REFERAT TUBERCULOSIS PARU ANAK
Oleh: Robi Heryanto 1710221065
Diajukan Kepada : dr. Fauzi Mahfuzh, Sp.A (K)
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’ JAKARTA PERIODE 28 JANUARI – 6 APRIL 2019
i
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT TUBERCULOSIS PARU ANAK
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP PERSAHABATAN
Disusun oleh : Robi Heryanto
1710221065
Pembimbing
dr. Fauzi Mahfuzh, Sp.A (K)
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat “TUBERCULOSIS PARU ANAK” dengan baik. Kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Persahabatan. Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada dr. Fauzi Mahfuzh, Sp.A (K) selaku pembimbing. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan kasus ini banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran. Aamiin.
Jakarta, 13 Maret 2019
Penulis
DAFTAR ISI Cover ……………………………………………………………………….. i Lembar Pengesahan ………………………………………………………… ii Kata Pengantar ……………………………………………………………… iii Daftar Isi ……………………………………………………………………. iv BAB I Pendahuluan .………………………………………………………… 1 BAB II Tinjauan Pustaka……………………………………………………. 3 BAB III Kesimpulan..... …………………………………………………….. 25 Daftar Pustaka ………….………….………………………………………... 26
BAB I PENDAHULUAN Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak mudah. Dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberkulosis anak. Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara adalah kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu negara pun yang bebas tuberkulosis. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan.Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin akan menjadi positif. Tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini akan sakit TB. Setelah beberapa puluh tahun penurunan insidensi tuberculosis, angka kasus tuberculosis telah bertambah secara dramatis selama decade terakhir ini. Hampir 1,3 kasus dan 450.000 kematian terjadi pada anakanak setiap tahunnya di seluruh dunia.1 Penyebaran penyakit tuberkulosis (TBC) di Indonesia dari tahun ke ke tahun mengalami kecenderungan naik 2 persen sampai 5 persen. Kenaikan terutama terjadi beberapa tahun belakangan ini, bersamaan dengan terjangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 262 ribu penderita baru di Indonesia. Di Indonesia, penyakit TBC bahkan menjadi penyebab kematian akibat penyakit infeksi nomor tiga setelah stroke dan jantung. Hasil penelitian yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization), jumlah penderita TBC di Indonesia sekitar 0,3 persen dari jumlah penduduk total setiap tahun. Meskipun dari persentase kecil, namun jumlah penderita TBC cukup tinggi apalagi setelah krisis ekonomi melanda negara Indonesia, yang ditandai dengan penurunan kualitas hidup masyarakat, angka penderita semakin naik.2 Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia termasuk 1
dalam 5 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia. Tuberkulosis pada anak merupakan komponen penting dalam pengendalian TB oleh karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahunnya. Di Indonesia proporsi kasus TB anak di antara semua kasus TB yang ternotifikasi dalam program TB hanya 9% dari yang diperkirakan 10-15%, dan pada tingkat kabupaten/kota menunjukkan variasi proporsi yang cukup lebar yaitu antara 1,217,3% di tahun 2015. Strategi Nasional 2015-2019 terdapat 6 indikator utama dan 10 indikator operasional program pengendalian TB, 2 diantaranya adalah penemuan kasus TB anak sebesar 80% dan cakupan anak < 5 tahun yang mendapat pengobatan pencegahan INH sebesar 50% pada tahun 2019.3 Permasalahan lain dalam program penanggulangan TB adalah semakin meningkatnya jumlah kasus TB resisten obat pada dewasa, yang bisa merupakan sumber penularan bagi anak. Jumlah kasus TB resisten obat pada anak saat ini masih belum diketahui, tetapi semakin meningkat.3
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Kuman TB bersifat sistemik sehingga dapat terjadi di hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer mulai dari infiltrasi ringan hingga bentuk kronik, kavitas dan kerusakan paru berat. sebagian lagi dapat menyerang di luar paru - paru, seperti kelenjar getah bening (kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan, selaput otak, dan sebagianya. TB pada anak terjadi pada usia 0-14 tahun.1
II.2 EPIDEMIOLOGI TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2011 menyatakan bahwa terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap TB, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 8,8 juta kasus TB, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif serta 1,4 juta orang meninggal di seluruh dunia akibat TB termasuk 0,35 juta orang dengan penyakit HIV. 4 TB anak terjadi pada anak berusia 0-14 tahun. Di negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Proporsi kasus TB anak diantara semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9.4% kemudian menjadi 8.2% pada tahun 2012, 7.9% pada tahun 2013, 7.16% pada tahun 2014, dan 9% di tahun 2015.1
3
Tahun 2010, Indonesia menempati peringkat ke-4 negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,37 – 0,54 juta setelah India (2,0 – 2,5 juta), Cina (0,9 – 1,2 juta), Afrika Selatan (0,40 – 0,59 juta). Pada tahun 2004, diperkirakan angka prevalensi kasus TB di Indonesia 130/100.000 penduduk, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian sekitar 101.000 orang pertahun serta angka insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110/100.000 penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian terbesar ke-3 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan serta merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. 4 II.3
ETIOLOGI Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks
Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Kompleks Mycobacterium tuberculosis meliputi M. Tuberculosis , M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa kompleks tersebut,
M. tuberculosis
merupakan jenis yang
terpenting dan paling sering dijumpai. M. tuberculosis
berbentuk batang,
berukuran panjang 5µ dan lebar 3µ, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya, misalnya dengan
pewarnaan Gram. Namun, sekali mycobacteria diberi warna oleh
pewarnaan gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Beberapa mikroorganisme lain yang juga memiliki sifat tahan asam, yaitu spesies Nocardia, Rhodococcus, Legionella micdadei, dan protozoa Isospora dan Cryptosporidium.4 Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan patogen, menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag.4
4
II.4 PATOFISIOLOGI Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran TB sangat kecil (<5mikrometer) dalam bentuk percik renik (droplet nuklei) yang dapat terhirup dan mencapai alveolus. Pada sebagian kasus kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya melalui mekanisme imunologi nonspesifik, namun pada sebagian kasus lainnya tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menhancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus kan memfagosit sebagian kuman TB, sebagian lain kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak didalam makrofag dan akam menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut yang dinamakan fokus primer Ghon. 1 Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju saluran limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis). Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, maka kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (parahiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis dan limfadenitis dinamakan kompleks primer. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer disebuat sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, umumnya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 1.000-10.000, dimana merupakan jumlah yang cukup merangsang respon imunitas seluler. 1 Infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi saat terbentuknya kompleks primer. Kemudian imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin negatif. Pada individu dengan
