Prinsip Rek Sosial

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Prinsip Rek Sosial as PDF for free.

More details

  • Words: 4,810
  • Pages: 15
PRINSIP-PRINSIP REKONSTRUKSI SOSIAL Diterjemahkan oleh:

Muhamad Nur Hidayat Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris S-1 semester VI, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (041214082) dari buku

(The Principles of Social Reconstruction)—BERTRAND RUSSELL With an introduction by Richard A. Rempel © 1997

Dipublikasikan pertama di Inggris tahun 1916 oleh George Allen & Unwin Dicetak ulang tahun 1997 (dua kali), 1998 oleh Routledge © 1916 Bertrand Russell © 1997 The Bertrand Russell Peace Foundation Introduction © 1997 Richard A. Rempel ISBN 0-415-14349-7

1

BAB V. PENDIDIKAN (hal. 100-116)

Tidak ada teori politik apapun yang bisa dikatakan mumpuni, jika tidak menjangkau anak-anak, sebagaimana pada manusia dewasa. Para teoris politik umumnya tak memperhitungkan anak-anak, atau, kendati mereka menggubrisnya, mereka dikerangkeng dengan hati-hati dari kekacauan yang mungkin ditimbulkan oleh kenakalannya. Beberapa dari mereka telah memproduksi buku-buku pendidikan, sebagai suatu pakem, tanpa memunculkan anak-anak secara aktual dalam alam pemikiranya ketika menulis. Teoris-teoris edukasi yang memiliki pengetahuan tentang anak-anak, misalnya penemu Kindergarten (taman kanak-kanak) dan sistem Montessori1, belum tentu cukup punya kesadaran akan tujuan akhir pendidikan untuk mampu menyerap pembelajaran tahap berikutnya. Saya tidak terlalu mengerti perihal anak-anak maupun pendidikan yang memungkinkan saya untuk menutup ketidaksempurnaan tulisantulisan orang lain. Tetapi beberapa wacana, tentang edukasi sebagai sebuah institusi politis, dilibatkan dalam suatu harapan menuju rekonstruksi sosial, dan biasanya diabaikan oleh penulispenulis teori pendidikan. Wacana inilah yang akan saya bahas. Kekuatan pendidikan dalam membangun opini dan karakter sangatlah besar dan umum diterima. Kepercayaan-kepercayaan mutlak para orang tua dan guru, meski biasanya bukan ajaran-ajaran yang gemilang, selalu tanpa disadari diterima oleh kebanyakan anak-anak; dan bahkan jika mereka nanti tidak mengindahkan kepercayan-kepercayaan ini, beberapa darinya tetap mengakar tunggang di dalam pikiran dan siap muncul dalam situasi krisis dan tertekan. Edukasi, sebagai suatu aturan, adalah kekuatan terhebat yang dimanfaatkan oleh institusi yang sedang eksis serta anti perombakan fundamental: institusi-institusi powerful yang terancam olehnya, mendominasi “mesin” pendidikan, dan membangun pemujaan akan keagungan mereka sendiri kedalam pikiran-pikiran polos kaum muda. Para reformis dengan suara pedas mencoba membendung lawan-lawan mereka dari posisi yang menguntungkan tersebut. Anak-anak sendiri sebenarnya tidak digubris oleh kedua belah pihak: mereka hanyalah seonggok materi, yang akan diperebutkan menjadi bagian dari salah satu pihak atau pihak lainya. Jika anak-anak memang diperhitungkan, pendidikan mustahil bertujuan untuk memasukkan mereka ke dalam kelompok ini atau itu, tetapi akan memberi peluang mereka memilih secara arif antara kelompokkelompok tersebut; edukasi akan bertujuan untuk membuat mereka mampu berpikir dan bukan 1

Mengenai pendidikan terhadap anak-anak, metode yang digunakan Madame Montessori saya rasa penuh kearifan.

2

berpikir seperti apa yang guru mereka pikir. Pendidikan sebagai senjata politis akan lenyap apabila kita cukup menghargai hak-hak anak. Jika kita menghargai hak-hak mereka, tak ayal lagi kita musti mendidik mereka dengan memberikan pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan mental yang diperlukan guna membentuk opini-opini independen; lain halnya dengan pendidikan sebagai media politis yang berupaya membangun kebiasaan-kebiasaan mental serta mencekik pengetahuan sedemikian rupa sehingga satu set opini sudah pasti terjadi. Dua prinsip, “keadilan” (justice) dan “kemerdekaan” (liberty), yang identik sekali dalam melingkupi proses rekonstruksi sosial, tidak dengan sendirinya memenuhi meski pendidikan diperhitungkan. Keadilan, secara harafiah diartikan sebagai persamaan hak, nyata-nyata mustahil terwujud apabila berkenaan dengan anak-anak. Kemerdekaan pada dasarnya merupakan sesuatu yang negatif: kemerdekaan mengutuk segala campur tangan terhadap kebebasan, tanpa memberikan suatu asas positif yang membangun. Tetapi, pendidikan pada hakikatnya konstruktif, dan haus akan konsepsi positif dari apa yang kita sebut kehidupan yang baik. Meski kemerdekaan wajib dihormati dalam pendidikan selama itu kompatibel dalam pengajaran, dan meski kemerdekaan yang semakin luas lagi dari yang biasanya dapat dienyam tanpa mengabaikan pengajaran, sangatlah nyata bahwa keengganan anak terhadap perpustakaan komplit sekalipun tidaklah terelakkan walaupun anak-anak diajarkan segalanya, terkecuali dalam kasus seorang anak luar biasa intelijen yang diisolasi dari kawan-kawan sebayanya. Ini merupakan satu alasan akan tanggung jawab agung para pengajar: anak-anak lebih kurang harus ditempatkan didalam kekuasaan orang tua, dan tidak mampu menjadi pelindung keinginan dirinya sendiri. Otoritas pendidikan dalam hal tertentu tak dapat dikesampingkan, dan mereka yang “mengajar” harus mencari jalan untuk memanfaatkan otoritas tersebut sehingga sejalan dengan spirit kemerdekaan. Dimana suatu otoritas takterelakkan, yang dibutuhkan adalah penghormatan (reverence). Seorang manusia yang mengajar dengan bijak serta berupaya untuk medewasakan para muda dan membangun pencapaian penuh (stature) mereka, harus ditanamkan padanya secara berkesinambungan dengan spirit penghormatan. Kekeringan penghormatan terhadap sesamalah yang didera para penyokong sistem pabrik besi cor: militerisme, kapitalisme, organisasi ilmiah Fabian, dan segala macam bui tempat dimana kaum reformis dan pembangkang berjuang memaksakan semangat humanitas. Dalam edukasi dimana kode-kode aturanya dilahirkan oleh kantor Pemerintah, kelas-kelas besarnya beserta kurikulum fixnya dan guru-gurunya yang bekerja lebih dari jam kerja, serta determinasinya untuk mencipta harga mati demi kecakapan 3

