Prescil Mawar Pria-ckd Dan Hepatitis B- Tiara Dwivantari-rahardita Alidris-dessy Dwi Zahrina.docx

  • Uploaded by: Robi Heryanto
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Prescil Mawar Pria-ckd Dan Hepatitis B- Tiara Dwivantari-rahardita Alidris-dessy Dwi Zahrina.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,404
  • Pages: 50
PRESENTASI KASUS Chronic Kidney Disease on HD dengan Hepatitis B

Pembimbing: dr. Andreas., Sp. PD

Disusun oleh: Rahardita Alidris Dessy Dwi Zahrina Tiara Dwivantari

G4A016065 G4A016066 G4A016067

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2017

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS Chronic Kidney Disease on HD dengan Hepatitis B

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh : Rahardita Alidris Dessy Dwi Zahrina Tiara Dwivantari

Pada tanggal,

G4A016065 G4A016066 G4A016067

September 2017

Mengetahui Pembimbing,

dr. Andreas, Sp. PD

I. PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronis didefinisikan sebagai keadaan progresif dan biasanya terjadi penurunan irreversibel dari glomerular filtration rate (GFR) dengan tanda utama meningkatnya serum kreatinin, dan kadar blood ureic nitrogen (BUN). Keadaan yang paling sering menyebabkan kondisi ini adalah hipertensi, diabetes melitus, chronic glomerularnephritis, uropathy dan penyakit autoimun. Gagal ginjal kronis merupakan kelainan sistemik yang sering dijumpai di masyarakat. Menurut Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia jumlah yang menderita penyakit gagal ginjal kronik sekitar 50 orang per satu juta penduduk (Lukman et al., 2013). Data Dinkes Jawa tengah (2008) bahwa angka kejadian kasus gagal ginjal di Jawa Tengah yang paling tinggi adalah Kota Surakarta dengan 1497 kasus (25.22 %) dan di posisi kedua adalah Kabupaten Sukoharjo yaitu 742 kasus (12.50 %). Tindakan medis yang dilakukan penderita penyakit gagal ginjal adalah dengan melakukan terapi dialisis tergantung pada keluhan pasien dengan kondisi kormobid dan parameter laboratorium, kecuali bila sudah 2 ada donor hidup yang ditentukan, keharusan transplantasi terhambat oleh langkanya pendonor. Hepatitis

B

adalah

penyakit

infeksi

virus

hati

yang

menurut

perkembangannya apabila tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi sirosis hati, karsinoma hepatoseluler bahkan tidak jarang menyebabkan kematian. Hepatitis telah menjadi masalah global, dimana dipengaruhi oleh pola makan, kebiasaan merokok, gaya hidup tidak sehat, penggunaan obat-obatan, bahkan tingkat ekonomi dan pendidikan menjadi beberapa penyebab dari penyakit ini (Wening Sari, 2008). Menurut WHO, sedikitnya 350 juta penderita carrier hepatitis B terdapat di seluruh dunia, 75%-nya berada di Asia Pasifik. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat 2 juta pasien meninggal karena hepatitis B. Hepatitis B mencakup 1/3 kasus pada anak. Indonesia termasuk negara endemik hepatitis B dengan jumlah yang terjangkit antara 2,5% hingga 36,17% dari total jumlah penduduk (Anna,

2011). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2007), prevalensi nasional hepatitis klinis sebesar 0,6 persen. Sebanyak 13 provinsi di Indonesia memiliki prevalensi di atas nasional. Kasus penderita hepatitis tertinggi di provinsi Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Penyakit hepatitis kronik menduduki urutan kedua berdasarkan penyebab kematian pada golongan semua umur dari kelompok penyakit menular.

II. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA Nama

:

Tn. AS

Umur

:

45 tahun

Jenis Kelamin

:

Laki-laki

Alamat

:

Pingit RT 05/02 Rakit, Kab. Banjarnegara

Pekerjaan

:

Petani

Agama

:

Islam

No RM

:

00-90-12-76

Tgl. Masuk RS

:

14 Agustus 2017

Tgl. Periksa

:

16 Agustus 2017

Bangsal

:

Mawar

B. ANAMNESIS 1. Keluhan utama : Sesak nafas 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSMS diantar oleh keluarganya dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan semalam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan sesak nafas hingga tidak dapat istirahat. Pasien mengaku sesak nafas dapat berkurang apabila pasien tiduran dengan posisi duduk, apabila berbaring akan makin terasa sesak. Keluarga dan pasien mengaku belum mengkonsumsi obat apapun untuk mengurangi keluhan sesaknya. Keluhan sesak muncul ketika pasien hendak pergi ke RS Margono Soekardjo untuk menjalani pemasangan AV Shunt. Namun setibanya di purwokerto, pasien mengalami sesak napas. Pasien menggunakan mobil dari rumahnya di Banjarnegara untuk menuju ke RS Margono Soekardjo. Pasien juga mengeluhkan adanya kaki yang bengkak. Kaki bengkak dirasakan 1 minggu sebelum ini dan mulai membengkak secara perlahan. Keluhan bengkak dirasakan tidak nyeri pada kedua kakinya.

Pasien memiliki riwayat penyakit ginjal kronis dan batu pada saluran kemih yang telah didiagnosis oleh dokter sejak 8 bulan yang lalu. Saat itu keluhan yang dimiliki pasien berupa nyeri pada punggung, merasa sakit ketika buang air kecil dan kadang disertai dengan darah, serta mengeluhkan sakit pada perut. Semenjak didiagnosis tersebut pasien sempat mondok di rumah sakit untuk menjalani operasi evakuasi batu serta kontrol rutin di poli penyakit dalam dan di poli bedah. Pasien juga memiliki riwayat penyakit kuning yang telah diderita >8 bulan yang lalu. Pasien sudah berobat dan kontrol rutin pada poli penyakit dalam di RS Margono Soekarjo, namun sempat berhenti. 3. Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat penyakit hati

: diakui

b. Riwayat penyakit ginjal

: diakui

c. Riwayat sakit kuning

: diakui

d. Riwayat batu ginjal

: diakui

e. Riwayat hemodialisis

: diakui

f. Riwayat hipertensi

: disangkal

g. Riwayat DM

: disangkal

h. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

i. Riwayat alergi

: disangkal

`

4. Riwayat Penyakit Keluarga a.

Riwayat keluhan yang sama

: disangkal

b.

Riwayat hipertensi

: disangkal

c.

Riwayat DM

: disangkal

d.

Riwayat penyakit jantung

: disangkal

e.

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f.

Riwayat alergi

: disangkal

`

5. Riwayat Sosial Ekonomi a. Community Pasien adalah kepala keluarga yang tinggal satu rumah bersama istri, anak dan mantunya yang semuanya berjumlah 6 orang. Rumah pasien berada di desa yang masih dikelilingi kebun. Rumah terdiri dari 3

kamar tidur, kamar mandi di dalam rumah, lantai sudah menggunakan semen. Rumah jauh dari jalan utama, sehingga jarang kendaraan yang lalu-lalang. Rumah pasien dan tetangga di sekitarnya berdekatan. Hubungan pasien dengan tetangga baik. b. Occupational Pasien adalah seorang petani yang tiap harinya berangkat pada pukul 08.00 dan kembali kerja pada pukul 15.00 WIB. c. Personal Habit Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak usianya masih muda, sehari dapat 3 batang rokok. Pasien jarang berolahraga karena merasa sudah cukup ketika bekerja di sawah. d. Drugs and Diet Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan, namun rutin hampir setiap minggu mengkonsumsi jamu, kopi, dan minuman ringan sachet. Pasien tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol. Menu makan pasien terdiri dari nasi, banyak sayur-mayur, dan lauk-pauk. Pasien makan 3x sehari.

C. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum

:

Tampak sakit sedang

Kesadaran

:

Compos mentis

Vital Sign

:

TD : 160/80 mmhg N : 100 x/menit, isi cukup, reguler RR : 24 x/menit, reguler S : 36,4 OC aksila

BB: 45 kg, TB: 160 cm, GFR: 9.95 ml/min/1,73 m2 Status Generalis Pemeriksaan Kepala Bentuk Kepala

:

Mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)

Rambut

:

Warna hitam, mudah rontok (-), distribusi merata

Pemeriksaan Mata Palpebra

: Edema (-/-), ptosis (-/-)

Konjunctiva

: Anemis (-/-)

Sklera

: Ikterik (+/+), anemis (-/-)

Pupil

: Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm

Pemeriksaan Telinga

: Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)

Pemeriksaan Hidung

: Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-), rinore (-/-)

Pemeriksaan Mulut

: Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), ikterik (-), sariawan (-)

Pemeriksaan Leher Trakea

:

Deviasi trakea (-)

Kelenjar Tiroid

:

Tidak membesar

Kel. Limfonodi

:

Tidak membesar, nyeri tekan (-)

JVP

:

Dalam batas normal, 5+2 cmH2O

Status Lokalis Paru-Paru Inspeksi

: Hemithorax dextra = sinistra, ketinggalan gerak (-)

Palpasi

: Vocal fremitus apex dextra = sinistra Vocal fremitus basal dextra dan sinistra menurun

Perkusi

: Sonor pada apeks kedua lapang paru, pekak pada basal kedua lapang paru, batas paru hepar sulit dinilai

Auskultasi : SD vesikuler +/+, Ronkhi basah halus + /+ pada basal kedua paru , ronkhi basah kasar -/-, Wheezing -/Jantung Inspeksi

: Ictus cordis tampak di SIC VI 2 jari medial LMCS

Palpasi

: Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari medial LMCS, kuat angkat (-)

Perkusi

: Batas Jantung Kanan atas

: SIC II LPSD

Kiri atas

: SIC II LPSS

Kanan bawah : SIC IV LPSD Kiri bawah Auskultasi

: SIC VI, 2 jari medial LMCS

: S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi

: Cembung

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Timpani, pekak sisi (+) minimal

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (+) di regio hipokondriaka dekstra

Hepar

: Teraba 2 jari di BACD

Lien

: Tidak teraba pembesaran

Ginjal

: Nyeri ketok CVA (+/+)

Extremitas Pemeriksaan

Ekstremitas

Ekstremitas

superior

inferior

Dextra

Sinistra

Dextra

Sinistra

Edema (pitting)

-

-

+

+

Sianosis

-

-

-

-

+

+

+

+

-

-

-

-

+

+ +

+

Kuku

kuning

(ikterik) Akral dingin Reflek fisiologis Bicep/tricep Patela Reflek patologis Reflek babinsky Sensoris

-

-

-

-

D=S

D=S

D=S

D=S

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium 14 Agustus 2019 Pemeriksaan Hasil DARAH LENGKAP Hemoglobin 10,7 (L) Leukosit 12790 (H) Hematokrit 34 (L) Eritrosit 3,6 (L) Trombosit 359.000 MCV 93,1 MCH 29,5 MCHC 31,7 (L) RDW 14,9 (H) MPV 8,3 (L) Hitung Jenis Leukosit Basofil 0,2 Eosinofil 0,9 (L) Batang 0,9 (L) Segmen 84,1 (H) Limfosit 8,6 (L) Monosit 5,3 KIMIA KLINIK Ureum Darah 174,3 (H) Kreatinin Darah 10,6 (H) Glukosa Sewaktu 89 Natrium 140 Kalium 6,7 (H) Klorida 101 (H) Total Protein 7,88 Albumin 2,91 (L) Globulin 4,97 (H)

Nilai Rujukan 11,2 – 17,3 g/dL 3800 –10600 U/L 40– 52 % 4,4 – 5,9 ^6/uL 150.000– 440.000 /uL 80 – 100 fL 26 – 34 Pg/cell 32 – 36 % 11,5 – 14,5 % 9,4 – 12,4 fL 0–1% 2–4% 3–5% 50 – 70 % 25 – 40 % 2–8% 14,98 – 38,52 mg/dL 0,80 – 1,30 mg/dL ≤ 200 mg/dL 134 – 146 mmol/L 3,4 – 4,5 mmol/L 96 – 108 mmol/L

Pemeriksaan Laboratorium 16 Agustus 2017 Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Hemoglobin

9,5 (L)

11,2 – 17,3 g/dL

Leukosit

12.490 (H)

3800 –10600 U/L

Hematokrit

30 (L)

40– 52 %

Eritrosit

3,2 (L)

4,4 – 5,9 ^6/uL

Trombosit

285.000 (L)

150.000– 440.000 /uL

MCV

94 (L)

80 – 100 fL

MCH

29,8 (L)

26 – 34 Pg/cell

MCHC

31,7 (L)

32 – 36 %

RDW

15 (H)

11,5 – 14,5 %

MPV

8,5 (L)

9,4 – 12,4 fL

Basofil

0,2

0–1%

Eosinofil

2,2 (L)

2–4%

Batang

0,6 (H)

3–5%

Segmen

82,6 (L)

50 – 70 %

Limfosit

9,1 (L)

25 – 40 %

Monosit

5,3 (H)

2–8%

Ureum

110,1 (H)

14,98 – 38,52 mg/dL

Kreatinin

6,57 (H)

0,80 – 1,30 mg/dL

Natrium

141

134 – 146 mmol/L

Kalium

4,2

3,4 – 4,5 mmol/L

Klorida

103

96 – 108 mmol/L

DARAH LENGKAP

Hitung Jenis Leukosit

KIMIA KLINIK

Pemeriksaan Laboratorium 17 Agustus 2017 Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Hemoglobin

9,0 (L)

11,2 – 17,3 g/dL

Leukosit

9.920

3800 –10600 U/L

Hematokrit

28 (L)

40– 52 %

Eritrosit

3.0 (L)

4,4 – 5,9 ^6/uL

Trombosit

217.000

150.000– 440.000 /uL

MCV

94.3 (L)

80 – 100 fL

MCH

30.2

26 – 34 Pg/cell

MCHC

32

32 – 36 %

RDW

14,6 (H)

11,5 – 14,5 %

MPV

8,4 (L)

9,4 – 12,4 fL

Basofil

0,2

0–1%

Eosinofil

3,4

2–4%

Batang

0,5 (L)

3–5%

Segmen

79,9 (H)

50 – 70 %

Limfosit

7,3 (L)

25 – 40 %

Monosit

8,7 (H)

2–8%

Ureum

84,7 (H)

14,98 – 38,52 mg/dL

Kreatinin

5,97 (H)

0,80 – 1,30 mg/dL

Kalium

3,8

3,4 – 4,5 mmol/L

DARAH LENGKAP

Hitung Jenis Leukosit

KIMIA KLINIK

Foto Thorax PA Tanggal 14 Agustus 2017



Edem pulmo



Efusi pleura bilateral

EKG Tanggal 14 Agustus 2017

E. DIAGNOSIS KERJA Chronic Kidney Disease (Stage V) on HD Hepatitis B Hipertensi grade I Anemia Hipoalbuminemia

F. TERAPI

G.