imunitas baik pada saat sistem imun selular berkembang proliferasi
kuman TB terhenti. Namun sejumlah kecil kuman TB tetap hidup dalam granuloma. 1
5
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. 1 Kompleks primer juga dapat mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis lokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang awalnya berukuran normal, setelah infeksi akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan pneumonitis dan atelektasis yang sering disebut lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran hematogen, kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen menyebabkan penyakit sistemik. Penyebaran hematogen paling sering terjadi dalam penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian bersarang di organ dengan vaskularisasi yang baik, aling sering di apeks paru, limpa, kelenjar limfe, otak, hati, tulang, ginjal dan lain-lain. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. 1 Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
6
Fokus SIMON. Bertahun tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. 1 Bentuk hematogen lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar didalam darah di seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan manifestasi TB secara akut disebut TB diseminata. TB diseminata timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. TB diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun penjamu dalam mengatasi infeksi TB,misalnya pada anak dibawah 5 tahun. 1 Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. 1 Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.Bentuk ini terjadi bla suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar dalam pembuluh darah. Secara klinis, sakit TB tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. 1 Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
7
lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna.Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. 1 Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. 1
Gambar 1. Patogenesis TB
8
II.5 GAMBARAN KLINIS Gejala penyakit TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.1 Gejala Sistemik / Umum: Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive). Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
9
Gejala Khusus: Selain itu terdapat juga gejala klinis yang terkait dengan organ jika terjadi infeksi tuberculosis ekstrapulmoner, seperti di bawah ini : Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): o Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens. Tuberkulosis otak dan selaput otak: o Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena. o Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang. Tuberkulosis sistem skeletal: o Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus). o Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah panggul. o Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas. o Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis). Skrofuloderma = ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge). Tuberkulosis mata: o Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis). o Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi). Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
10
II.6 DIAGNOSIS 1. Anamnesis - Berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh - Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu - Batuk kronik >3 minggu, dengan atau tanpa wheeze - Riwayat kontak dengan pasien tb paru dewasa.4 2. Pemeriksaan fisik - Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal - Pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi, lutut, falang - Uji tuberculin. Biasanya positif pada anak dengan TB paru, tetapi bias negative pada anak dengan TB milier atau juga menderita HIV/AIDS, gizi buruk atau beru menderita campak - Pengukuran berat badan menurut umur atau lebih baik pengukuran berat menurut panjang/tinggi badan.4 3. Pemeriksaan penunjang - Uji Tuberkulin Cara melakukan uji tuberculin (Mantoux Test) ini sangat sederhana, yaitu dengan menyuntikkan 0.1 ml tuberculin PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah suntikan memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan. Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam millimeter berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 milimeter jika tidak ada indurasi sama sekali. Indurasi 10 milimeter ke atas dinyatakan positif. Indurasi < 5 milimeter dinyatakan negative, sedangan indurasi 5-9 milimeter meragukan dan perlu diulang dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji tuberculin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif pada anak. Reaksi uji tuberculin positif biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberculin tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB. 1
11
- Pemeriksaan Radiologis Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam beberapa
hal
pemeriksaan
radiologis
memberikan
beberapa
keuntungan seperti tuberkulosis pada anak – anak dan tuberculosis millier. Pada kedua hal tersebut diagnosa dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologi dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Pada anak dengan uji tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru: 1 1. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat. 2. Konsolidasi segmental/lobar. 3. Efusi pleura. 4. Penyebaran milier. 5. Atelektasis 6. Kavitas 7. Kalsifikasi dengan infiltrat 8. Tuberkuloma. - Pemeriksaan Mikrobiologi Spesimen atau bahan pemeriksaan yang diambil berasal dari bilasan lambung atau sputum, untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung, dan Mycobacterium tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan diagnosis pasti TB. Hasil BTA atau biakan negative tidak menyingkirkan diagnosis TB. 1 - Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans atau kuman TB. 1
12
Gambar 2. Alur diagnosis TB Paru Anak
Gambar 3. Sistem Skoring TB Anak
13
II.7 KLASIFIKASI TUBERKULOSIS Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; 2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif; 3. Tingkat uji kepekaan obat. 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati1 Beberapa istilah dalam definisi kasus: 1. Kasus TB anak terkonfirmasi bakteriologis: anak yang terdiagnosis dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif. 2. Kasus TB anak terdiagnosis secara klinis:anak yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tapi didiagnosis sebagai TB oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. 1
A. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh Yang Terkena: Tuberkulosis paru Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. TB milier dianggap sebagai TB paru karena ada lesi pada jaringan paru. Tuberkulosis ekstra paru Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. 1
B. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis, Yaitu Pada Tb Paru: Tuberkulosis paru BTA positif a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
14
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
C. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat. Mono resistan (TB MR) Resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja