diperkirakan akan dapat mencapai tujuan MDGs 4 beberapa tahun terlambat (2018) sedangkan empat negara lainnya menghadapai permasalahan yang serius. Keenam negara terlihat tidak dapat mencapai tujuan MDGs tepat pada waktunya. Indonesia diperkirakan mencapai MDGs 5 (MMR = 102) pada tahun 2025. Menurut laporan UNICEF 2008 AKB tertinggi diantara 10 negara yang hadir tersebut Indonesia AKB nya 34 per 1000 kelahiran hidup lebih rendah dibandingkan ke 4 negara lainnya yaitu Liberia (143) dikuti Mozambique (108); Tanzania (78); Senegal (69), namun lebih tinggi dibandingkan Brasilia, Chile, United Kingdom, Netherlands dan Norway berturut-turut 27; 8; 5;5 dan 4 per 1000 kelahiran hidup (Inisiatif pertemuan Jakarta, 2008). Tabel 12.
Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia, Tahun 1971-2007. Angka Kematian Bayi (AKB)
Tahun Laki-laki 1971 1980 1990 1994 1997 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Perempuan
158 118 79 46 44 42 40 39 37 -
134 100 64 35 34 32 30 29 28 -
Laki-laki dan perempuan 145 109 71 57 46 41 39 37 36 34 32 34
Sumber : Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka 2005. SDKI 2002–2003, Susenas 2004, BPS, 2006, 2008, SDKI 2007 (laporan pendahuluan )
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, walaupun telah berhasil diturunkan dari 450 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 390 (SDKI 1994), 334 (SDKI 1997), dan turun menjadi 307 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 20022003), namun masih merupakan angka tertinggi di Asean. Di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, angka kematian ibu di Indonesia tertinggi kedua setelah Afganistan (1.700 per 100.000 kelahiran hidup), dan setingkat di bawah Indonesia adalah Pakistan (Kompas 15 Desember 2003). Dari laporan Menteri Kesehatan RI kepada Presiden (Febr, 2008), dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan, yakni pada tahun 2004 berada pada angka 270 per 100.000 kelahiran hidup, 262 tahun 2005, 255 tahun 2006, dan 248 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Kesehatan ibu dan ibu hamil juga masih perlu mendapat perhatian, karena pada tahun 2001 sekitar 40,1 persen ibu hamil dan 26,4 persen perempuan usia subur menderita anemia
25
(Depkes, 2004). Pada tahun 1997, proporsi Kurang Energi Kronis Ibu Hamil sebesar 41 persen, sementara untuk prevalensi Kurang Energi Kronis Wanita Usia Subur sebesar 24 persen. Sedangkan persentase perempuan yang mempunyai keluhan tentang kesehatan pada tahun 2001 mencapai 25,92 persen dan meningkat menjadi 26,80 persen pada tahun 2002, kemudian menurun menjadi 25,12 persen pada tahun 2003, dan meningkat lagi pada tahun 2004 menjadi 26,51 persen. Menurut Susenas 2005, keluhan perempuan atas kesehatannya kembali menurun menjadi 22,52 persen pada tahun 2005, dengan lebih banyak perempuan pedesaan yang sakit (23,34 %) dari pada perkotaan (21,57%). Menurut Susenas 2007, keluhan perempuan terhadap kesehatan meningkat menjadi 31,09 persen, namun tetap lebih banyak perempuan perdesaan yang sakit (32,46%) dibandingkan perkotaan (29,34%). Ibu-ibu yang sakit-sakitan, menderita kekurangan gizi dan anemia sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan intelegensia bayi yang dikandungnya, kesehatan dan keselamatan ibu yang bersangkutan. Perilaku sadar akan kesehatan, diindikasikan dari pemeriksaan kesehatan ketika hamil, kondisinya masih perlu ditingkatkan. Pada tahun 1991 hanya 79,8 persen ibu hamil yang memeriksakan kandungannya, tetapi pada tahun 1994 meningkat menjadi 82,3 persen, kemudian meningkat lagi menjadi 89,4 persen pada tahun 1997, dan menjadi 92 persen pada tahun 2002-2003, selanjutnya terjadi penurunan pada tahun 2005 menjadi 87,01 persen. Menurut Susenas 2005, penolong kelahiran balita oleh tenaga medis sebesar 70,47 persen pada tahun 2005, akan tetapi masih terdapat 26,28 persen ibu-ibu yang memeriksakan kehamilan dan menolong persalinannya oleh dukun bersalin. Pada tahun 2007, penolong kelahiran pertama balita oleh dukun justru meningkat menjadi 30,27 persen, sementara yang dotolong tenaga kesehatan menurun menjadi 66,80 persen. Penolong kelahiran terakhir (balita) pada tahun 2007 oleh tenaga kesehatan 72,53 persen dan dukun 25,31 persen. Penolong kelahiran terakhir oleh dukun di perkotaan (10, 51%) lebih rendah dibanding perdesaan 36,27 persen ( Susenas 2007) Sementara imunisasi tetanus toxoid (TT), bagi ibu-ibu yang melahirkan bayi hidup yang mendapatkan suntikan TT dua kali atau lebih, mengalami penurunan dari 53,4 persen (1997) menjadi 50,7 persen, tetapi pada tahun 2004 mengalami kenaikan lagi menjadi 63,9 persen (Depkes, Profil Kesehatan Indonesia 2004). Sedangkan perbandingan desa-kota, ibu-ibu yang mendapatkan imunisasi TT di perkotaan lebih tinggi (62 %) dibandingkan perdesaan (49 %). Pada tahun 2007 ibu-ibu selama hamil yang menerima imunisasi TT paling sedikit satu kali meningkat menjadi 73 persen, dan zat besi 77,3 persen. Untuk kelahiran anak terakhir, ibu umur 20-34 tahun, ibu dengan urutan anak terendah adalah yang tinggal di perkotaan dan ibu dengan pendidikan lebih baik cenderung lebih mendapatkan suntikan TT selama kehamilan bayinya (SDKI, 2007). Menurut SDKI 1991, anak Indonesia berumur 12-23 bulan yang mendapat imunisasi lengkap (BCG, campak, dan masing-masing tiga dosis DPT dan Polio) mencapai 48 persen, kemudian meningkat menjadi 50 persen (SDKI 1994) dan 55 persen (SDKI 1997). Khusus untuk imunisasi polio ulangan yang keempat hanya mencapai 46,2 persen, sementara imunisasi campak baru mencapai 71,6 persen (SDKI 2002-2003). Menurut Susenas 2007, tingkat imunisasi campak mengalami peningkatan, usia 12 bulan sebanyak 71,6 persen dan usia 12 – 23 bulan mencapai 82,2 persen. Dari publikasi UNICEF (WHO Health Report, 2007), pada tahun 2003 Brunei merupakan negara dengan cakupan imunisasi (BCG, DPT, Polio, Hepatitis B dan Campak) paling tinggi, yakni mencapai 99 persen dan Laos menduduki peringkat paling rendah.
26
Indonesia, cakupan imunisasi BCG berada di urutan keempat terendah (82 %), dan berada di urutan ketiga terendah untuk imunisasi DPT, Polio, dan Campak. Cakupan imunisasi untuk DPT dan Polio mencapai 70 persen dan imunisasi Campak mencapai 72 persen. Susenas 2005 mencatat, bahwa jumlah Balita yang pernah mendapatkan imunisasi meningkat mencapai 88,5 persen, yaitu BCG 87,3 persen, DPT 84,6 persen, Polio 89,1 persen, Campak/morbili 72,5 persen, dan Hepatitis B mencapai 74,8 persen. Data Susenas 2007, menunjukkan bahwa persentase balita yang mendapatkan imunisasi meningkat dibanding pada tahun sebelumnya yaitu di atas 75 persen untuk semua jenis imunisasi : BCG (89,4%), DPT (86,44%), Polio (89,67%), campak (75,90%), Hepatitis (80,57%). Balita yang mendapatkan imunisasi DPT, Polio, Hepatitis dengan minimal 3 (triga) kali masing-masing sebesar 65,8 persen; 70,39 persen`dan 57,71 persen. Dari lima jenis imunisasi tersebut, persentase paling besar berada di daerah perkotaan. Kesehatan reproduksi, diartikan sebagai suatu keadaan utuh secara fisik, mental, dan sosial dari penyakit dan kecacatan dalam semua hal yang behubungan dengan sistem, fungsi dan proses produksi. Dalam kaitan ini, remaja memiliki resiko yang cukup tinggi terhadap kesehatan karena anemia. Departemen kesehatan mencatat, bahwa kaum remaja penderita anemia mencapai 45,8 persen untuk remaja laki-laki usia 10-14 tahun dan 57,1 persen remaja perempuan atau sejumlah 5-6 juta orang menderita anemia (Profil Kesehatan Indonesia 2000). Dari sisi fertilitas remaja (ASFR 15-19 tahun) di Indonesia terlihat masih tinggi, walaupun telah mengalami penurunan dari 155 per seribu perempuan (1991) menjadi 62 (SDKI 1997), dan Menurut SDKI (2007), ASFR 15-19 tahun menurun lagi menjadi 51 per seribu perempuan (2007) namun besaran tersebut mempunyai kontribusi sebesar 10,16 persen terhadap fertilitas total, dan di negara-negara Asean hanya berkisar 5 persen. Usia kawin pertama, merupakan variabel yang berpengaruh terhadap tingkat fertilitas wanita usia subur (15-49 tahun). Berdasarkan Susenas (2002-2005, 2007), modus usia saat perkawinan pertama adalah 19-24 tahun (2002: 41,50 %; 2003: 42,65 %; 2004: 42,94 %; 2005: 41,98 %; 2007 : 41,49%) yang berarti semakin meningkat kesadaran perempuan untuk tidak kawin pada usia muda yang memiliki resiko tinggi saat hamil dan melahirkan, karena belum matangnya rahim wanita muda bagi proses berkembangnya janin, atau karena belum siapnya mental menghadapi masa kehamilan/melahirkan. Namun, persentase wanita pernah kawin dengan usia perkawinan pertamanya kurang dari 16 tahun masih cukup tinggi, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut.
27
Gambar 7. Persentase Wanita Pernah Kawin dengan Usia Kawin Pertama < 16 Tahun (di perdesaan) 20 14.58 16
13.96
13.34
15
13.49 2002
12
2003 2004
8
2005 4
2007
0 Prosentase
Gambar 8 Persentase Wanita Pernah Kawin dengan Usia Kawin Pertama < 16 Tahun (di perkotaan) 20 16 12 8 4 0
Prosentase
2002
2003
2004
2005
2007
9.98
9.14
8.86
9.4
8.13
Gambar 9 Persentase Wanita Pernah Kawin dengan Usia Kawin Pertama < 16 Tahun (di perdesaan dan perkotaan) 20 16 12.42
11.98
11.47
12.62
11.23
12 Prosentase
8 4 0 2002
2003
2004
2005
2007
Aborsi di Indonesia cukup tinggi, setiap tahun terdapat 2,3 juta orang melakukan aborsi (penghentian kehamilan) yang disebabkan kehamilan usia muda dan seks di luar nikah. Menurut Dr. Boyke Dian Nugraha, banyaknya kasus aborsi antara lain karena pergaulan bebas yang mengarah kepada kebebasan seks, sehingga terjadi kehamilan di luar nikah. Tindakan aborsi sangat dilarang oleh agama dan bertentangan dengan hukum di negara yang mayoritas
28
warganya memeluk agama Islam. Aborsi sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa dan kesehatan mental, seperti kematian, kanker rahim dan cacat pada janin. Masalah aborsi dalam Rancangan Undang-undang Kesehatan yang diusulkan DPR, dimasukkan satu pasal baru yang menyebutkan kewajiban pemerintah untuk melindungi perempuan dari penghentian kehamilan yang tidak aman dan tidak memenuhi standar kesehatan. Di samping itu, pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan perempuan dari ancaman kematian akibat aborsi yang tidak aman. Kesehatan Reproduksi Remaja berdasarkan survei tahun 2002 di empat propinsi, menunjukkan bahwa 54,4 persen remaja perempuan (12-14 tahun) telah mengalami menarche pertama pada usia 12,4 tahun, sementara untuk remaja laki-laki mengalami mimpi basah pertama pada usia 12,1 tahun. Remaja yang pernah mendengar arti reproduksi masih berkisar 12,8 persen, dan 54 persen di antaranya mengetahui dengan benar arti reproduksi. Remaja usia 20-24 tahun diindikasikan sekitar 4 persen telah melakukan hubungan seks pranikah. Kemudian wanita remaja (15-19 tahun), cenderung lebih jarang dikunjungi oleh petugas KB, kurang mendapatkan informasi tentang KB, dan jarang membahas tentang KB. Menurut SDKI 2002-2003, data yang menggambarkan kondisi diatas adalah sebagaimana terlihat pada gambar berikut. Gambar 10. Prosentase Kunjungan/Informasi KB Wanita Remaja 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Ptgs KB 10
Bidan Dokter Toga Tokam kel.prp
4
Farmasis 2.9
0.7
0.1
1.3
1.1
Guru
0.9
%
Hasil kajian Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak, Universitas Negeri Medan (2006) di empat wilayah Sumatera Utara terhadap remaja umur 10-17 tahun di 12 SD/MI dengan jumlah sampel masing-masing 10 siswa laki-laki dan 10 siswa perempuan per sekolah. Menunjukkan hasil, bahwa pengetahuan mereka tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) perihal nutrisi dan organ reproduksi tergolong baik (89–93,1 %), kurang memahami dampak KRR dan seks pra nikah (71,2 % dan 71,9 %), dan sangat kurang memahami masalah HIV (52,7-54,2 %), kehamilan (56,8-61,2 %), perilaku remaja (57,1-57,0 %) dan informasi KRR (59,75 %). Perbedaan pengetahuan tentang KRR antara siswa laki-laki dan perempuan tidak signifikan, tetapi berbeda pemahamannya mengenai HIV/AIDs (laki-laki 53,4 % dan perempuan 51,5 %). Menurut laporan MDGs 2007, persentase populasi remaja usia 12 – 24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDs meningkat dibandingkan periode sebelumnya, (laki-laki 79,4% dan perempuan 65,8%).
29
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pengetahuan KRR siswa mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya pendidikan. Pada tingkat SD pengetahuan KRR siswa mengenai nutrisi sudah baik (89,8 %), sementara topik lainnya masih sangat kurang. Di tingkat SMP pengetahuan KRR siswa mengalami peningkatan terutama tentang nutrisi dan organ reproduksi, sedangkan di jenjang SMA selain peningkatan pengetahuan tentang nutrisi dan organ reproduksi, juga pengetahuan mengenai dampak KRR, Seks Pranikah, dan Informasi KRR. HIV/AIDs di Indonesia berkembang sangat cepat sehingga saat ini berada pada fase awal epidemi AIDs, dengan epidemi HIV yang cukup serius. HIV/AIDs menyebar dengan cepat dikalangan pengguna narkoba suntik, pekerja seks dan pelanggan, melalui kontak heteroseksual seperti halnya yang terjadi di Papua (Direktur Eksekutif UNAIDs, 2005). Sejak pertama ditemukan kasus HIV/AIDs di Indonesia pada tahun 1987, tercatat bahwa pada bulan Juni 2005 mencapai 7.090 kasus dan pada bulan September 2005 mengalami peningkatan menjadi 8.250 kasus, kemudian bulan Desember 2005 meningkat lagi menjadi 9.565 kasus, terdiri dari 5.321 kasus AIDs dan 4.244 kasus HIV, dan 1.028 orang diantaranya meninggal dunia. Menurut Komnas PA (2006), terdapat 199 anak yang terserang HIV/AIDs dan sekitar 144 bayi tertular HIV/AIDs dari ibunya. Selanjutnya menurut Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPA) tahun 2007, jumlah kasus AIDs sampai dengan 31 Desember 2006 bertambah lagi menjadi 8.194 kasus. Dan ratio kasus AIDs laki-laki dan perempuan adalah 5,12:1. Rate kumulatif kasus AIDs Nasional sampai dengan 31 Desember 2006 adalah 3,61 per 100.000 penduduk (revisi berdasarkan data BPS 2005, jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa). Sampai dengan Maret 2008, kasus AIDs kumulatif dapat dilihat pada gambar berikut.
30
Gambar 11.
SITUASI EPIDEMI: Kasus AIDS kumulatif sd Maret 2008 12000
10000
20 th AIDS, 10 th UU Narco & Psiko 11141 = 49,6 % kasus AIDS`a/ penasun
Kasus Baru AIDS
11868
Kumulatif AIDS 8000
8193
1997 – UU Narkotika dan Psikotropika disahkan
6000
5320
4000 2682 2000 5 5
7
12 5
17
32 15
45
69 24
89
112 154 198 258 352 94 44 23
607
826
1171
2638
2873 2947
1487 1195 727
345 316 255 219
0 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Mar 08
Kr E ko i si s nom i
HIV/AIDs menyebar sedikitnya di 105 kabupaten/kota di Indonesia (2008) dengan penularan tertinggi di DKI Jakarta (3.039 kasus), Jawa Barat (1.666 kasus), Papua (1.388 kasus), Jawa Timur (1.089 kasus), dan Bali (725 kasus). Penularan terjadi melalui jarum suntik (48,9 %) dan 44,2 persen melalui hubungan seksual. Mayoritas (82 %) pengidap berusia 20-29 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Pada akhir tahun 2006, AIDs telah menyebar ke 169 kabupaten/ kota di 32 propinsi. Rate kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua (14,25 kali angka nasional), DKI Jakarta (7,8 kali angka nasional), Kepulauan Riau (4,69 kali angka nasional), Kalimantan Barat (3,76 kali angka nasional), Bali (3,17 kali angka nasional), Irian Jaya Barat (2,84 kali angka nasional), Bangka Belitung (1,3 kali angka nasional) dan Sulawesi Utara (1,29 kali angka nasional). Cara penularan kasus AIDs kumulatif yang dilaporkan Depkes (2007) terbanyak melalui IDU (49,9 %), heteroseksual (41,9 %) dan homoseksual (3,9 %). Proporsi kasus tertinggi terjadi pada kelompok umur 20-29 tahun (54,1 %), disusul kelompok umur 30-39 tahun (28 %) dan kelompok umur 40-49 tahun (8,3 %). Persentase kasus AIDs terbanyak adalah laki-laki: 8.864 kasus (79,6 %) dan perempuan 2.215 kasus (19,9 %) sementara sebesar 0,5 % tidak diketahui jenis kelaminnya.
31
Tabel 13.Jumlah Kasus HIV/AIDs di Indonesia, Tahun 1987-2007.
Tahun
HIV (Kasus)
AIDS (Kasus)
Jumlah Kasus
Tahun
HIV (Kasus)
AIDS (Kasus)
Jumlah Kasus
1987
4
5
9
1998
126
60
186
1988
4
2
6
1999
178
94
272
1989
4
5
9
2000
403
255
658
1990
4
5
9
2001
732
219
951
1991
6
15
21
2002
648
345
993
1992
18
13
31
2003
168
316
484
1993
96
24
120
2004
649
1.195
1.844
1994
74
20
94
2005
875
2.638
3.513
1995
69
23
92
2006
986
2.873
3.859
1996
105
42
147
2007
927
2.947
3.874
1997
83
44
127
Jumlah
6.157
11.141
17.298
Sumber : Ditjen PPMKL Depkes, KPA, 2008.
Sampai dengan 31 Desember 2006, proporsi kasus AIDs yang dilaporkan meninggal dunia mencapai 22,83 persen, dan mengalami penurunan pada Desember 2007. Dari penderita AIDs sebanyak 11.141 orang yang meninggal dunia mencapai 21 persen atau 2.369 orang. Ini barangkali terkait dengan rendahnya jumlah pengidap (4.500 penderita) yang mengambil paket obat anti-retroviral (ARV) per bulan, padahal obat tersebut efektif menghambat penyebaran virus. Selanjutnya diketahui bahwa dari 11.141 kasus AIDs sejumlah 2.215 orang (19,9 %) adalah perempuan. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena berpengaruh terhadap ibu-ibu yang mengidap AIDs dapat menularkan kepada bayinya. Menurut SDKI 2007, proporsi perempuan yang memiliki pengetahuan tentang AIDs mencapai 61 persen dan laki-laki 71 persen. Angka ini hampir sama dengan hasil SDKI 2002-2004, yakni 59 persen pada wanita dan 73 persen pada pria, walaupun sudah ada peningkatan sejak 1994 (38 %) dan 1997 (51 %). Pengetahuan tentang cara mengurangi resiko terkena virus AIDS, perempuan berkisar 29,9 – 42,2 persen dan laki-laki lebih tinggi yaitu berkisar 41,3 – 52,4 persen. Responden yang menyatakan HIV dapat dihindari dengan menggunakan kondom (perempuan 35,5%, laki-laki 48,9%), membatasi berhubungan seks hanya dengan satu partner yang tidak terinfeksi (perempuan 42,2%; laki-laki 52,4%), menggunakan kondom dan membatasi berhubungan seks hanya dengan satu partner yang tidak terinfeksi (perempuan 29,9 %; laki-laki 41,3 %, dan tidak berhubungan seks (perempuan 36,6 %; laki-laki 42,9 %), Sejak tahun 2001 sampai dengan 2007, jumlah kasus AIDs yang terkait dengan penggunaan narkoba suntik (Injecting Drug Use, IDU) semakin meningkat. Namun, pada tahun 2007 jumlah penderita AIDs terkait dengan IDU's mengalami penurunan jika dibandingkan tahun sebelumnya, yakni mencapai 49,9 persen. Sementara itu, korban penyalahgunaan narkoba di Wilayah Jakarta yang ditangani/ditampung oleh Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) mulai tahun 2001-2007 mengalami penurunan. Korban penyalahgunaan narkoba
32
umumnya berpendidikan SMA, tahun 2001 jumlah korban perempuan lebih banyak (65,4%) dari pada laki-laki (34,6 %), namun persentasenya semakin menurun, dan pada tahun 2005 perempuan hanya 7,6 persen sementara laki-laki meningkat menjadi 92,4 persen. Tabel berikut menggambarkan jumlah penderita AIDs terkait dengan IDU’s periode tahun 2001 sampai dengan 2007.
Tabel 14. Jumlah Penderita AIDs terkait Injecting Drug Use (IDU’s) Tahun 2001–2007 (Desember). No. 1. 2.
Kategori Jumlah AIDs AIDs dengan IDU’s Prosentase
2001 951
2002 993 97
2003 2004 484 1.844 822 122
2005 3.513 1.420
2006 2.129 1.074
2007 2.947 1.471
62 6,5
9,7
25,2 44,5
40,4
50,4
49,9
Sumber : Depkes, Desember 2007.
