Profil Kependudukan Prov Diy

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Profil Kependudukan Prov Diy as PDF for free.

More details

  • Words: 3,447
  • Pages: 14
BAB I GAMBARAN UMUM WILAYAH 1.1 Keadaan Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa Yogyakarta di bagian selatan dibatasi Lautan Indonesia, bagian timur laut dibatasi oleh Kabupaten Klaten, bagian tenggara dibatasi oleh Kabupaten Wonogiri, bagian barat dibatasi oleh Kabupaten Purworejo, dan pada bagian barat laut dibatasi oleh Kabupaen Magelang. Berdasarkan satuan fisiografis, Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari Pegunungan Selatan dengan luas ± 1.656,25 km2 dengan ketinggian antara 150-700 mdpl, Gunung Berapi Merapi dengan luas ± 582,81 km2 dengan ketinggian 80-2.911 mdpl, dataran rendah antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo dengan luas ± 215,62 km2 dengan ketinggian antara 0-80 mdpl, serta Pegunungan Kulon Progo dan Dataran Rendah Selatan dengan luas ± 706,25 km2 dengan ketinggian antara 0-572 mdpl. Posisi D.I. Yogyakarta yang terletak antara 7°.33’ - 8°.12’ Lintang Selatan dan 110°.00’ 110°.50’ Bujur Timur, tercatat memiliki luas 3.185,80 km² atau 0,17 persen dari luas Indonesia (1.860.359,67 km²) dan merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi DKI Jakarta. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 5 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Tabel 1.1.1 Luas Wilayah, Ketinggian, dan Jarak Lurus ke Ibukota Provinsi menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2007 Kabupaten/ Kota

Ibukota

Luas Wilayah (km2)

(1)

(2)

(3)

Persentase Luas Ketinggian (%) (4)

(5)

Jarak Lurus (km) (6)

Kulon Progo

Wates

586,27

18,40

50

22

Bantul

Bantul

506,85

15,91

45

12

Gunung Kidul

Wonosari

1.485,36

46,63

185

30

Sleman

Sleman

574,82

18,04

145

9

Yogyakarta

Yogyakarta

32,50

1,02

Provinsi DIY

Yogyakarta

3.185,80

100,00

75

2

Sumber : Badan Pertanahan Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

1.2 Keadaan Ekonomi 1.2.1Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan perhitungan PDRB atas harga konstan, perekonomian Provinsi D.I. Yogyakarta tahun 2007 tumbuh sekitar 4,31 persen, lebih tinggi

dibandingkan

tahun

sebelumnya

yang

mencapai

3,70

persen(angka diperbaiki). Hal yang menggembirakan dari gambaran ekonomi D.I. Yogyakarta tahun 2007 adalah pertumbuhan positif dari seluruh

sektor.

Sektor

pertambangan/penggalian

mengalami

partumbuhan paling besar yaitu sebesar 9,69 persen, disusul dengan sektor bangunan dan listrik/gas/air masing-masing sebesar 9,66 persen dan 8,45 persen. Sektor keuangan, sector angkutan/komunikasi, sektor perdagangan dan sektor jasa-jasa tahun ini tumbuh positif sebesar 6,49 persen, 6,45 persen dan 5,06 persen dan 3,61 persen. Sedangkan pertumbuhan sektor industry pengolahan dan sektor pertanian relatif kecil, tercatat sebesar 1,89 persen dan 0,80 persen. Meski andil sektor industri masih lebih kecil dari sektor perdagangan/hotel/restauran, sektor pertanian ataupun sektor jasa-jasa, namun sektor industri tetap merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi yang potensial karena sifat industri yang mampu mendorong pembentukan nilai tambah yang tinggi. 1.2.2Struktur Ekonomi Nilai Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku Provinsi D.I. Yogyakarta pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp 32.916.736 juta dengan PDRB per kapita sebesar Rp 9.584.047 atau naik 10,77 persen. Berdasarkan komposisi nilai Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku dapat diketahui bahwa peran sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar dalam perekonomian Provinsi D.I. Yogyakarta mulai tergeser oleh sektor lain. Pada tahun 2007, andil terbesar berasal dari sektor jasa-jasa sebesar 19,79 persen.