IVFD NaCl 0,9% 10 tpm



Inj. Ceftriaxon 1gr/12jam iv



Inj. Furosemid 3x2 amp iv



PO Bicnat 3x1 tab



PO CaCO3 3x1 tab



PO Asam folat 3x1 tab



PO ISDN 3x1 tab



PO Amlodipin 1x10 mg tab

PROGNOSIS a. Ad vitam

: dubia ad malam

b. Ad functionam

: dubia ad malam

c. Ad sanationam

: dubia ad malam

HASIL FOLLOW UP Tanggal 16/08/17

S-O Subyektif: Sesak nafas berkurang, nyeri perut sebelah kanan atas, batuk non produktif, punggung terasa nyeri Obyektif : TD :160/90 mmHg

A Chronic Kidney Disease on HD Hepatitis B

P IVFD NaCl 0,9% 10 tpm Inj Furosemid 3x2 amp iv Inj Seftriakson 2x1 g iv PO Bicnat 3x1 tab PO Asam folat 3x1 tab PO CaCO3 3x1 tab PO ISDN 3x1 tab Pro Hemodialisa 17/08/17

17/08/17

18/08/17

19/08/17

N : 100 x/menit S : 36 oC RR : 20 x/menit Subyektif: Sesak nafas, nyeri perut sebelah kanan atas masih terasa, batuk non produktif masih Obyektif : TD : 120/80 mmHg N : 68 x/menit S : 36,4 oC RR : 28 x/menit Subyektif: Sesak nafas berkurang, nyeri perut masih terasa batuk terusmenerus dan berkurang bila dalam posisi duduk, BAB berwarna coklat gelap dan kecilkecil Obyektif : TD : 140/80 mmHg N : 80 x/menit S : 37,4 oC RR : 24 x/menit Subyektif: Sesak nafas dan batuk membaik, Nyeri perut berkurang, BAB coklat gelap dan kecil-kecil Obyektif : TD : 130/80 mmHg N : 80 x/menit S : 36,2 oC RR : 20 x/menit

Chronic Kidney Disease on HD Hepatitis B

IVFD NaCl 0,9% 10 tpm Inj Furosemid 3x2 amp iv Inj Seftriakson 2x1 g iv PO Bicnat 3x1 tab PO Asam folat 3x1 tab PO CaCO3 3x1 tab PO ISDN 3x1 tab PO Amlodipin 1x10 mg tab Pro AV Shunt 18/08/17

Chronic Kidney Disease on HD Hepatitis B

IVFD NaCl 0,9% 10 tpm Inj Furosemid 3x2 amp iv Inj Seftriakson 2x1 g iv PO Bicnat 3x1 tab PO Asam folat 3x1 tab PO CaCO3 3x1 tab PO ISDN 3x1 tab PO Amlodipin 1x10 mg tab

Chronic Kidney Disease on HD Hepatitis B

IVFD NaCl 0,9% 10 tpm Inj Furosemid 3x2 amp iv Inj Seftriakson 2x1 g iv PO Bicnat 3x1 tab PO Asam folat 3x1 tab PO CaCO3 3x1 tab PO ISDN 3x1 tab PO Amlodipin 1x10 mg tab

III.

TINJAUAN PUSTAKA (Chronic Kidney Disease)

A. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Sjamsuhidajat dan Jong, 2011). Menurut National Kidney Foundation (2009) kriteria penyakit ginjal kronik adalah: 1.

Kerusakan ginjal ≥3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dari ginjal, dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan laboratorik pada darah, urin, atau kelainan pada pemeriksaan radiologi.

2. LGF < 60 ml /menit per 1,73 meter persegi luas permukaan tubuh selama > 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. B. Etiologi dan Faktor Resiko Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi penyebab penyakit ginjal kronik diantaranya adalah (KDIGO, 2012): 1. Glomerulonefritis Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan

terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus. Glomerulonefritis

ditandai

dengan

proteinuria, hematuri,

penurunan fungsi ginjal dan perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan

sindrom

klinik

yang

terdiri

dari

kelainan

urin

asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir. 2. Diabetes Mellitus Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Masalah yang akan dihadapi oleh penderita DM cukup

komplek sehubungan dengan terjadinya

komplikasi kronis baik mikro maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang bersifat kronik progresif. Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2000 menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik dengan insidensi 18,65%. 3. Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain. Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insidensi hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik <10%.

Selain Glomerulonefritis, DM dan hipertensi, terdapat penyebab lain untuk CKD ini seperti kista, penyakit bawaan lain, penyakit sistemik seperti lupus dan vasculitis, neoplasma dan berrbagai penyakit lainnya .

C. Epidemiologi Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus mengalami peningkatan di seluruh belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk dunia mengalami PGK dan 1 juta dari mereka membutuhkan terapi pengganti ginjal. Penelitian di jepang memperkirakan sekitar 13 % dari jumlah penduduk atau sekitar 13,3 juta orang yang memiliki penyakit ginjal kronik pada tahun 2005. Menurut data dari CDC tahun 2010, lebih dari 20 juta warga Amerika Serikat yang menderita penyakit ginjal kronik, angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunya. Lebih dari 35% pasien diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan lebih dari 20% pasien hipertensi juga memliki penyakit ginjal kronik dengan insidensi penyakit ginjal kronik tertinggi ditemukan pada usia 65 tahun atau lebih. National Kidney Foundation (2009), menyebutkan bahwa sekitar 26 juta orang dewasa Amerika telah mengalami CKD, dan jutaan orang lain

beresiko

terkena

CKD.

Perhimpunan

nefrologi

indonesia

menunjukkan 12,5 persen dari penduduk indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal, itu berarti secara kasar lebih dari 25 juta penduduk mengalami CKD. Chronic Kidney Disease merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. Diperkirakan hingga tahun 2015 Data WHO dengan kenaikan dan tingkat persentase dari tahun 2009 sampai tahun 2011 sebanyak 36 juta orang warga dunia meninggal dunia akibat penyakit Cronic Kidney Disease (CKD). Prevalensi CKD terutama tinggi pada orang dewasa yang lebih tua, dan ini pasien sering pada peningkatan risiko hipertensi. Kebanyakan

pasien dengan hipertensi akan memerlukan dua atau lebih antihipertensi obat untuk mencapai tujuan tekanan darah untuk pasien dengan CKD. Hipertensi adalah umum pada pasien dengan CKD, dan prevalensi telah terbukti meningkat sebagai GFR pasien menurun. prevalensi hipertensi meningkat dari 65% sampai 95% sebagai GFR menurun 85-15ml / min/1.73m2. Penurunan GFR dapat ditunda ketika proteinuria menurun melalui penggunaan terapi antihipertensi (Eskridge, 2010) Penanganannya seperti pemantauan ketat tekanan darah, kontrol kadar gula darah (Thakkinstian, 2011).

D. Patomekanisme Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif (Sudoyo et al., 2009). Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut (Sudoyo et al., 2009).

Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab pada akhirnya akan terjadi kerusakan nefron. Bila nefron rusak maka akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus dan terjadilah penyakit gagal ginjal kronik yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan dan fungsi non-eksresi. Gangguan fungsi non-eksresi diantaranya adalah gangguan metabolism vitamin D yaitu tubuh mengalami defisiensi vitamin D yang mana vitamin D bergunan untuk menstimulasi usus dalam mengabsorpsi kalsium, maka absorbs kalsium di usus menjadi berkurang akibatnya terjadi hipokalsemia dan menimbulkan demineralisasi ulang yang akhirnya tulang menjadi rusak (Silbernagl dan Lang, 2007). Penurunan sekresi eritropoetin sebagai factor penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga peningkatan oksigen oleh hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka tubuh akan mengalami keadaan lemas dan tidak bertenaga. Gangguan clerence renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi.penurunan laju filtrasi glomerulus di deteksi dengan memeriksa clerence kretinin urine tamping 24 jam yang menunjukkan penurunan clerence kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Retensi cairan dan natrium dapat megakibatkan edema, CHF dan hipertensi (Silbernagl dan Lang, 2007).. Kehilangan

garam

mengakibatkan

resiko

hipotensi

dan

hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan perpisahan air dan natrium sehingga status uremik memburuk. Asidosis metabolic akibat ginjal tidak mampu menyekresi asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu menyekresi ammonia (NH3-) dan megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan eksresi fosfat dan asam organic yang terjadi. Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien terutama dari saluran pencernaan (Silbernagl dan Lang, 2007). Eritropoietin yang dipreduksi oleh ginjal menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah dan produksi eritropoitein

menurun sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai dengan keletihan, angina dan sesak nafas. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolism. Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parahhormon dari kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang (Silbernagl dan Lang, 2007).