Selain HIV/AIDs banyak kasus penyalahgunaan narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif) yang sangat terkait dengan HIV/AIDs. Jumlah kasus penyalahgunaan narkoba dan korbannya semakin lama semakin meningkat. Menurut laporan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, kasus penyalahgunaan narkoba tahun 2005 yang merupakan kelipatan kasus tahun sebelumnya sebanyak 16.252 kasus. Tahun 2007, kasus narkoba mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yakni mencapai 22.630 kasus dan diperkirakan akan terus meningkat. Sedangkan kasus narkoba pada tahun 2007 melibatkan 36.269 tersangka pelaku yang melibatkan 93 persen laki-laki dan 7 persen perempuan yang sebagian besar adalah warga negara Indonesia, berpendidikan SMA dengan usia 20 tahun ke atas. Secara rinci jumlah kasus narkoba di Indonesia periode 2001 sampai dengan 2007 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 15. Jumlah Kasus Narkoba di Indonesia, Tahun 2001-2007. No. A.
Uraian
2001
2002
2003
2004
• Narkotika
1.907
2.040
3.929
3.874
8.171
6.319
11.380
• Psikotropika
1.648
1.632
2.590
3.887
6.733
3.585
9.289
62
79
621
648
1.348
1.496
1.961
3.617
3.751
7.140
8.409
16.252
11.400
22.630
4.561
4.900
8.923
10.263
21.046
20.942
33.134
• Bahan Adiktif Jumlah B.
• Perempuan Jumlah
2007
363
410
794
1.060
1.734
1.561
3.035
4.924
5.310
9.717
11.323
22.780
22.503
36.169
4.874
5.228
9.638
11.242
22.695
22.457
36.101
50
82
79
81
85
46
68
Warga Negara • WNI • WNA
D.
2006
Jenis Kelamin Tersangka • Laki-laki
C.
2005
Kasus
Usia Tersangka • < 16 tahun • 16 – 19 tahun
25
23
87
71
127
149
110
501
494
500
763
1.668
1.799
2.627
33
No.
Uraian
2001
2002
2003
2004
• 20 – 24 tahun
1.428
1.755
2.457
2.879
5.503
6.132
• 25 – 29 tahun
1.366
1.386
2.417
2.888
6.442
5.743
9.278
• > 29 tahun
1.604
1.652
4.256
4.722
9.040
8.680
15.889
Jumlah
4.924
5.310
9.717
11.323
22.780
22.503
36.169
246
165
949
1.300
2.542
2.260
4.138
• SMP
1.832
1.711
2.688
3.057
5.148
4.736
7.486
• SMA
2.617
3.141
4.960
6.149
14.341
14.971
23.727
229
293
1.120
817
749
536
818
Jumlah 4.924 5.310 Sumber: DIT IV/Narkoba, Bareskrim, Mabes POLRI, 2008.
9.717
11.323
22.780
22.503
36.169
E.
2005
2006
2007 8.275
Pendidikan Tersangka • SD
• PT
Jumlah narapidana terkait dengan kasus narkoba juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, jumlah tahanan/narapidana narkoba sebanyak 10,6 persen meningkat menjadi 16,7 persen tahun 2003 dan terus meningkat berturut-turut menjadi 19,2 persen 23,5 persen serta 24,1 persen pada tahun 2004, 2005 dan 2006. Menurut catatan Departemen Hukum dan Ham, pada tahun 2007 sampai dengan Maret 2008 terdapat sejumlah narapidana kasus narkoba sebanyak 25.331 orang yang terdiri dari laki-laki 23.557 orang, perempuan 1.774 orang. Sementara tahanan karena kasus narkoba pada tahun 2007 sd Maret 2008 sebanyak 11.058 orang, terdiri dari laki-laki 10.258 orang, perempuan 800 orang. Tabel 16. No.
Kategori
Jumlah Tahanan/Narapidana Narkoba, Tahun 2002–2006 2002
1. 2.
Tahanan/Narapidana 67.960 Tahanan/Narapidana 7.211 Narkoba Jumlah (%) 10,6 Sumber: Depkumham, Mei 2006. Agustus 2008.
34
2003
2004
71.587
88.887
2005 89.708
106.166
2006
11.973
17.060
21.082
25.576
16,7
19,2
23,5
24,1
Tabel 17. Jumlah dan Jenis Korban Penyalahgunaan Narkoba di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, Tahun 2001–2007 No. A.
Uraian
C.
2003
2004
2005
2006
2007
5.683
4.160
4.935
4.515
3.579
840
4.194
360
88
453
• Rawat Inap Jumlah Jenis Kelamin
712
534
506
379
6.395
4.694
5.441
4.894
3.039
928
4.674
• Laki-laki
2.214
4.376
4.499
4.395
3.639
859
3.836
• Perempuan Jumlah
4.181
318
942
499
300
69
358
3.939
928
4.194
35
2
75
6.395
4.694
5.441
4.894
44
75
66
2
Usia Korban • < 15 tahun
D.
2002
Jenis Perawatan • Rawat Jalan
B.
2001
• 15–19 tahun
979
498
392
324
158
9
219
• 20–24 tahun
3.279
2.024
2.414
1.988
1.257
133
732
• 25–29 tahun
1.581
1.441
1.617
1.506
1.551
476
1.876
• 30–34 tahun
361
462
509
756
680
192
843
• > 34 tahun Jumlah Pendidikan Korban
151
194
443
318
258
116
449
6.395
4.694
5.441
4.894
3.939
928
4.194 12
• Tidak Sekolah • < SD • SD
0
45
43
0
12
5
17
5
7
15
15
15
-
190
140
127
235
126
85
63
• SMP
1.052
505
311
860
606
489
284
• SMA
2.773
3.332
2.200
2.253
1.882
203
2.855
• Akademi/PT
2.090
262
471
982
864
129
395
910
549
434
2
585
5.441
4.894
3.939
928
4.194
273 303 • Sarjana Jumlah 6.395 4.694 Sumber: DIT IV/Narkoba, Bareskrim Mabes POLRI, 2008.
3. Pendidikan dan Pelatihan Angka Partisipasi Sekolah (APS) dalam kurun waktu 1971-2007, untuk anak-anak usia 7-18 tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan terutama pada kelompok penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun). Secara umum APS perempuan dan laki-laki pada kelompok umur 7-12 tahun dan 13 – 15 tahun cenderung meningkat, sedangkan pada kelompok umur 16-18 tahun APS perempuan maupun laki-laki meningkat sampai dengan tahun 2005 menurun pada tahun 2006, kemudian meningkat lagi pada tahun 2007. Berdasarkan data Balitbang, Diknas ( 2008) pada tahun 2007, APS perempuan pada kelompok umur 7-12 tahun dan 16-18 tahun lebih kecil dibandingkan APS laki-laki pada kelompok umur yang sama, sedangkan pada kelompok umur 13-15 tahun APS perempuan sedikit lebih baik daripada laki-laki. Secara rinci trend APS baik laki-laki maupun perempuan dapat dilihat pada tabel berikut :
35
Tabel 18.
Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah Anak Usia 7-18 tahun, Tahun 1971-2007.
Tahun/ Jenis Kelamin 1971
• •
Laki-laki
37,1
15,4
Laki-laki
83,5 83,5
60,4 64,9
32,2 38,5
Perempuan
83,2
55,6
24,1
Laki-laki
91,4 91,4
64,7 66,9
40,5 43,7
Perempuan
91,6
62,5
37,3
Laki-laki
95,5 95,0
78,7 78,8
49,1 49,3
Perempuan
96,1
78,6
48,9
Laki-laki
95,6 95,2
79,3 78,9
49,3 50,4
2000
• • 2001
• •
Perempuan
96,0
79,3
48,2
Laki-laki
96,1 95,7
79,2 78,9
49,7 50,7
Perempuan
96,4
79,5
48,7
Laki-laki
96,4 96,0
81,0 80,4
50,9 51,2
Perempuan
96,8
81,5
50,6
Laki-laki
96,7 96,6
83,4 83,0
53,4 53,9
2002
• • 2003
• • 2004
• •
Perempuan
96,9
83,9
52,9
Laki-laki
97,1 97,0
84,0 83,7
53,9 54,2
Perempuan
97,3
84,4
57,6
Laki-laki
97,4 97,1
84,1 83,7
53,9 54,1
Perempuan
97,7
84,4
53,7
Laki-laki
114,3 ,116,4
88,7 88,6
56,2 57,6
Perempuan
112,0
88,8
54,7
2005
• • 2006
• • 2007
• •
16-18 21,4 27,9
57,9
1990
• •
Kelompok Umur (Tahun) 13-15 44,3 49,4
Perempuan
1980
• •
7-12 59,9 61,7
Sumber: BPS, SP 1961, 1971, 1980, 1990, Susenas 2000-2005; Inkesra Anak 2005. Balitbang, Depdiknas 2008.
Angka partisipasi sekolah untuk anak usia dini (0 – 6 Tahun), secara kuantitatif terus bertambah sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2006. Namun, angka yang paling mencolok adalah jenis satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) melalui jalur non formal, yakni
36
mencapai 5.651.066 siswa. Namun, apabila dilihat dari jumlah penduduk usia 0 – 6 tahun yang mencapai 28.068.100 anak, maka jumlah peserta didik PAUD di Indonesia belum mencapai 50 persen (10.514.183 siswa). Secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 19. Perkembangan Jumlah Peserta Didik di Indonesia,Tahun 2004 – 2006 No. 1.
2.
Jalur Satuan PAUD
2004
PAUD Jalur Formal : TK/RA/BA PAUD Jalur Non Formal : a. Kelompok Bermain b. Taman Penitipan Anak c. Satuan PAUD sejenisnya *) d. Taman Pendidikan Al-quran Jumlah
2005
2006
2.215.932
3.087.145
2.178.875
94.076 15.308 2.847.603 -
1.106.456 20.206 2.391.797 -
1.117.629 20.206 1.546.407 5.651.066
5.172.919
6.605.604
10.514.183
Ket : *) Termasuk POS PAUD (BKB/Posyandu terintegrasi PAUD) Sumber : Departemen Pendidikan Nasional, 2006
Anak-anak Putus Sekolah atau yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi masih cukup besar. Menurut BPS (2006), jumlah anak putus sekolah tahun 2005 sebanyak 1.712.413 anak, yang sebagian besar (54,3 %) disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi, bahkan dilaporkan ada 16 kasus anak yang bunuh diri karena menunggak biaya sekolah.
Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan perempuan adalah: (a) Menjamin adanya kesamaan kesempatan mendapatkan pendidikan (b) Menghapuskan tuna aksara di kalangan perempuan (c) Meningkatkan akses perempuan atas pelatihanpelatihan kejuruan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pendidikan berkelanjutan (d) Mengembangkan pendidikan dan pelatihan yang non diskriminatif (e) Menyediakan sumberdaya-sumberdaya yang mencukupi untuk memantau penerapan perbaikanperbaikan di bidang pendidikan (f) Memajukan pendidikan seumur hidup dan pelatihanpelatihan bagi para remaja puteri dan perempuan. Tujuan kedua dari MDGs yaitu “mencapai pendidikan dasar untuk semua” yang diindikasikan dari: (1) Angka partisipasi murni di sekolah dasar (2) Angka partisipasi murni di sekolah lanjutan pertama (3) Proporsi murid yang berhasil mencapai kelas lima (4) Proporsi murid kelas satu yang berhasil menamatkan sekolah dasar (5) Proporsi murid di kelas satu yang berhasil menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar (6) Angka melek huruf usia 15-24 tahun. Landasan Aksi Beijing Bidang Pendidikan dan Pelatihan Perempuan juga sejalan dengan tujuan ketiga MDGs yaitu: “mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan”, dengan indikator: (1) rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki (2) rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan dibanding laki-laki (indeks paritas melek huruf perempuan).
37
Tabel 20. Jumlah Siswa Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan, 1971-2007. Jenjang Pendidikan SD
Tahun Jumlah
SLTP %
Jumlah
SLTA %
Jumlah
%
1971/1972
1.360.576
10,5
166.157
11,8
828.843
12,7
1980/1981
1.143.678
5,0
203.348
5,9
123.253
7,8
1990/1991
1.056.196
4,0
417.683
7,3
329.214
8,1
1999/2000
778.457
3,0
313.282
4,1
159.902
3,4
2000/2001
671.656
2,62
334.017
4,39
79.892
2,76
2001/2002
683.056
2,66
264.591
3,54
64.714
2,20
2002/2003
767.835
2,97
264.591
3,54
64.477
2,13
2003/2004
767.068
2,96
154.553
2,08
62.089
1,48
2004/2005
1.446.763
Dta
178.961
Dta
86.749
Dta
2006/2007
635.683
2,45
403.358
5,00
208.527
3,64
Dta: Data tidak tersedia. Sumber : Balitbang Depdiknas, 1970-2004, Komnas PA, 2005, Diknas 2008
Untuk meningkatkan APS, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti pemberlakuan pola penuntasan wajib belajar 9 tahun dengan didukung program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk sekolah tingkat SD dan SMP di seluruh Indonesia dengan maksud untuk meringankan beban biaya sekolah. APS menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2001-2007, persentasenya fluktuatif hampir di semua kelompok umur. Secara umum angka putus sekolah pada setiap kelompok umur menurut jenis kelamin, laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. APS pada tahun 2004 – 2005 mengalami penurunan untuk semua kelompok umur, dan laki-laki umumnya lebih besar dibandingkan perempuan. Perbedaan mencolok pada kelompok umur 16 – 18 tahun, yang mana pada tahun 2005 persentase putus sekolah anak laki-laki sekitar 9,41 persen, sementara perempuan hanya 5,6 persen. Dilihat dari angka persentase putus sekolah menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2001-2007, menunjukkan adanya kecenderungan semakin tinggi kelompok umur semakin tinggi pula angka putus sekolahnya.
38
Tabel 21. Persentase Siswa Putus Sekolah, Usia 7-18 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2001-2007. Tahun 2001
Jenjang Pendidikan SD
SLTP
SLTA
1,16
6,13
10,46
•
Laki-laki
1,37
7,28
12,68
•
Perempuan
0,94
4,92
7,85
1,43
5,71
8,83
Laki-laki
1,59
6,54
10,51
Perempuan
1,27
4,84
6,89
1,16
5,08
8,72
2002 • •
2003 •
Laki-laki
1,35
5,84
10,65
•
Perempuan
0,96
4,25
6,49
1,02
4,36
7,93
5,06
9,32
2004 •
Laki-laki
1,09
•
Perempuan
0,94
3,60
6,28
0,81
4,33
7,62
2005 •
Laki-laki
0,91
5,24
9,41
•
Perempuan
0,71
3,36
5,60
2,45
5,00
3,64
2,77
5,21
4,09
4,77
3,14
2007 •
Laki-laki
2,10 • Perempuan Sumber: BPS, Indikator Kesejahteraan Anak 2005. Diknas 2008
Laporan Pencapaian MDGs bidang pendidikan dari Bappenas mencatat bahwa tingkat partisipasi pendidikan dilihat dari rasio anak perempuan terhadap laki-laki, baik jenjang SD, SLTP, SLTA maupun Perguruan Tinggi menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Jenjang pendidikan SLTA dan perguruan tinggi mencapai 100 persen dan 102,5 persen. Demikian pula untuk angka melek huruf, bagi penduduk yang berusia 15-24 tahun meningkat menjadi 99,9 persen. Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat SMP, proporsi murid yang berksekolah hingga kelas 5, dan proporsi murid yang tamat SD menurut status Pencapaian MDGs Indonesia Tahun 2007 juga mengalami kenaikan. Kualitas pendidikan yang dilihat dari tingkat literasi matematika, membaca dan sains, sejak tahun 1995, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) memberi skor antara 0 - 1000 untuk pelajar tahun kedelapan (survey TIMSS dibeberapa negara), posisi Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.
39
Tabel 22.
Perkembangan Prestasi Siswa Tahun Kedelapan (SLTP) di Beberapa Negara Asean, 1995-2003. 1995
Negara
1999
2003
Matematika
Sains
Matematika
Sains
Matematika
Sains
609
580
604
568
605
578
Malaysia
-
-
519
492
508
510
Indonesia
-
-
403
435
411
420
Filipina
-
-
345
345
378
377
Singapura
Catatan: Skala nila 0-1.000, semakin besar semakin baik. Sumber: NCES, US Dept. of Education, 2005.
Mulai tahun 2000, The Programme for International Student Assessment (PISA) dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengadakan asesmen setiap triwarsa kepada anak-anak sekolah usia 15 tahun ke atas di beberapa negara, untuk mengetahui prestasi murid di bidang matematika, membaca dan sains. Tabel 23. Negara/ Jenis Kelamin
Perkembangan Prestasi Siswa Usia 15 Tahun Keatas (SLTA) di Beberapa Negara Asean, 2000, 2003 dan 2006 2000 Membaca
Matematika
Indonesia
371
• •
Laki-laki
360
Perempuan
2003 Sains
MemBaca
Matematika
367
393
382
369
396
369
380
364
391
Thailand
431
432
• •
Laki-laki
406
Perempuan
448
2006 Sains
MemBaca
Matematika
Sains
360
395
401
401
399
362
396
-
-
-
394
358
394
-
-
-
436
420
417
429
431
426
429
429
429
396
415
425
-
-
435
442
439
419
433
-
-
-
Catatan: Skala nilai 0-1.000, semakin besar semakin baik. Sumber: PISA 2000, 2003, 2006.
Olimpiade Fisika Internasional (Internasional Physics Olympiad/IPhO) merupakan ajang kompetisi dalam bidang fisika bagi pelajar SLTA yang berusia di bawah 20 tahun. Kompetisi ini pertama kali diselenggarakan di Polandia pada tahun 1967 dan Indonesia pertama kali mengikuti pada tahun 1993 di Williamburg Amerika Serikat, dengan sederatan prestasi sebagaimana terlihat pada tabel di bawah.
40
Tabel 24. Tahun
Perkembangan Prestasi Internasional Ilmu Fisika Siswa SLTA Indonesia, Tahun 2000-2006. Perolehan Medali
Tempat Penyelenggaraan
Emas
Perak
Perunggu
Trophy
2
1
2000
Indonesia
-
1
2001
Taipei
1
1
-
2002
Singapore
1
-
5
2002
Indonesia
3
1
1
-
2003
Thailand
6
-
-
2
2005
Indonesia
4
1
3
3
2006 Kazakhstan 2 Sumber: Depdiknas, Profil Prestasi Siswa, 2006.
1
3
-
Tabel 25. Tahun
3 -
Perkembangan Prestasi Internasional Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Siswa SMP Indonesia Tahun 2000-2007. Perolehan Medali
Tempat Penyelenggaraan
Emas
Perak
Perunggu
Trophy
2004
Indonesia
8
4
-
-
2005
Indonesia
6
4
2
-
2006
Brazil
2
3
2
-
2007 Taiwan 1 Sumber: Depdiknas, Profil Prestasi Siswa, 2007.
2
3
-
Tabel 26. Tahun 2004 2005
Perkembangan Prestasi Internasional Siswa SD Indonesia Tahun 2000-2008.
Tempat penyelenggaraan Indonesia Indonesia
Perolehan Medali
Pelajaran Matematika
Emas
Perak
Perunggu
Trophy
1
2
6
-
IPA
2
2
5
-
Matematika
1
4
4
1
IPA
2
3
-
1
2006
Indonesia
Matematika dan IPA
1
6
19
-
2007
Indonesia
Matematika dan IPA
-
-
-
-
2008 Hongkong Matematika dan IPA Sumber: Depdiknas, Profil Prestasi Siswa, 2008.
5
2
1
-
Kualitas pendidik dan guru sekolah sangat berpengaruh pada prestasi siswa Indonesia. Menurut Direktur Pembinaan Diklat Depdiknas, dari total guru PNS yang ada di Indonesia, sebanyak 45,2 persen (558.675 orang) guru SD dan 23,3 persen (108.811 orang) guru SMP berada pada kategori tidak layak mengajar. Sedangkan untuk guru PNS SMA, yang layak mengajar sebanyak 87.374 orang (71,1 %), dan sisanya 35.424 orang tidak layak mengajar.
41
Menurut Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), sebanyak 63.961 guru atau 43,3 persen dari Guru SMK tidak layak mengajar (Pikiran Rakyat, 20 Januari 2006). Walaupun dengan kondisi pendidik dan guru sekolah sebagaimana diuraikan di atas, ternyata program pendidikan yang dilaksanakan selama kurun waktu 1945-2006, telah dapat menurunkan proporsi penduduk buta huruf dari 57,1 persen tahun 1961 menjadi 8,07 persen (12,88 juta) pada tahun 2006. Namun proporsi perempuan yang buta huruf pada tahun 2006 masih lebih besar (10,73) dibandingkan laki-laki yang hanya 5,40 persen (BPS, Susenas 2006). Tabel 27.
Prosentase Penduduk Berusia 10 Tahun Keatas yang Buta Huruf, Tahun 1961-2000.
Jenis Kelamin
1961
1971
1980
1990
2000
• Laki-laki
44,3
27,9
20,2
10,4
6,3
• Perempuan
69,3
49,7
37,2
21,3
14,2
Penduduk
57,1
39,1
28,9
16,0
10,2
Sumber: SP 1961, 1971, 1980, 1990; Susenas 2000.
Gambar 12.
Prosentase Penduduk Buta Huruf Usia > 10 Tahun 2001-2007 16
14.5 12.69
14 12
13.2
12.5
12.28
10.73
10.7 9.3
10
9.6
9.1
9.36 8.1
8.1 7.2
8 6.8 5.85
5.84
5.96
5.7
6
5.4
5.04
Laki-laki Perempuan Penduduk
4 2 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Sumber: Susenas 2001-2007
Menurut National Human Development Report 2004, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia tahun 1999 hanya 6,7 tahun dan meningkat menjadi 7,1 tahun pada 2002. Data ini menunjukkan, bahwa walaupun pendidikan meningkat, namun secara umum untuk tingkat SLTP Klas 1. Pada tahun 2002, rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,6 tahun (SLTP Klas 2), lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya mencapai 6,5 tahun (setingkat SLTP Klas 1). Pada tahun 2004 dan 2005, rata-rata lama sekolah meningkat menjadi 7,2 tahun dan 7,3 tahun. Pada masa tersebut, rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,8 tahun, lebih tinggi dari pada perempuan yang hanya 6,8 tahun (BPS, Inkesra 2005).
42
Berdasarkan ijazah tertinggi yang dimiliki, persentase penduduk Indonesia yang tamat SLTA maupun yang lulus pendidikan diploma dan sarjana relatif masih kecil, baik jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas maupun atas dasar jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas (metode ini dipakai BPS sejak tahun 2005). Sampai dengan tingkat SD/MI, terlihat bahwa persentase perempuan yang memiliki ijazah/STTB lebih tinggi, tetapi mulai dari SLTP/MTs, SLTA/MA/SMK sampai perguruan tinggi, persentase laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Tabel 28. Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki, Tahun 1971-2007. Jenis Kelamin/ Tahun
Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki Tidak/ Belum Tamat SD
SD/ MI
SLTP/ MTs
SLTA/ MA/SMK
DIPLO-MA/ AKA-DEMI
DIP. IV, S1-3
Laki-laki 1971
66,9
24,0
5,7
2,8
Dta
1980
53,2
29,6
9,0
7,1
Dta
0,3 0,4
1990
35,6
35,6
13,5
5,9
1,0
0,2
2000
30,3
32,3
16,1
17,5
1,6
2,2
2001
30,36
33,11
15,77
16,97
1,29
2,27
2002
27,60
33,27
16,89
17,76
1,83
2,67
2003
26,73
33,41
17,57
18,38
1,59
2,33
2004
25,79
31,92
18,57
19,62
1,59
2,51
7,80
25,53
22,01
34,70
3,16
6,81
24,59
31,13
18,27
14,25
6,12
5,65
1971
80,0
15,4
3,2
1,3
Dta
0,1
1980
58,9
28,7
7,4
4,6
Dta
0,1
1990
39,8
37,0
12,0
6,2
0,8
0,6
2000
38,9
31,8
13,9
12,8
1,4
1,3
2001
38,31
32,50
13,93
12,44
1,40
1,40
2002
34,90
33,33
14,49
13,49
1,71
1,59
2003
34,00
33,42
15,74
13,96
1,49
1,38
2004
32,99
32,61
16,68
14,65
1,55
1.51
12,92
28,22
19,07
27,07
5,53
7,19
11,90
3,97
5,23
2005 *) 2007 Perempuan
2005
*)
2007 31,25 31,25 16,73 Dta: Data tidak ada. *) Tahun 2005 untuk penduduk 15 tahun keatas. Sumber : Baknas 2002, BPS, Susenas 2001-2004, Inkesra 2005, Susenas 2007.
4. Kekerasan terhadap Perempuan Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada Konferensi Sedunia Ke-4 tentang Perempuan di Beijing (1995) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuanadalah “setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis. Termasuk di dalamnya adalah ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di tempat umum maupun di dalam kehidupan pribadi seseorang”.
43
Catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2001, telah terjadi 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan dan meningkat menjadi 5.163 kasus pada tahun 2002, kemudian meningkat lagi menjadi 7.787 kasus pada tahun 2003. Pada tahun 2004, kasusnya meningkat hampir 100 persen menjadi 14.020 kasus, dan pada tahun 2005 tercatat sebanyak 20.391 kasus. Kekerasan terhadap perempuan didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga (82 % atau 16.615 kasus), selanjutnya kekerasan dalam komunitas (15 % atau 3.129 kasus), dan sisanya kekerasan oleh negara (0,3 % atau 61 kasus) dan lain-lain (2,7 % atau 558 kasus). Pada tahun 2006, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat lagi menjadi 22.512 kasus, dan ditangani oleh 258 lembaga di 32 provinsi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menduduki peringkat tertinggi, yakni sebanyak 16.709 kasus (74 %), kekerasan di ranah komunitas 5.240 kasus (23 %), dan sisanya kekerasan di ranah Negara 43 kasus (1 %). Dari kasus KDRT yang terjadi, umumnya adalah penelantaran ekonomi dan ditangani oleh Pengadilan Agama, sedangkan pelaku KDRT terbanyak (557 kasus) adalah pejabat publik dan aparat Negara. Terdapat 499 kasus kekerasan terhadap perempuan yang pelakunya adalah anak (di bawah 18 tahun). Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 6 mewajibkan negara untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran. Perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah: (a) Melakukan langkah-langkah terpadu untuk mencegah dan menghapuskan tindak kekerasan terhadap perempuan (b) Mempelajari tentang sebab-sebab dan akibatakibat kekerasan terhadap perempuan dan mempelajari efektivitas langkah-langkah pencegahan (c) Menghapuskan perdagangan perempuan dan membantu para korban kekerasan yang berkaitan dengan pelacuran dan perdagangan perempuan. Masalah kekerasan terhadap perempuan ini tidak terdapat dalam MDGs.
Dengan adanya UU P-KDRT, isu kekerasan di dalam rumah tangga menjadi isu publik, hal ini dapat dilihat dengan peningkatan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan. Catatan tahunan Komnas Perempuan sejak tahun 2001 sd 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan sebanyak 5 kali lipat. Sebelum UU P-KDRT, yaitu dalam rentang 2001 – 2004, jumlah yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya P-KDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. Korban terbanyak dalam kasus KDRT adalah isteri (85%) dari total korban. Anak perempuan adalah korban terbanyak ketiga, setelah pacar. Pada kasus kekerasan dengan korban anak, ada juga kasus dimana pelakunya adalah perempuan dalam statusnya sebagai ibu. Menurut pengamatan Komnas perlindungan anak, sebagian besar ibu yang menjadi pelaku KDRT adalah sudah terlebih dahulu menjadi korban kekerasan oleh suaminya, atau berada dalam tekanan ekonomi yang luar biasa akibat pemiskinan yang dialami oleh kebanyakan anggota masyarakat tempat ia tinggal. Jumlah kasus KDRT yang dilaporkan sebelum UU PKDRT (2001-2004) dan Pasca UU P-KDRT (2004 – 2007 ) sebagaimana grafik berikut :
44
Gambar 13. Pelaporan Kasus KDRT Sebelum UU KDRT 5,000 4,000 4,310
2002
2,000
2,703 1,293
2001
3,000
2003
1,000
1,396
2004
0 Kasus Sumber : Komnas Perempuan, 2008
Gambar 14. Pelaporan Kasus KDRT Sesudah UU PKDRT 25,000 20,000 20,380 16,615
15,000 10,000
16,709
5,000 0
2005 2006 2007
Kasus Sumber : Komnas Perempuan, 2008
Sejak pengesahan Undang-undang P-KDRT pada tahun 2004, jumlah kasus yang ditangani melonjak sampai 4 (empat) kali lipat. Dari 7.787 kasus yang ditangani pada tahun 2003 menjadi 25.522 kasus pada tahun 2007 yang ditangani oleh 215 lembaga. Hal ini mencerminkan membaiknya tingkat kesadaran korban dan publik untuk mencari bantuan untuk mencari jalan keluar dari kekerasan yang dialami perempuan. Perihal kekerasan terhadap perempuan, LBH APIK Jakarta melaporkan adanya kecenderungan peningkatan kasus kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagian besar merupakan kekerasan psikis, diikuti kekerasan fisik dan kekerasan ekonomi.
45
Tabel 29. Jumlah Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di LBH APIK Jakarta, 1998-2007. Jenis Kasus
1998 1999
2000
2001
2002
2005
2006
2007
33 119
52 122
69 174
82 76
86 250
151 144
116 198
91 115
Kekerasan Ekonomi Kekerasan Seksual Perkosaan Pelecehan Seksual
58 3 1 2
58 15 10 5
85 1 0 1
16 0 0 0
135 7 0 0
29 8 10 4
24 2 15 3
8 2 8 4
• Ingkar Janji • Dating Violence • Penganiayaan Anak
0 0 0
0 0 0
3 0 0
14 0 0
5 7 1
15 9 -
23 2 -
25 1 5
• Kekerasan Fisik • Kekerasan Psikis • • • •
Sumber: LBH APIK Jakarta, 2007, 2008
Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati setiap tanggal 25 November, perlu dimaknai dengan mengkaji masalah kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Masalah kekerasan ini perlu diinformasikan kepada masyarakat agar diketahui betul arti dan dampaknya yang membahayakan keluarga, serta tindaklanjut penanganannya. Kekerasan terhadap perempuan sangat mungkin dilakukan oleh kalangan terdekat dalam suatu keluarga seperti suami pada istri, ayah terhadap anak atau saudara laki-laki terhadap saudara perempuannya. Kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi pula di ruang publik seperti tindakan yang tidak menyenangkan secara fisik atau psikologis, yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan di tempat umum seperti di tempat kerja, sekolah, kuliah atau di kendaraan umum. Tindakan itu bisa berupa: merendahkan kemampuan, menyentuh anggota badan terlarang secara sengaja, tanda-tanda atau kata-kata yang berkonotasi ke arah seksualitas. Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena pertama, adanya subordinasi perempuan yang menimbulkan ketidak-adilan dalam pembagian tugas dalam rumah tangga, seperti isteri harus memasak, mengurusi rumah dan anak, sedangkan suami sebagai pencari nafkah. Pengkondisian itu menjadi semakin subur dalam lembaga formal, baik di sektor pendidikan atau dalam keluarga yaitu ketika pendidik atau orang tua juga mengajarkan kepada anak didiknya atau anak-anaknya suatu pernyataan: ayah pergi ke kantor dan ibu pergi ke pasar. Di tingkat negara ketidakadilan gender terjadi pada penolakan atas kepemimpinan negara yang akan dipimpin oleh perempuan, walaupun partainya sebagai pemenang pemilu. Kedua, adanya budaya malu dan tabu bagi keluarga untuk mengekspos keburukan yang terjadi dalam keluarganya karena kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai wilayah pribadi dan dianggap bukan suatu kejahatan yang dapat dihukum.
Meningkatnya data kasus KDRT yang dilaporkan kepada LBH APIK atau lembaga lainnya, menunjukkan adanya peningkatan kesadaran perempuan, bahwa KDRT merupakan ”kejahatan” dan bukan lagi merupakan masalah privat atau aib yang harus disembunyikan. Korban semakin berani untuk mengupayakan penyelesaian kasusnya dengan mengakses keadilan melalui jalur hukum. Tahun 2005, sekitar 5,8 persen korban kasus KDRT melapor ke pihak berwajib dan meningkat tahun 2006 menjadi 10,2 persen. Secara bertahap, pasal-pasal dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT mulai diberlakukan. Beberapa kasus dalam proses pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan agama, Mahkamah Militer, Penyelesaian Kasus Ketenagakerjaan, dan Kasasi. Kekerasan tidak hanya kepada perempuan tetapi juga terjadi pada anak-anak. Menurut Komnas Perlindungan Anak (2006), pada tahun 2003 terjadi 481 kasus kekerasan terhadap
46
anak, meningkat menjadi 547 kasus pada tahun 2004, dan pada tahun 2005 (Maret-Desember) jumlah kekerasan terhadap anak mencapai 736 kasus. Sebagian besar kasus (44,4 %) merupakan kekerasan seksual, kemudian 31,7 persen kekerasan fisik, dan 23,9 persen adalah kekerasan psikis. Pusdatin Departemen Sosial (2007) mencatat, bahwa berbagai kasus yang terkait dengan anak-anak Indonesia sebagian mengalami peningkatan dibanding tahun 2006, meliputi: anak balita terlantar tahun 2006 sebanyak 618.296 orang meningkat menjadi 1.467.000 orang (2007), anak terlantar 2.815.303 orang (2006) meningkat menjadi 3.940.300 (2007), anak cacat 295.763 orang (2006) meningkat menjadi 363.788 orang(2007); tetapi beberapa kasus mengalami penurunan, diantaranya adalah anak korban tindak kekerasan 182.406 orang (2006) menjadi 78.435 orang (2007), anak nakal 232.894 orang (2006) menjadi 203.151 orang (2007), anak jalanan 144.889 orang (2006) menjadi 104.497 orang (2007). Departemen Sosial telah melaksanakan kebijakan perlindungan anak antara lain melalui Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), Social Development Center (SDC), Rumah Sejahtera (Child Welfare Center), dan Telepon Sahabat Anak, TESA (Child Helpline Center). Berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak, dapat dimaknai layaknya fenomena gunung es, di mana kasus yang muncul dipermukaan kecil dibandingkan kejadian yang sebenarnya Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan khususnya sosialisasi kepada keluarga dan masyarakat dapat diperluas agar kekerasan dalam rumah tangga termasuk kepada penata laksana rumah tangga (PRT) adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) berakar dari perbudakan atau penghambaan yang pernah ada dalam sejarah Bangsa Indonesia, di mana feodalisme dan penjajahan telah menyuburkan praktek-praktek komersialisasi seks atas perempuan untuk memenuhi nafsu lelaki. Dalam era kemerdekaan, terlebih di era reformasi yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir keberadaannya. Secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang diancam dengan pidana penjara lima sampai dengan lima belas tahun (Pasal 324-337 KUHP).
Dalam rangka meningkatkan upaya memerangi perdagangan orang sebagai bentuk dari perbudakan modern, Pemerintah tahun 2002 mengeluarkan Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A), suatu rencana aksi yang terpadu lintas program dan lintas pelaku pusat maupun daerah, tidak saja untuk upaya pencegahan, penegakan hukum dan perlindungan kepada korban, tetapi juga terintegrasi dengan penanggulangan akar masalahnya yaitu masalah kemiskinan: miskin sumber daya, kurang pendidikan, kurang keterampilan, kurang informasi, kurang segalanya. Oleh karenanya, implementasi RAN P3A juga dibarengi dengan langkah-langkah nyata di bidang penanggulangan kemiskinan, kesehatan dan peningkatan kualitas pendidikan baik formal, non-formal maupun informal (pendidikan dalam keluarga), serta kegiatan pemberdayaan lainnya yang relevan. Termasuk dalam hal ini adalah upaya untuk mengatasi masalah KTP Aspal melalui implementasi administrasi kependudukan yang terintegrasi, yang diperkuat dengan telah disahkannya Undangundang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Upaya Ditjen Imigrasi untuk mengaplikasikan sistem biometrik dalam pembuatan paspor merupakan langkah penapis selanjutnya agar tidak terjadi lagi adanya dokumen perjalanan yang tidak sesuai dengan identitas pemegangnya. Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, semakin menguatkan komitmen dan upaya Bangsa Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada warga khususnya perempuan dan anak dari bahaya perdagangan orang.
47
Namun kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh hamba kejahatan untuk mentransformasi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuk baru yakni perdagangan orang yang beroperasi secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) - yang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara - dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasi dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri. Korban perdagangan orang sebagian besar adalah perempuan dan anak. Modus operandi perdagangan orang ini sangat rapi, seringkali tanpa disadari melibatkan orang tua, saudara, tetangga dan teman dekat yang secara halus dibujuk calo agar mengijinkan anaknya dibantu untuk dicarikan “pekerjaan”, namun ternyata justru masuk dalam jebakan perdagangan orang. Keterlibatan aparat yang “membantu” mengeluarkan KTP Aspal, atau yang memfasilitasi memudahkan pengangkutan perempuan dan anak ke tempat lain, kemudian di tempat tujuan dieksploitasi menjadi pelacur atau bekerja di tempat maksiat. Pengangkutan korban perdagangan orang banyak dilakukan melalui daerah-daerah perbatasan dengan negara tetangga melalui jalur-jalur yang selalu berubah disesuaikan dengan tingkat “keamanan” atau pengawasan aparat dari daerah asalnya. Beberapa kali korban ditempatkan di daerah transit sebelum akhirnya dikirim ke daerah tujuan baik di dalam maupun ke luar negeri. Menurut Badan Reserse Kriminil (Bareskrim) Mabes POLRI, dari hasil Operasi Bunga I (4 Agustus – 4 November 2006) dan Operasi Satgas Trafficking In Persons di 10 Unit Kerja Lapangan (UKL), sejak tahun 2002-2006 teridentifikasi 496 kasus perdagangan orang yang dilaporkan dan ditangani di 11 Kepolisian Daerah (Provinsi). Sejumlah 267 kasus di antaranya telah dapat diselesaikan. Rata-rata dalam setiap kasus perdagangan orang, dapat melibatkan sampai 5 orang korban, baik anak maupun dewasa. Kasus dengan korban anak, penyidik menerapkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, selain pasal-pasal pada KUHP. Putusan hukum yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang berkisar dari 4–6 bulan sampai 3–12 tahun penjara. Tahun 2005, dari 71 kasus perdagangan orang yang terjadi merupakan laporan dari Kepolisian Daerah (Polda): Nangroe Aceh Darussalam (2), Sumatera Utara (10); Sumatera Selatan (3); Lampung (2); Mabes Polri (5); Metro Jaya (9); Jawa Barat (1); Jawa Timur (6); Kalimantan Barat (12), Kalimantan Timur (3); Sulawesi Utara (6); Sulawesi Tengah (1); Bali (5); Nusa Tenggara Barat (3); Nusa Tenggara Timur (1); dan Papua (1). Tahun 2006, 84 kasus perdagangan orang yang dilaporkan berasal dari Polda: Sumatera Utara (5), Riau (2), Kepulauan Bangka Belitung (3), Lampung (1), Mabes Polri (3), Satgas Bareskrim Polri (11), Metro Jaya (10), Jawa Barat (7), Jawa Timur (7), Kalimantan Barat (10), Kalimantan Timur (1), Sulawesi Utara (2), Bali (2), dan Nusa Tenggara Timur (1). Sedangkan pada tahun 2007 terdapat 177 kasus, dan telah dilimpahkan ke kejaksaan sebanyak 88 kasus atau 49,72 persen.
48
No.
Tabel 30. Jumlah Kasus Perdagangan Orang di Indonesia Tahun 1999-2007. Dilimpahkan ke Tahun Jumlah Kasus Persen Kejaksaan (P21)
1.
1999
173
134
77,46
2.
2000
24
16
66,67
3.
2001
179
129
72,07
4.
2002
155
96
61,93
5.
2003
138
88
63,76
6.
2004
76
30
39,47
7.
2005
71
27
38,03
8.
2006
84
58
69,05
9.
2007
177
88
49,72
Sumber: Bareskrim Mabes POLRI, 2008.
Tabel 31.
Jumlah Kasus dan Korban Perdagangan Orang di Indonesia Tahun 2002–2007 Korban
No.
Tahun
Jumlah Kasus
1.
2002
155
-
-
-
2.
2003
138
81
20
62
P21=88, Sidik = 50
3.
2004
68
95
-
83
P21=30, Sidik =46
4.
2005
71
125
18
83
P21=27, Sidik = 45
5.
2006
84
496
129
155
P21=58, Sidik = 26
6.
2007
177
334*)
150**)
240**)
P21=58, Sidik = 84 Lidik = 5
Dewasa
Anak
Jumlah Pelaku
Keterangan UU No. 23/2002, KUHP
Keterangan : *) Laki-laki dewasa sebanyak 331 orang dan perempuan 3 orang **) Korban anak sebanyak 150 laki-laki, korban perempuan tidak ada data ***) Jumlah pelaku perempuan 101 orang laki-laki dan 139 orang perempuan Sumber: Bareskrim Mabes POLRI, 2007.
Berdasarkan laporan media tahun 2005, jumlah trafficker yang diproses secara hukum sebanyak 126 orang, 23 pelaku diajukan ke pengadilan, dan 16 terdakwa telah mendapat vonis.
49
Tabel 32. No.
Tahun
1.
2004
2.
2005
Perkembangan Proses Hukum Pelaku Perdagangan Orang (trafficker) di Indonesia Tahun 2004-2005. Jumlah Proses Vonis Pengadilan Pelaku Hukum (orang) (orang) (Orang) (orang) 151 53 53 98 126
23
16
110
Sumber: Diolah dari berbagai media cetak dan elektronik, 2005-2006.
Tabel 33. No.
Jumlah Putusan Kasus Perdagangan Orang di Indonesia Tahun 2003-2006.
Tahun
Ter-dakwa
Vonis
Hukuman
1.
2003-2004
84
27
Hukuman yang dijatuhkan berkisar dari 5-6 bulan hukuman penjara sampai tertinggi 4 tahun.
2.
2004-2005
53
44 9 *)
Hukuman yang dijatuhkan ada yang bebas, divonis hukuman penjara dari 6 bulan sampai tertinggi 13 tahun. Rata-rata hukuman: 3 tahun 3 bulan.
3.
2005-2006
23
16
Hukuman yang dijatuhkan tidak ada vonis bebas, divonis hukuman penjara dari 3 bulan sampai tertinggi 9 tahun. Rata-rata hukuman: 2 tahun 5 bulan.
*) Tidak jelas vonis yang dijatuhkan Diolah dari berbagai sumber (2006).
Pihak Kepolisian dan Kejaksaan – sesuai dengan kasusnya - semakin banyak yang mendasarkan tuntutannya kepada dasar hukum yang relevan dengan tindak kejahatan para trafficker, sehingga tuntutan hukum yang dikenakan diupayakan setinggi-tingginya. Di samping mengggunakan KUHP untuk penuntutan, digunakan pula Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka pelaku perdagangan orang (trafficker) akan dituntut menggunakan ancaman hukuman yang seberatberatnya. Perdagangan orang juga menggunakan kedok pengiriman buruh migran ke luar negeri. Menurut Human Rights Watch (2004), pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia sudah berlangsung lama, dimulai sejak perekrutan, pelatihan, transit, di tempat kerja, bahkan ketika kembali ke Indonesia. Buruh migran terjebak dalam praktek perdagangan orang dan kerja paksa, ditipu untuk bekerja tidak sesuai dengan yang ditawarkan, dikurung dan tidak menerima gaji, sementara dokumen ditahan agen atau majikan.
50
Masalah serupa juga menimpa pekerja migran Indonesia di Arab Saudi. Laporan Human Rights Watch (2004) ‘Bad Dreams: Exploitation and Abuse of Migrant Workers in Saudi Arabia’ menguraikan tentang eksploitasi dan pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran di Arab Saudi. Laporan tersebut mendokumentasikan praktek-praktek yang mirip perbudakan, khususnya terhadap perempuan buruh migran PRT yang dikategorikan sebagai ‘kondisi pelanggaran yang sangat serius’. Saat ini terdapat 8,8 juta orang asing bekerja di Arab Saudi atau hampir 50 persen dari jumlah penduduk Arab Saudi. Sekitar 500.000 buruh migran di antaranya berasal dari Indonesia yang sebagian besar perempuan. Menurut Konsulat Jenderal RI Jeddah, mulai 1 Juni 2007, Kerajaan Arab Saudi akan melaksanakan deportasi para overstayer termasuk yang berasal dari Indonesia diperkirakan jumlahnya mencapai 40.000 orang. Pemerintah melalui Perwakilan RI di luar negeri bekerjasama dengan lembaga internasional memberikan bantuan kepada pekerja migran Indonesia yang bermasalah. Pekerja migran ditampung di Perwakilan RI, diberikan bantuan hukum dan bantuan pemulangan ke Indonesia. Jumlah Pekerja Migran Bermasalah yang dipulangkan, selama tahun 2007 sebanyak 36.315 orang, dan dipulangkan melalui 4 (empat) debarkasi, yakni Tanjung Pinang, Batam, Karimun, dan Entikong. Selama tahun 2005 sampai dengan Januari 2008, telah dipulangkan 3.042 orang korban perdagangan orang, sebagian besar adalah perempuan, termasuk bayi dan anak-anak, dan dipulangkan dari 8 negara. dan korban berasal dari 27 provinsi di Indonesia (dengan dukungan dari International Organization Migration). Tabel 34. Jumlah Korban Perdagangan Orang Yang Dipulangkan, Tahun 2005-2007. No.
Daerah Asal
Korban (orang) 22 207 6
No.
Keterangan
Korban (orang)
1. 2. 3.
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat
4. 5. 6.
Jambi Riau Kepulauan Riau
7. 8. 9. 10.
Sumatera Selatan Lampung Banten DKI Jakarta
65 150 64 42
• Malaysia • Arab Saudi • Singapura • Syria
2.305 49 28 11
11. 12. 13. 14. 15.
Jawa Barat DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat
629 4 370 281 707
16. 17. 18.
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
5 13 46
• Jepang • Kuwait • Taiwan • Irak • Lainnya Jumlah Kelompok Usia: • Bayi
27 10 6 4 15 3.042
11 5 9
51
I.
II.
III.
Jenis Kelamin: • Laki-laki • Perempuan Jumlah Negara Asal: • Indonesia (domestik)
340 2.702 3.042
587
5
No.