Kemudian sektor perdagangan/hotel/restaurant, sektor pertanian dan sektor industri pengolahan memiliki andil 19,22 persen, 15,01 persen, dan 13,06

persen. Sektor bangunan, sector angkutan/komunikasi,

sektor keuangan tercatat sebesar 10,54 persen, 10,08 persen dan 9,69 persen.

Sedangkan

sektor

listrik/gas/air

bersih

dan

sektor

pertambangan dan penggalian merupakan sektor dengan andil terkecil atau tercatat sebesar masing-masing sebesar 1,29 persen dan 0,79 persen dari total PDRB harga berlaku. 1.3 Keadaan Sosial Budaya 1.3.1Pendidikan Kualitas pendidikan yang memadai diperlukan penduduk untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Tingginya permintaan jasa pendidikan menuntut tersedianya penyelenggara pendidikan yang makin bermutu. Secara nasional, pendidikan diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta. Pada jenjang Sekolah Dasar(SD), pada tahun 2007 memiliki 2.035 sekolah dengan jumlah murid sebanyak 307.475 anak dan diasuh oleh 23.149 guru. Untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni SMP tercatat sebanyak 500 sekolah dengan 147.569 anak didik yang diasuh oleh 12.988 orang guru. Pada Sekolah Menengah Umum, tercatat sebanyak 7.175 orang guru yang mengajar 62.100 siswa yang tersebar pada 208 sekolah. Adapun untuk tingkat Sekolah Menengah Kejuruan terdapat 173 unit sekolah dengan 63.359 siswa yang diajar oleh 6.849 orang guru. Pada jenjang perguruan tinggi negeri, Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki Universitas Gadjah Mada(UGM), Universitas Negeri Yogyakarta(UNY), Universitas Islam Indonesia(UII),

Institut

Seni

Indonesia(ISI),

Sekolah

Tinggi

Pertanahan Nasional(STPN), Sekolah Tinggi Teknik Nuklir(STTN) dan Akademi Teknologi Kulit(ATK) dengan jumlah mahasiswa keseluruhan

sebanyak

84.344

orang

atau

naik

3,45

persen

dibandingkan tahun 2006, yang diajar 4.213 dosen tetap. Adapun perguruan tinggi swasta(PTS) tercatat sebanyak 123 institusi dengan rincian 48,78 persen akademi, 27,64 persen sekolah tinggi, 13,82

persen universitas serta masing-masing 6,50 persen politeknik dan 3,25 persen institut yang diasuh oleh 17.444 orang dosen. 1.3.2Kesehatan Untuk meningkatkan kualitas kesehatan penduduk, pemerintah berupaya menyediakan sarana dan prasarana kesehatan disertai tenaga kesehatan yang memadai baik kualitas maupun kuantitas. Upaya ini diarahkan agar tempat pelayanan kesehatan mudah dikunjungi dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Pada tahun 2007 sarana kesehatan yang tersedia di D.I. Yogyakarta sebanyak 44 unit rumah sakit, 22 unit rumah bersalin, 35 unit balai pengobatan dan 118 unit puskesmas induk. Untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk, pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) dengan memberikan sarana pelayanan dan prasarana yang memadai. Hal ini memperoleh respon baik dari masyarakat yang tercermin dengan tingginya pencapaian akseptor aktif, dan tahun 2007 tercatat mencapai 418.069 orang dari target sebanyak 422.209 orang atau 99,02 persen dari target. 43,96 persen dari akseptor aktif memilih suntik, disusul 26,70 persen menggunakan IUD serta 12,88 persen memakai pil dan selebihnya 16,46 persen menggunakan alat kontrasepsi lainnya. 1.3.3Agama Dari sekitar 3.518.589 orang pemeluk agama, agama Islam merupakan agama yang dominan dipeluk yakni mencapai 91,08 persen. Disusul oleh agama Katholik 5,52 persen, Kristen 3,05 persen, Hindu 0,18 persen, dan Budha 0,17 persen. Sejalan dengan komposisi di atas, jumlah tempat peribadatan yang tersebar di DIY juga didominasi oleh tempat ibadah umat Islam berupa masjid, mushola dan langgar yang tercatat sebanyak 96,67 persen. Kemudian rumah ibadah Kristen dan Katholik masing-masing 1,75 persen dan 1,16 persen serta tempat ibadat umat Hindu dan Budha masing-masing 0,21 persen dan 0,20 persen. BAB II KONDISI DEMOGRAFI