E. Penegakan Diagnosis 1. Anamnesis Penderita penyakit ginjal kronis stadium 1-3 (LFG>30 ml/ min ) biasanya bersifat asimptomatik dan gejala klinis baru muncul pada stadium 4 dan 5. Kerusakan ginjal yang progresif dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah akibat overload cairan dan produksi hormon vasoaktif (hipertensi, edema paru dan gagal jantung kongestif),

gejala-gejala

uremia

(letargi,

perikarditis

hingga

ensefalopati), akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu aritmia, anemia akibat sintesis eritropoetin yang menurun, hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3), dan asidosis metabolik akibat penumpukan sulfat, fosfat, dan asam urat (Ervina et al., 2015). Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Suwitra pada tahun 2009. Gambaran klinis pasien dengan penyakit ginjal kronis meliputi gambaran sesuai dengan penyakit yang mendasari, sindrom uremia dan gejala komplikasi. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%, barulah terasa keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien

menunjukkan gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi gangguan keseimbangan elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka timbul gejala dan komplikasi serius dan pasien membutuhkan RRT (Suwitra, 2009). Menurut Arici (2014), terdapat beberapa gejala dan tanda yang muncul pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium awal seperti berikut: a. Kelemahan b. Penurunan nafsu makan c. Muntah d. Perubahan pada pola berkemih (nokturia, poliuria, frekuensi) e. Terdapat darah pada urin atau urin berwarna gelap f. Edema g. Peningkatan tekanan darah h. Kulit berwarna pucat 2. Pemeriksaan Fisik Klinis pada penyakit ginjal kronis jarang didapatkan. Pemeriksaan fisik yang teliti dibutuhkan untuk dapat mengungkapkan temuan karakteristik dari kondisi yang mendasari penyakit ginjal kronis (misalnya lupus, arteriosklerosis berat, hipertensi) atau komplikasinya (misalnya anemia, diatesis perdarahan, perikarditis). Namun, kurangnya temuan pemeriksaan fisik tidak menyingkirkan kemungkinan penyakit ginjal (Arora, 2017). 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Pemerikasaan laboratorium dilakukan untuk menetapkan adanya gagal ginjal kronik, menetapkan ada tidaknya kegawatan, menetukan derajat gagal ginjal kronik, menetapkan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi. Dalam menetapkan ada atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal ginjal perlu diuji.

Untuk keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah laju filtrasi glomerulus (LFG). Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi (KDIGO, 2012): 1) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya 2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum,dan penurunan LFG 3) Kelainan

biokimiawi

darah

meliputi

penurunan

kadar

hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,

hiponatremia,

hiper

atau

hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik 4) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria b. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tandatanda perikarditis (misalnya voltase rendah), aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia) (Sudoyo et al., 2009). c. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang reversible seperti obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, juga untuk menilai apakah proses sudah lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering dipakai karena merupakan tindakan yang non-invasif dan tidak memerlukan persiapan khusus. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi (KDIGO, 2012). d. Foto Polos Abdomen Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi dapat memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain (KDIGO, 2012). e. Pemeriksaan Pielografi Retrogad

Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible (Sudoyo et al., 2009). f. Pemeriksaan Foto Dada Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat penumpukan cairan (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial (Sudoyo et al., 2009). g. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara non-invasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagalnafas, dan obesitas (Sudoyo et al., 2009).

F. Tata Laksana Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan dengan stadium penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation, 2010). Perencanaan tatalaksana pasien CKD dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut ini: Tabel 3.1. Rencana tatalaksana CKD sesuai stadium

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya paling tepat diberikan sebelum terjadinya penurunan GFR sehingga tidak terjadi perburukan fungsi ginjal. Selain itu, perlu juga dilakukan pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid dengan mengikuti dan mencatat penurunan GFR yang terjadi. Perburukan fungsi ginjal dapat dicegah dengan mengurangi hiperfiltrasi glomerulus, yaitu melalui pembatasan asupan protein

dan

terapifarmakologis

guna

mengurangi

hipertensi

intraglomerulus (The Renal Asociation, 2013). Pencegahan

dan

terapi

terhadap

penyakit

kardiovaskular

merupakan hal yang penting mengingat 40-45 % kematian pada CKD disebabkan oleh penyakit kardiovaskular ini. Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular dapat dilakukan dengan pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia dan sebagainya. Selain itu, perlu dilakukan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi yang mungkin muncul seperti anemia dan osteodistrofi renal (Suwitra, 2009).

HEPATITIS B

A. Definisi Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan (Mustofa dan Kurniawaty, 2013). B. Etiologi dan Faktor Resiko Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm (Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari (Sudoyo et al., 2009). Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core (Hardjoeno, 2007). Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan 3200 nukleotida (Kumar et al, 2012). Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino 100-160 (Hardjoeno, 2007). HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik,

disebut d atau y, w atau r. Subtipe HBsAg ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan (Asdie et al, 2012). Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi sinyal sel host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker hati (Hardjoeno, 2007).

Gambar 3.2. Struktur virus hepatitis B (Hunt, 2011). C. Epidemiologi Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian besar kepulaan Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan di lembah Amazon. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Hanya 25% dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit fulminan (Price dan Wilson, 2012). Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan sekitar 400 juta orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan prevalensi di Indonesia dilaporkan berkisar antara 3-17% (Hardjoeno,

2007). Virus Hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi lebih dari 2 milyar orang yang hidup saat ini selama kehidupan mereka. Tujuh puluh lima persen dari semua pembawa kronis hidup di Asia dan pesisir Pasifik Barat (Kumar et al., 2012). Prevalensi pengidap VHB tertinggi ada di Afrika dan Asia. Di Indonesia, angka pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-20.3%, dengan proporsi pengidap di luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada di Pulau Jawa (Mulyanto et al., 2008). Secara genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan merupakan virus dengan genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%) dan A (0.8%). (Mulyanto et al., 2009). Sirosis dan Karsinoma Hepatoselular (KHS) adalah dua keluaran klinis hepatitis B kronik yang tidak diterapi dengan tepat. Insidens kumulatif 5 tahun sirosis pada pasien dengan hepatitis B yang tidak diterapi menunjukkan angka 8-20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang menjadi sirosis dekompensata dalam 5 tahun berikutnya (Fattovich et al., 2008). Sementara insidensi kumulatif KHS pada pasien dengan hepatitis B yang sudah mengalami sirosis mencapai 21% pada pemantauan 6 tahun (Dienstag, 2008). D. Patomekanisme Infeksi HBV berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, DNA HBV terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap dan semua antigen terkait. Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg di permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas I menyebabkan pengaktifan limfosit T CD8+ sitotoksik. Selama fase integratif, DNA virus meyatu kedalam genom pejamu. Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi virus, infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun risiko terjadinya karsinoma hepatoselular menetap. Hal ini sebagian disebabkan oleh disregulasi pertumbuhan yang diperantarai protein X HBV. Kerusakan hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel sitotoksik CD8+ (Kumar et al, 2012). Fase tersebut dapat dilihat pada gambar 3.3.

Gambar 3.3. Patogenesis imun pada virus hepatitis B (Sumber: Ganem et al, 2004). Proses replikasi HBV berlangsung cepat, sekitar 1010-1012 virion dihasilkan setiap hari. Siklus hidup HBV dimulai dengan menempelnya virion pada reseptor di permukaan sel hati (Gambar 2). Setelah terjadi fusi membran, partikel core kemudian ditransfer ke sitosol dan selanjutnya dilepaskan ke dalam nucleus (genom release), selanjutnya DNA HBV yang masuk ke dalam nukleus mula-mula berupa untai DNA yang tidak sama panjang yang kemudian akan terjadi proses DNA repair berupa memanjangnya rantai DNA yang pendek sehingga menjadi dua untai DNA yang sama panjang atau covalently closed circle DNA (cccDNA). Proses selanjutnya adalah transkripsi cccDNA menjadi pre-genom RNA dan beberapa messenger RNA (mRNA) yaitu Mrna LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs (Hardjoeno, 2007).

Gambar 3.4. Siklus replikasi virus hepatitis B (Sumber: Ganem et al, 2004) . Semua RNA HBV kemudian ditransfer ke sitoplasma dimana proses translasi menghasilkan protein envelope, core, polimerase, polipeptida X dan pre-C, sedangkan translasi mRNA LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs akan menghasilkan protein LHBs, MHBs, dan SHBs. Proses selanjutnya adalah pembuatan nukleokapsid di sitosol yang melibatkan proses encapsidation yaitu penggabungan molekul RNA ke dalam HBsAg. Proses reverse transcription dimulai, DNA virus dibentuk kembali dari molekul RNA. Beberapa core yang mengandung genom matang ditransfer kembali ke nukleus yang dapat dikonversi kembali menjadi cccDNA untuk mempertahankan cadangan template transkripsi intranukleus. Akan tetapi, sebagian dari protein core ini bergabung ke kompleks golgi yang membawa protein envelope virus. Protein core memperoleh envelope lipoprotein yang mengandung antigen surface L, M, dan S, yang selanjutnya ditransfer ke luar sel (Hardjoeno, 2007). Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati.

Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa & Kurniawaty, 2013). Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati ringan. Respon imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno, 2007).

E. Penegakan Diagnosis 1. Anamnesis Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit hepatitis B (Klarisa et al., 2014): a. Fase pre-ikterik Gejala konstitusional seperti anoreksia, mual, muntah, malaise, keletihan, atralgia, mialgia, sakit kepala, fotopobia, faringitis, dan batuk. Dapat disertai dengan demam yang tidak terlalu tinggi b. Fase ikterik Gejala prodormal berkurang, namun ditemukan sklera ikterik dan penurunan berat badan.

c. Fase perbaikan (konvalens) Gejala konstitusional menghilang, namun masih dapat ditemukan hepatomegali. 2. Pemeriksaan Fisik Temuan pemeriksaan fisik pada penyakit hepatitis B bervariasi dari yang minimal hingga jelas, sesuai dengan stadiumnya. Pasien dengan hepatitis akut biasanya tidak memiliki temuan klinis, namun pemeriksaan fisik dapat ditemukan sebagai berikut (Pyrsopoulus, 2017): a.

Demam ringan

b.

Penyakit kuning (10 hari setelah munculnya gejala konstitusional, berlangsung selama 1-3 bulan)

c.

Hepatomegali

d.

Splenomegali (5-15%)

e.

Eritema Palmar (jarang)

f.

Spider nevi (jarang) Pemeriksaan fisik pasien dengan infeksi virus hepatitis B kronis

dapat mengungkapkan stigmata penyakit hati kronis seperti berikut ini: a.

Hepatomegali

b.

Splenomegali

c.

Eritema Palmar

d.

Spider angioma

e.

Vaskulitis (jarang) Pasien dengan sirosis mungkin memiliki temuan berupa asites,

warna kuning pada sekujur tubuh, edema perifer, ginekomastia, caput medusa, dan riwayat perdarahan varises. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Biokimia Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT meningkat >10 kali nilai normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit, peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) >3

kali nilai normal, dan kadar albumin serta kolesterol dapat mengalami penurunan. Stadium kronik VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali menurun hingga 2-10 kali nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar globulin meningkat (Hardjoeno, 2007). b. Pemeriksaan Serologi Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis penanda infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di serum >6 bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di dalam darah yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier (Hardjoeno, 2007). Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum pasien dan terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Karena terdapat variasi dalam waktu timbulnya antiHBs, kadang terdapat suatu tenggang waktu (window period) beberapa minggu atau lebih yang memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama periode tersebut, anti- HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi VHB (Asdie et al, 2012).

Gambar 3.4. Penanda serologi Virus Hepatitis B akut (Roche Diagnostics, 2011).

Hepatitis B core antigen dapat ditemukan pada sel hati yang terinfeksi, tetapi tidak terdeteksi di dalam serum (Hardjoeno, 2007). Hal tersebut dikarenakan HBcAg terpencil di dalam mantel HBsAg. Penanda Anti-HBc dengan cepat terlihat dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama timbulnya HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan (Hardjoeno, 2007). Penanda serologik lain adalah anti-HBc, antibodi ini timbul saat terjadinya gejala klinis. Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya muncul 2 minggu setelah HBsAg terdeteksi dan akan menetap ± 6 bulan. Pemeriksaan anti-HBc IgM penting untuk diagnosis infeksi akut terutama bila HBsAg tidak terdeteksi (window period). Penanda anti-HBc IgM menghilang, anti-HBc IgG muncul dan akan menetap dalam jangka waktu lama (Hardjoeno, 2007). Hepatitis B envelope antigen merupakan peptida yang berasal dari core virus, ditemukan hanya pada serum dengan HBsAg positif. Penanda HBeAg timbul bersamaan dengan dihasilkannya

DNA

polimerase

virus

sehingga

lebih

menunjukkan terjadinya replikasi virus dan jika menetap kemungkinan akan menjadi penyakit hati kronis (Hardjoeno, 2007). Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak dikembangkan secara luas untuk menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasuskasus ringan, sub klinis atau yang menetap (Handojo, 2004). Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis hepatitis adalah Immunochromatography (ICT), ELISA, EIA, dan PCR. Metode EIA dan PCR tergolong mahal dan hanya tersedia pada laboratorium yang memiliki peralatan lengkap. Peralatan rapid diagnostic ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih murah dan tidak memerlukan peralatan kompleks (Hardjoeno, 2007).

Diagnostik dengan rapid test merupakan alternatif untuk enzym immunoassays dan alat untuk skrining skala besar dalam diagnosis infeksi VHB, khususnya di tempat yang tidak terdapat akses pemeriksaan serologi dan molekuler secara mudah. Pemeriksaan HBsAg (cassette) adalah pemeriksaan rapid chromatographic secara kualitatif untuk mendeteksi HBsAg pada serum atau plasma. Pemeriksaan HBsAg Diaspot® (Diaspot Diagnostics, USA) adalah pemeriksaan kromatografi yang dilakukan

berdasarkan

prinsip

double

antibody-sandwich.

Membran dilapisi oleh anti-HBs pada bagian test line. Selama tes dilakukan, HBsAg pada spesimen serum atau plasma bereaksi dengan partikel anti-HBs. Campuran tersebut berpindah ke membran secara kromatografi oleh mekanisme kapiler yang bereaksi dengan anti-HBs pada membran dan terbaca di colored line. Adanya colored line menandakan bahwa hasilnya positif, jika tidak ada colored line menandakan hasil negatif (Okonko dan Udeze, 2011). Penanda

HBsAg

telah

digunakan

sebagai

penanda

diagnostik kualitatif untuk infeksi virus Hepatitis B. Seiring dengan kemajuan perkembangan, terdapat pemeriksaan HBsAg kuantitatif untuk memonitor replikasi virus. Pemeriksaan HBsAg kuantitatif adalah alat klinis yang dibutuhkan untuk akurasi, mudah, terstandarisasi, dan secara luas tersedia untuk memastikan perbedaan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium. Salah satu pemeriksaan yang telah dikembangkan untuk penilaian HBsAg kuantitatif adalah pemeriksaan HBsAg Architect (Abbott Diagnostics). Pemeriksaan HBsAg Architect memiliki jarak linear dari 0,05-250 IU/mL (Zacher, et al. 2011). Pemeriksaan

HBsAg

kuantitatif

dilakukan

dengan

pemeriksaan HbsAg Architect berdasarkan metode CMIA. Metode CMIA adalahgenerasi terbaru setelah ELISA dengan

kemampuan deteksi yang lebih sensitif (Primadharsini dan Wibawa, 2013). Pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect memiliki dua langkah dalam pemeriksaan. Langkah pertama, sampel dan mikropartikel paragmanetik dilapisi anti-HBs dikombinasikan. Keberadaan HBsAg pada sampel akan berikatan dengan mikropartikel yang dilapisi anti-HBs. Proses selanjutnya adalah washing, kemudian acridinium-labeled anti-HBs conjugate ditambahkan pada langkah kedua. Setelah proses washing kembali, larutan pre-trigger dan trigger ditambahkan ke dalam campuran Larutan pretrigger mengandung 1, 32% hydrogen peroksida, sedangkan larutan trigger mengandung 0,35 mol/L natrium hidroksida. Hasil dari reaksi chemiluminescent diukur sebagai Relative Unit Light (RLU) dan dideteksi dengan system optic Architect (Abbott Laboratories, 2008). Interpretasi hasil dari pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect

adalah

nonreaktif

jika

spesimen

dengan

nilai

konsentrasi <0,05 IU/mL dan reaktif jika spesimen dengan nilai konsentrasi >0,05 IU/mL. Sampel nonreaktif menandakan negatif untuk HBsAg dan tidak membutuhkan tes selanjutnya (Abbott Laboratories, 2008). c. Pemeriksaan molekuler Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma. Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menentukan prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral. Metode pemeriksaannya antara lain: a. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu paruh pendek dan diperlukan penanganan khusus dalam prosedur kerja dan limbahnya.

b. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik hibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan radioisotop karena sistem deteksinya menggunakan substrat chemiluminescence. c. Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA) bertujuan untuk menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi hanya dari beberapa target molekul asam nukleat. d. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain Reaction/PCR) telah dikembangkan teknik real-time PCR untuk pengukuran DNA VHB. Amplifikasi DNA dan kuantifikasi produk PCR terjadi secara bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan

amplifikasi

kuantitatif

(PCR)

dapat

mendeteksi kadar VHB DNA sampai dengan 102 kopi/mL, tetapi hasil dari pemeriksaan ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati karena ketidakpastian arti perbedaan klinis dari kadar VHB DNA yang rendah. Berdasarkan pengetahuan dan definisi sekarang tentang Hepatitis B kronik, pemeriksaan standar dengan batas deteksi 105-106 kopi/mL sudah cukup untuk evaluasi awal pasien dengan Hepatitis B kronik. Untuk evaluasi keberhasilan pengobatan maka tentunya diperlukan standar batas deteksi kadar VHB DNA yang lebih rendah dan pada saat ini adalah yang dapat mendeteksi virus sampai dengan <104 kopi/mL (Setiawan et al, 2006).

F. Tata Laksana Langkah-langkah evaluasi pre-terapi pada infeksi hepatitis B kronik bertujuan untuk: (1) menemukan hubungan kausal infeksi kronik VHB dengan penyakit hati, (2) melakukan penilaian derajat kerusakan sel hati, (3) menemukan adanya penyakit komorbid atau koinfeksi dan (4) menentukan waktu dimulainya terapi (PPHI, 2012).

Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari empat kriteria, antara lain (PPHI, 2012): 1. Nilai DNA VHB serum

Nilai DNA VHB merupakan salah satu indikator mortalitas dan morbiditas yang paling kuat untuk hepatitis B. Studi REVEAL yang melibatkan lebih dari 3.000 responden di Taiwan menyatakan bahwa kadar DNA VHB basal merupakan prediktor sirosis dan KHS yang paling kuat baik pada pasien dengan HBeAg positif maupun negatif. Pasien dengan kadar DNA VHB antara 300-1000 kopi/mL memiliki risiko relatif 1.4 kali lebih tinggi untuk terjadinya sirosis pada 11.4 tahun bila dibandingkan dengan pasien dengan DNA VHB tak terdeteksi. Lebih jauh lagi, pasien dengan DNA VHB antara 103 -104 kopi/ mL memiliki risiko relatif 2.4, pasien dengan DNA VHB antara 104 -105 kopi/ mL memiliki risiko relatif 5.4, dan pasien dengan DNA VHB > 105 kopi/mL memiliki risiko relatif 6.7. Pasien yang memiliki kadar DNA VHB > 104 kopi/ mL juga memiliki risiko KHS 3-15 kali lipat lebih tinggi daripada mereka yang memiliki kadar DNA VHB. 2. Status HbeAg

Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peran penting dalam prognosis pasien dengan hepatitis B kronik. Pasien dengan HBeAg positif diketahui memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Namun, pada pasien dengan HBeAg negatif, respon terapi jangka panjang seringkali lebih sulit diprediksi dan relaps lebih sering dijumpai. Beberapa panduan yang ada telah mencoba membedakan indikasi terapi hepatitis B berdasarkan status HBeAg, dengan pasien HBeAg negatif diindikasikaan memulai terapi pada kadar DNA VHB yang lebih rendah. Kadar ALT serum telah lama dikenal sebagai penanda kerusakan hati, namun kadar ALT yang rendah juga menunjukkan bahwa pasien berada pada fase immune tolerant dan akan mengalami penurunan respon terapi. Adanya tingkat kerusakan histologis yang tinggi juga merupakan prediktor respon yang baik pada pasien dengan hepatitis B.

3. Nilai ALT

Pada pasien dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai pada DNA VHB diatas 2 x 104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan atau ALT serum > 5x batas atas normal, atau dengan gambaran histologis fibrosis derajat sedang sampai berat. Sedangkan pada pasien HBeAg negatif, terapi dimulai pada pasien dengan DNA VHB lebih dari 2 x 103 IU/mL dan kenaikan ALT > 2x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan. 4. Gambaran histologis hati.

Pemeriksaan histologis hati pada pasien hepatitis B kronik tidak dilakukan secara rutin. Namun, pemeriksaan ini mempunyai peranan penting karena penilaian fibrosis hati merupakan faktor prognostik pada infeksi hepatitis B kronik. Indikasi dilakukannya pemeriksaan histologis hati adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria pengobatan dan berumur > 30 tahun atau < 30 tahun dengan riwayat KHS dan sirosis dalam keluarga. Pengambilan angka 30 tahun sebagai batasan didasarkan pada studi yang menunjukkan bahwa rata-rata umur kejadian sirosis di Indonesia adalah 40 tahun, sehingga pengambilan batas 30 tahun dirasa cukup memberikan waktu untuk deteksi dini sirosis. Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, yaitu golongan interferon (baik interferon konvensional, pegylated interferon α-2a, maupun pegylated interferon α-2b)

dan

golongan

analog

nukleos(t)ida.

Golongan

analog

nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi terdiri atas lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin, dan tenofovir. Semua jenis obat tersebut telah tersedia dan beredar di Indonesia, namun khusus untuk tenofovir, saat panduan ini disusun, peredarannya di Indonesia hanya dikhususkan untuk pasien HIV. Baik interferon maupun analog nukleos(t)ida memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Perbedaan kedua golongan obat ini dapat dilihat di tabel .