Daerah Asal
19.
Sulawesi Tenggara
20. 21. 22. 23. 24. Jml
Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Lainnya
Korban (orang) 6 212 118 4 19 3.042
No.
Korban (orang) 785
Keterangan • Anak-anak
2.252 3.042
• Dewasa Jumlah
Sumber: IOM, 2008 (Januari).
Kepada korban perdagangan orang diberikan penampungan, bantuan medis, bantuan hukum dan pemulangan ke daerah asalnya, serta diberikan berbagai bentuk upaya pemberdayaan agar korban tidak terjebak kembali dalam perdagangan orang. Tabel 35. Jenis Pendampingan Korban Perdagangan Orang, Tahun 2005 – 2007. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Pendampingan Perawatan Medis Perawatan Psikososial Bantuan Pemulangan Bantuan usaha ekonomi produktif Bantuan pendidikan dan ketrampilan Konseling lanjutan
2005 (orang)
2006 (orang)
492 531 531 212 104 287
1.186 1.315 1.315 310 182 754
2007 (orang) 2.782 3.042 3.042 702 408 1.259
Sumber: IOM, 2007, 2008 (Januari).
Di luar yang sudah dipulangkan dengan bantuan IOM, tidak menutup kemungkinan ada korban perdagangan orang yang dipulangkan dari luar negeri ke daerah entry point yang terdekat. Hal-hal seperti ini banyak terjadi di kota-kota di daerah perbatasan dan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Tangerang. Pemerintah RI akan terus meningkatkan perlindungan kepada warga negara Indonesia di luar negeri, antara lain dengan melengkapi layanan shelter serta bantuan layanan kesehatan dan psikososial di Perwakilan RI di luar negeri.
5. Perempuan dan Konflik Bersenjata Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia banyak ditimpa bencana baik bencana alam maupun bencana akibat konflik sosial yang menimbulkan dampak negatif bagi pengembangan masyarakat Indonesia sebagai sumber daya pembangunan. Bencana tersebut mempunyai dampak yang begitu luas dan bersifat jangka panjang, sehingga mempengaruhi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bencana alam (sebagian Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dll) dan konflik sosial yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia seperti di Aceh,
52
Sampit, Poso, Ambon, dan Papua telah menyebabkan penduduk harus tinggal di pengungsian yang tidak saja kehilangan nyawa dan harta benda tetapi juga menimbulkan trauma berkepanjangan dan tidak ada kepastian masa depan. Pada Oktober 2001, tercatat jumlah pengungsi di Indonesia sebanyak 1.330.271 jiwa tersebar di 26 provinsi. Kemudian pada bulan Juni 2002, jumlah pengungsi menjadi 1.121.828 jiwa, dan tahun 2005 tersisa 266.876 jiwa dan tersebar di 12 provinsi. Menurut Dit. Kesehatan Jiwa (2005), sekitar 70 persen pengungsi adalah wanita dan anak-anak. Perempuan seringkali menjadi korban ganda, dimulai sejak menjadi pengungsi dan terpaksa meninggalkan tempat tinggal karena harus mengikuti suami, ayah atau saudara lakilaki yang mengungsi. Banyak perempuan ketika tiba di kamp pengungsian sudah berada dalam keadaan trauma akibat berpisah dari anggota keluarga atau hilang ketika terjadi konflik.
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, menetapkan Daerah konflik merupakan daerah khusus, yang menurut Pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa negara-negara peserta wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan di daerah pedesaan dan peranan yang dilakukan perempuan pedesaan demi kelangsungan hidup keluarga mereka. Pedesaan disini dapat diartikan termasuk juga pedesaan di daerah konflik dan atau pasca konflik. Selanjutnya pada Pasal 14 ayat (2) dinyatakan bahwa negara wajib membuat peraturan yang menjamin hak-hak perempuan pedesaan, antara lain: (i) hak untuk berpartisipasi dalam perluasan dan implementasi perencanaan pembangunan di segala tingkat, (ii) hak untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat. Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan perempuan dan konflik bersenjata adalah: (a) Meningkatkan partisipasi perempuan dalam penyelesaian konflik di tingkat-tingkat pengambilan keputusan dan melindungi perempuan-perempuan yang hidup dalam situasi konflik bersenjata dan konflik-konflik lainnya atau di bawah pendudukan asing (b) Mengurangi pembelanjaan untuk keperluan militer yang berlebih-lebihan dan melakukan pengawasan terhadap persenjataan (c) Mempromosikan bentuk-bentuk penyelesaian konflik tanpa kekerasan dan mengurangi kejadian-kejadian penyalahgunaan hak-hak asasi manusia sewaktu terjadi konflik bersenjata (d) Mendorong sumbangan perempuan untuk membina budaya perdamaian (e) Menyediakan perlindungan, bantuan dan pelatihan kepada perempuan pengungsi (f) Memberikan bantuan kepada perempuan di negaranegara jajahan dan daerah perwalian. Masalah konflik ini tidak terdapat dalam MDGs.
Akibat bencana alam dan konflik sosial, banyak perempuan yang terpaksa menjadi orang tua tunggal. Jika selama ini selalu bergantung kepada suami, berubah harus mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya sehingga secara fisik dan mental belum siap untuk menjadi orang tua tunggal. Di samping tidak punya keterampilan di bidang ekonomi produksi, kondisi ini diperparah pula dengan kondisi psikososial dan trauma yang dideritanya. Karena derita ganda ini menyebabkan perempuan di daerah bencana perlu mendapat pembinaan yang lebih serius agar mereka dapat kembali pulih kesehatan fisik dan psikososialnya, serta mampu berusaha di bidang ekonomi untuk kehidupan keluarganya.
53
Tabel 36.
Jumlah Pengungsi Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2001- 2005.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Provinsi Nangroe Aceh Darusslam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Maluku Maluku Utara Papua Jumlah
2001
2002
28.673 48.536 609 5.797 2.131 363 455 1.619 3.724 1.160 9.204 13.062 411 164.525 2.334 16.394 277.095 27.369 622 30.123 71.238 197.921 44.780 168.547 161.729 16.860 1.330.271
14.351 48.489 3.135 1.183 1.789 1.735 1.974 14.366 132.721 36.304 78.879 186.367 46.383 340.091 197.185 16.870 1.121.828
2005 28.335 2.945 10.540 2.265 10.561 19.910 15.585 15.755 40.455 90.625 13.910 15.990 266.876
Sumber: Baknas 2002, Dit. Kes. Jiwa Depkes 2005, Dit. Bansos KBS Depsos, 2005.
Bagi perempuan yang tidak kehilangan suami, berpotensi untuk bertindak selaku penyuara dan pembawa perdamaian dalam keluarganya maupun dalam komunitasnya. Melalui kegiatan ekonomi kelompok dan trauma konseling baik secara individual, berkelompok maupun antar komunitas akan menjadi jembatan persahabatan antar berbagai kelompok yang tadinya tidak sepaham. Dan sejak tahun 2006 sudah tidak ada lagi pengungsi akibat kerusuhan sosial. Data Bakornas PB, jumlah pengungsi akibat bencana alam (Angin Topan, Banjir, Tanah Longsor, Gelombang Laut, Gempa Bumi, Tsunami, Kebakaran, Kekeringan, Kegagalan Teknologi, Letusan Gunung Berapi ) sejak tahun 2002 sd 2006 sangat berfluktuasi dari 963.914 jiwa (2002) menjadi.462.299 jiwa (2003) meningkat lagi menjadi 862.754 jiwa (2004) menurun menjadi 293.314 jiwa (2005 ) dan pada tahun 2006 jumlah pengungsi melonjak sangat tinggi mencapai 2.486.588 jiwa. Namun pada tahun 2007 jumlahnya sedikit menurun
54
menjadi 1.941.597 jiwa, yang melanda di seluruh provinsi di Indonesia kecuali 4 provinsi (Kepulauan Riau.Bangka Belitung, Papua, Papua Barat) dan data 2007 tidak terinci menurut provinsi. Tabel 37. No. 1. 2. 3. 4. 5 6. 7. 8. 9. 10 11 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22 23 24. 25. 26. 27. 28 29 30. 31. 32. 33
Jumlah Pengungsi Akibat Bencana Alam Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2002- 2007.
Provinsi 2002 NAD 8.750 Sumatera Utara 47.720 Sumatera Barat 16.950 Riau 1.440 Kepulauan Riau Jambi 6.230 Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Bangka Belitung Banten DKI Jakarta 164.608 Jawa Barat 15.663 Jawa Tengah 43.518 DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat 317 Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat 448.905 Kalimantan Timur Kalimantan Tengah 89.353 Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan 56.213 Sulawesi Tengah 11.001 Sulawesi Tenggara 6.735 Sulawesi Utara 10.612 Gorontalo 15.722 Sulawesi Barat 606 Maluku Maluku Utara Papua 17.176 Papua Barat 2.395 Jumlah 963.914
2003 21.294 7.618 1.470 92.174 78.480 5.198 700 26.924 30.163 33.804 421 1.529 50 3.954 149 126.288 156 1.728 25 101 2.371 100 1.168 26.420 14 462.299
2004 2005 542.582 104.500 10.125 22.602 796 41.236 235 8.909 832 300 8.235 33.986 17.843 6.358 28.281 48.002 23.348 100 12.396 100 640 4.902 9.940 14.669 14.658 6.387 279 100 112.825 26.501 220 2.749 32.003 1.281 1.800 11.585 1.218 3500 45 862.754 293.314
2006 70.385 41.309 15 100 2.659 9.807 797.464 1.362.675 25.903 14.774 1.337 1.000 130.971 600 148 2.000 250 5.758 847 4.364 2.486.588
2007 √ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 1.941.597
Bencana :
Angin Topan, Banjir, Tanah Longsor, Gelombang Laut, Gempa Bumi, Tsunami, Kebakaran, Kekeringan, Kegagalan Teknologi, Letusan Gunung Berapi,
Sumber
Bakornas PB 2007 dan 2008
:
55
6. Ekonomi Partisipasi perempuan di bidang ekonomi, terlihat dari kontribusi perempuan Indonesia yang hanya 38 persen terhadap penghasilan rumah tangga (NHDR, 2004). Sejauh ini peran perempuan dalam bidang ekonomi masih banyak mengalami hambatan. Kaum perempuan umumnya bergerak pada usaha ekonomi dengan skala kecil, sehingga akan kesulitan untuk mendapatkan formalitas usaha, termasuk keterbatasan aksesibiltas dalam mendapatkan kredit. Di lain pihak posisi perempuan mempunyai peranan penting dalam kegiatan perekonomian, baik sebagai pelaku tunggal maupun sebagai bagian dari unit kegiatan ekonomi. Namun, secara statistik keterlibatan perempuan dalam kegiatan usaha kecil masih lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki, baik sebagai pelaku usaha maupun sebagai pekerja. Menurut BPS, pada tahun 2000 dari sekitar 2 juta unit usaha mikro dan 194.564 unit usaha kecil di sektor pengolahan, jumlah pelaku usaha laki-laki 1,3 juta orang (59,21 %), sedang perempuan hanya 896.047 orang (40,79 %). Demikian halnya dengan jumlah pekerja pada sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang mencapai 5,3 juta orang, sementara jumlah pekerja perempuan sebesar 44,45 persen. Data Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menunjukkan, bahwa jumlah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tahun 2007 bertambah dari 40,55 juta menjadi 47 juta, dan semua jenis usaha tersebut mempunyai potensi menyerap tenaga kerja sebanyak 67 persen dari jumlah pekerja. Namun, hanya 0,15 persen UMKM yang mendapat akses kredit perbankan, sedang lainnya mendapatkan pinjaman dari koperasi (0,28 %) dan dari modal sendiri, pinjaman teman dan atau keluarga (0,16 %). Anggota Hipmi saat ini (2007) berjumlah 30.000 pengusaha, dan hanya 17 persen yang mendapatkan kredit perbankan. Persyaratan perbankan mengenai agunan dan rekam jejak keuangan selama minimal dua tahun menjadi hambatan bagi UMKM untuk mengakses kredit perbankan (Warta Kesra, 15 Juni 2007). Sedangkan IWAPI (2007) mencatat, bahwa jumlah anggota IWAPI adalah 40.000 orang yang tersebar di 256 DPC. Data ini mengindikasikan bahwa terdapat peningkatan sebesar 150 persen dibandingkan dengan kondisi tahun 2006. Peningkatan ini antara lain disebabkan oleh upaya IWAPI untuk lebih memperhatikan dan memberdayakan usaha skala mikro yang dikerjakan oleh kaum perempuan. Dan saat ini, anggota IWAPI terdapat di semua propinsi di Indonesia, kepengurusan formal diwadahi oleh DPP di 30 propinsi. Tiga propinsi lainnya yang akan membentuk DPP adalah Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara. Kemudian menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dari 42 juta UMKM di Indonesia terdapat 60 persen yang dikelola oleh kaum perempuan. Secara sosio-kultural, hambatan usaha bagi perempuan yang bergerak pada skala usaha kecil sebagian besar beranjak dari pandangan masyarakat yang masih melihat bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perempuan adalah sebatas kegiatan tambahan, sebagai pengisi waktu luang, dan belum dilakukan secara profesional. Pandangan semacam itu kemudian berimbas pada aspek struktural, dalam hal ini kebijakan atau implementasi kebijakan yang tidak terlalu berpihak pada perempuan, karena pembuat dan pelaksana kebijakan masih bias gender. Padahal sebenarnya tidak ada peraturan yang melarang perempuan untuk memiliki aset. Namun, pada kenyataannya kepemilikan aset secara formal, baik aset rumah tangga maupun aset usaha formal umumnya dimiliki oleh kaum laki-laki. Misalnya, seorang perempuan pengusaha akan mengalami kesulitan ketika akan mendaftarkan merek dagang atas nama pribadi, karena petugas mensyaratkan adanya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama pribadi. Namun, ketika akan mengurus NPWP atas nama pribadi, petugas mensyaratkan NPWP atas nama suami. Demikian, kira-kira praktik di
56
lapangan yang menunjukkan adanya hambatan struktural, yang secara spesifik dialami oleh kaum perempuan. Oleh karena itu, diperlukan adanya kesetaraan kesempatan usaha antara laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan usaha, yang pada gilirannya nanti akan memberikan kontribusi dalam menggairahkan ekonomi di daerah. Dengan demikian, pemerintah perlu membuka informasi seluas-luasnya pada para pelaku usaha, dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya agar perempuan pengusaha dapat maju. Ekonomi perempuan erat kaitannya dengan status ketenaga-kerjaan perempuan yang masih banyak mengalami diskriminasi. Sementara, penetapan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki mengisyaratkan, bahwa perempuan mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki termasuk kesempatan dalam bekerja. Angkatan kerja perempuan mempunyai fenomena tersendiri, terkait dengan historis tradisional perempuan Indonesia. Untuk itu pemajuan perempuan perlu dilakukan secara gradual dan terus menerus, karena diyakini bahwa keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi mempunyai arti yang besar bagi berhasilnya pembangunan sebuah bangsa. Tabel 38. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan, Tahun 1986 - 2002. Jenis Kelamin/ Pendidikan Laki-laki • SD • SLTP • SLTA • PT • Total Perempuan • SD • SLTP • SLTA • PT • Total Laki-laki + Perempuan • SD • SLTP • SLTA • PT • Total
1986
1990
TAHUN 1996
1998
2002
31.599.553 4.246.484 4.456.698 715.926 41.018.661
33.392.613 5.591.113 6.079.872 1.052.886 46.116.484
33.669.019 7.965.276 10.375.801 2.187.271 54.197.367
33.719.077 9.037.862 11.550.956 2.453.716 56.761.611
34.940.228 11.966.406 13.425.271 2.979.065 63.310.970
22.017.157 1.460.242 1.740.907 237.279 26.455.585
24.201.241 2.005.278 2.584.642 443.978 29.235.139
24.373.524 3.467.287 4.972.021 1.176.573 33.989.405
24.900.306 4.144.576 5.472.889 1.455.550 35.973.321
24.116.809 5.522.539 5.907.221 1.921.711 37.468.300
54.616.710 5.706.726 6.197.605 953.205 67.474.246
57.593.584 7.596.391 8.664.514 1.496.864 75.351.623
58.042.543 11.432.563 15.347.822 3.363.844 88.186.772
58.619.283 13.182.438 17.023.845 3.909.266 92.734.932
59.057.037 17.488.965 19.332.492 4.900.776 100.779.270
Sumber : Sakernas 1986–2002.
57
Tabel 39. Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan, Tahun 2003 - 2007. Jenis Kelamin/ Pendidikan Laki-laki • SD • SLTP • SLTA • PT • Total Perempuan • SD • SLTP • SLTA • PT • Total Laki-laki + Perempuan • SD • SLTP • SLTA • PT • Total
TAHUN 2003
2004
2005
2006
2007
33.063.795 14.349.714 14.297.957 2.888.354 64.599.820
33.315.720 14.625.212 14.654.390 3.331.842 65.927.164
33.197.417 14.494.839 15.106.860 3.422.768 66.221.884
33.774.483 15.176.492 15.202.375 3.519.208 67.672.558
33.954.137 14.914.910 15.265.838 3.809.810 67.944.695
23.510.966 6.682.204 6.204.933 1.752.169 38.150.272
22.932.014 6.638.585 6.329.695 2.145.929 38.046.223
23.747.469 6.744.609 6.653.140 2.435.270 39.580.488
22.695.435 6.727.064 6.730.368 2.456.370 38.609.370
22.745.998 7.519.919 7.081.191 2.839.255 40.186.363
56.574.761 21.031.918 20.502.890 4.640.523 102.750.092
56.247.734 21.263.797 20.984.085 5.477.771 103.973.387
56.944.886 21.239.4448 21.760.000 5.858.038 105.802.372
56.489.918 21.903.556 21.932.743 5.975.578 106.281.795
56.700.135 21.903.556 22.347.029 6.649.065 108.131.058
Sumber: Sakernas 2003–2006. BPS Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, 2005, 2006, 2007 Catatan : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Pperempuan tahun 2007 adalah 49,5, sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka Perempuan 11,8%. Kontribusi perempuan dari pekerejaan uoahan 33,0%. Kesenjangan upah 74,8%.
Pengangguran terbuka bagi perempuan terus bertambah dari tahun ke tahun, kondisi ini perlu disikapi agar perempuan juga mempunyai kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki. Tabel berikut ini menggambarkan kondisi jumlah penganggur terbuka di Indonesia. Tabel 40.
Jumlah Pengangguran Terbuka Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1980-2000. 1980
Kategori
Jumlah (ribu)
1990 %
Jumlah (ribu)
2000 %
Jumlah (ribu)
%
Pengangguran Terbuka
807,5
100
2.152,0
100
5.813,2
100
• Laki-laki
450,4
55,8
1.205,0
56,0
3.340,6
57,5
• Perempuan
357,1
44,2
947,0
44,0
2.472,6
42,5
Tingkat Pengangguran Terbuka
1,6
3,0
Sumber: BPS, SP 1980, 1990, Sakernas 2000.
58
6,1
Tabel 41.
Jumlah Pengangguran Terbuka Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2004-2007. 2004
Kategori
2005
Jumlah (ribu)
%
Jumlah (ribu)
10.251,3
100
11.899,3
• Laki-laki
5.345,6
52,1
• Perempuan
4.905,7
47,9
Pengangguran Terbuka
Tingkat Pengangguran Terbuka
2006 %
Jumlah (ribu)
2007 %
Jumlah (ribu)
%
100 11.104,7
100
10.547, 9
100
6.292,4
52,9
5.808,2
52,3 5.793,4
54,5
5.606,8
47,1
5.296,5
47,7 4.754,5
45,1
9,9
10,3
10,5
9,8
Sumber: BPS, Sakernas 2004-2006, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 2007.
Berdasarkan perkembangan tingkat pengangguran terbuka periode 2001-2007, terlihat bahwa jumlah penganggur tebuka perempuan relatif masih tinggi meskipun secara prosentase lebih rendah dibandingkan laki-laki namun apabila dilihat dari jumlah penduduk secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Sehingga jumlah pengangguran terbuka perempuan dapat dikatakan masih relatif tinggi. Menurut BPS, jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2005, 2006 dan 2007 terus meningkat dari 93,9 juta (2005) menjadi 95,1 juta (2006) dan 118.7 juta pekerja (2007) . Pada tahun 2005 terdapat sekitar 36,0 persen pekerja perempuan meningkat menjadi 36,3 persen pada tahun 2006 tetapi menurun lagi menjadi 30,1 persen pada tahun 2007. Namun, dari jumlah pekerja perempuan tersebut, sekitar 70,25 persen bekerja di sektor informal dan rentan terhadap ketidakpastian upah, pendapatan, dan jaminan sosial. Misalnya para tenaga kerja Indonesia (TKI) perempuan yang bekerja di luar negeri, umumnya bekerja di sektor informal dan banyak menghadapi masalah khususnya yang berkaitan dengan rekrutmen, penempatan dan perlindungan selama yang bersangkutan bekerja di luar negeri. Kesempatan kerja bagi perempuan terbuka melalui penciptaan lapangan kerja baru dan atau dengan meningkatkan kompetensi perempuan sehingga mampu masuk ke pasar kerja dengan persyaratan kerja yang tadinya tidak bisa dimasukinya. Kesempatan kerja bagi perempuan saat ini merupakan kebutuhan yang mendesak, bukan hanya bagi kepala keluarga, tetapi juga bagi istri dan anak dewasa. Hal ini diperlukan karena bekerja bukan saja untuk mendapatkan penghasilan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan harga diri.
59
Tabel 42.
Pendidikan
Tingkat Pendidikan Penganggur Terbuka Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, 2000-2003. 2000
Laki-laki
< SD *) Tamat SLTP Tamat SLTA Akademi/Diploma Sarjana Jumlah
2001
Prpuan
837 821 1.462 85 135 3.341
601 547 1.084 99 142 2.473
Laki-laki
2002
Prpuan
1.246 922 1.612 106 146 4.032
1.499 864 1.321 146 143 3.973
Laki-laki
1.484 1.166 1.838 105 135 4.728
2003 Prpuan
Laki-laki
1.738 980 1.406 145 135 4.404
1.556 1.249 1.913 101 109 4.928
Prpuan
1.788 1.096 1.484 99 136 4.603
*) Tidak tamat SD dan Tamat SD Sumber: Sakernas 2000-2006.
Tabel 43.
Pendidikan < SD *) Tamat SLTP Tamat SLTA Akademi/Diploma Sarjana Jumlah
Tingkat Pendidikan Penganggur Terbuka Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, 2004-2007. 2004
2005
Laki-laki
Prpuan
1.620 1.416 2.022 105 150 5.346
1.659 1.275 1.641 132 198 4.905
Laki-laki
2006
Prpuan
1.856 1.722 2.401 135 179 6.293
1.812 1.429 1.975 174 217 5.607
Laki-laki
1.694 1.550 2.241 133 190 5.808
2007
Prpuan
1.831 1.310 1.805 164 186 5.296
Laki-laki
1.881 1.501 2.108 121 179 5.793
Prpuan
1.537 1.141 1.636 208 230 4.754
*) Tidak tamat SD dan Tamat SD Sumber: Sakernas 2000-2006. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 2007.
Tabel di atas memberi gambaran, bahwa semakin banyak penganggur lulusan SLTA ke bawah yang mencari pekerjaan, dan semakin banyak perempuan yang mencari pekerjaan. Jika kesempatan kerja di dalam negeri belum menampung, maka kesempatan kerja di luar negeri menjadi alternatif. Dengan meningkatkan pendidikan para pencari kerja, diharapkan dapat mengisi lapangan pekerjaan dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi sehingga akan semakin besar penghasilan yang diperoleh beserta dengan jaminan keselamatan kerja yang lebih baik.
60
Tabel 44.
No.
Kawasan/Negara
Jumlah Kebutuhan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Tahun 2004–2006. 2004 Formal
2005
Informal
Formal
2006
Informal
Formal
Informal
183.260
192.859
104.432
171.463
155.327
Malaysia 165.082 104.311 Singapura 3.373 14.981 Brunei Darussalam 4.417 7.802 Hongkong 5.238 26.067 Taiwan 1.631 29.985 Korea Selatan 12.725 114 Jepang Lainnya 562 0 II. TIMUR TENGAH & 36.714 473.020 AFRIKA Saudi Arabia 16.707 446.448 Uni Emirat Arab 4.267 138 Kuwait 12.629 13.449 Bahrain 322 19 Qatar 913 3.640 Oman 315 357 Yordan 1.526 8.969 Yaman 12 0 Cyprus 23 0 Lain-lain 204 0 III. AMERIKA Amerika Serikat 204 0 211 0 IV. EROPA Belanda 96 0 Italia 115 0 Sub Total 230.157 656.280 TOTAL 886.437
183.695 7 6 4.533 4.504 114 -
18.192 25.087 4.971 12.137 44.043 2 -
161.936 536 1.957 152 3.756 3.100 26
108.163 8.539 823 13.461 24.334 7
4.015
173.004
6.105
347.084
I.
ASIA PASIFIK
193.028
Sumber: Depnakertrans 2007.
61
2.724 147.511 110 5.512 16.842 5 16 165 837 1.011 205 2.081 196.874 277.436 474.310
4.110 303.317 181 15.313 49 14.676 59 426 1.685 3.359 4 3.523 6.468 17 2 177.568 502.411 679.979
Tabel 45. No.
Perkembangan Promosi TKI ke Luar Negeri Tahun 2007
Negara tujuan
Jenis promosi
1
Asia-Pasifik
Market intelejen
2
Timur Tengah
EPA
Keterangan
Profil TKI Perawat perhotelan Konstruksi - Perkebunan Perminyakan Perhotelan Perawat
-72.000 orang - 3.070 orang
-
3
Amerika
Kunj. Kerja
-
Perhotelan
4.
Eropa
Kunj. Kerja
-
Perawat Perhotelan Pelaut
Sumber : BNP2TKI Tahun 2007
-
5000 org perawat 2000 org operator otomotif -.800 perawat
Dari data pengembangan promosi tahun 2007 diketahui, bahwa kebutuhan tenaga kerja Indonesia di beberapa negara tujuan penempatan, seperti negara-negara di Asia-Pacific masih terbuka luas. Kualifikasi tenaga kerja yang banyak dibutuhkan adalah tenaga kerja di bidang perkebunan dan konstruksi, dan juga tenaga perawat dan perhotelan. Di negara-negara di Timur Tengah tenaga keja yang dibutuhkan, selain tenaga perhotelan dan perawat juga dibutuhkan adanya tenaga ahli perminyakan, demikian halnya dengan negara-negara di Eropa dibutuhkan tenaga untuk awak kapal pesiar . Melihat peluang tersebut dan dengan memperhatikan sumber daya manusia yang tersedia dan sumber daya alam kepulauan yang tersedia di dalam negeri, maka dimungkinkan pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan peluang untuk promosi TKI di beberapa negara tujuan tersebut. Kebutuhan TKI ke luar negeri pernah mengalami penurunan pada tahun 2005, tetapi meningkat kembali pada tahun 2006, terutama di sektor informal. Menteri Sumberdaya Manusia Malaysia (2007) menyatakan bahwa negaranya sangat membutuhkan TKI minimal 450.000 orang, untuk dipekerjakan di berbagai sektor formal seperti konstruksi, perkebunan, dan industri, serta di sektor informal sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT). Pemerintah melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang dibentuk sesuai dengan mandat Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan PerlindunganTKI di Luar Negeri, berupaya meningkatkan pelayanan dan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia sehingga penempatan TKI yang tidak sesuai prosedur dapat dihapuskan.
7. Perempuan sebagai Pemegang Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sejak Pemilihan Umum Tahun 1997, 1999 dan 2004 jumlahnya relatif masih sangat kecil (8-11 %) dibanding dengan laki-laki (89-91 %), sementara lebih dari 50 persen penduduk Indonesia berjenis kelamin perempuan. Pada Pemilihan Umum tahun 2004 dan 2009 nanti, dikeluarkan ketentuan mengenai kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen, namun dalam kenyataannya keterwakilan
62
perempuan Indonesia masih rendah (2004) dibandingkan negara-negara di Asian Tenggara seperti Malaysia (13 %) dan Filipina (19 %). Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 7 mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan politik perempuan dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin hak-hak perempuan untuk: (a) hak untuk memilih dan dipilih (b) hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan impelemntasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat (c) hak untuk berpartisipasi dalam organisasiorganisasi dan perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Selanjutnya pada Pasal 11, nega negara diwajibkan untuk menghapus diskriminasi dan menjamin hak-hak perempuan (i) hak untuk bekerja, dan (ii) hak atas kesempatan kerja yang sama termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama dalam penerimaan pegawai. Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan kedudukan perempuan sebagai pemegang kekuasaan dan pengambilan keputusan adalah: (a) Mengambil langkah-langkah untuk menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan (b) Meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan. Dalam MDGs, aksi tersebut termasuk dalam tujuan ketiga yaitu “mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan” dengan indikator: proporsi perempuan yang duduk di DPR.
Tabel 46. Jumlah dan Prosentase Anggota DPR, DPRD dan MPR, Periode 1997-1999, 1999-2004, 2004-2009. Legislatif
Laki-laki Orang
Perempuan %
Orang
%
Jumlah
DPR
•
1997-1999
444
88,8
56
11,2
500
•
1999-2004
456
91,2
44
8,8
500
•
2004-2009
489
88,9
61
11,1
550
2004-2009
101
78,9
27
21,1
128
1.662
90,0
188
10,0
1.849
DPD
•
DPRD
•
2004-2009
MPR
•
1997-1999
882
88,2
118
11,8
1.000
•
1999-2004
631
90,7
64
8,3
695
590
87,0
88
12,9
678
•
2004-2009 Sumber: Setjen MPR RI, 2004; Cetro, 2004.
Di lingkungan birokrasi/eksekutif, partisipasi perempuan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat dikatakan hampir sejajar dengan partisipasi laki-laki di PNS, yakni mencapai 43,6
63
persen meskipun mengalami penurunan dibandingkat tahun 2006 akan tetapi secara kuantitatif mengalami peningkatan dan diperkirakan semakin tahun akan semakin naik. Sedangkan jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan relatif masih sedikit, meskipun demikian ada kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.. Tabel 47. Jumlah dan Prosentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997-2007. Laki-laki
Tahun
Orang
Perempuan %
Orang
Jumlah
%
1997
2.650.010
64,7
1.444.336
35,3
4.094.346
1998
2.643.645
64,6
1.446.792
35,4
4.090.437
1999
2.528.752
63,1
1.477.109
36,9
4.005.861
2000
2.461.014
62,4
1.484.764
37,6
3.945.778
2002
2.350.330
61,3
1.481.756
38,7
3.832.086
2004
2.130.299
59,4
1.457.038
40,6
3.587.337
2005
2.191.401
58,6
1.549.984
41,4
3.741.385
2006
2.109.216
58,1
1.549.984
47,9
3.633.261
2007 2.292.555 Sumber: BKN 2002, 2005, 2006, 2007,2008
56,4
1.771.646
43,6
4.067.201
Tabel 48. No.
Jumlah dan Prosentase Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin, Tahun 2005-2007. Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan Laki-laki
1.
2.
3.
4.
5.
SD • 2005 • 2006 • 2007 SLTP • 2005 • 2006 • 2007 SLTA • 2005 • 2006 • 2007 Diploma I • 2005 • 2006 • 2007 Diploma II • 2005 • 2006 • 2007
%
Perempuan
%
Jumlah
%
108.324
94,8
5.934
5,2
114.258
3,1
97.863 103.182
94,9 94,7
5.256 5.784
5,1 5,3
103.119 108.966
2,8 2,7
105.112 98.192 112.536
86,6 86,8 87,6
16.223 14.954 15.949
13,4 13,2 12,4
121..335 113.146 128.485
3,2 3,1 3,2
804.793 768.619 871.269
58,5 58,1 57,3
569.516 555.006 649.668
41,5 41,9 42,7
1.374.309 1.323.625 1.520.937
36,7 36,4 37,4
26.365 25.634 28.163
43,4 43,1 36,6
34.352 33.862 48.736
56,6 56,9 63,4
60.717 59.496 76.901
1,6 1,6 1,9
257.648 250.881 258.259
42,1 41,7 40,6
354.447 351.006 378.565
57,9 58,3 59,4
612.095 601.887 636.824
16,4 16,6 15,7
64
6.
7.
8.
9.
10.
Diploma III • 2005 • 2006 • 2007 Diploma IV • 2005 • 2006 • 2007 Strata I/S1 • 2005 • 2006 • 2007 Strata II/S2 • 2005 • 2006 • 2007 Strata III/S3 • 2005 • 2006 • 2007 TOTAL • 2005 • 2006 • 2007
161.454 153.782 167.043
53,7 53,0 49,3
139.162 136.553 171.729
46,3 47,0 50,7
300.616 290.335 338.772
8,0 8,0 8,3
7.078 7.141 6.577
72,7 72,6 70,9
2.660 2.693 2.653
27,3 27,4 29,1
9.738 9.834 9.280
0,3 0,3 0,2
645.044 632.496 669.590
61,6 61,3 58,5
402.455 399.601 473.384
38,4 38,7 41,5
1.047.499 1.032.097 1.143.974
28,0 28,4 28,1
68.357 67.506 69.205
74,4 74,2 73,0
23.564 23.467 25.572
25,6 25,8 27,0
91.921 90.973 94.777
2,5 2,5 2,3
7.226 7.102 6.731
81,2 81,2 80,8
1.671 1.647 1.604
18,8 18,8 19,2
8.897 8.749 8.335
0,2 0,2 0,2
2.191.410 2.109.216 2.292.555
58,6 58,1 56,4
1.549.984 1.524.045 1.774.646
41,4 41,9 43,6
3.741.385 3.633.261 4.067.201
100 100 100
Sumber: BKN, 2006, 2007,.2008
Tabel 49.
Tahun
Jumlah dan Prosentase Jabatan Struktural PNS Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997-2007. Laki-laki Orang
Perempuan %
Orang
%
Jumlah
1997
231.115
86,0
37.679
14,0
268.794
1998
229.992
85,9
37.849
14,1
267.767
1999
194.024
84,8
34.691
15,2
228.715
2000
176.319
84,2
33.016
15,8
209.335
2002
145.541
83,4
28.912
16,6
174.453
2004
235.970
80,1
58.682
19,9
294.652
2005
236.420
80,1
58.682
19,8
295.102
2006
224.322
79,7
57.235
20,3
281.557
• Eselon I
580
89,9
65
10,1
645
• Eselon II
10.108
93,3
727
6,7
10.835
• Eselon III
46.290
86,3
7.351
13,7
53.641
• Eselon IV
156.821
77,3
45.965
22,7
202.786
65
Laki-laki
Tahun
Perempuan
Orang
• Eselon V
%
Orang
Jumlah
%
10.523
77,1
3.127
22,9
13.650
201.601
79,0
53.737
21,0
255.338
• Eselon I
619
89,9
62
10,1
681
• Eselon II
8.430
93,1
622
6,9
9.052
• Eselon III
38.251
85,7
6.378
14,3
44.629
• Eselon IV
144.307
76,8
43.649
23,2
187.956
• Eselon V
9.994
76,8
3.026
23,2
13.020
2007
Sumber: BKN (Maret, 2008)
Tabel 50. Jumlah dan Prosentase Profesi PNS Di Indonesia Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2002. Profesi Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
Orang
%
Orang
%
2.350.330
100
1.481.756
100
3.832.086
724.229
30,8
761.858
51,4
1.486.087
2.827
0,1
1.155
0,1
3.982
•
Pendidik
•
Peneliti
•
Struktural
145.541
6,2
28.912
2,0
174.453
•
Petugas Kesehatan
120.004
5,1
172.053
11,6
292.057
•
Lainnya
1.357.729
57,8
517.778
34,9
1.875.507
Sumber: BKN 2002.
Menurut Potensi Desa (Podes) 2006 jumlah perempuan yang menjabat sebagai Kepala Desa/Kelurahan sebanyak 1.839 orang, yang berarti hanya 2,62 persen dari 69.957 jabatan Kepala Desa/Kelurahan/ Nagari/lainnya yang ada di Indonesia. Angka tersebut ternyata lebih baik jika dibandingkan kondisi tahun 2000 dan 1996. Pada tahun 2000, jumlah perempuan yang menjabat sebagai Kepala Desa sebanyak 1.559 orang atau 2,28 persen dari 68.347 desa yang ada di Indonesia, sedang pada tahun 1996, perempuan yang menjabat Kepala Desa hanya berjumlah 1.306 orang atau 1,97 persen dari 66.045 desa yang ada di Indonesia.
66
Tabel 51. Jumlah dan Prosentase Pejabat (Hakim) Di Instansi Peradilan Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1997-2005. Tahun 1997 • Hakim Agung • Hakim Yustisi 1998 • Hakim Agung • Hakim Yustisi 1999 • Hakim Agung • Hakim Yustisi 2002 • Hakim Agung • Hakim Yustisi 2005 • Mahkamah Agung • Pengadilan Tinggi (PT) • Pengadilan Negeri • PT Tata Usaha Negara (TUN) • Pengadilan TUN • Pengadilan Tinggi Agama • Pengadilan Agama • Pengadilan Militer Tinggi • Pengadilan Militer
Laki-laki Orang 102 44 58 102 41 61 96 40 56 84 33 51 9.426 41 292 2.064 30 140 654 6.042 3 60
% 76,1 86,3 69,9 73,9 85,4 67,8 73,8 87,0 66,7 75,0 80,5 71,8 75,91 83,7 80,0 82,23 90,91 79,70 76,04 73,34 75,0 90,91
Perempuan Orang % 32 23,9 7 13,7 25 30,1 36 26,1 7 19,6 29 32,2 34 26,2 6 13,0 28 33,3 28 25,0 8 19,5 20 28,2 2.991 24,09 8 16,3 98 20,0 446 17,77 3 9,09 37 20,90 196 23,06 2.196 26,66 1 25,0 6 9.09
Jumlah 134 51 83 138 48 90 130 46 84 112 41 71 12.417 49 490 2.510 33 177 850 8.238 4 66
Sumber: Mahkamah Agung (Januari 2005).
Posisi perempuan di lembaga eksekutif dan yudikatif tidak jauh berbeda dengan posisi perempuan di lembaga legislatif (DPR, DPRD). Dari tahun ke tahun, keterwakilan perempuan dalam lembaga eksekutif, yudikatif dan lesgislatif belum menampakkan kemajuan yang berarti.
8. Mekanisme Institusional Pemajuan Perempuan Badan-badan pemerintahan yang menangani perempuan mulai dibentuk sejak tahun 1978, ketika Kementerian Peranan Wanita didirikan. Lembaga ini terus dipertahankan hingga kini, dan dalam kabinet Indonesia Bersatu bernama Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Seiring dengan desentralisasi, pembentukan kelembagaan perempuan di daerah diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing kepala pemerintahan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga nama lembaga dan eseloneringnyapun tidak sama. Di beberapa daerah menempatkan unit kerja Pemberdayaan Perempuan sebagai unit pelaksana
67
di Badan Pemberdayaan Masyarakat, atau sebagai unit koordinatif berbentuk Biro di Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Meskipun sangat variatif lembaga perempuan di daerah, pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, mengupayakan agar pemberdayaan perempuan masuk dalam setiap kebijakan dan program pembangunan baik dalam pembangunan nasional maupun dalam pembangunan daerah. Untuk itu, dibentuk focal point pemberdayaan perempuan di beberapa lembaga pemerintah yang strategis. Misalnya Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Pertanian, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Departemen Dalam Negeri, dan lain sebagainya.
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 2 menyatakan bahwa negara sepakat untuk menjalankan kebijakan menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan berusaha: (i) menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan dan menjamin perlindungan tersebut melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya (ii) menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajibannya untuk tidak melakukan tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan (iii) membuat peraturan untuk menghapus perlakukan diskriminasi terhadap perempuan oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan. Landasan Aksi Beijing berkaitan dengan mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, adalah: (a) Membentuk atau memperkuat mekanisme-mekanisme nasional dan badan-badan pemerintahan lainnya (b) Mengintegrasikan perspektif gender ke dalam perundang-undangan, kebijakan-kebijakan pemerintah, serta semua program dan proyek (c) Menyusun dan menyebarluaskan data yang telah dipilah-pilah menurut gender dan informasi untuk perencanaan dan evaluasi. Dalam MDGs, tujuan berkaitan dengan masalah mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan ini tidak ada.
Tabel 52. Institusi Pemberdayaan Perempuan Menurut Eselonisasi Provinsi Di Indonesia, Tahun 2007. No. 1. 2. 3. 4.
Rovinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau
Eselon II II II III
5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Bangka Belitung
II II II III II IV
11.
Banten
III
Institusi Pemberdayaan Perempuan dan Anak Biro Pemberdayaan Perempuan. Biro Pemberdayaan Perempuan. Biro Pemberdayaan Perempuan. Bagian Pemberdayaan Perempuan, Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat. Biro Pemberdayaan Perempuan. Biro Pemberdayaan Perempuan. Biro Kesra dan Pemberdayaan Perempuan. Biro Pemberdayaan Perempuan . Biro Pemberdayaan Perempuan. Sub Bagian Pemberdayaan Perempuan, Bagian Kesehatan dan Pemberdayaan Perempuan, Biro Kesejahteraan Sosial. Bagian Kesehatan dan Pemberdayaan Perempuan,
68
No.
Rovinsi
Eselon
12.
DKI Jakarta
III
13.
Jawa Barat
III
14. 15. 16.
Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
II II III
17. 18.
Bali
II IV
19. 20.
Nusa Tenggara Timur
21. 22. 23.
Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
IV II III
24. 25. 26.
Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah
II III III
27.
Sulawesi Barat
II
28.
Sulawesi Tenggara
IV
29. 30
Sulawesi Selatan Maluku
II IV
31.
Maluku Utara
III
32. 33.
Papua Papua Barat
II II
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Barat
II III
Institusi Pemberdayaan Perempuan dan Anak Biro Kesejahteraan Sosial. Bidang Pemberdayaan Perempuan, Badan Pemberdayaan Masyarakat. Bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro Pengembangan Sosial. Biro Pemberdayaan Perempuan. Kantor Pemberdayaan Perempuan. Bidang Pemberdayaan Perempuan, Badan Pemberdayaan Masyarakat. Biro Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan. Sub Bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro Kesejahteraan Sosial. Biro Pemberdayaan Perempuan. Badan Pemuda, Olah raga dan Pemberdayaan Perempuan Biro Sosial dan Pemberdayaan Perempuan. Biro Pemberdayaan Perempuan. Bidang Pemberdayaan Perempuan, Badan Pemberdayaan Masyarakat . Biro Pemberdayaan Perempuan. Bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro Sosial. Bagian Pemberdayaan Perempuan, Badan Pemberdayaan Masyarakat. Biro Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Rakyat. Sub Bagian Pemberdayaan Perempuan, Bagian Perempuan dan Kesejahteraan Rakyat, Badan Pemberdayaan Masyarakat. Biro Pemberdayaan Perempuan. Sub Bagian Pemberdayaan Perempuan, Bagian Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Biro Kesejahteraan. Bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro Kesejahteraan Rakyat dan Pemberdayaan Perempuan. Badan Pemberdayaan Perempuan. Biro Pemberdayaan Perempuan.
Sumber : Website Pemprov (Juni 2007).
Pusat Studi Wanita (PSW) didirikan oleh perguruan tinggi di Indonesia baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, yang tahun 2005 jumlahnya mencapai 132 unit di 29 provinsi. Mereka melakukan berbagai penelitian tentang kesetaraan gender termasuk penyusunan data terpilah, sebagai masukan kepada Pemerintah setempat. PSW diharapkan dapat menjadi katalisator terhadap percepatan pemberdayaan perempuan melalui kerjasama dengan kelembagaan pemerintah pusat dan daerah, swasta dan masyarakat.
69
Tabel 53. No.
Jumlah Pusat Studi Wanita Menurut Provinsi Di Indonesia, Tahun 2005.
Provinsi
Jumlah
Pusat Studi Wanita (PSW)
1.
Nangroe Aceh Darussalam
2
1. Universitas Syiah Kuala. 2. IAIN Ar-Raniry.
2.
Sumatera Utara
4
1. 2. 3. 4.
Universitas Sumatera Utara. Universitas Malikussaleh. Universitas Negeri Medan. IAIN Sumatera Utara.
3.
Sumatera Barat
6
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Universitas Andalas. Universitas Negeri Padang. IAIN Imam Bonjol Padang. STAIN Prof.Dr.Mahmud Yunus Batu Sangkar. Universitas Bung Hatta. STAIN Syech M. Djamal Djambek.
4.
Riau
3
1. Universitas Riau. 2. IAIN Sultan Syarif Qasim. 3. Universitas Islam Riau.
5.
Kepulauan Riau
-
-
6.
Jambi
4
1. 2. 3. 4.
7.
Bengkulu
3
1. Universitas Bengkulu 2. Universitas Muhammadiyah Bengkulu 3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkulu
8.
Sumatera Selatan
3
1. Universitas Sriwijaya 2. IAIN Raden Patah 3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
9.
Lampung
3
1. Universitas Lampung 2. IAIN Raden Intan 3. STAIN Jurai Jiwo Metro
10.
Bangka Belitung
-
11.
Banten
2
12.
DKI Jakarta
17
Universitas Jambi. IAIN Sultan Thaha Saifuddin. Universitas Batanghari. STAIN Kerinci.
1. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2. STAIN Sultan Maulana Hassanuddin Banten 1. Universitas Terbuka 2. Universitas Negeri Jakarta 3. Universitas Indonesia 4. IAIN Syarif Hidayatullah 5. Universitas YARSI 6. Universitas Islam Asyafi'ah 7. Universitas Islam Jakarta 8. Universitas Muhammadiyah Prof.Hamka 9. Universitas Kristen Indonesia 10. Universitas Kertanegara 11. Universitas Trisakti 12. Universitas Katolik Atmajaya 13. Universitas Satya Gama 14. Universitas Borobudur 15. Universitas Indonesia Esa Unggul 16. Universitas Islam Attahiriyah 17. Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta
70
No.
Provinsi
Jumlah
Pusat Studi Wanita (PSW)
13.
Jawa Barat
10
1. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial 2. Universitas Padjajaran 3. IAIN Sunan Gunung Djati 4. Universitas Pendidikan Indonesia 5. Institut Tehnologi Bandung 6. Universitas Islam 45 7. Universitas Siliwangi 8. Universitas Islam Bandung 9. STPDN Bandung 10. STAIN Cirebon
14.
Jawa Tengah
12
1. STAIN Kudus 2. Universitas Sebelas Maret 3. IAIN Wali Songo 4. Universitas Muhammadiyah Surakarta 5. Universitas Kristen Satya Wacana 6. Universitas Katolik Soegiya Pranata 7. Universitas Jenderal Soedirman 8. Universitas 17 Agustus 9. Universitas Panca Sakti Tegal 10. Universitas Negeri Semarang 11. STAIN Surakarta 12. Universitas Muhammadyah Purwokerto.
15.
DI Yogyakarta
8
16.
Jawa Timur
17.
Bali
3
1. Universitas Udayana 2. Universitas Mahasaraswati 3. STIKP Singaraja
18.
Nusa Tenggara Barat
5
1. 2. 3. 4. 5.
19.
Nusa Tenggara Timur
2
1. Universitas Nusa Cendana 2. Universitas Kristen Artha Wacana
14
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Universitas Gajah Mada Universitas Negeri Yogyakarta IAIN Sunan Kalijaga Universitas Muhammadiyah Yogyakarta AKS Tarakanita Yogyakarta Universitas Islam Yogyakarta Universitas Sarjanawiyata Yogyakarta Universitas Ahmad Dahlan
1. Universitas Airlangga 2. Universitas Merdeka Malang 3. Universitas Brawijaya 4. Universitas Jember 5. Universitas Negeri Malang 6. Universitas Muhammadiyah Jember 7. STAIN Malang 8. STAIN Pamekasan 9. STAIN Ponorogo 10. Universitas Muhammadiyah Malang 11. IAIN Sunan Ampel 12. Universitas Mayjen Sungkono 13. STAIN Tulung Agung 14. STAIN Kediri
Universitas Mataram STAIN Mataram Universitas Negeri Mataram Universitas Muhammadiyah Mataram STMIK Bumigora Mataram
71
No.
Provinsi
Jumlah
Pusat Studi Wanita (PSW)
20.
Kalimantan Barat
2
1. Universitas Tanjungpura 2. STAIN Pontianak
21.
Kalimantan Timur
2
1. Universitas Mulawarman 2. STAIN Samarinda
22.
Kalimantan Tengah
2
1. Universitas Palangkaraya 2. STAIN Palangkaraya
23.
Kalimantan Selatan
2
1. Universitas Lambung Mangkurat 2. IAIN Antasari
24.
Sulawesi Selatan
10
25.
Sulawesi Tengah
3
1. Universitas Tadulako 2. STAIN Datokabana 3. Universitas Alkhairaat
26.
Sulawesi Tenggara
1
Universitas Haluoleo
27.
Sulawesi Utara
3
1. Universitas Sam Ratulangi 2. Universitas Negeri Manado 3. STAIN MANADO
28.
Gorontalo
1
STAIN Sultan Amai
29.
Sulawesi Barat
-
-
30
Maluku
1
Universitas Patimura
31.
Maluku Utara
2
1. STAIN Ternate 2. Universitas Muhammadiyah
32.
Papua
2
1. Universitas Cendrawasih 2. Universitas Papua
1. Universitas Negeri Makassar 2. Universitas Hasanuddin 3. IAIN Alauddin Makassar 4. Universitas PEPABRI 5. STKIP - YPUP 6. Universitas Muslim Indonesia 7. Universitas Satria Makassar 8. STAIN Palopo. 9. STAIN Watanpone 10. STAIN Pare-pare.
JUMLAH 132 Sumber : Website KNPP, diakses 23 Juni 2007.
Organisasi perempuan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan atau yang peduli perempuan semakin banyak berdiri, masing-masing bergerak sesuai dengan visi dan misinya seperti misalnya di bidang pendidikan perempuan, kesehatan, save motherhood, pemberdayaan ekonomi perempuan, dan lain-lain. Konggres Wanita Indonesia (Kowani) adalah organisasi perempuan nasional yang memayungi lebih dari 70 organisasi perempuan di seluruh Indonesia. Mekanisme koordinasi antar organisasi perempuan dibangun antar sektor dan antar lembaga non-pemerintah baik di dalam dan luar negeri serta badan-badan internasional dalam upaya pemberdayaan dan pemajuan perempuan.
72
9. Hak Asasi Perempuan Dalam rangka menegakkan hak asasi manusia (termasuk hak asasi perempuan di Indonesia), Pemerintah RI tahun 1984 meratifikasi Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau yang disebut CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of DiscriminationAgainst Women 1979) melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984.
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 2 menyatakan bahwa negara mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, yang pengertiannya tertera dalam Pasal 1: “Diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Landasan aksi Beijing yang berkaitan dengan Hak Asasi Perempuan adalah: (a) Memajukan dan melindungi hak-hak asasi perempuan, melalui penerapan secara penuh semua perangkat hak-hak asasi manusia, terutama Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (b) Menjamin adanya persamaan dan sikap non-diskriminatif di hadapan hukum maupun dalam praktekpraktek kehidupan (c) Pemberantasan buta hukum. Mengenai Hak Asasi Perempuan ini tidak ada dalam MDGs.
Tabel 54. Peraturan Perundang-undangan terkait Hak Asasi Manusia, Tahun 2007. No.
Tahun
Peraturan Perundang-undangan
1.
1945
Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya (1999-2002).
2.
1979
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);
3.
1984
UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277);
4.
1999
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).
5.
2000
UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026).
6.
2002
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235).
7.
2004
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan
73
No.
Tahun
Peraturan Perundang-undangan Lembaran Negara Nomor 4419)
8.
2005
UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4557). UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4558).
9.
2006
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4635).
10.
2007
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4720).
Sumber: Sekneg, 2007.
Tahun 1999, Pemerintah menetapkan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan sepanjang tahun 1999-2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengamandemen Undang-undang Dasar 1945 dengan memasukkan masalah HAM dalam Pasal 28. Tahun 2005 Pemerintah meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005, dan International Covenant on Civil and Poltical Rights melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005. Hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia (Pasal 45 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM), dan negara menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik (Pasal 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2005 dan Pasal 3 Undang-undang No. 12 Tahun 2005). Hak Wanita dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan sebagai berikut : Pasal 45. Pasal 46.
Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia. Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Pasal 47. Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarga-negaraannya. Pasal 48. Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Pasal 49 (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hak-hal yang dapat mengancam
74
keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi perempuan wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi perempuannya, dijamin dan dilindungi oleh hukum. Padal 50. Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya. Pasal 51 (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anakanaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. (2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. (3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan Pasal 49 ayat (2) dan (3) tersebut, menurut Penjelasan Undangundang dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘perlindungan khusus terhadap fungsi perempuan’ adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak. Selanjutnya dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) dinyatakan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”, sementara dalam Pasal 30 ayat (1) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”, dan ayat (2) menyebutkan: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. Dari pasal-pasal tersebut terlihat bahwa tanggung jawab “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia” tidak saja menjadi tanggung jawab Pemerintah tetapi juga menjadi tanggung jawab rakyat sebagai unsur negara. Dalam pasal 30, peran rakyat lebih jelas dinyatakan yaitu sebagai kekuatan pendukung dalam bidang pertahanan dan keamanan negara. Selanjutnya peran Pemerintah, dengan tegas diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 71 yang menyatakan bahwa: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Dalam Pasal 72 dinyatakan: “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain”.
75
Sedangkan peran masyarakat, sebagaimana tertera dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2005 (bagian Pembukaan Kovenan), dinyatakan bahwa: individu bertanggung jawab untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan Deklarasi Umum HAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya. Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2005 (bagian Pembukaan Kovenan) juga dinyatakan bahwa: setiap manusia mempunyai kewajiban pada manusia lainnya dan terhadap masyarakat di mana ia menjadi bagian, serta bertanggung jawab untuk memajukan dan mematuhi hak-hak yang diakui dalam Kovenan. Peran masyarakat sebagai individu atau sebagai kelompok baik dalam bentuk organisasi masyarakat yang tidak berbadan hukum maupun yang berbadan hukum, termasuk dunia usaha, menjadi sangat penting dalam “pemajuan dan penaatan HAM dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya”.
10. Perempuan dan Media Massa Di bidang media massa, telah banyak media cetak yang memberikan gambaran tentang pemajuan perempuan Indonesia dan berbagai perjuangan perempuan. Majalah perempuan Femina, Kartini, Ayah Bunda, tabloid Nova, Aura, Jelita, Wanita Indonesia dan berbagai terbitan Yayasan Jurnal Perempuan, Institut Perempuan, dan lembaga perempuan lainnya, merupakan beberapa bentuk media dan lembaga yang secara konsisten menyampaikan informasi kepada publik tentang kehidupan dan perjuangan perempuan. Namun, masih banyak media massa, baik cetak maupun elektronik yang mengeksploitasi perempuan melalui penerbitan ataupun tayangan yang berbau pornografi. Bangsa Indonesia sudah lama merasakan dampak negatif dari pornografi yang mempengaruhi perilaku dan akhlak generasi muda, serta pengaruh buruknya terhadap sendi-sendi tatanan moral keluarga, masyarakat dan bangsa. Sebagai bangsa yang beragama, sudah lama berniat untuk segera menuntaskan peperangan terhadap pornografi sehingga anak-anak dapat tumbuh dalam suasana yang kondusif bagi perkembangan kepribadian sebagai upaya menjadikan generasi penerus bangsa yang kuat dan tangguh. Akan tetapi menjadi sangat kontradiktif ketika Kantor Berita Associated Press (AP) memberitakan bahwa Indonesia merupakan negara urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi (Republika, 17 Juli 2003). Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 10 ayat (h) menyatakan bahwa negara menjamin hak perempuan untuk dapat memperoleh penerangan edukatif khusus untuk membantu menjamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat mengenai keluarga berencana. Pasal 14 ayat (2) huruf (h) menyatakan bahwa negara menjamin hak perempuan untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, termasuk dalam bidang komunikasi. Landasan aksi Beijing yang berkaitan dengan perempuan dan media massa adalah: (a) Meningkatkan partisipasi dan kesempatan perempuan untuk berekspresi dan mengambil keputusan di dalam dan melalui media massa serta teknologi-teknologi komunikasi yang baru (b) Memajukan gambaran-gambaran yang seimbang dan tidak klise tentang perempuan dalam media. Perihal perempuan dan media massa ini tidak ada dalam MDGs
76
Fakta di lapangan nampaknya membenarkan hal itu, ditandai dengan sangat mudahnya setiap orang untuk mendapatkan Video Compact Disc (VCD) porno, media cetak (majalah, tabloid), maupun media interaktif (internet) yang menjurus pada hal-hal yang berbau porno. Tayangan dan obrolan seks di radio dan televisi juga semakin "berani" memberitakan berbagai aktifitas seksual yang dibungkus dengan nada yang berkesan permisif. Koordinator Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM) mengungkapkan bahwa kasus-kasus pornografi sangat erat hubungannya dengan perdagangan orang. Sejumlah pelaku pornografi di berbagai tempat merupakan korban perdagangan orang. Mereka melakukan perbuatan itu karena dipaksa oleh orang yang mempekerjakan karena terlilit utang atau diancam. Menurut pantauan LRC-KJHAM, Jawa Tengah termasuk salah satu kantung perdagangan orang yang telah beberapa kali menjerat korbannya dan dijual untuk berbagai tujuan, termasuk tujuan seksual, kerja paksa, maupun perbudakan (SMCybernews, 5 Januari 2005). Tabel 55. No.
Jumlah Kasus Pornografi Di Indonesia, Tahun 1999-2006.
Tahun
Kasus
Barang Bukti Disita
1.
1999
3
• VCD Porno.
2.
2001
1
• DVD Porno
3.
2002
1
4.
2003
2
5.
2004
2
6.
2005 DesemberJanuari 2006.
• • • • • • • • •
299
MP3 Porno Buku Porno. Novel Porno. Majalah Porno. Cover VCD Porno. Casing Nokia Porno. Album Porno. Tabloid Porno. Gambar Porno.
Sumber: Bareskrim Mabes Polri, 2007.
Sejauh ini, Polisi tetap gencar merazia perdagangan video compact disc, digital video disc, dan tabloid porno di berbagai daerah antara lain di kawasan Glodok, Jakarta Barat (Januari 2006). Selain pasar elektonik, Glodok memang terkenal sebagai pusat VCD dan DVD bajakan. Dalam operasi itu, polisi menangkap pedagang yang menjual tabloid porno serta menyita VCD dan DVD porno bajakan, dan tabloid porno (Liputan 6. SCTV). Namun karena landasan hukum yang ada hanya memberikan ancaman hukuman yang ringan, tindakan polisi seringkali tidak efektif. Untuk itu diperlukan adanya undang-undang yang memberikan ancaman hukuman diperberat bagi pelaku pornografi. Undang-undang ini sangat perlu, karena menurut Komnas Perlindungan Anak (2006), sudah banyak siswa-siswi SMA yang terlibat kasus pornografi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pornografi telah sampai pada suatu taraf yang mengancam moralitas dan membahayakan generasi muda. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2007 tercatat kasus kriminal sebanyak 745.817 orang, diantaranya terdapat 14 kasus pornografi (Pernyataan Ketua Umum KPA, Seto Mulyadi 20 Juli 2008)
77
Selain tindakan hukum, berbagai upaya sosialisasi, advokasi dan tindakan pencegahan lainnya telah dilakukan. Namun, belum mampu membendung dan mengatasi masalah pornografi secara keseluruhan, pornografi telah berkembang menjadi industri yang kuat dan menguntungkan, yang tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk “merusak” bangsa Indonesia sebagaimana terorisme. Bangsa Indonesia harus bersatupadu menggalang kekuatan agar mempunyai daya tangkal kuat, sehingga mampu membendung dan melindungi anak dan generasi muda Indonesia dari bahaya pornografi. Tahun 2005, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga, Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika serta Kepala Kepolisian Negara RI menandatangani Keputusan Bersama tentang Keluarga Bersih Pornografi, yang ditindak-lanjuti dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional Mewujudkan Keluarga Bersih Pornografi, yang diharapkan dapat secara efektif melindungi generasi muda dari bahaya pornografi. Peran perempuan dalam media massa mengalami peningkatan khususnya setelah era reformasi ketika kebebasan pers dijamin oleh undang-undang. Namun, jumlah dan kedudukannya belum memuaskan sebagaimana disampaikan oleh Maria Hartiningsih (2007), jumlah wartawan perempuan dalam tahun 1986-1997 hanya berkisar antara 10-12 persen dari seluruh jumlah wartawan Indonesia yang tercatat dalam data Ikatan Perusahaan Penerbitan Pers Nasional (IPPPN), dan dari jumlah itu tak lebih seperlimanya menduduki jabatan-jabatan struktural yang ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan redaksional. Keterlibatan perempuan pada Redaksi Poskota salah satu harian dengan oplah terbesar yang populer dikalangan masyarakat menengah ke bawah di Jakarta, masih sangat terbatas yang diindikasikan dari jumlah wartawan perempuan yang hanya 6 orang dibandingkan jumlah wartawan laki-laki yang mencapai 50 orang (Ekawenats, 2006).
11. Perempuan dan Lingkungan Hubungan perempuan dengan lingkungan tidak dapat dipungkiri kedekatannya karena lingkungan menjadi pendukung bagi keluarga dalam membina kehidupan yang sehat dan sejahtera, serta dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Perempuan memiliki peran penting sebagai konsumen yang mampu mengatur diri dan keluarganya dalam membantu mengatasi masalah lingkungan yang mencakup: air, energi, kesehatan, pertanian dan keanekaragaman hayati. Perempuan bisa menghemat air, energi dan menambah tanaman obat-obatan. Sebagai ibu yang relatif lebih dekat dengan anak-anak, perempuan bisa mendidik anaknya itu untuk sadar lingkungan.
78
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 14 ayat (2) huruf (h) menyatakan bahwa negara menjamin hak perempuan untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan komunikasi. Landasan aksi Beijing yang berkaitan dengan perempuan dan lingkungan adalah: (a) Melibatkan perempuan secara aktif di dalam pengambilan keputusan mengenai lingkungan di semua tingkat (b) Meningkatkan kepedulian dan perspektif gender ke dalam kebijakankebijakan dan program-program untuk pembangunan berkelanjutan (c) Memperkokoh atau membentuk mekanisme-mekanisme pada tingkat nasional, regional dan internasional untuk menilai dampak pembangunan dan kebijakan-kebijakan lingkungan terhadap perempuan. Landasan aksi mengenai perempuan dan lingkungan ini sejalan dengan tujuan ketujuh MDGs yaitu: “memastikan kelestarian lingkungan hidup” dengan indikator: (a) proporsi luas lahan yang tertutup hutan, (b) rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan, (c) energi yang dipakai (setara barel minyak) per PDB (juta rupiah), (d) emisi CO2 per kapita, (e) jumlah konsumsi zat perusak ozon (metrik ton), (f) proporsi penduduk berdasarkan bahan bakar untuk memasak, (g) proporsi penduduk yang menggunakan kayu bakar dan arang untuk memasak, (h) proporsi penduduk dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan, (i) proporsi penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak, (k) proporsi rumah tangga dengan status rumah milik atau sewa.
Namun, perempuan juga masih mengalami kekerasan berkaitan dengan lingkungan hidupnya. Ini terjadi karena penyalahgunaan sistem kapitalisme untuk mengalahkan kepentingan perempuan terhadap rumah tinggalnya, sawah dan ladangnya, serta berbagai kepentingan di tempat-tempat pengungsian baik sebagai korban bencana alam maupun bencana sosial/konflik. Dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan hidup, perempuan sering menjadi korban kekerasan baik fisik maupun psikis ketika harus berhadapan dengan korporasi atau pengembang yang memerlukan lahan untuk pembangunan perumahan, pertokoan, perkebunan besar, pertambangan dan lain-lain. Sementara untuk kehidupan rumah tangganya, perempuan secara bijaksana mengatur kebutuhan energi untuk memasak dan lainnya, walaupun masih banyak yang harus memenuhi kebutuhan air bersih dari sumur dan mata air yang tak terlindung. Tabel 56. Konsumsi per Bulan dan Prosentase Rumah Tangga yang Menggunakan Minyak Tanah, Gas/ LPG dan Kayu Bakar Tahun 2003 dan 2004. Minyak Tanah
Gas/LPG
Kayu Bakar
No.
Tahun
Konsumsi per bulan (liter)
1.
2003
18,50
88,85
14,24
10,07
51,88
2.
2004
17,33
88,95
13,98
10,95
47,71
% RT yg menggu-nakan
Sumber: BPS, Susenas 2003, 2004
79
Konsumsi per bulan (Kg)
% RT yg menggu-nakan
% RT yg menggu-nakan
Tabel 57. Prosentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum Tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007. Sumur No.
Tahun
Leding
Pompa
Terlindung
1. 2. 3. 4.
2003 2004 2005 2007
32,04 17,96 17,97 16,18
21,88 14,37 13,73 17,62
30,67 35,95 35,63 30,07
Mata Air Tak terlindung 5,96 11,16 9,75 10,32
Terlindung 2,26 8,07 8,52 7,86
Tak terlindung 0,75 4,04 3,96 4,77
Sumber: BPS, Susenas 2003, 2004, 2005, 2007.
Tabel 58. Prosentase Rumah Tangga dengan Fasilitas Tempat Buang Air Besar, Tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007. No.
Tahun
Sendiri
Bersama
Umum
Tidak Ada
1.
2003
58,80
11,55
5,27
24,38
2.
2004
61,62
11,05
5,25
22,08
3.
2005
60,29
13,59
6,17
19,96
4.
2007
59,86
12,95
4,33
22,85
Sumber: BPS, Susenas 2003, 2004, Inkesra 2005, 2007. Gambar 15.
Prosentase Rmh Tangga Dg Fasilitas Buang Air Besar 2003, 2004, 2005, 2007 (BPS, 2007) 70
59.86
60 50
61.62 2003
60.29
40
2004
58.8
24.38
30
19.96
11.55 20
13.59
10
11.05 12.95
2005 2007
5.27 5.25
4.33
6.17
0
80
22.08
22.85
12. Anak-anak Perempuan Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, dan negara wajib menghormati dan menjamin hak-hak anak (pendidikan, kesehatan, menyatakan pendapat, kemerdekaan berpikir, hati nurani dan agama, kemerdekaan berserikat, perlindungan hukum, dan lain-lain) tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum. Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Pasal 3 mewajibkan negara membuat peraturan perundang-undangan di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan (termasuk anak) sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki. Pasal 6 selanjutnya menyatakan bahwa negara wajib membuat peraturan perundang-undangan untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan (anak) dan eksploitasi pelacuran. Pada Pasal 16 ayat (1) huruf (a), negara menjamin hak perempuan (anak) untuk memasuki jenjang perkawinan; (b) hak untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya. Pasal 16 ayat (2) menyatakan bahwa pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum, dan negara wajib menetapkan usia minimum untuk kawin dan mewajibkan pendaftaran di Kantor Catatan Sipil. Landasan aksi Beijing yang berkaitan dengan anak-anak perempuan adalah: (a) Menghapuskan semua bentuk diskriminasi terhadap anak-anak perempuan (b) Menghapuskan sikap dan praktek budaya yang negatif terhadap anak-anak perempuan (c) Memajukan dan melindungi hak-hak anak perempuan dan meningkatkan kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan dan potensi anak-anak perempuan (d) Menghapuskan diskriminasi terhadap anak-anak perempuan dalam bidang pendidikan, peningkatan ketrampilan dan pelatihan-pelatihan (e) Menghapuskan diskriminasi terhadap anak-anak perempuan dalam bidang kesehatan dan gizi (f) Menghapuskan eksploitasi ekonomi terhadap buruh anak dan melindungi anak-anak perempuan di tempat kerja (g) Menghapuskan tindak kekerasan terhadap anak-anak perempuan (h) Memajukan kesadaran anak-anak perempuan dan partisipasi mereka dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik (i) Memperkuat peranan keluarga dalam meningkatkan kedudukan anak-anak perempuan. Masalah anak-anak perempuan ini secara eksplisit tidak disebutkan dalam MDGs.
Tahun 1979 Indonesia menetapkan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan pada tahun 1990 meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak melalui Keputusan Presiden RI No. 39 Tahun 1990. Tahun 1997 Indonesia menetapkan Undangundang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan kemudian meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak melalui Undang-undang No. 1 Tahun 2000. Selanjutnya, Indonesia menetap-kan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Negara mengakui fungsi penting media massa dan menjamin anak bisa memperoleh akses atas informasi dari sumber nasional dan internasional untuk meningkatkan kehidupan sosial, spiritual, dan moralnya dan untuk kesehatan rohani dan jasmaninya. Untuk itu, negara
81
akan mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, eksploitasi termasuk eksploitasi seksual dan narkoba. Negara juga menjamin anak yang cacat untuk menikmati kehidupan yang penuh dan layak, dalam keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan mempermudah peran serta aktif anak dalam masyarakat. Namun, budaya patriarki dan stereotype bias gender yang masih kuat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan menimbulkan beragam diskriminasi terhadap perempuan dan anakanak perempuan, di berbagai bidang dan wilayah. Diratifikasinya CEDAW tahun 1984 dan Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Hak-hak Sipil dan Politik tahun 2005, belum menyurutkan praktek-praktek penyenjangan kesetaraan hak perempuan dan anak-anak perempuan. Instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia sering berbenturan dengan regulasi domestik baik nasional maupun peraturan daerah yang kurang mendukung kesetaraan hak laki-laki dan perempuan. Anak-anak jalanan merupakan produk dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Anak-anak ini dipaksa turun ke jalanan untuk membantu keluarganya, dan menelantarkan hak mereka dalam mendapatkan pendidikan. Tabel 59. No.
Jumlah Anak Jalanan Di Indonesia dan beberapa Kota Besar, Tahun 1996-2006.
Wilayah/Kota
Jumlah Anak Jalanan
1. 2. 3. 4.
Indonesia Jakarta Kota Bandung Kabupaten Bandung
5. 6.
Semarang Surabaya
60.000 anak (1999) 1,3 juta (2001) 144.889 anak (2006). 13.000 anak (1998) 1.135 anak (2001) 1 juta (2005). 2-3 ribu anak (1998) 6-8 ribu (1998) 10-12 ribu (2002). 417 anak (1998) 4.000 anak (2001) di 120 kantong wilayah, 12 % anak perempuan. 200 anak (2000), dan terus meningkat. 2.000 anak (2000) 3.005 anak (2001) di 134 kantong wilayah.
7.
Sulawesi Selatan
4.026 anak di 57 lokasi (1999) 6.000 anak (2000).
Sumber: Depsos (2007), BPS, Komnas Anak (2006), serta dari sumber lainnya.
Departemen Sosial (2007) melaporkan bahwa jumlah anak jalanan menurun menjadi 144.889 anak tahun 2006, akan tetapi jumlah anak terlantar tahun 2006 meningkat menjadi 2.815.393 anak, tidak termasuk anak balita terlantar sebanyak 618.296 anak. Pada tahun 2006 jumlah anak nakal tercatat 232.894 orang, sedang anak korban tindak kekerasan sebanyak 182.406 orang. Krisis moneter telah menyebabkan berkurangnya pendapatan keluarga secara mendadak yang memaksa anak-anak ke jalanan dan meninggalkan sekolah untuk mencari tambahan pendapatan. Karena kehidupannya itu, menyebabkan anak-anak tidak mempunyai cukup pendidikan dan hanya sedikit mempunyai kesempatan untuk keluar dari kemiskinan. Anak tersebut sangat rentan untuk bertindak kriminal dan menimbulkan masalah yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat. Namun, krisis moneter bukanlah satu-satunya penyebab karena walau perekonomian bangsa Indonesia telah berangsur pulih, kondisi tersebut tidak mengurangi jumlah anak jalanan. Selain minimnya peluang kerja, ada alasan lain yang membuat anak-anak tetap di jalanan yaitu uang pemberian masyarakat. Sadar ataupun tidak, masyarakat telah terjebak oleh rasa “kasihan” serta “ketakutan akan tindak kejahatan di jalanan”. Perasaan tersebut telah dimanfaatkan oleh anak jalanan
82
bahkan merembet pada orang tuanya untuk menjadikan komoditas “kasihan” bagi sumber pendapatannya. Sudah menjadi hal yang biasa, ibu-ibu ngamen dengan membawa anak, dan lebih tragis lagi adalah anak-anak dikelola di jalanan di bawah ancaman. Pendapatan seorang anak jalanan cukup besar, karena dalam sehari dapat memperoleh uang Rp 20-40 ribu. Selain untuk orang tuanya, uang tersebut juga untuk koordinator, dan dirinya sendiri. Sebagian hasilnya digunakan untuk menyambung hidup dan biaya sekolah, namun sebagian besar digunakan untuk judi, mabuk, ”ngelem”, merokok bahkan untuk membeli narkoba. Jadi dapat disimpulkan, bahwa pemberian uang ”kasihan” dari masyarakat telah menimbulkan dampak negatif bagi nasib anak jalanan. Secara tidak langsung uang ”kasihan” tersebut merupakan investasi masyarakat untuk kemalasan, kebodohan, kriminalitas, dan masa depan suram bagi anak-anak yang diberi. Masyarakat perlu menyadari dan merubah sikap untuk tidak memberikan uang ”secara langsung” kepada anak jalanan, tetapi memberikannya dalam bentuk “kesempatan”. Terdapat beberapa alternatif “kesempatan” yang diperlukan oleh anak jalanan, yaitu: •
Pendampingan untuk memulihkan kepercayaan diri dari perasaan tersingkirkan dan tidak disayangi. Uang ”kasihan” masyarakat dapat dialihkan menjadi “waktu” pendampingan yang mengekspresikan “penerimaan masyarakat” untuk mengatasi “luka masa lalu” anak jalanan.
• •
Bantuan Pendidikan berupa pendampingan bimbingan belajar, beasiswa, dan bimbingan ujian persamaan.
•
Penyediaan Lapangan Pekerjaan dengan menerima anak jalanan yang cukup umur untuk bekerja di perusahaannya.
•
Bantuan Pangan yang diadakan melalui bazaar sembako murah, tetapi tidak gratis.
Bantuan Kesehatan dalam bentuk penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan, subsidi obat-obatan serta subsidi perawatan kesehatan melengkapi program Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) dari Pemerintah.
Kepedulian terhadap anak jalanan adalah baik adanya, namun jika dilakukan dengan kurang tepat terkadang justru malah menjerumuskan karena tidak memberikan tetapi memberikan umpan dan kondisi ini akan berpengaruh terhadap masa depannya. Dengan adanya upaya konversi terhadap “uang” yang diberikan, diharapkan dapat meningkatkan minat dari anak jalanan untuk keluar dari jalanan dan kembali hidup normal dan menjadi manusia yang bebas serta tidak tergantung dari belas kasihan. Departemen Sosial melalui hibah dari Badan Pangan Dunia (UN-WFP) sejak tahun 2006 menginisiasi pembangunan pusat pelayanan sosial (Social Development Center, SDC) bagi anak bermasalah seperti anak jalanan, anak terlantar, putus sekolah, anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang membutuhkan perlindungan khusus (korban perdagangan orang, tindak kekerasan) dan lain-lain. Jenis pelayanan yang diberikan meliputi: layanan pendidikan, kesehatan, kesenian dan kebudayaan, bimbingan sosial, olah raga, keterampilan kerja dan konseling psikososial. Anak-anak cacat hingga saat ini belum terdata dengan akurat karena sensus penduduk belum secara khusus mencatatnya. Menurut survei Departemen Sosial tahun 1987, jumlah penyandang cacat di Indonesia adalah 3,11 persen dari populasi penduduk, yang meliputi: cacat netra (0,90 %), cacat tubuh (0,85 %), cacat kronis (65 %), cacat mental (0,45 %) dan RW (0,31%), dan jumlahnya cenderung meningkat pada seluruh jenis kecacatan, kecuali pada cacat tuli.
83
Menurut WHO (2005), jumlah penderita cacat sebanyak 5 persen dari 220 juta lebih penduduk Indonesia atau sekitar 10,5 juta jiwa. Mayoritas penderita cacat di Indonesia disebabkan faktor kemiskinan, kurang gizi, atau infeksi selama proses kehamilan dan kelahiran. Pada tahun 2006 Departemen Sosial telah menangani 295.763 anak cacat di Indonesia. Tabel 60. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kecacatan Tubuh Mental Buta Bisu Tuli/bisu Tuli Jiwa Keseluruhan
Jumlah Anak Cacat dan Jenis Kecacatan Indonesia, Tahun 2000-2005. 2000 2003 2005 Dta 114,5 anak *) 156,9 anak *) Dta + 59 anak *) 118,1 anak *) Dta Dta 78,8 ribu anak Dta Dta 73,1 ribu anak Dta Dta 42,7 ribu anak Dta Dta < 30 ribu anak Dta Dta < 30 ribu anak Dta 6,4 juta anak 6,7 juta anak
*) per seribu penduduk usia 0-21 tahun. Dta: data tidak ada. Sumber: BPS, Indikator Kesejahteraan Anak 2005.
Budaya malu sering disandang oleh suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang cacat dan sering disembunyikan karena hal tersebut merupakan aib bagi keluarga. Selain itu, para penyandang cacat menghadapi banyak diskriminasi di berbagai tempat, tidak saja di tempat kerja tetapi juga di ruang publik. Meskipun beberapa pabrik telah melakukan upaya khusus untuk mempekerjakan penyandang cacat, tetapi prosentasenya relatif masih kecil. Beberapa provinsi telah mendirikan "pusat-pusat rehabilitasi" bagi penyandang cacat yang diambil dari jalan-jalan dibawa ke pusat rehabilitasi untuk latihan kerja. Banyak penyandang cacat yang terpaksa hidup dari mengemis dan setringkali dieksploitir oleh orang-orang tidak bertanggung jawab untuk dikaryakan. Undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998, mengamanatkan adanya penyediaan akses bagi penyandang cacat di bidang pendidikan, pekerjaan dan bantuan bagi penyandang cacat; mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang untuk menyisihkan satu persen bagi penyandang cacat; mengamanatkan penyediaan fasilitas bagi kaum penyandang cacat. Sejauh ini, penyedia utama pendidikan bagi kaum cacat adalah LSM (67 %). Dari 1.084 sekolah luar biasa bagi kaum cacat, sebanyak 680 diantaranya dikelola swasta dan 404 dikelola pemerintah. Sebanyak 165 dari 404 sekolah luar biasa yang dikelola pemerintah, "diintegrasikan" dengan pendidikan reguler. Dari 98 sekolah bagi kaum cacat di Jakarta, hanya 2 (dua) diantaranya dikelola pemerintah sementara sisanya yang 96 dikelola swasta. Terdapat 3 (tiga) sekolah nasional bagi kaum tuna-netra, tuna-rungu dan tuna-grahita yang dikelola pemerintah. Sekolah tersebut menerima siswa dari seluruh negeri. Dari keseluruhan anak-anak cacat di Indonesia, baru 55.000 anak yang tertampung di sekolah luar biasa dan hanya 6.000 yang dapat menikmati sekolah inklusi. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menempatkan anak biasa dengan anak berkebutuhan khusus di satu
84
tempat. Sekolah yang dirintis sejak tahun 2000 ini bertujuan meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan menjadikan sekolah umum ramah pembelajaran dan diharapkan anak-anak cacat tersebut dapat menikmati pendidikan. Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam memberikan pendidikan pada anakanak penyandang cacat. Masyarakat tidak boleh mengabaikan potensi anak cacat, dan menghilangkan pandangan bahwa kecacatan adalah penghalang untuk berbuat sesuatu yang produktif. Masyarakat harus memberikan kesempatan kepada para penyandang cacat untuk membuktikan kemampuannya. Jumlah panti asuhan dan anak asuh dalam panti di Indonesia tahun 2002 – 2007 dapat dilihat pada grafik sebagai berikut (BPS, Indikator Kesejahteraan Anak 2005 dan Depsos 2008) sebagai berikut : Gambar 16
Jumlah Panti 2002-2007
50 40 30
2,229
2002
4,336
2,865 3,377
4,407 4,111
2003 2004
20
2005
10
2006 2007
0 Panti
Gambar 17
Jumlah Anak Asuh 2002-2007
60 50 40 30 20 10 0
2002
98,000 125,000
134,295
150,000
127,000
131,285
2003 2004 2005 2006 2007
Anak Asuh (org)
Upaya seorang pengusaha kecil asal Jawa Timur telah berhasil membina anak-anak cacat dan putus sekolah hingga bisa mandiri, mendapat penghargaan The Global Microentrepreneur Awards pada Acara Peluncuran Tahun Internasional Kredit Mikro 2005 di Markas PBB, New York bulan November 2004. Pengusaha tersebut berusaha dibidang kerajinan tangan tradisional berupa anyaman tas yang produknya sudah dipasarkan ke luar negeri. Dengan modal awal hanya Rp 500.000,-, perlahan-lahan membangun usaha sekaligus
85
membina anak-anak cacat dan putus sekolah. Ia bekerjasama dengan koperasi untuk permodalan usahanya, berkembang dari kecil hingga besar. Kini sudah banyak anak-anak binaannya yang bisa mandiri, dan telah berhasil memasarkan produknya selain ke berbagai daerah di dalam juga ekspor ke luar negeri. Upaya seperti ini perlu diperluas agar semakin banyak penyandang cacat yang memperoleh pekerjaan dan mandiri. Pekerja anak muncul karena tingginya angka kematian ibu (AKI) yang menyebabkan banyak anak-anak dilahirkan tidak pernah mengenal kasih sayang, karena ibu yang melahirkan telah meninggal saat persalinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 50 persen bayi yang dilahirkan akan segera meninggal menyusul kematian ibunya. AKI juga menyebabkan kelangsungan pendidikan anak menjadi persoalan, karena terancam tidak mampu melanjutkan sekolah atau terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah/putus sekolah, bahkan sebelum menyelesaikan tingkat pendidikan menengah. Implikasi lain yang tidak bisa dihindari adalah, sebagian anak-anak Indonesia terpaksa harus bekerja sehingga dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Sebagian di antara anakanak tersebut terpaksa menjadi pembantu rumah tangga (PRT), dan ada pula yang bekerja di pabrik dengan beban kerja yang tidak layak dialami seorang anak. Sebagian lagi terpaksa dinikahkan pada usia dini, sehingga menjadi pemicu terjadinya malapetaka ketika reproduksi. Sementara Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa anak-anak (dibawah 18 tahun) hanya boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari. Tabel 61. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tahun 1995 1996 1997 1998 2000 2002 2003 2004 2005 2006
Jumlah Pekerja Anak Indonesia Menurut Perdesaan dan Perkotaan, Tahun 2000-2006. Perkotaan Perdesaan Jumlah Dta Dta 1,644 juta Dta Dta 1,768 juta Dta Dta 1,802 juta Dta Dta 2,183 juta Dta Dta 2,3 juta *) Dta Dta 842.228 **) Dta Dta 566.526 **) Dta Dta 673.500 **) Dta Dta 516.100 **) Dta Dta 721.615
*) Tidak termasuk anak di bawah 10 tahun yang bekerja di sektor informal. **) Pekerja anak di bawah 15 tahun. Dta: data tidak ada. Sumber: Depnakertrans, 2000; IBPS, Indikator Kesejahteraan Anak 2005; Komnas Anak (2007).
Komnas Anak (2006, 2007) melaporkan bahwa tahun 2005 ada sedikitnya 4,55 juta pekerja anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT), dipaksa sebagai pelacur, bekerja di jalanan, di sektor industri dan pertambangan, pertanian dan perkebunan serta nelayan. Tahun 2006, ada 1.211.915 anak yang tidak terpenuhi hak-haknya karena harus bekerja, tinggal di jalanan, menjadi korban perdagangan orang dan eksploitasi seksual.
86
Pekerja anak lebih banyak berada di perdesaan (3,35 %) dibandingkan di perkotaan (0,91 %) dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian, mencapai 74 persen tahun 2002, menurun menjadi 63 persen tahun 2003, tetapi meningkat lagi menjadi 67 persen tahun 2005, lainnya bekerja pada sektor industri dan jasa. Selama lima tahun terakhir, pekerja anak laki-laki lebih besar (69 %) daripada anak perempuan (43,9-53,8 %), tetapi di sektor industri dan jasa, lebih banyak pekerja anak perempuan dari pada laki-laki (BPS, Sakernas 2002-2003, Indikator Kesejahteraan Anak, 2005). Anak-anak lebih banyak bekerja di sektor non-formal dibandingkan sektor formal. Sektor non-formal dimaksud antara lain adalah berusaha sendiri sebagai penjual koran, penyemir sepatu, tukang parkir, atau jenis pekerjaan lain. Mereka yang bekerja bebas di sektor pertanian dan non pertanian sebagian besar (69 %) adalah pekerja tidak dibayar karena harus membantu usaha orang tua atau keluarga. Tabel 62. PERMASALAHAN
Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak, Tahun 2000 s/d 2007 2000
2002
2004
2006
2007
Balita Terlantar
1.140.166
1.178.824
1.138.126
618.296
1.467.000
Anak Terlantar
3.244.144
3.488.309
3.308.642
2.815.393
3.940.300
161.505
193.155
189.075
228.851
203.151
59.517
94.674
98.113
144.889
104.497
358.738
367.520
365.868
295.763
363.788
10.424
43.708
48.526
182.406
78.435
Anak Nakal Anak Jalanan Anak Cacat Anak Korban Tindak Kekerasan
Sumber : Pusdatin Kesos, Depsos RI, 2008
Akte kelahiran sebagai hak warga negara untuk memperoleh identitas, belum dimiliki oleh semua anak-anak Indonesia. Menurut Komnas Perlindungan Anak Indonesia (2006), hanya 40 persen anak-anak usia 5 tahun yang memiliki akte kelahiran. Hal ini disebabkan antara lain karena sulitnya birokrasi dan diskriminasi, tingginya biaya pengurusan akte, lokasi, prosedur dan persyaratan yang rumit yang menyebabkan rendahnya keinginan masyarakat untuk mencatatkan kelahiran. Untuk mengatasi masalah ini, banyak Pemerintah kabupaten/kota yang membebaskan warganya, khususnya penduduk miskin, dari biaya pengurusan akte kelahiran.
87
Tabel 63. Jumlah dan Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Periode 2002 s/d 2005 No.
Jenis
2002
2003
2004
2005
1.
Setubuh
36
45
78
17
2.
Perkosa
235
329
426
85
3.
Sodomi
1
3
13
22
4.
Cabul
224
246
412
79
5.
Pelecehan
74
119
64
10
6.
Aniaya
346
604
607
227
7.
Bunuh
21
29
53
23
8
Bawa lari anak dan Prp
87
115
138
54
9
Zina
47
70
98
44
10
Miras
4
-
2
-
1.085
1.460
1.891
561
Jumlah Tabel 64. PERMASALAHAN
Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak, Tahun 2000 s/d 2007 2000
2002
2004
2006
2007
Balita Terlantar
1.140.166
1.178.824
1.138.126
618.296
1.467.000
Anak Terlantar
3.244.144
3.488.309
3.308.642
2.815.393
3.940.300
161.505
193.155
189.075
228.851
203.151
59.517
94.674
98.113
144.889
104.497
358.738
367.520
365.868
295.763
363.788
10.424
43.708
48.526
182.406
78.435
Anak Nakal Anak Jalanan Anak Cacat Anak Korban Tindak Kekerasan Total
Sumber : Pusdatin Kesos, Depsos RI, 2008
88
Tabel 65.
Jumlah dan Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Korban Bencana, Tahun 2000 s/d 2007
JENIS PMKS
2000
2002
2004
2006
2007
Korban Alam
Bencana
1.400.084
1.010.766
1.139.363
3.792363
2.888.141
Korban Sosial
Bencana
1.142.034
850.432
654.952
15.352
172.664
2.542.118
1.861.198
1.794.315
3.809.138
3.060.805
Total
Sumber : Pusdatin Kesos, Depsos RI, 2008
Tabel 66.
Jumlah dan Jenis Permasalahan Sosial Anak, Tahun 2000 s/d 2007
JENIS PMKS
WRSE
2000
1.360.263
2002
2004
1.449.203
1.253.921
2006
1.342.619
2007
1.184.400
13. KEMITRAAN Kemajuan sistem informasi, komunikasi dan transportasi yang sangat pesat akhir-akhir ini telah mempercepat terjadinya proses globalisasi di segala bidang. Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago), harus mampu memanfaatkan kemajuan sistem informasi, komunikasi dan transportasi tersebut sehingga Negara Kesatuan RI dapat benar-benar mewujud dalam satu kesatuan wilayah dan sosial yang solid. Sistem informasi dan komunikasi harus dipergunakan dengan bijaksana sehingga kemitraan antara pemangku kepentingan baik pusat dan daerah, antar daerah, antar negara dan dengan badan-badan internasional dapat terbina dan menguntungkan bagi pembangunan nasional termasuk dalam angka kerjasama mengatasi berbagai kejahatan internasional lintas batas yang banyak mengancam kehidupan perempuan dan anak Indonesia.
89
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, pada bagian pendahuluan menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan internasional, kerjasama timbal balik di antara semua negara, persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan antara negara, akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan, yang dampaknya akan menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya pada Pasal 24 dinyatakan bahwa negara-negara peserta mengusahakan untuk mengambil segala langkah yang perlu pada tingkat nasional yang ditujukan pada tercapainya perwujudan sepenuhnya dari hak-hak perempuan. Masalah kemitraan tidak terumuskan dalam 12 bidang kritis Landasan Aksi Beijing, tetapi merupakan tujuan ke delapan MDGs yaitu ”membangun kemitraan global dalam pembangunan”, dengan indikator: (a) komitmen untuk membangun tata pengelolaan pemerintahan yang baik dan penanggulangan kemiskinan, tingkat nasional dan internasional, (b) bantuan pembangunan (Official Development Assistance, ODA), (c) bantuan pembangunan sebagai persentase bantuan negara-negara maju (target 0,7 % dari keseluruhan dan 0,15 % untuk negara berkembang), (c) proporsi bantuan pembangunan untuk pelayanan sosial dasar (pendidikan dasar, pelayanan kesehatan masyarakat, gizi, air bersih dan sanitasi), (d) proporsi bantuan pembangunan yang tidak mengikat, (e) proporsi bantuan pembangunan untuk lingkungan di negara-negara berkembang kepulauan kecil, (f) proporsi bantuan pembangunan untuk sektor transportasi di negara-negara tanpa perairan laut, (g) proporsi ekspor yang diterima bebas bea dan quota, (h) rata-rata tarif dan quota pada hasil pertanian dan tekstil dan bahan pakaian (i) subsidi pertanian domestik dan ekspor di negara-negara OECD, (j) proporsi bantuan pembangunan disediakan untuk mengembangkan kapasitas perdagangan, (k) proporsi pembatalan resmi hutang bagi negara (HIPC), (l) proporsi debt service sebagai persentase ekspor dari barang-barang dan jasa-jasa, (m) proporsi bantuan pembangunan sebagai pengurangan hutang (n) negaranegara yang telah mencapai HIPC dan penyelesaiannya, (o) angka pengangguran usia 1524 tahun, (p) proporsi penduduk dengan akses obat-obatan penting yang berkesinambungan, (q) sambungan telepon per 1.000 penduduk, (r) komputer personal per 1.000 penduduk.