2.1 Jumlah, Tingkat Pertumbuhan, Persebaran, dan Komposisi Penduduk Jumlah penduduk di suatu daerah akan memberikan gambaran umum tentang kebutuhan fasilitas sosial ekonomi yang meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan aspek sosial ekonomi lainnya. Peningkatan kebutuhan fasilitas sosial ekonomi di masa yang akan datang dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk. Sebaran penduduk di daerah kota atau desa merupakan cerminan dari keinginan penduduk untuk mendapatkan kemudahan di daerah perkotaan daripada perdesaan. Disribusi penduduk menurut wilayah pemerintahan memberikan gambaran terhadap jangkauan program-program pemerintah di daerah. Berdasarkan hasil Hasil Proyeksi SUPAS 2005, tahun 2007 jumlah penduduk Provinsi D.I. Yogyakarta tercatat 3.434.534 jiwa, dengan persentase jumlah penduduk laki-laki 50,16 persen dan penduduk perempuan 49,84 persen. Sumber : Proyeksi Penduduk Indonesia per Provinsi 2005-2012

Menurut daerah, persentase penduduk kota mencapai 60,57 persen dan penduduk desa mencapai 39,31 persen (Susenas 2007). Pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 sebesar 1,01 persen relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta memiliki angka pertumbuhan di atas angka provinsi, masing-masing sebesar 1,46 persen, 1,34 persen dan 1,32 persen. Dengan luas wilayah 3.185,80 km2, kepadatan penduduk di D.I. Yogyakarta tercatat 1.079 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta yakni 13.881 jiwa per km2 dengan luas wilayah hanya sekitar 1 persen dari luas Provinsi DIY. Sedangkan Kabupaten Gunung kidul yang memiliki wilayah terluas mencapai 46,63 persen memiliki kepadatan penduduk terendah yang dihuni rata-rata 461 jiwa per km2. Informasi tentang jumlah penduduk untuk kelompok usia tertentu penting diketahui agar pembangunan dapat diarahkan sesuai kebutuhan penduduk sebagai pelaku pembangunan. Dengan mengetahui jumlah dan persentase penduduk tiap kelompok umur dapat diketahui berapa besar penduduk yang berpotensi sebagai beban yaitu penduduk yang belum produktif(usia 0-14 tahun) termasuk bayi dan anak(usia 0-4 tahun) dan penduduk yang dianggap

kurang produktif(65 tahun ke atas). Selain itu juga dapat dilihat persentase penduduk yang berpotensi sebagai modal dalam pembangunan yaitu penduduk usia produktif atau usia 15-64 tahun. Berdasarkan data SUPAS 2005 Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, persebaran penduduk laki-laki pada kelompok umur 0-4 dan 15-64 tahun yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak

disbanding yang tinggal di

perdesaan. Kemudian untuk kelompok umur 65+ hampir sama. Grafik 2.1.2 Penduduk Laki-Laki menurut Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi

Daerah

Istimewa

Yogyakarta

Tahun

2005

Berdasarkan Data SUPAS 2005 Sumber : Data SUPAS 2005 Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Jumlah dan persentase penduduk kota di provinsi D.I. Yogyakarta pada tahun 2003 sebesar 57,52%, namun pada tahun 2004 penduduk Kota mulai bertambah menjadi 58,67% dan pada tahun 2005 bertambah menjadi 59,12, akan tetapi pada tahun 2006 penduduk kota mengalami penurunan menjasi 55,81%. Jumlah penduduk desa pada tahun 2003 sebesar 42,48%, tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 41,33%, pada tahun 2005 mengalami penurunan menjadi 40,88%, dan pada tahun 2006 mengalami kenaikan menjadi 44,19% (Susenas BPS Provinsi DIY, 2007) Komposisi kelompok umur penduduk D.I. Yogyakarta didominasi oleh kelompok usia dewasa yaitu umur 25-29 tahun sebesar 10,71 persen. Kelompok umur 0-24 tahun tercatat 36,35 persen, kelompok umur 25-59 tahun 50,84 persen, dan lanjut usia yaitu umur 60 tahun ke atas sebesar 12,81 persen. Besarnya proporsi mereka yang berusia lanjut mengisyaratkan tingginya usia harapan hidup penduduk DIY. Grafik 2.1.3 Jumlah Penduduk Hasil Proyeksi SUPAS 2005 menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2007

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dari piramida di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk pada usia produktif sangat besar. Hal ini mengindikasikan potensi tenaga kerja yang besar yang seharusnya diimbangi dengan tercukupinya kesempatan kerja yang ada. Penduduk muda berusia di bawah 15 tahun umumnya dianggap sebagai penduduk yang belum produktif karena secara ekonomis masih tergantung pada orang tua atau orang lain yang menanggungnya. Selain itu penduduk berusia di atas 65 tahun juga dianggap tidak produktif lagi sesudah melewati masa pensiun. Pada tahun 2007 dependency ratio di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 38,55. NIlai tersebut meningkat dari 29,44 pada tahun 2006. Hal ini mengindikasikan bahwa tanggungan bagi penduduk usia produktif semakin meningkat. Pengembangan perencanaan pembangunan yang berwawasan gender berkaitan dengan perimbangan pembangunan laki-laki dan perempuan secara adil. Rasio jenis kelamin(sex ratio) merupakan salah satu indicator yang digunakan dalam melihat perimbangan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan data jumlah penduduk menurut jenis kelamin hasil SUPAS 2005 dan proyeksinya, sex ratio di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di atas nilai 100. Tercatat tahun 2005 sex ratio sebesar 100,18 meningkat seiring tahun dan pada tahun 2008 sebesar 100,76. Nilai ini berarti bahwa di wilayah DIY penduduk laki-laki lebih banyak dinbandingkan dengan penduduk perempuan.

2.2 Komponen Pertumbuhan Penduduk 2.2.1Fertilitas Fertilitas atau kelahiran merupakan salah satu faktor penambah jumlah penduduk disamping migrasi masuk. Kelahiran bayi membawa

konsekuensi pemenuhan kebutuhan tumbuh kembang bayi tersebut, termasuk pemenuhan gizi dan kecukupan kalori, serta perawatan kesehatan. Pada gilirannya, bayi ini akan tumbuh menjadi anak usia sekolah yang menuntut pendidikan, lalu masuk angkatan kerja dan menuntut pekerjaan. Bayi perempuan akan tumbuh menjadi remaja perempuan dan perempuan usia subur yang akan menikah dan melahirkan bayi. Tingkat kelahiran di masa lalu mempengaruhi tingginya tingkat fertilitas masa kini. Jumlah kelahiran yang besar di masa lalu disertai dengan penurunan kematian bayi akan menyebabkan bayi-bayi tersebut tetap hidup dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya disaat kematian bayi masih tinggi. Lima belas tahun kemudian bayi-bayi ini akan membentuk kelompok perempuan usia subur. Informasi tentang jumlah kelahiran bermanfaat untuk perencanaan pembangunan berbagai fasilitas yang dibutuhka khususnya fasilitas kesehatan ibu dan anak, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Selain itu data tentang jumlah kelahiran merupakan dasar untuk perhitungan berbagai indicator fertilitas seperti Angka Kelahiran Kasar(CBR), Angka Kelahiran Menurut Umur(ASFR), Angka Fertilitas Total, Angka Reproduksi Bersih, dan Rasio Angka Manusia. Semakin tinggi CBR menggambarkan bahwa jumlah wanita usia subur yang melahirkan semakin tinggi. Berdasakan parameter Hasil Proyeksi Penduduk SP 2000 di Provinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2000– 2025 dari BPS 2006/2007, CBR tertinggi pada tahun 2005 yaitu sebesar 12,0 per 1000 penduduk. Akan tetapi mulai tahun 2010 mengalami penurunan. Pada tahun 2025, CBR sebesar 8,9 per 1.000 penduduk, sehingga CBR mengalalami penurunan sangat signifikan yaitu sebesar 3,1 selama satu tahun setiap 1.000 penduduk. Hal ini dapat disebabkan banyaknya wanita usia subur yang tidak menikah maupun

tidak

melahirkan. Age Specific Fertility Rate(ASFR) merupakan indicator kelahiran yang memperhitungkan perbedaan fertilitas dari perempuan yang

terpapar untuk melahirkan yaitu perempuan usia subur dengan memperhatikan karakteristik kelompok umurnya. Secara alamiah potensi(fekunditas) perempuan untuk melahirkan berbeda menurut umur dan menjadi steril setelah menopause atau usia 49 tahun. Nilai ASFR ini berguna untuk pelaksanaan program KB dan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan data gabungan Susenas tahun 2003, 2004, 2005 diperoleh nilai ASFR 2000 menurut umur wanita seperti tergambar dalam grafik di bawah ini. Sumber : Data gabungan Susenas 2003, 2004, 2005 Dari grafik di atas terlihat bahwa pola ASFR mengikuti huruf U terbalik, rendah pada kelompok umur 15-19 tahun dan umur 40-49 tahun, dan tinggi pada perempuan kelompok umur 20-34 tahun, dengan puncaknya pada perempuan kelompok umur 25-29 tahun, yaitu sebesar 111. Hal ini berarti dari 1000 perempuan yang berusia antara 25-29 tahun terdapat 111 kelahiran hidup pada kurun waktu 2003-2005. Puncak ASFR yang terletak pada kelompok umur 25-29 tahun dapat mengindikasikan bahwa kelahiran pada tahun tersebut paling banyak dikontribusi oleh perempuan pada kelompok umur 25-29 tahun. Hal ini juga dapat berarti bahwa anjuran pemerintah untuk tidak melahirkan pada usia yang terlalu muda sudah mencapai sasaran. Fenomena ini bisa juga dikaitkan lebih jauh dengan suksesnya program wajib belajar sembilan tahun yang menyebabkan semakin banyaknya perempuan muda yang bersekolah lebih tinggi, dan semakin terbukanya kesempatan bagi perempuan di pasar kerja. Pada akhirnya, hal ini akan membuat banyak perempuan menunda untuk menikah dan melahirkan karena pada umumnya mereka yang menikah dan melahirkan pada usia muda secara fisik dan emosional sebetulnya belum matang. Total Fertility Rate(TFR) merupakan gambaran mengenai rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan dari usia 15 sampai 49 tahun. Perbandingan angka TFR antar negara atau antar daerah dapat

menunjukkan keberhasilan daerah dalam melaksanakan pembangunan sosial ekonominya. Berdasarkan data demografi Badan Pusat Statistik diperoleh tren TFR provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang cenderung semakin menurun dari tahun ke tahun. Selain itu nilai TFR provinsi ini lebih rendah jika dibandngkan dengan provinsi lainnya. Angka TFR yang tinggi dapat merupakan cerminan rata-rata usia kawin yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah terutama perempuannya, tingkat sosial ekonomi rendah atau tingkat kemiskinan yang tinggi. Selain itu tentu saja menunjukkan tingkat keberhasilan program Keluarga Berencana(KB) yang dilaksanakan selama tiga dekade ini. Diketahunya TFR untuk suatu daerah akan membantu para perencana program pembangunan untuk meningkatkan rata-rata usia kawin, meningkatkan program pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan pelayanan ibu hamil dan perawatan anak.