Tabel 3.2. Perbandingan karakteristik interferon dan analog nukleos(t)ida Interferon

Analog Nukleos(t)ida

Dibatasi (maksimal 48

Seringkali harus jangka

minggu)

panjang (seumur hidup)

Cara pemberian

Injeksi subkutan

Oral 1 kali per hari

Dapat digunakan pada

Tidak

Ya

Efek Samping

Banyak

Mnimal

Kemampuan menekan

Sedikit lebih rendah

Sedikit lebih tinggi,

Durasi terapi

sirosis dekompensata

DNA VHB dalam 1

pemakaian lebih dari 1

tahun

tahun akan meningkatkan angka ini lebih jauh

Kemampuan

Sedikit lebih rendah

Sedikit lebih tinggi,

serokonversi HBeAg

pemakaian lebih dari 1

dalam 1 tahun (pada

tahun akan meningkatkan

HBeAg positif)

angka ini lebih jauh

Kemampuan

Lebih tinggi

Lebih rendah, dapat

serokonversi HBsAg

menyamai IFN pada

dalam 1 tahun

pemakaian lebih dari 1 tahun

Respon biokimia

Seimbang

`Seimbang

Respon histopatologis

Seimbang

Seimbang

Resistensi

Tidak ditemukan

Cukup tinggi pada beberapa jenis

Respon jangka panjang

Cenderung membaik bila

Cukup sering kambuh

target terapi tercapai

bila terapi tidak dilanjutkan jangka panjang

1. Interferon Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi dalam pertahanan terhadap virus. IFN-α konvensional adalah obat pertama yang diakui sebagai terapi hepatitis B kronik sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Senyawa ini memiliki efek antiviral, immunomodulator, dan antiproliferatif (Van et al., 2009). Interferon akan mengaktifkan sel T sitotoksik, sel natural killer, dan makrofag. Selain itu, interferon juga akan merangsang produksi protein kinase spesifik yang berfungsi mencegah sintesis protein sehingga menghambat replikasi virus. Protein kinase ini juga akan merangsang apoptosis sel yang terinfeksi virus. Waktu paruh interferon di darah sangatlah singkat, yaitu sekitar 3- 8 jam. Pengikatan interferon pada molekul polyethilene glycol (disebut dengan pegylation) akan memperlambat absorbsi, pembersihan, dan mempertahankan kadar dalam serum dalam waktu yang lebih lama sehingga memungkinkan pemberian mingguan (Van et al., 2009). Saat ini tersedia 2 jenis pegylated interferon, yaitu pegylatedinterferon α-2a (Peg-IFN α-2a) dan pegylatedinterferon α-2b (Peg-IFN α-2b). IFN konvensional diberikan dalam dosis 5 MU per hari atau 10 MU sebanyak 3 kali per minggu, sementara Peg-IFN α2a diberikan sebesar 180 µg/minggu, dan Peg-IFN α2b diberikan pada dosis 1-1.5 µg/kg/minggu. Semua pemberian terapi interferon diberikan secara injeksi subkutan.15,23,24 Pada awalnya, terapi interferon, terutama interferon konvensional diberikan selama 16-24 minggu, namun pada Peg-IFN, buktibukti terbaru menunjukkan bahwa pemberian Peg-IFN α-2a dengan dosis 180 µg/minggu selama 48 minggu ternyata menunjukkan hasil lebih baik daripada pemberian selama 24 minggu (Liaw et al., 2011). Panduan-panduan yang terbaru juga sudah menganjurkan penggunaan Peg-IFN α-2a dengan dosis 180 µg/minggu selama 48 minggu. Data terbaru juga ternyata menunjukkan bahwa penggunaan

interferon pada pasien sirosis terkompensasi juga memberikan hasil yang cukup baik (Liaw et al., 2011). 2. Lamivudin Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan rantai DNA. Lamivudin (2, 3’-dideoxy-3- thiacytidine) adalah analog nukleos(t)ida pertama yang pada tahun 1998 diakui sebagai obat hepatitis B. Obat ini berkompetisi dengan dCTP untuk berikatan dengan rantai DNA virus yang akan menterminasi pemanjangan rantai tersebut. Lamivudin (LAM) diminum secara oral dengan dosis optimal 100 mg/hari. Pemberian satu kali sehari dimungkinkan mengingat waktu paruhnya yang mencapai 17-19 jam di dalam sel yang terinfeksi (Van et al., 2009). Secara umum dapat disimpulkan bahwa lamivudin adalah pilihan terapi yang murah, aman, dan cukup efektif baik untuk pasien hepatitis B dengan HBeAg positif maupun negatif. Namun tingginya angka resistensi dan rendahnya efektivitas bila dibandingkan dengan terapi lain membuat obat ini mulai ditinggalkan. Walaupun begitu, terapi lamivudin tetap bisa disarankan menjadi terapi lini pertama di Indonesia dan masih bisa menjadi pilihan utama pada beberapa kondisi seperti pada sirosis dekompensata atau profilaksis pada pasien yang akan menjalani kemoterapi. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, alasan ekonomi adalah salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan pilihan terapi. Sebuah literatur menyebutkan bahwa beban terapi hepatitis B di negara-negara Asia Pasifik umumnya masih lebih besar dari pendapatan per kapita negara yang bersangkutan sehingga lamivudin masih disarankan sebagai terapi lini pertama di negara-negara ini (Liaw, 2009). Namun, beberapa strategi harus diambil untuk mencegah resistensi terhadap obat ini. Pemberian terapi sesuai dengan indikasi terapi yang sudah disepakati merupakan salah satu cara untuk mencegah resistensi. Lamivudin masih bisa menjadi terapi lini pertama

di Indonesia pada pasien dengan DNA VHB 2x batas atas normal. Selain itu, bila pada minggu ke- 4 pasien tidak mencapai DNA VHB (Liaw, 2009). 3. Adefovir Dipivoxil Adefovir

dipivoxil

(ADV)

adalah

analog

adenosine

monophosphate yang bekerja dengan berkompetisi dengan nukleotida cAMP untuk berikatan dengan DNA virus dan menghambat polymerase dan reverse transcriptase sehingga memutus rantai DNA VHB. Obat ini mulai diproduksi sejak tahun 2002 dan diberikan secara oral sebanyak 10 mg per hari. Obat ini memiliki efek samping berupa gangguan fungsi ginjal (azotemia, hipofosfatemia, asidosis, glicosuria, dan proteinuria) yang bersifat dose-dependent dan reversibel. Efek samping ini juga jarang sekali muncul pada dosis 10 mg/hari yang biasa digunakan, namun hendaknya dilakukan pemantauan rutin kadar kreatinin selama menjalani terapi (Van et al., 2009). 4. Entecavir Entecavir (ETV) adalah analog 2-deoxyguanosine. Obat ini bekerja dengan menghambat priming DNA polimerase virus, reverse transcription dari rantai negatif DNA, dan sintesis rantai positif DNA. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa obat ini lebih poten daripada lamivudin maupun adefovir dan masih efektif pada pasien dengan resistensi lamivudin walaupun potensinya tidak sebaik pada pasien naif. Entecavir diberikan secara oral dengan dosis 0.5 mg/ hari untuk pasien naif dan 1 mg/hari untuk pasien yang mengalami resistensi lamivudin. Profil keamanan entecavir cukup baik dengan barrier resistensi yang tinggi. Penelitian jangka panjang pada hewan menunjukkan peningkatan risiko beberapa jenis kanker, namun diduga kanker-kanker ini bersifat spesifik spesies dan tidak akan terjadi pada manusia (Leung, et al., 2008).

5. Telbivudin Telbivudin (LdT) adalah analog L-nukleosida thymidine yang efektif melawan replikasi VHB. Obat ini diberikan secara oral dengan dosis optimal 600 mg/hari (Van et al., 2009; Leung, et al., 2008). 6. Tenofovir Disoproxil Fumarate Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) adalah prekursor tenofovir, sebuah analog nukleotida yang efektif untuk hepadanavirus dan retrovirus. Obat ini awalnya digunakan sebagai terapi HIV, namun penelitian-penelitian menunjukkan efektivitasnya sangat baik untuk mengatasi hepatitis B. Tenofovir diberikan secara oral pada dosis 300 mg/hari. Sampai saat ini masih belum ditemukan efek samping tenofovir yang berat. Namun telah dilaporkan adanya gangguan ginjal pada pasien dengan koinfeksi VHB dan HIV (; Leung, et al., 2008). 7. Terapi Kombinasi Terapi dengan menggunakan satu jenis obat saja (monoterapi) seringkali dianggap tidak cukup untuk mengatasi hepatitis B kronik. Maka dari itu beberapa peneliti mencoba membandingkan efektivitas terapi kombinasi (baik interferon dengan analog nukleos(t)ida maupun antara 2 jenis analog nukleos(t)ida). Sayangnya hasil yang didapat belum mendukung penggunaan terapi kombinasi ini. Beberapa penelitian dan sebuah meta analisis yang mencoba membandingkan efektivitas interferon, lamivudin, atau kombinasi keduanya ternyata memberikan hasil bahwa terapi kombinasi ini tidak lebih efektif daripada monoterapi pada indikator respon virologis, biokimia, serologis, maupun histologis. Namun, terapi kombinasi memiliki tingkat resistensi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan monoterapi lamivudin (Lok, et al., 2009). Sebuah penelitian juga telah mencoba membandingkan efektivitas terapi kombinasi adefovir dan lamivudin pada pasien naïf dengan hasil yang cukup memuaskan dalam memicu respon virologis dan biokimia jangka panjang bila dibandingkan dengan adefovir tunggal. Lebih jauh lagi, pada kelompok yang mendapat terapi

kombinasi, tidak ditemukan adanya resistensi sampai pada pemakaian 4 tahun.74 Walaupun begitu, bukti-bukti yang ada belum cukup kuat sehingga

panduan-panduan

yang

ada

belum

mencantumkan

rekomendasi mengenai penggunaan terapi kombinasi dalam tata laksana hepatitis B kecuali pada kasus resistensi (Liaw et al., 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Abbott laboratories. 2008. Architect System HBsAg qualitative. Tersedia dari: http://www.ilexmedical.com/. Aora, P. 2017. Chronic Kidney Disease Clinical Presentation. Medscape Nephrology.

http://emedicine.medscape.com/article/238798-clinical#b3

(diakses 26 Agustus 2017). Arici, M. 2014. Clinical Assessment of a Patient with Chronic Kidney Disease. Management of Chronic Kidney Disease. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg Asdie AH, Wiyono P, Rahardjo P, Triwibowo, Marcham SN, Danawati W. 2012. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, edisi ke-13. Jakarta: EGC. hlm.1638-63. Asdie AH, Wiyono P, Rahardjo P, Triwibowo, Marcham SN, Danawati W. 2012. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, edisi ke-13. Jakarta: EGC. hlm.1638-63. Dienstag JL. 2008. Acute viral hepatitis in Harrison’s principles of internal medicine, 17th ed, vol.II. USA: McGraw Hill Medical, hlm. 1932-4. Ervina, L., D. Bahrun, H.I. Lestari. 2015. Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik pada Anak. MKS 47(2) : 144-149. Eskridge, (2010). Hypertension and Chronic Kidney Disease:The Role of Lifestyle Modification and Medication Management. Nephrology Nursing Journal Fattovich G, Bortolotti F, Donato F. 2008. Natural history of chronic hepatitis B: special emphasis on disease progression and prognostic factors. J Hepatol; 48: hlm.335– 352. Ganem D, Prince AM. 2004. Hepatitis B virus infection-natural history and clinical cnsequences. N Engl J Med. 350:1118-29.

Hardjoeno UL. 2007. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil laboratorium. Makassar: Cahya Dinan Rucitra: hlm. 5-14. Hardjoeno UL. 2007. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil laboratorium. Makassar: Cahya Dinan Rucitra: hlm. 5-14. Hunt R. 2011. Hepatitis viruses. Virology Section of Microbiology and Immunology

Online

[Jurnal

Online].

Tersedia

dari:

http://pathmicro.med.sc.edu/virol/hepatitis-virus.htm. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2017. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. inter., Suppl. 2013; 3: 1–150. Klarisa, C., F. Liwang, I. Hasan. 2014. Kapitas Selekta Kedokteran : Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2012. Buku ajar patologi Robbins, edisi ke-7. Jakarta: EGC. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2012. Buku ajar patologi Robbins, edisi ke-7. Jakarta: EGC. Leung N. Recent data on treatment of chronic hepatitis B with nucleos(t)ide analogues. Hepatol Int. 2008 June; 2(2): 163–178 Liaw Y. Antiviral therapy of chronic hepatitis B: Oppurtunities and challanges in Asia. J Hepatol 2009;51:403-410. Liaw YF, Kao JH, Piratvisuth T, Chan HLY, Chien RN, Liu CJ, et al. AsianPacific consensus statement on the management of chronic hepatitis B: a 2012 update. Hepatol Int. (2012). DOI 10.1007/s12072-012-9365-4. Lok ASF, McMahon BJ. AASLD Practice Guideline, Chronic Hepatitis B: Update 2009. Hepatol. 2009 Sep; 50(3):1-36.

Lukman, N, Kanine, E.,& Wowiling, F. (2013). Hubungan Tindakan Hemodialisa Dengan Tingkat Depresi Klien Penyakit Ginjal Kronik Di BLU RSUD PROF. DR. R. D. Kandou Manador. E-journal keperawatan (e-Kp), Vol 1-1. Mulyanto, Sulaiman, Depamede N, Surayah K, Tsuda F, Ichiyama K, et al. A nationwide molecular epidemiological study on hepatitis B virus in Indonesia: identification of two novel subgenotypes, B8 and C7. Arch Virol 2009, DOI 10.1007/s00705-009- 0406-9. Mulyanto, Surayah K, Depamede SN, Lestarini IA, Budianto W, Hafiludin, Umi K, Tsuda F, Takahashi M, Okamoto H. 2008. Hepatitis B virus infection in Eastern part of Indonesia. Abstract book of the second China–Indonesia joint international symposium on hepatobiliary medicine and surgery, Chongqing, China. Mustofa S, Kurniawaty E. 2013. Manajemen gangguan saluran cerna panduan bagi dokter umum. Lampung: Anugrah Utama Raharja(Aura). hlm.272-7. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2014. High Blood

Pressure

and

Kidney

Disease.

Diakses

dari:

http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/highblood/. National Kidney Foundation KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney

Disease:

Evaluation,

Classification

and

Stratification

Cardiovasculer Disease in Dialysis Patient. (2009). New York: NKF. Am J Kidney Dis 39 (2 suppl 1) : S1-S266. Okonko IO, Udeze AO. 2011. Detection of Hepatits B surface Antigen (HBsAg) among pregnant women attending Antenatal Clinic at O.L.A. Catholic Hospital, Oluyoro, Ibadan, Oyo State, Southwestern Nigeria. Nature and Science. 9(11):54-60. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia. Akbar N, editor. Jakarta: PPHI; 2012.

Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. hlm 485-90. Primadharsini PP, Wibawa ID. 2013.Correlation between Quantitative HBsAg and HBV-DNA in Chronic Hepatitis B Infection. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology And Digestive Endoscopy.14(1):9-12. Prysopoulos,

N.T.

2017.

Gastroenterology.

Hepatitis

B

Clinical

Presentation.

Medscape

http://emedicine.medscape.com/article/177632-

clinical#b3 (Diakses 27 Agustus 2017). Roche Diagnostics. 2011. Elecsys HBsAg II quantitative. Switzerland. Tersedia dari: www.cobas.com. Setiawan PB, Djumhana A, Akbar HN, Lesmana LA. 2006. Konsensus PPHI tentang panduan tata laksana infeksi hepatitis B kronik. Silbernagl, S dan Lang, F. 2007. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; p. 110. Sjamsuhidajat & Jong, D. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata S, Setiati S. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3, edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sudoyo, A. W et al. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI; p. 1035 Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al., 3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing Suwitra, Ketut: Penyakit Ginjal Kronik. In: Aru W Sudoyo, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 1035. Thakkinstian, (2011), A simplified clinical prediction score of chronic kidney disease: A cross-sectional-survey study. BMC Nephrology.

Van Bömmel F, Berg T. HBV Treatment-Standard of care in Hepatology, a clinical textbook. Duesseldorf: Flying Publisher. 2009: 119-142. Zacher BJ, Moriconi F, Bowden S, Hammond R, Louisirirotchanakul S, Phisalprapa P, et al. 2011. Multicenter evaluation of the Elecsys hepatitis B surface antigen quantitative assay. 18(11):1943-50.

Related Documents


More Documents from ""