Kemajuan penggunaan sistem informasi dan komunikasi dalam rangka membina kemitraan, diindikasikan antara lain dari penggunaan telepon dan komputer. Dalam hubungan ini, pengguna telepon dan internet di Indonesia masih terbilang rendah. Berdasarkan data Telkom tahun 2004, teledensitas (telepon tetap) ASEAN adalah 66 sambungan per 1.000 penduduk, sedangkan di Indonesia hanya 45 sambungan. Tahun 2005 (Juni), teledensitas Indonesia meningkat menjadi 46,89 per 1.000 penduduk, tetapi bervariasi antar divisi regional. Sampai dengan Juni 2005, sentral Telkom yang berkapasitas 10.471.744 (exchange capacity), telah terpasang 10.269.259 saluran kabel telepon (installed lines), dan telah tersambung sebanyak 9.168.811 sambungan telepon (line in service), berupa 92 % sambungan kabel, dan 8 persen sambungan nirkabel.
90
Tabel 67. Jumlah Sambungan Telepon dan Personal Komputer di Indonesia dan beberapa Negara Tetangga Tahun 2002. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Negara/ Kawasan Indonesia China (RRC) Malaysia Filipina Singapura Thailand Vietnam Asia
Sambungan Telepon Tetap per 100 penduduk 3,6 16,69 19,79 4,17 46,36 9,87 6,85 12,13
Pelanggan Seluler per 100 penduduk 5,52 16,09 34,88 17,77 79,14 26,02 2,34 12,19
“Tuan Rumah” Internet per 10.000 penduduk 2,18 0,68 31,10 3,94 479,18 11,75 0,06 29,88
Jumlah PC per 100 penduduk 1,1 1,9 12,61 2,17 50,83 2,78 0,98 3,95
Pengguna Internet per 10.000 penduduk 191,23 460,0 2.731,09 255,69 5.396,64 775,61 184,62 557,56
Sumber: World Telecommunication Development Report 2003, ITU 2003
Tahun 2002, jumlah pelanggan telepon tetap konvensional Telkom tercatat 7,4 juta, meningkat menjadi 7.825.152 sambungan tahun 2003 (Maret), ditambah pelanggan telkomflexi sebanyak 2.432 sambungan. Akan tetapi layanan telepon ini baru menjangkau 43.000 dari sekitar 72.000 desa di Indonesia (BI, 2003). Data Ditjen Pos dan Telekomunikasi yang dikutip Bastian (2004) menyatakan bahwa jumlah telepon tetap tahun 2004 baru sekitar 8,7 juta dan telepon seluler sekitar 23 juta sambungan. Namun telepon seluler tersebut hanya terkonsentrasi di kota-kota besar bahkan satu orang dapat mempunyai beberapa nomor sambungan. Pada tahun 2002, pengguna telepon seluler baru 11.300.674 sambungan, meningkat 81,6 persen dari pada tahun 2001 (Warta Ekonomi, 2003). Sementara itu, jumlah pelanggan internet tahun 2002 tercatat sebanyak 667 ribu, meningkat menjadi 800 ribu pelanggan tahun 2003, dengan jumlah pemakai internet tercatat 4,5 juta tahun 2002 dan meningkat menjadi 7,55 juta tahun 2003 (Warta Ekonomi, 2003). Data Susenas 2005 menunjukkan bahwa hanya 13,11 persen rumah tangga di Indonesia yang telah memiliki telepon, 19,96 persen memiliki telepon seluler dan 3,68 persen yang memiliki komputer. Akses internet di luar rumah tangga seperti warung internet (warnet), kantor, sekolah dan lainnya hanya sebesar 3,66 persen. Menurut laporan MDGs 2007, jumlah sambungan telpon pada tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 11,2 persen sambungan, namun untuk telpon seluler meningkat menjadi 24,6 persen. Sedangkan akses internet meningkat menjadi 4,2 persen, dan yang mempunyai komputer 4,4 persen. Tahun 2007, International Communication Union (ITU) mengukur ICT-Opportunity Index terhadap 183 negara berdasarkan pada 10 indikator, yaitu network index (sambungan telepon kabel per 100 penduduk, sambungan telepon selulair per 100 penduduk, dan international internet bandwidth); skills index (tingkat melek huruf dewasa, angka partisipasi sekolah); uptake index (jumlah komputer per 100 penduduk, pengguna internet per 100 penduduk, dan proporsi rumah tangga yang mempunyai TV); intensity index (total broadband internet per 100 penduduk, dan lalu lintas telepon international, menit per kapita). ICT-OI menggambarkan peluang pertumbuhan ICT berdasarkan perkembangan network index, skills index, uptake index dan intensity index selama tahun 2001-2005.
91
Singapura, Brunei dan Malaysia adalah negara Asean yang termasuk tinggi peluang pertumbuhannya, sementara Thailand, Filipina, dan Vietnam termasuk negara yang peluang pertumbuhannya sedang. Selanjutnya Indonesia, Laos, Kamboja, dan Myanmar termasuk negara yang peluang pertumbuhan ICT-nya rendah. Bastian (2004), sejak lama menyarankan pemerintah untuk mencari penyebab lambannya pembangunan telekomunikasi di Indonesia karena menurut International Telecommunication Union, penetrasi pembangunan telekomunikasi di Indonesia baru sekitar 4 persen (tahun 2004), jauh lebih rendah dari Malaysia (19,79 %), Singapura (46,36 %), Thailand (9,87 %), Vietnam (6,85 %), dan Filipina 4,17 persen. Keadaan ini nampaknya tidak berubah pada tahun 2007 sebagaimana tergambarkan dalam ICT-OI Tahun 2007. Perkembangan teknologi yang sangat cepat menimbulkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan teknologi informasi yang dikenal dengan ICT (information and communication technology) atau telematika. Di Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura, pengaturan mengenai telematika berada pada satu badan regulasi yang independen. Jika Indonesia ingin berbuat hal yang sama, maka Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran perlu disempurnakan. Keberadaan dua badan regulasi independen yaitu Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), perlu diperkuat. Kedudukan BRTI saat ini dinilai sangat lemah karena hanya dibuat berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2003 (Bastian, 2004). Tabel 68. Pertumbuhan Information and Communication Technology Opportunity Index (ICT-OI) Negara-negara Asean, Tahun 2006. No.
Negara
Rata-rata pertumbuhan tahunan 2001-2005
ICT-OI
1.
Singapura
47,79
346,68
2.
Brunei Darussalam
36,09
156,09
3.
Malaysia
39,57
150,19
4.
Thailand
31,97
99,20
5.
Filipina
26,87
78,81
6.
Vietnam
76,19
76,66
7.
Indonesia
44,87
67,68
8.
Laos
66,71
39,29
9.
Kamboja
41,96
28,75
Myanmar 111,54 Sumber: International Telecommunication Union (ITU), 2007.
19,11
10.
92
PENUTUP___________________________________ Sebagai kalifah, manusia harus memiliki kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual agar mampu mengelola alam secara berkelanjutan bagi kesejahteraan umat manusia. Banyak negara membuktikan bahwa kualitas SDM sangat menentukan bagi kemajuan suatu bangsa, dan perempuan mempunyai peran penting dalam mewujudkannya. Pembangunan manusia Indonesia adalah upaya untuk mengembangkan kemampuan bangsa agar sehat, berilmu pengetahuan, kreatif, mampu mengakses sumber daya, berdaya saing, dan mampu berperan aktif dalam menentukan kebijakan pembangunan. Dalam hubungan ini, negara bertangungjawab memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia, agar memiliki kearifan, pengetahuan dan keahlian dalam mengelola lingkungan, serta memiliki wawasan kebangsaan dan etika kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Unsur-unsur negara harus membuka diri dan bekerja sama, saling memberdayakan, serta menjalin komunikasi dan koordinasi dalam semangat kesetaraan dan kemitraan tanpa meniadakan sikap kritis dan upaya pengawasan atas pelaksanaan pembangunan manusia. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri adalah program pembangunan yang memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat baik laki-laki maupun perempuan di tingkat komunitas yang paling bawah, untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Perempuan harus mengembangkan dirinya agar mampu bersaing tidak hanya di dalam negeri tetapi juga dalam tingkat global, karena persaingan di era globalisasi tidak lagi berlangsung antar negara atau korporasi, tetapi berlangsung secara individu. Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan meridhoi perjuangan dan memberkahi Bangsa Indonesia. Jakarta,
93
Desember 2008
A
nakmu bukan milikmu Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau Mereka ada padamu, namun bukan hakmu Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu, Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri. Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya, Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, Yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian. Kau boleh berusaha menyerupai mereka, Namun jangan membuat mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, Pun tidak tenggelam di masa lampau. Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian, Dia merentangmu dengan kekuasaanNya, Hingga anak panah itu melesat jauh, serta cepat. Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah, Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat, Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
KAHLIL GIBRAN
94
PENGERTIAN_________________________________ 1. Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate/TFR) adalah rata-rata banyaknya anak yang akan dimiliki oleh seorang wanita pada masa reproduksinya jika ia mengikuti pola fertilitas pada saat TFR dihitung. 2. Angka Kematian Ibu/MMR adalah banyaknya kematian ibu pada waktu hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan per 100.000 kelahiran hidup, tanpa memandang lama dan tempat kelahiran yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya. 3. Angka Kematian Bayi Baru Lahir adalah banyaknya kematian bayi baru lahir, usia kurang dari satu bulan (0-28) hari pada suatu periode per 1.000 kelahiran hidup pada pertengahan periode yang sama. 4. Angka Kematian Bayi Lepas Baru Lahir adalah Banyaknya kematian bayi lepas baru lahir(usia 1-11 bulan) pada suatu periode per 1.000 kelahiran hidup pada pertengahan periode yang sama. 5. Angka Kematian Bayi/IMR adalah banyaknya kematian bayi usia kurang dari satu tahun (9-11 bulan) pada suatu periode per 1.000 kelahiran hidup pada pertengahan periode yang sama. 6. Angka Partisipasi Kasar /APK adalah presentase jumlah peserta didik SD, jumlah peserta didik SLTP, jumlah peserta didik SLTA, jumlah peserta didik PTS/PTN dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia masing-masing jenjang pendidikan (SD usia 7-12 tahun, SLTP usia 13-15 tahun, SLTA usia 16-18 tahun, PTS/PTN usia 19-24 tahun. 7. Angka Partisipasi Murni/APM adalah presentase jumlah peserta didik SD usia 7-12 tahun, jumlah peserta didik SLTP usia 13-15 tahun, jumlah peserta didik SLTA usia 16-18 tahun dan jumlah peserta didik PTN/PTS usia 19-24 tahun dibagi jumlah penduduk kelompok usia dari masing-masing jenjang pendidikan. 8. Angka Partisipasi Total adalah proporsi penduduk bersekolah menurut golongan umur sekolah yaitu umur 7-12,13-15,16-18, dan 19-24 tahun. 9. Angka Partsipasi Angkatan Kerja adalah proporso angkatan kerja terhadap penduduk usai kerja. 10. Angka Pengangguran adalah proporsi jumlah pengganguran terhadap angkatan kerja 11. Bukan Angkatan Kerja adalah penduduk usia 15 tahun kebawah dan penduduk berusia 64 tahun keatas. 12. Buta Huruf adalah penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang belum bebas dari tiga buta, yaitu buta aksara, latin dan angka, buta bahasa Indonesia dan buta pengalaman dasar. 13. Data adalah fakta yang sudah ditulis dalam bentuk catatan, gambar atau direkam kedalam berbagai bentuk media; 14. Data Regestrasi adalah data yang bersumber dari hasil pendaftaran penduduk (peristiwa kependudukan) dan pencatatan sipil (peristiwa penting); 15. Data non Registrasi adalah ciri/nilai yang terukur yang diperoleh melalui sensus atau survey; 16. Fertilitas diartikan sebagai kemampuan seorang wanita atau sekelompok wanita untuk melahirkan dalam jangka waktu satu generasi atau selama masa subur;
95
17. Kematian atau mortalitas adalah satu dari tiga komponen demografi yang berpengaruh terhadap struktur dan jumlah penduduk; 18. Kualitas Penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan non fisik serta ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang berbudaya, berkepribadian yang layak (UU No. 10 tahun 1992); 19. Kuantitas Penduduk adalah jumlah penduduk akibat dari perbedaan antara jumlah penduduk yang lahir, mati dan pindah tempat tinggal (UU No. 10 tahun 1992); 20. Migrasi kembali (return migration) adalah banyakya penduduk yang pada waktu diadakan sensus bertempat tinggal di daerah yang sama dengan tempat lahir dan pernah bertempat tinggal di daerah yang berbeda. 21. Mobilitas Penduduk adalah gerak keruangan penduduk dengan melewati batas administrasi daerah tingkat dua (UU No. 10 tahun 1992); 22. Mobilitas penduduk permanen (migrasi) adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). 23. Mobilitas penduduk non permanen (circulation/sirkuler) adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk tidak menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif. Mobilitas penduduk non permanen dibagi menjadi dua yaitu ulang-alik atau nglaju (commuting) dan menginap/mondok. 24. Penduduk Melek Huruf adalah penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang telah bebas dari tiga buta, yaitu buta aksara, buta latin, dan buta angka, buta bahasa Indonesia dan buta pengalaman dasar. 25. Penduduk Usia Kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun sampai dengan 64 tahun; 26. Pengeluaran untuk makanan adalah proporsi pengeluaran yang dipergunakan untuk mengkonsumsi makanan dibandingkan dengan total pengeluaran (makanan dan bukan makanan); 27. Perkembangan Kependudukan adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan perubahan keadaan penduduk yang meliputi kuantitas, kulitas dan mobilitas yang mempunyai pengaruh terhadap pembangunan dan lingkungan hidup (Undang-undang nomor 10 tahun 1992); 28. Persebaran Penduduk adalah kondisi sebaran penduduk secara keruangan (UU No. 10 tahun 1992); 29. Profil adalah grafik atau ikhtisar yang memberikan fakta tentang hal-hal tertentu (Sunaryo Urip – BPS) 30. Ratio jenis kelamin adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan jenis kelamin antara banyaknya penduduk laki-laki dan penduduk perempuan di suatu daerah pada waktu tertentu; 31. Urbanisasi adalah suatu proses bertambahnya konsentrasi penduduk di perkotaan dan atau proses perubahan suatu daerah perdesaan menjadi perkotaan, baik secara fisik maupun ukuran-ukuran spasial dan/atau bertambahnya fasilitas perkotaan, serta lembaga-lembaga sosial, maupun perilaku masyarakatnya.
96
Referensi___________________________________ Adiningsih, Neni Utami. “Anak Jalanan Anak Kita Juga”. Pikiran Rakyat, 21 November 2002. provinsi dan golongan umur (Diolah dari sakernas 2006F,BPS) Pusdatinaker, Pekerja Anak Usia 10-14 tahun menurut Provinsi dan Golongan Umur (Diolah dari Sakernas 2006 F, BPS) Badan Kependudukan Nasional, 2002. Gambaran Penduduk Indonesia di Awal Millenium III. Badan Reserse Kriminal Polri, 2008. Situasi Tindak Narkoba2007 (Januari-Desember) Badan Pusat Statistik, Profil Wanita Indonesia 2000. ----------, Statistik Kesejahteraan Rakyat 2003, 2004, 2005. ----------, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, 2004. ----------, 2004. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025. ----------, 2005. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka. ----------, 2005. Indikator Kesejahteraan Rakyat. ----------, 2005. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2004-2005. ----------, 2005 Indek Pembangunan Manusia 2005-2006 ----------, Februari 2006. Keadaan Angkatan Kerja Indonesia. ----------, Juli 2006. Beberapa Indikator Penting Sosial Ekonomi Indonesia. ----------, 2006. Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2006. ----------, 2006. Statitistik Indonesia 2005/2006. ----------, 2006. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2006. ----------, 2007. Statistik Indonesia 2007 ----------,2008. Prelimeniry SDKI 2007 ----------, Jakarta Indonesia, Statistik Kesejahteraan Rakyat, Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik, BKKBN, Dep. Kesehatan, ORC Macro, 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, 2004. Proyeksi Pendidikan Formal dan Non Formal Tahun 2003/2004-2010/2011. Badan Narkotika Nasional, 2007. Hasil Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika Tahun 2005. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2006. Data Bencana Indonesia 2002-2005. ----------, 2007. Rekapitulasi Data Bencana di Indonesia Tahun 2006. Biro Perencanaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007. Data Kebutuhan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Tahun 2006. Bastian, 2004. Lambannya Infrastruktur Telekomunikasi. Kompas, 14 Oktober 2004. Departemen Kesehatan, 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2004. Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan, 2005. Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Masyarakat yang Terkena Bencana dan Konflik. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, 2006. Laporan Triwulan Pengidap Inveksi HIV dan Kasus AIDS sampai dengan 31 Desember 2005. Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Rencana Strategis Tahun 2005-2009.
97
----------, 2006. Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. ----------, 2006. Olimpiade Internasional: Profil Siswa Berprestasi. ----------, Desember 2006. Media Komunikasi Internal: Kabar. Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional, 2007. Kebijakan Direktorat Pendidikan Masyarakat dalam Program Peningkatan Pendidikan bagi Perempuan Buta Aksara dan Putus Sekolah. Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial, 2007. Peran Departemen Sosial RI dalam Penanggulangan Bencana Bidang Bantuan Sosial. Direktorat IV/Narkoba, Bareskrim Mabes Polri, November 2006. Data Korban Penyalahgunaan Narkoba 2006. Drektorat Jenderal PPM & PL,, Departemen Kesehatan RI, Statistik Kasus HIV/AIDS dillapas s.d. 2007 Direktorat I/Keamanan dan Transnasional, Bareskrim Mabes Polri, 11 April 2007. Bahan Masukan untuk Profil Perempuan Indonesia 2006. Ekawenats, 2006. Perempuan dan Konstruksi Media. http://ekawenats.blogspot.com/ 2006/03/perempuan-dan-konstruksi-media.html Fasli Djalal, 2007. Gizi dan Kecerdasan. Makalah Seminar PERSAGI, 25 Januari 2007. Gunawan, Indra, 2006. “Kelayakan Guru Mengajar” dalam Pikiran Rakyat 6 Februari 2006. IOM (International Organization for Migration) Jakarta, 2006. Aktivitas Counter Trafficking Unit (CTU) IOM Indonesia. Ringkasan Eksekutif. IOM 2008 Victims of Trafficking (VoT) Asissted by IOM Indonesia, March 2005-Januari 2008 ----------,2007 Data Kuantitatif Korban Trafficking yang Didampingi IOM Indonesia Tahun 2005 dan 2006. Jurnalperempuan.com, 9 Januari 2006, “Tahun 2005, KDRT Dominasi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan” Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2005. Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) di Indonesia Tahun 2004-2005. ----------, 2006. Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) di Indonesia Tahun 20052006 (Interim Report). Komisi Penanggulangan AIDs, 2007. Laporan Triwulan Pengidap Inveksi HIV dan Kasus AIDs sampai dengan 31 Desember 2006. Komnas Anak, 2006. Refleksi Akhir Tahun 2005. Hentikan Kekerasan terhadap Anak Sekarang dan Selamanya. www.komnaspa.or.id. ----------, 2007. Indonesia Children that is Followed Closely by ”Lost Generation”. www.komnaspa.or.id. Komnas Perempuan, 2006. Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2005: KDRT dan Pembatasan atas nama Kesusilaan. www.komnasperempuan.or.id. ----------, 2007. Di Rumah, Pengungsian dan Peradilan: KTP dari Wilayah ke Wilayah, Catatan KTP Tahun 2006. www.komnasperempuan.or.id. Kompas Cyber Media, 7 Februari 2001. “Mendesak, Sensus Penyandang Cacat”. ----------, 6 Agustus 2001. ”Masalah Kesehatan Mental Pengungsi Masih Terabaikan” ----------, 7 Desember 2005. “Wujudkan Quota Satu Persen Tenaga Kerja untuk Penyandang Cacat” ----------, 9 Juni 2007. ”Potret Suram TKI, Salah Siapa?”. Laporan Pencapaian Millenium Development Goal Indonesia 2007 Liputan6 SCTV, 31 Januari 2006. “VCD dan Tabloid Porno Disita”. Majalah Komite, 5 Februari 2007. Menanggulangi Si Miskin dengan Si Mikro.
98
Maria
Hartiningsih (2007). Pemberitaan Yang Sensitif Gender: Sumbangan Besar Mewujudkan Demokrasi. http://kippas.wordpress.com/2007/06/06/pemberita- an-yang-sensitifgender-sumbangan-besar-mewujudkan-demokrasi/ Media Indonesia Online, 2 Mei 2005. ”Pemerintah Serius Tangani Pendidikan bagi Semua Orang”. Pikiran Rakyat, 7 Juli 2003. “Perempuan Pelaku UKM Masih Hadapi Hambatan”. Pikiran Rakyat, 21 Desember 2003. “Manusia, Muara Lelaki dan Perempuan”. Pikiran Rakyat, 12 Maret 2005. “Meningkat, Kekerasan Terhadap Perempuan”. Pikiran Rakyat, Hikmah, 27 November 2005. “Stop Kekerasan di Rumah Tangga”. Pikiran Rakyat, 20 Januari 2006. “45,2 % Guru SD tidak Layak Mengajar” Piot, Peter, 2005. “Indonesia di Fase Awal Epidemi AIDS namun dengan Epidemi HIV yang Serius” dalam www.menkokesra.go.id Pusat Data dan Informasi, Departemen Sosial, 2006. Data Permasalahan Anak 2006. Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak, Universitas Negeri Medan bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006. Kajian Perlindungan Kesehatan Reproduksi Remaja. Medan. ----------, 2006. Pemetaan Masalah Remaja Puteri di Provinsi Sumatera Utara (Medan, Binjai, Deli Serdang, Langkat). Pusat Pengkajian Gender dan Kependudukan Universitas Brawijaya Malang bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006. Kajian Perlindungan Kesehatan Reproduksi Remaja di Provinsi Jawa Timur. Pusat Studi Wanita, UGM, 2006. Profil Remaja DIY. Studi Kasus dan Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja. Republika, 28 Desember 2006. ”Glodok Masih Jadi ’Ladang’ VCD Bajakan”. Sekretariat Nasional Kopbumi. Berita Email Januari 2006 “Daftar Jumlah Kasus Buruh Migran Indonesia Tahun 2004-2005”. Sinar Harapan, 27 Desember 2006. ”2,5 juta hasil rekaman Bajakan Dimusnahkan”. Suara Merdeka, 27 November 2001. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga” Suara Merdeka, 22 Desember 2001. “Budaya Politik Perempuan” Suara Merdeka, 4 Maret 2002. “Mengapa Diskriminasi Sosial Perempuan Tetap Berlangsung?” Suara Pembaharuan Daily, 2 Mei 2005. “Pendidikan Anak Cacat yang Terlupakan”. Sub Direktorat AIDs dan PMS, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, 2007. Kebijakan Pengendalian HIV/AIDs Departemen Kesehatan. Supenti, Titin. “Perkembangan Pekerja Anak Tahun 2002-2003” dalam Warta Ketenagakerjaan Edisi 7 (Juli) 2004. UN Volunteer. Kampanye “Stop beri uang, beri kami Kesempatan”. Website: www.stopberiuang.or.id diakses 1 Februari 2006. Warta Kesra, 15 Juni 2007. ”Jumlah UMKM Meningkat, Pengangguran Bertambah”. Yayasan Indonesia Forum (2007). Visi Indonesia 2030. Jakarta.
99