Sumber : Data Demografi Badan Pusat Statistik

Berdasarkan parameter Hasil Proyeksi Penduduk SP 2000 di Provinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2000–2025 dari BPS 2006/2007, taksiran jumlah total anak yang dilahirkan oleh 1000 wanita bila para wanita tersebut secara terus manerus hamil pada saat mereka berada dalam tingkat fertilitas menurut usia pada saat sekarang atau rata-rata jumlah anak yang dapat dilahirkan seorang wanita selama masa hidupnya dari tahun 2000–2025 tidak mengalami peningkatan yaitu 1,4. Dapat diinterpretasikan bawa jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu selama hidupnya adalah 1,4. Jumlah kelahiran pada tahun 2007 yang dilaporkan dari dinas kesehatan Kabupaten/Kota adalah sejumlah 44.203 lahir hidup dan 234 lahir mati dengan jumlah kelahiran terbanyak di wilayah kabupaten Bantul (12.729) dan terendah (4.872) di kota yogyakarta(Dinkes DIY, 2008). 2.2.2Mortalitas

Mortalitas atau kematian dapat menimpa siapa saja, tua, muda, kapan dan dimana saja. Kasus kematian terutama dalam jumlah banyak berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, adat istiadat maupun masalah kesehatan lingkungan. Indikator kematian berguna untuk memonitor kinerja pemerintah pusat maupun lokal dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mortalitas atau kematian merupakan salah satu dari tiga komponen demografi selain fertilitas dan migrasi yang dapat mempengaruhi jumlah dan komposisi umur penduduk. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefiniskan kematian sebagai suatu peristiwa menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Dalam hal kematian, Indonesia mempunyai komitmen untuk mencapai sasara Millenium Development Goals (MDG) untuk menurunkan angka kematian anak sebesar dua per tiga dari angka di tahun 1990 atau menjadi 20 per 1000 kelahiran bayi pada tahun 2015 dan menurunkan kematian Ibu sebesar tiga perempatnya menjadi 124 per 100.000 kelahiran. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dari berbagai instansi terkait, mulai dari pemerintah baik pusat maupun daerah, LSM dan masyarakat pada umumnya. Untuk mengembangkan rogram-program tersebut pemerintah daerah perlu memperhatikan indicator-indikator kematian. Berdasarkan parameter Hasil Proyeksi SP 2000 di Provinsi ini, angka kematian terendah pada tahun pada tahun 2005 yaitu sebesar 7,8 per 1.000 penduduk, sedangkan angka kematian tertinggi pada tahun 2025 yaitu 9,2 per 1.000 penduduk. Tingginya angka kematian kasar di provinsi DIY dapat disebabkan penyakit gaya hidup maupun penyakit degeneratif yang mendominasi

pola

penyebab

kematian

terbesar

di

Provinsi

D.I.Yogyakarta(Dinkes, 2008).

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Tahun

2008

Dinas

Kesehatan

Provinsi

D.I.Yogyakarta

menyelenggarakan kegiatan Gerakan untuk Kesejahteraan Balita (GARBA) yang diharapkan dapat menurunkan Angka Kematian Ibu, Bayi dan Balita untuk mmepercepat penurunan Gizi buruk di provinsi

D.I.Yogyakarta. Angka Kematian Bayi (AKB) di D.I. Yogyakarta dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 berdasarkan parameter hasil Proyeksi Penduduk di Provinsi D.I.Yogyakarta sebagai berikut: Grafik 2.2.4 Angka Kematian Bayi Berdasarkan Proyeksi SP 2000 Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta Tahun 2000-2025

Sumber : Proyeksi penduduk Indonesia 2000-2025 BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Dari hasil proyeksi tersebut diatas dapat diketahui bahwa pada kurun waktu 2000-2005 (5 tahun) penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 3,9% yaitu dari 18,3 kematian bayi setiap 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000 menjadi 14,3 kematian bayi per seribu kelahiran hidup pada tahun 2005. Sedangkan untuk periode tahun 2005 -2010 penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 2,5% yaitu dari 14,3 kematian bayi setiap 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2005 menjadi 11,8 kematian bayi setiap 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Periode tahun 2010 - 2015 penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 1,7% yaitu dari 11,8 kematian bayi setiap 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2010 menjadi 10,1 kematian bayi setiap 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Periode tahun 2015 – 2020 penurunan AKB rata-rata per tahun sebesar 1,0% yaitu 10,1 kematian bayi setiap 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015 menjadi 9,1 kematian bayi setiap1000 kelahiran hidup. Periode tahun 2020 - 2025 tidak terjadi penurunan yaitu 9,1 kematian bayi setiap 1000 kelahiran hidup pada tahun 2020 sampai dengan 2025. Angka

