KEHIDUPAN PANGERAN DIPONEGORO Bendara Raden Mas Mustahar adalah putra sulung dari pasangan Sultan Hamengku Buwono III dan R.A Mangkarwati. Ia lahir di Yogyakarta 11 November 1785 pada saat fajar menyingsing. Bendara Raden Mas Mustahar juga sering dikenal dengan Bendara Raden Mas Ontowiryo. Namun saat beliau dewasa lebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro. beliau tinggal bersama neneknya yang bernama Raden Ageng semasa beliau kecil di desa Tegalrejo. Di sana beliau juga belajar tentang kehidupan beragama bersama neneknya. Pangeran Diponegoro pernah menolak diangkat menjadi raja di Kasultanan oleh ayahandanya, namun ia menolak karena ibundanya bukalnlah seorang permaisuri dan hanya seorang selir raja. Pangeran Diponegoro menikah tahun 1804 pada usia 14 tahun, dengan R.A. Madubrangta, putri dari Kyai Gedhe Dhadhapan, Distrik Sleman. Namun selain istri tersebut, diketahui Pangeran Diponegoro memiliki 6 istri lainnya dan beberapa istri diketahui namanya. Dari hasil beberapa perkawinannya beliau dianugerahi 17 putra dan 5 putri yang semuanaya tinggal di Indonesia. Beberapa anaknya juga menjadi pejuang dan pejabat pribumi di Indonesia. Pangeran Diponegoro bila marah kepada pejabat belanda jarang menggunakan Bahasa Belanda atau Melayu, beliau justru menggunakan Jawa Ngoko. Pangeran Diponegoro juga suka sekali makanan belanda seperti kentang welanda dan roti bakar. Belaiu juga senang sekali mempelajari peta Hindia Belanda dan Arab. PERLAWANAN PANGERAN DIPONEGORO Hal yang menyebabkan Pangeran Diponegoro geram terhadap Belanda, yaitu saat Belanda berusaha membuat jalan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Kemudian Pangeran Diponegoro mulai melakukan penyerangan kepada Belanda di Tegalrejo bersama rakyat Tegalrejo, Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo. Selain hal itu juga, Pangeran Diponegoro melancarkan perang terhadap belanda karena sistem perpajakan yang merugikan dan pola kepemilikan tanah yang tidak adil. Karena terjadi serangan di Tegalrejo yang dilakukan oleh Belanda dan Patih Danurejo IV, Pangeran Diponegoro bersama seluruh pengikutnya berpindah ke Selarong. Agar tidak mudah diketahui oleh pihak Belanda, tempat markas berpindah-
pindah, dari Selarong ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih. Perang Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Colonel Cleerens bertemu di Purworejo agar Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya agar berdiam diri dulu di Menoreh sambil menunggu Jendral Markus de Kock. Pascaberakhinrnya Perang Jawa, beliau terserang penyakit malaria. Pada saat sakit itu beliau ingin diakui sebagai pemimpin agama tertinggi di Jawa (ratu paneteg panatagama wonten ing tanah jawa sedaya). Saat itu Pangeran Diponegoro pernah berkata bahwa perlawanannya itu adalah perang sabil, perang melawan orang kafir. Pihak Belanda telah melakukan segala upaya untuk menangkap Pangeran Diponegoro, namun siasat yang mereka pakai selalu gagal. Kemudian Belanda membuat siasat yang bernama siasat Benteng Stelsel. Namun sistem benteng ini juga kurang efektif untuk mematahkan perlawanan Diponegoro. Pada waktu Perang Jawa, Belanda mengalami kerugian 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Jenderal De Kock akhirnya menggunakan siasat tipu muslihat melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang. Akhirnya pada perundingan tersebut Pangeran Diponegoro dapat ditangkap. Setelah ditangkap beliau dan beberapa pengikutnya dibawa ke Batavia dan sampai di Batavia pada 11 April 1830. Di Batavia beliau dikurung di stadhuis untuk menunggu keputusan Jenderal Van den Bosch. Akhirnya keputusan datang pada 30 April 1830. Beliau dan para pengikutnya dibuang ke Manado. Tanggal 3 Mei 1830, beliau dan para pengikutnya sampai di Manado dan langsung dibawa ke Benteng Amsterdam untuk menjalani masa kurungan penjara. 4 tahun berlalu, beliau kemudian dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar. Hari – harinya, beliau kumpulkan uang dari tunjangan yang berasal dari Belanda untuk pergi haji. Namun mimpi hanyalah mimpi, beliau tidak dapat pergi haji karena tidak memperoleh izin dari Belanda. Selama menjadi tahanan di Benteng Rotterdam beliau menulis “Babad Diponegoro” sebanyak 4 jilid dengan 1357 halaman. Akhirnya, tanggal 8 Januari 1855 beliau wafat. Beliau lalu dimakamkan di Makassar tepatnya di Kampung Melayu Makassar. Sekarang makamnya menjadi salah satu obyek wisata di Makassar.
Name : Number : Class :
Ahmada Wani 01 VIIIA