menengah, kekurangan penghormatan bagi anak-anak adalah akibat universalnya. Penghormatan membutuhkan imajinasi dan kehangatan hati yang vital: perlu banyak imajinasi bagi mereka yang mempunyai prestasi dan power terbatas. Anak itu lemah dan agaknya tolol, sedangkan pengajar itu kuat, dan biasanya lebih bijak dari si anak. Pengajar dan birokrat tanpa penghormatan, sudah barang tentu akan memandang sepele inferioritas-inferioritas lahiriah ini. Mereka berpikir adalah kewajiban merekalah untuk “mencetak” si anak: bak pengrajin tembikar beserta tanah liatnya. Sehingga mereka membentuk si anak berupa bentuk tidak natural, membekukan mereka dalam usia, memproduksi luka dan ketidakpuasan spiritual, yang bersumber dari kebengisan dan iri hati, serta menanamkan doktrin bahwasanya orang lain mesti mengunyah distorsi serupa. Seorang beranugrah penghormatan tak mungkin berpikiran bahwasanya ia berkewajiban “mencetak” kaum muda. Ia sepenuhnya merasa didalam esensi yang hidup, spesifiknya manusia dan terutama anak-anak, kesucian, tak terlukiskan, tak terbatas, sesuatu yang unik dan anehnya begitu berharga, pertumbuhan prinsip-prinsip kehidupan, potongan wujud dari seorang bodoh, mencoba berjuang di dunia. Dalam kehadiran anak, ia merasa rendah hati tanpa sebab—suatu kerendahan hati tanpa pembelaan dari segala dasar rasional, namun lebih condong ke kebijaksanaan dari pada sekedar kepercayaan diri ringan para orang tua dan guru. Ketidakberdayaan lahir ditambah haus perlindungan seorang anak membuat ia sadar akan pertanggung jawaban suatu kepercayaaan. Imajinasinya menuntun gambaranya mengenai menjadi apa ia, demi kebaikan atau keburukan, bagaimana dorongan-dorongan tersebut dibangun atau dirobohkan, bagaimana pengharapanya diredupkan sehingga kehidupanya tumbuh kurang ceria, bagaimana kepercayaanya dirusak serta semangatnya tergantikan dengan kehendak serakah. Semua ini mencipta kerinduan demi membantu si anak untuk mengarungi pertarunganya sendiri. Ia akan menempanya dan mempersenjatainya bukan untuk tujuan lahir, harapan Negara atau segala macam otoritas impersonal, melainkan demi ending yang si anak cari dengan semangatnya sendiri. Seseorang yang mampu berpikir demikian memegang otoritas sebagai pengajar tanpa mengesampingkan prinsip kemerdekaan. Bukanlah di dalam koridor penghormatan apabila edukasi dipegang oleh Negara atau Gereja ataupun institusi-institusi besar lain yang tunduk padanya. Apa yang diutamakan dalam pendidikan nyaris bukanlah para anak-anak, remaja, dan pemuda-pemudi, melainkan, hampir dalam berbagai segi, pelestarian doktrin yang sudah ditetapkan. Ketika suatu individu diperhitungkan, nyaris semata-mata hanya dalam pandangan kesuksesan duniawi – 4

menghasilkan uang ataupun posisi idaman. Menjadi manusia tidak neko-neko dan menerima apa adanya adalah suatu ideal yang dibangun didalam pemikiran-pemikiran muda, terkecuali segelintir pengajar yang langka yang memiliki cukup energi dan keyakinan untuk berani mendobrak tatanan didalam mana mereka seharusnya bekerja. Hampir semua pendidikan mengandung muatan politis: bertujuan demi menyokong beberapa golongan, seperti nasional, agama bahkan sosial, dalam kompetisinya dengan golongan lain. Utamanya, motif inilah yang menentukan mata pelajaran-mata pelajaran, ilmu-ilmu yang ditawarkan dan juga yang “disimpan”, juga kebiasaan-kebiasaan mental apa saja yang diharapkan dikuasai para murid. Hampir nihil telah dilakukan demi mendorong perkembangan pemikiran dan spirit; nyatanya mereka yang banyak menikmati pendidikan malah kerap mengalami atrophia dalam ranah mental dan spiritualnya, pengeroposan dorongan jiwa, dan hanya sekedar menguasai kecerdasan mekanis tertentu yang bersarang dalam pemikiran hidupnya. Beberapa hal yang telah berhasil dicapai oleh pendidikan saat ini harus terus-menerus dicapai pula oleh semua Negara beradab. Seluruh anak-anak musti terus diajar cara membaca dan menulis, dan beberapa harus melanjutkan menuntut ilmu-ilmu profesi semacam hukum, teknik, dan kedokteran. Bagi yang memiliki minat, pendidikan lanjut tentang sains dan seni sangatlah perlu didorong. Terkecuali dalam sejarah, agama, atau hal-hal seragam, instruksiinstruksi aktual hanyalah tidak mencukupi, bukan sungguh-sungguh membahayakan. Pengajaranya mungkin pas diberikan dalam kaidah semangat yang lebih liberal, dengan lebih menekankan pada faedah-faedah pokok; dan tak pelak lagi kebanyakanya bercorak tradisional dan membosankan (dead). Namun, pada hakikatnya tetap dibutuhkan, dan harus membentuk satu bagian dalam sistem pendidikan. Dalam hal sejarah dan agama serta mata pelajaran-mata pelajaran kontroversial lainya, instruksi atau pengajaran aktual nyata-nyata berbahaya. Subjek-subjek ini menyentuh kepentingan dalam mana sekolah “diarahkan”; dan kepentingan-kepentingan tersebut menggiring sekolah sedemikian rupa sehingga sudut pandang tertentu dari subjek-subjek ini dapat ditanamkan. Sejarah, di setiap Negara, diajarkan dengan terlampau mengagung-agungkan Negara tersebut: anak-anak diajak percaya bahwasanya Negeri merekalah yang selalu bijak dan nyaris terus menerus berjaya, bahwa telah melahirkan hampir semua tokoh-tokoh besar, dan sudah barang tentu superior terhadap Negeri lain. Oleh karena keyakinan-keyakinan yang menyanjung-nyanjung ini, sangatlah mudah terserap dan luar buasa susah tercerabut akar tunggangnya dari insting, oleh pengetahuan-pengetahuan baru. 5

Kita ambil contoh simpel dan kiranya sepele: kebenaran-kebenaran mengenai peperangan Waterloo terlampau mudah didapat; namun fakta-fakta yang diajarkan di sekolah dasar-sekolah dasar di Inggris, Perancis, Jerman pastilah berlainan (sebagaimana mungkin diantara Indonesia dan Timor Leste, penerj.). Pemuda umum di Inggris menggambarkan bahwa orang-orang Prussia sedikit sekali ambil bagian, pemuda umum Jerman mengilustrasikan kekalahan Wellington ketika diambil alih oleh kesatriaan Blücher. Jikalau fakta-fakta diajarkan secara akurat dikedua Negara, kebanggaan nasional tidak akan dipaksakan pada taraf serupa, tiada Negara yang merasa sukses dalam peperangan, dan kerelaan untuk bertarung pastilah sirna. Akibat semacam inilah yang musti dihindarkan. Setiap Negara berupaya mengembangkan kepongahan nasional mereka, serta sadar bahwasanya tujuan ini mustahil terwujud dengan histori yang tak terbiaskan. Anak-anak yang tak berdaya diajar dengan distorsi-distorsi, penindasan-penindasan, dan sugesti-sugesti. Pandangan keliru sebagaimana sejarah dunia diajarkan diberbagai negara merupakan pemicu perselisihan dan membantu pelestarian kehidupan nasionalisme yang terlampau fanatik. Apabila relasi antar negara sungguh-sungguh diidamkan, salah satu langkah adalah menyerahkan semua pengajaran sejarah kepada suatu komisi internasional yang memproduksi texbook netral yang jauh dari bias patriotik yang saat ini dituntut dimana saja.2 Hal yang serupa terjadi pada agama. Sekolah-sekolah dasar secara praktis bernaung dibawah lembaga-lembaga keagamaan atau Negara yang mengadopsi pendirian tertentu terhadap agama. Suatu lembaga religius hidup berlandaskan pada fakta bahwa seluruh anggotanya menganut keyakinan definit tertentu berkenaan dengan subjek-subjek dalam hal kebenaran-kebenaran mana saja yang tak dapat langsung diketaui. Sekolah berlandaskan lembaga keagamaan harus menyumpal pikiran para muda, yang seringkali bertanya-tanya (by nature), dari pengungkapan bahwasanya keyakinan-keyakinan definit ini dibantah oleh orang lain, yang mustahil tak masuk akal, dan bahwasanya banyak tokoh-tokoh berdedikasi menuturkan bahwa tidak ada bukti yang masuk akal mengenai segala kepercayaan definit itu. 2

Kita akhir-akhir ini telah mencapai bagian terdalam, bahkan lebih rendah lagi, daripada disorsi-distorsi pikiran anak-anak. Mereka yang tak berdosa “ditata” demi menjadi alat kebencian dan kekejian yang kemudian disemai dalam afeksi orang tua. Untuk cara melakukan ini lihat Teacher’s World, 5 September 1917. Di suatu kesempatan khusus, seluruh murid diwajibkan menulis surat teruntuk sahabat-sahabat prajurit. “Surat mereka harus tertera ucapan sepenuh hati; sebuah jabat tangan yang mantap. Surat itu tidak boleh sekedar berucap, ‘Apa kabar?’ tetapi, ‘Kamu menang. Kami sungguh bangga padamu. Kami percaya itu. Semua orang yakin padamu.’ dan seterusnya.” “Terutama sekali, surat itu wajib digoreskan senatural mungkin…. Murid-murid yang lebih tua harus mencipta sendiri suratnya. Yang lebih muda dibimbing seminimal mungkin. Yang sangat ingusan diizinkan mengirim satu dua baris riang tulisan bu guru di papan tulis.”