kematian

bayi

per

1000

kelahiran

hidup

di

Provinsi

D.I.Yogyakarta sampai dengan tahun 2007 lebih rendah dari pada target angka nasional. Hasil

pelaporan

yang

disampaikan

melalui

Dinas

Kesehatan

kabupaten/kota pada tahun 2007 jumlah kematian bayi di propinsi DIY sebanyak 317 bayi dengan jumlah kematian bayi terbanyak di kabupaten

Kulon Progo (107 kematian bayi) dan terendah di kota yogyakarta (15 kematian bayi).

Angka Kematian Balita (0-4 tahun) adalah jumlah kematian anak umur 0-4 tahun per 1.000 kelahiran hidup. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan. Angka Kematian balita di D.I. Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir (kecuali tahun 2002) terlihat mengalami penurunan terus-menerus. Pada tahun 1986 AKABA diperkirakan sebesar 58 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 53 pada tahun 1992 dan turun kembali menjadi 28 pada tahun 2.000. Sedangkan AKABA pada tahun 2002 diperkirakan sebesar 43 per 1.000 kelahiran hidup dan ternyata Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 (SDKI 2002-2003) menunjukkan bahwa AKABA mencapai angka 23 per 1.000 kelahiran hidup. Perkembangan AKABA dalam 15 tahun terakhir terdapat pada grafik di bawah ini.

Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta,

2008(Berdasarkan laporan program kesehatan ibu dan anak, untuk tahun 2003 dan 2007 berasal dari SDKI 2002-2003 dan SDKI 2007)

Angka Kematian Ibu (AKI) yang diperoleh melalui SDKI dan SKRT hanya menggambarkan angka nasional dan tidak dirancang untuk mengukur angka kematian ibu menurut provinsi. Hasil Susenas tahun 2005 menunjukkan angka kematian ibu di Provinsi DIY sebesar 105/100.000 kelahiran hidup, angka ini mengalami penurunan dibandingkan hasil Susenas sebelumnya, yaitu sebesar 110/100.000 kelahiran hidup. Jumlah kematian ibu yang terlaporkan dari pencatatan dan pelaporan melalui dinas kesehatan tahun 2007 dilaporkan sebesar 34

kasus kematian dengan perincian kematian pada ibu hamil sebanyak 3 kasus, kematian ibu bersalin 16 dan kematian ibu nifas sebanyak 15 kasus(Dinkes DIY, 2008). 2.2.3Migrasi Perpindahan penduduk (migrasi atau mobilitas) merupakan salah satu dari tiga komponen utama pertumbuhan penduduk yang dapat menambah atau mengurangi jumlah penduduk. Komponen ini bersama dengan kelahiran dan kematian mempengaruhi dinamika penduduk di suatu wilayah seperti jumlah, komposisi, dan distribusi keruangan. Tinjauan migrasi secara regional sangat penting dilakukan terutama terkait dengan kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor-faktor pendorong dan penarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi, kelancaran sarana transportasi antar wilayah, dan pembangunan

wilayah

dalam

kaitannya

dengan

desentralisasi

pembangunan. Sebagai upaya melakukan pemerataan penyebaran penduduk antar wilayah di Indonesia, pemerintah melakukan transmigrasi penduduk. Jumlah transmigran dari DIY pada tahun 2007 tercatat sebanyak 289 KK atau sebanyak 957 jiwa. Jumlah KK transmigran terbanyak berasal dari Kabupaten Kulonprogo serta daerah penempatan terbanyak adalah Provinsi Kalimantan Selatan(DDA DIY, 2008).

Related Documents

Kependudukan
June 2020 9
Profil=
December 2019 59
Profil
November 2019 69
Profil
December 2019 57
Profil
December 2019 58