6

Ketika suatu Negara secara militan sekuler, sebagaimana Perancis, sekolah-sekolah negeri sama dogmatisnya tak ubahnya sekolah Gerejawi. (Saya paham bahwa kata “Tuhan” dilarang diucapkan di sekolah negeri di Perancis). Akibat dari semua polemik ini adalah sama: kebebasan bertanya dicekik, dan hal yang terpenting didunia, anak-anak dihadapkan pada pilihan dogma atau kebisuan. Kebusukan ini tidaklah hanya menggerogoti pendidikan dasar saja. Didalam pendidikan lanjut, kebobrokan ini bertransformasi menjadi bentuk yang lebih ruwet, dan tedapat upayaupaya yang lebih mumpuni untuk menyembunyikanya, kendatipun tetap saja eksis. Eton dan Oxford mencipta kualitas tertentu pada penalaran seseorang, seperti halnya Jesuit. Terlampau sukar dikata bahwasanya Eton dan Oxford mencanangkan suatu tujuan lahir, namun mereka memiliki tujuan yang kuat lagi efektif tanpa harus diformulasikan. Bagi hampir semua yang telah menyaksikanya, mereka mencipta semacam bentuk pemujaan terhadap “Yang Baik” (Good Form) yang sudah barang tentu menghancurkan kehidupan dan pemikiran sebagai mana Gereja jaman pertengahan. Bentuk ini (Good Form) beriringan dengan keterbukaan pandangan yang dangkal (superficial open-mindedness), kerelaan mendengarkan dari bermacam pandangan, dan kehalusan budi khusus terhadap lawan. Namun ini sama sekali tidak inheren dengan keterbukaan pandangan fundamental (fundamental open-mindedness), ataupun dengan segala kerelaan batin untuk memberikan bobot pada pihak lain. Esensinya adalah suatu asumsi bahwasanya yang paling mulia adalah “tindak-tanduk khusus”, tindak-tanduk yang memperhalus gesekan antara dua kualitas yang sama dan secara lembut menanamkan inferiorinferior pada keyakinan-keyakinan kasarnya. Sebagai senjata politis untuk mengawetkan prifilise kawan kaya pada demokrasi yang muluk-muluk, ini tak tertandingi. Ini berguna sebagai suatu alat produksi milieu sosial yang diterima banyak pihak, dan bagi mereka yang kaya-raya tetapi tak mempunyai keyakinan yang kuat, ataupun hasrat yang luar biasa. Dalam setiap segi lain, ini teramat keji. Kejahatan “Good Form” timbul dari dua sumber: kepercayaan mutlak akan kebenaran sendiri, dan keyakinan bahwasanya “berbudi” lebih diidamkan daripada intelektualitas, kreasi artistik, semangat serta bentuk-bentuk lain pendorong kemajuan didunia. Kepercayaan mutlak pada hakikatnya cukup untuk membudidayakan segala kebobrokan mental. Dan apabila dikawinkan dengan kejijikan akan kekakuan yang kerap diasosiasikan pada kekuatan mental, menjadikan sumber segala sumber malapetaka bagi mereka yang akrab denganya. “Yang Baik” pada dasarnya mati dan tak mampu berkembang dan dampaknya bagi mereka yang sejalan 7

denganya adalah kematian bagi banyak manusia yang sebenarnya memiliki gairah. Kebusukan yang terlampau menyeruak telah tertanam pada bos-bos tajir Inggris, serta pada orang yang kecerdikanya telah merangsang bos-bos tajir itu untuk melirik mereka. Pemeberangusan kebebasan bertanya tak terhindari selama pendidikan itu sendiri bertujuan untuk memproduksi keyakinan bukan pemikiran, dan untuk mencekoki para muda dengan opini-opini positif yang meragukan bukanya membebaskan mereka untuk mengkaji halhal yang meragukan tersebut serta mensuport pola pikir independen mereka. Edukasi seyogyanya memberikan semangat pencarian kebenaran bukanlah pendirian akan keyakinan tertentu yang menjadi kebenaran. Tetapi iman-iman inilah yang mengintegrasikan mereka dalam kelembagaan-kelembagaan peperangan: Gereja, Negara, dan partai-partai politik. Adalah intensitas keyakinan terhadap imannya yang menjadikan suatu pertempuran efisien: kepercayaan menghampiri mereka yang berkeyakinan kuat perihal sesuatu dimana keraguan hanyalah sikap rasional. Demi mewujudkan intensitas dan efisiensi dalam perhelatan, keluguan seorang anak dibengkokkan, imajinasinya dikerutkan, dengan menebar banyak rintangan sebagai kartu as tumbuhnya pandangan baru. Bagi mereka yang pola pemikiranya tidaklah terlalu aktif, akibat yang dihasilkan adalah kebencian yang tak beralasan; sementara sedikit dari mereka yang pemikiranya tidak bisa dimatikan begitu saja, mereka menjadi sinis, hopeless secara intelektual, mengkritik untuk menjatuhkan, memandang rendah orang lain, tak mampu memupuk semangat kreatifitas, yang pada orang lain telah mereka hancurkan. Kejayaan yang diraih dalam perhelatan lewat pemasungan kebebasan berpikir dan berpendapat takkan berlangsung lama dan tak berharga sama sekali. Kecerdasan mental sangatlah esensial tak ubahnya kepuasan hidup. Konsep pendidikan sebagai suatu pakem dan alat produksi kebulatan tekat lewat perbudakan, umum dipertahankan demi sekedar sebagai fundamen pencapaian kejayaan. Mereka yang suka paralel, akan merefer tujuan mereka ke kemenangan Sparta atas Athena dalam pemaksaan moralnya. Sayangnya, Athenalah yang beramunisi imajinasi dan pemikiran manusia, bukanya Sparta: andai kita boleh terlahir kembali dalam epos tersebut, pastilah kita memilih terlahir kembali sebagai seorang warga Athena. Ironisnya dunia modern ini lebih membutuhkan banyak lagi intelektualitas demi mencapai kejayaan lahiriah dan urusan-urusan praktis. Edukasi macam ini menuntun pada pembusukan mental; hanya lewat pemupukan semangat ingin tahulah kemajuan dapat dinikmati bersama. Budaya mental tertentu umum dicebloskan oleh mereka yang membidani pendidikan: disiplin dan kepatuhan, kezaliman dalam upaya meraih kesuksesan duniawi, menganggap remeh 8

kelompok yang berlawanan, kebenaran tak terbantahkan, lengkap dengan respon pasif terhadap kebijaksanaan guru. Seluruh tradisi ini bertolak belakang dengan kehidupan. Wajib hukumnya kita bertumpu pada perlindungan impuls-impuls serta independensi (bukan “dependensi”, penerj.) bukanya disiplin dan ketaatan. Bukanya kebengisan, pendidikan selayaknya mengkonsepsi keadilan dan pola pikir. Bukanya pelecehan, pendidikan harus menanamkan benih penghormatan dan menghormati opini orang lain, bukanya diam saja membatu, tetapi juga harus ada sanggahan-sanggahan asalkan memiliki realisasi dan pemahaman yang jelas. Bukan pula kebenaran mutlak, objek yang dipelajari wajib merangsang rasa ragu-ragu yang konstruktif, memungkinkan pengembaraan mental, keberanian serta ketajaman pikiran dalam mengarungi hidup. Kenyamanan terhadap status-quo dan pengerucutan pola pikir peserta didik ke arah tujuan-tujuan politis, pengabaian independensi pikiran, merupakan sebab-musabab spontan dari kekejian ini: namun dibalik alasan-alasan ini terdapat satu lagi yang paling fundamental, yaitu, kenyataan bahwasanya pendidikan adalah suatu media pencapaian kekayaaan, bukan alat penyubur perkembangan. Dalam fundamen inilah kekeringan penghormatan terjadi, dan hanya dengan penghormatan lebihlah suatu perombakan dasar dapat berefek. Kepatuhan dan disiplin tetap eksis apabila aturan tetap dijalankan dikelas, dan apabila setiap pembelajaran disampaikan. Ini dapat dibenarkan dalam aspek tertentu, tetapi sesungguhnya aspek positifnya sangatlah rendah dari yang dipikirkan para penyokong disiplin dan ketaatan. Ketaatan, pengalihan hasrat seseorang ke arah lain, adalah rekan otoritas. Dalam kasus tertentu, keduanya perlu. Anak-anak yang ngeyel, gendeng ditambah kriminal memang perlu menerima tindakan, dan perlu dipaksa patuh. Tetapi sepanjang ini diperlukan, disitulah kemalanganya; apa yang sebenarnya diperjuangkan adalah kebebasan memilih tujuan akhir tanpa andil dari pihak manapun. Dan para reformis edukasi telah membuktikan bahwasanya ini sangat mungkin tercapai dari yang dikira bapak-bapak kita dulu3. Apa yang membuat kepatuhan perlu adalah kapasitas kelas yang telampau besar serta keadaan guru yang bekerja ekstra demi stabilitas ekonomi keluarganya. Mereka yang tak acuh pada pengajaran, tak mampu membayangkan berapa ongkos setiap semangat dalam setiap pembelajaran. Mereka berpikir bahwa guru dapat bekerja terus-menerus layaknya pegawai bank. Hasilnya adalah kelelahan hebat serta mudah naik pitam dan hanya bekerja yang sepenuhnya

3

Apa yang telah diraih Madame Montessori dalam meminimalkan ketaatan dan disiplin dalam mengupayakan pendidikan yang baik nyaris ajaib.

9

secara mekanis saja. Padahal suatu kewajiban tak mungkin terlaksana secara mekanis tanpa memaksa patuh. Apabila kita menggagas pendidikan secara lebih serius dan berpikir bahwa memelihara kehidupan wawasan pikiran anak-anak amatlah penting seperti halnya menjamin kemenangan dalam perang, kita wajib menyelengarakan pendidikan secara berbeda: kita harus berkonsentrasi pada pencapaian tujuan akhir meskipun ongkosnya ratusan kali lipat dari biasanya. Orang berpendapat, belajar sedikit adalah suatu kenikmatan, dan dapat diselenggarakan dengan semangat dan kehidupan yang menyegarkan, yang tetap menggairahkan bagi siswa-siswa tanpa perlu adanya disiplin. Beberapa yang tidak cukup beruntung terpancing, dapat dipisahkan dan dididik dengan cara yang berbeda. Seorang guru mengajar secukupnya setiap hari dengan menyenangkan dan dengan kesadaran akan kebutuhan mental muridnya. Hasilnya berupa relasi yang hangat antara guru dan murid bukanya perselisihan; suatu pencapaian bahwa proses belajar membantu perkembangan kehidupan bukan sekedar gangguan lahir yang diselingi guyonan dan duduk manis diam seribu bahasa layaknya batu. Semua upaya demi mewujudkan tujuan ini jelas memerlukan biaya yang tidak sedikit, untuk “menyelamatkan” para guru dengan jam kerja yang masuk akal dan penuh kasih dalam mengajar. Disiplin seperti diterapkan disekolah sejatinya amatlah buruk. Ada semacam disiplin yang memang diperlukan untuk mencapai tujuan, dan mungkin sangat tidak dihargai oleh mereka yang anti disiplin eksternal dan metode tradisional. Bentuk disiplin yang baik adalah disiplin yang lahir dari diri sendiri yang bertumpu pada kekuatan untuk meraih suatu objek yang jauh dengan langkah mantap serta cukup menderita dalam mengupayakanya. Ini mencakup pengesampingan dorongan-dorongan minor dari hasrat, suatu power yang menggerakkan tindakan dari semangat kreatif bahkan pada saat kelihatan tak terlalu mencolok. Ini absen, takkan ada ambisi serius, baik hal yang baik atau buruk, yang dapat terwujud, takkkan ada pula tujuan konsisten yang mendominasi. Disiplin semacam ini sangat penting dan urgen, akan tetapi hanya dapat dicapai dengan motivasi yang kuat akan tujuan yang tidak segera terpenuhi, dan hanya dapat dihasilkan oleh pendidikan yang memupuk motivasi tersebut, yang sudah barang tentu sangat langka sekarang ini. Disiplin tipe ini timbul dari kebutuhan sendiri, bukan dari otoritas luar. Bentuk inilah yang tidak digubris sekolah-sekolah, dan bukan bentuk inilah yang menurut hemat saya kejam. Meskipun pendidikan dasar tidak mendorong bentuk disiplin yang baik dan mewujud dalam kepatuhan pasif, dan meskipun langka adanya disiplin yang mendorong consistent self10

direction, tetapi terdapat suatu macam disiplin mental alami yang dihasilkkan oleh pendidikan lanjut tradisional. Bentuk yang saya maksud adalah disiplin yang menuntut seseorang memfokuskan pikiranya, kapan saja, terhadap segala macam hal terkait tanpa menghiraukan dominasi pikiran, kejemuan, atau keterbatasan intelektualitas. Kualitas ini, walaupun tidak memiliki kecerdasan intrinsik yang penting, sangatlah menghasilkan efisiensi dalam pemikiran sebagai suatu instrumen. Kualitas inilah yang dimiliki seorang advokat dalam menguasai detildetil ilmiah pada kasus tertentu, yang segera ia lupakan sesaat setelah keputusan dibacakan, atau seorang pegawai negeri yang harus tangkas menangani rangkain pertanyaan administratif. Inilah yang menyebabkan mengapa orang dapat mengesampingkan urusan pribadi disaat jam kerja. Dalam dunia yang kompleks ini, kemampuan ini sangat diperlukan bagi mereka yang pekerjaanya memerlukan konsentrasi mental. Keberhasilan dalam pembentukan disiplin mental merupakan cita-cita paling utama dalam pendidikan lanjut tradisional. Saya ragu apakah dalam mencapainya harus memaksa ataukan menstimulasi partisipasi aktif dalam menyelesaikan suatu tugas. Karena alasan inilah saya tidak mempercayai metode-metode layaknya metode Madame Montessori apakah aplikatif bilamana batas umur siswa telah terlampaui. Inti dari metode ini terletak pada pemberian kesibukan yang menyenangkan bagi anak-anak dan instruksi lainya. Perhatian anak-anak sama sekali spontan, seperti dalam bermain; mereka menikmati asupan pengetahuan dengan cara ini, karena hanya menagkap ilmu yang mereka sukai saja. Saya sungguh yakin bahwa inilah metode yang paling ampuh dalam mendidik anak kecil: hasilnya sangatlah meyakinkan dan aktual. Namun sukar sekali tampak bagaimana metode ini dapat melestarikan perhatian itu sendiri dengan hasrat atau dorongan. Banyak hal yang musti dipikirkan ternyata sangatlah menjemukan, bahkan yang pertama-tama menarikpun, pada akhirnya jadi membosankan, sebelum digagas walaupun ini amat penting. Amatlah perlu suatu kekuatan untuk mengabadikan perhatian, dan ini jarang didapat kecuali sebagai kebiasaan alami dari dorongan luar. Memang benar, sedikit anak-anak memiliki hasrat intelektual yang menggebu sehingga sadar dengan inisiatif sendiri untuk melakukan yang perlu; namun bagi kebanyakan lainya, bujukan dari luar memang diperlukan agar supaya mereka mempelajari sesuatu sepenuhnya, bukan setengah-setengah. Diantara para reformis pendidikan, terbesit ketakutan akan usaha-usaha yang susah payah dan kejemuan. Kedua tendensi ini mengandung sisi yang positif, tetapi terdapat pula bahaya. Disiplin mental yang beresiko dapat langgeng sekedar lewat nasihat tanpa paksaan, kapanpun dorongan intelektual dan ambisi seorang anak dapat dirangsang. Pengajar yang baik diharapkan 11

mampu mengaplikasi terhadap murid yang punya prestasi mental tinggi; dan bagi kebanyakan lainya, pendidikan kebukuan seperti sekarang ini mungkin bukan jalan terbijak. Dengan jalan ini, selama kita sadar ekan pentingnya disiplin mental, target ini dapat dicapai, kapanpun, dengan mendorong siswa agar melek kebutuhan-kebutuhanya sendiri. Kekejaman dalam pemuasan ekonomi mempunyai peran nyaris tak terhindarkan dalam pembelajaran di sekolah selama struktur ekonomi masyarakat itu sendiri belum dirombak. Kasus ini menggejala di sekolah-sekolah “kelas menengah” yang sangat bergantung pada opini positif para wali murid dalam perolehan jumlah siswanya, dan kemudian mengawetkan opini positif tersebut dengan “mengiklankan” prestasi murid-murid hebatnya. Ini merupakan salah satu cara dalam mana organisasi-organisasi kompettitif Negara sungguh berbahaya. Dorongan-dorongan alami yang tidak berpihak pada keterkarikan akan pengetahuan menjamur dikalangan muda, dan akan semakin menyeruak apabila masih terpendam. Tetapi guru malah menggagas dengan kejamnya yang hanya mengutamakan ujian-ujian, peraihan diploma, dan gelar-gelar.

Tidak

ada waktu bagi anak-anak yang agak cakap untuk pemikiran-pemikiran, kegemaran intelektual, semenjak pertama masuk taman kanak-kanak hingga lulus sarjana. Dari dulu hingga sekarang, tak ada yang lain kecuali kebosanan jangka panjang akan tips-tips ujian, dan penggalian ilmu lewat buku-buku pelajaran. Yang paling intelijen dari mereka pada akhirnya akan membenci belajar (dari pada yang seharusnya mereka pelajari, penerj.), serta malah berniat untuk melupakan semuanya dan merefleksikan jiwanya lewat tindakan nyata. Namun, sebagaiman sebelumnya, mereka terpenjara dalam lingkaran ekonomi dan semua dorongan alami mereka akan terjegal dan diperkosa. Sistem ujian dan fakta bahwasanya pengajaran hanya diselenggarakan sebagai media penggemblengan untuk mencari mata pencaharian, memaksa para muda meneropong pengetahuan murni dari pandangan utilitarian saja, dan sebagai lorong berujung uang, bukanya sebagai jembatan menuju kearifan. Pandangan ini tentu saja tidak akan terlalu ngefek pada mereka yang tidak dikaruniai kegemaran-kegemaran intelektual alami. Tetapi yang sangat disayangkan, hal ini begitu berpengaruh bagi mereka yang memiliki hasrat intelektual kuat karena biasanya merekalah yang menjumpai pahitnya tekanan-tekanan ujian. Bagi mereka, namun juga bagi semua dalam tingkatan tertentu, pendidikan tampaknya sekedar merupakan suatu senjata peraih superioritas atas orang lain, dan secara berkesinambungan diracuni oleh kekejian dan pengagungan ketimpangan sosial. Setiap ketidakberpihakan menggambarkan bahwa apapun ketidaksetaraan yang tersisa dari suatu Utopia, ketidaksetaraan aktualnya nyaris 12

bertolak belakang dengan keadilan. Tetapi pendidikan kita condong untuk membungkusnya rapat-rapat dari masyarakat kecuali kegagalanya karena merekalah yang berhasil adalah mereka yang berada di trek yang menuju keuntungan, dengan segala support dari mereka yang menyetir pendidikan. Kebijakan guru teramat mudah diterima murid secara pasif. Hal ini tidak memerlukan upaya intelektual independen apapun, dan kiranya cukup rasional oleh karena para murid kalah tahu dari para pengajarnya; ini dipermudah lagi karena inilah salah satu cara mengemis kemurahan dari si guru terkecuali ia seorang yang sangat langka. Memang benar, kebiasaan menerima tanpa protes teramat berbahaya bagi hari esok. Inilah yang menyebabkan orangorang mencari seorang pemimpin dan menerimanya siapapun ia, tanpa perlu pikir panjang. Ini mengakibatkan kekuatan seperti Gereja, Pemerintah, atau kaukus partai apapun dan semua organisasi lain dalam mana masyarakat terjerumus untuk mendukung sistem kolot yang sama berbahayanya bagi mereka sendiri dan bangsanya. Terdapat kemungkinan bahwasanya pemikiran independen sangatlah terbatas meski pendidikan telah berusaha sekuat tenaga untuk mengaplikasikanya, namuh akan lebih banyak lagi dari pada sekarang. Jikalu memang suatu objek merangsang pelajar untuk berpikir, bukan membuat mereka menerima kesimpulan tertentu apa adanya, pendidikan pastilah akan dikelola secara berbeda: instruksi-instruksi akan jauh berkurang, digantikan dengan lebih banyak diskusi, dan kesempatan lebih banyak kepada para murid untuk mengekspresikan diri, serta usaha untuk mengembalikan inti pendidikan lewat sesuatu yang lebih menyenangkan bagi para siswa dikembangkan. Yang terpenting, akan timbul usaha untuk membangkitkan dan menstimulasi kecintaan akan petualangan mental. Dunia yang kita tempati ini beraneka macam intriknya, dan cukup mengherankan: beberapa hal yang kiranya sangat sederhana berkembang urip-uripan saja ketika kita perhatikan; sebaliknya hal-hal lain yang dikira tak terpikirkan malah disingkap oleh para jenius dan industri. Kekuatan-kekuatan pikiran, seluas apapun yang dapat dicerna, semakin luas pula area yang dikover oleh imajinasi, bagi mereka yang pemikiranya berpetualang memecah kestatisan, memperoleh kekayaan ide serta membebaskan jiwa dari hal-hal yang sepele dan aktivitas harian yang menjemukan, didalam mana kehidupan akan dilingkupi kepuasan karena jeruji penjara sehari-hari telah meleleh tak tersisa. Kecintaan serupa akan semangat menaklukkan Kutub Selatan, atau hasrat yang sama akan keyakinan seesorang untuk berperang, dapat menemukan dari pemikiran kreatif suatu pelampiasan yang bukanya kejam dan sia-sia, melainkan meningkatkan harkat martabat manusia dengan menjelma dalam kehidupan jiwa 13

yang semarak dan warna-warni. Untuk mencapai kenikmatan ini, dalam takaran sedikit atau banyak, dan bagi mereka yang cukup beruntung, adalah sebuah akhir sempurna dimana pendidikan pikiran sangatlah bernilai. Orang akan mengatakan bahwa jarang-jarang ada kenikmatan dari pengembaraan mental, bahwa hanya segelitir yang menghargainya, bahwa pendidikan bisa sama sekali tidak memberikan keutamaan pada seorang aristokratik. Saya tidak mempercayainya. Para muda lebih menikmati pengembaraan mental dari pada yang dirasakan pria atau wanita dewasa. Ini sangat umum terjadi pada anak-anak, dan berkembang secara alami selama periode meniru dan berangan-angan mereka. Ini jarang didapati di usia-usia selanjutnya karena pendidikan sepenuhnya telah membunuhnya. Manusia takut akan pikiran melebihi takut pada kehancuran bahkan pada kematian sekalipun. Pemikiran adalah subversif dan revolusioner, buruk dan merusak, pikiran tak kenal ampun terhadap prifilese, terbentuk dari tindakan dan situasi yang nyaman; pikiran adalah anarkis dan ingkar pada hukum, tak acuk pada otoritas, tak peduli akan kebijakan yang telah dicobakan selama berabad-abad. Pikiran memandang lubang neraka tetapi tidak takut. Pemikiran memandang seseorang, sebuah bintik yang sayup, dikelilingi oleh kebisuan aneh yang dalam; namun dengan bangga menyokong dirinya sendiri, dan tak bergerak layakya raja alam semesta. Pemikiran adalah agung dan tangkas (swift) dan bebas, cahaya dunia, dan kemuliaan utama manusia. Tetapi apabila pemikiran harus menjadi milik banyak orang, bukan prifilese dari segelintir orang, kita pasti menjalaninya penuh ketakutan. Ketakutan ini menyebabkan manusia bertahan—takut kalau-kalau keyakinan yang berharga mereka ternyata hanya angan-angan, takut kalau-kalau institusi-institusi dimana kita hidup ternyata membahayakan, takut kalau-kalau mereka tak pantas dihormati sebagaimana harapan mereka. “Haruskah kaum pekerja bebas berpikir tentang kepemilikan (property)? Lalu apa jadinya kita yang kaya? Haruskah para pemuda dan pemudi berpikiran bebas terhadap sex? Lalu apa jadinya moralitas? Haruskah para serdadu bebas berpikir terhadap perang? Lalu apa jadinya disiplin militer? Enyahkan pikiran! Kembali ke baying-bayang purba sangka, kalaupun memang kepemilikan, moral dan perang, haruskah berbahaya? Orang yang baik seharusnya bodoh, malas, dan kejam dari pada pikiranpikiran mereka yang bebas. Karena yang mereka pikir bebas belum tentu sama dengan yang kita pikir. Dan bagaimanapun juga bencana ini harus dihindari.” Jadi penyanggah-penyanggah pikiran berbantah dalam kedalaman ketidaksadaran jiwanya. Lantas mereka beraksi di gerejagereja, sekolah-sekolah dan universitas-univesitas mereka. 14

Tak ada institusi apapun yang terinspirasi oleh ketakutan akan langgeng. Harapan, bukan ketakutan, adalah prinsip kreatif dalam hubungan antar manusia. Semua hal yang membikin manusia menjadi hebat berawal dari upaya menyelamatkan kebaikan, bukan dari upaya mencegah hal yang dikira jelek. Adalah karena pendidikan modern yang jarang terilhami oleh harapan yang agung, yang menyebabkan jarangnya pencapaian hasil yang baik. Dorongan memelihara masa lalu lebih dari pada harapan akan masa depan mendominasi pikiran mereka yang mengontrol pengajaran bagi kaum muda. Pendidikan seyogyanya tidak bertujuan pada kesadaran pasif akan fakta-fakta mati, melainkan suatu aktivitas yang ditujukan pada dunia yang akan kita bangun. Pendidikan harus diilhami, bukan oleh kerinduan penuh sesal setelah punahnya keagungan Yunani atau Renaissans, tetapi oleh visi cemerlang suatu masyarakat yang berdasar pada kejayaan-kejayaan yang akan dicapai pemikiran di masa mendatang, serta penyelidikan yang super luas yang dilakukan manusia terhadap alam semesta. Mereka yang dididik dalam semangat ini akan diliputi dengan kehidupan dan harapan dan kebahagiaan, mencipta masa depan yang lebih cemerlang dari masa pada silam, lewat keyakinan akan kejayaan yang mewujud lewat usaha-usaha manusia.

15

Related Documents

Prinsip Rek Sosial
November 2019 2
Rek Ayo Rek
June 2020 8
Rek Murid.docx
October 2019 10
Prinsip
October 2019 44
Prinsip
November 2019 49
Prinsip
November 2019 47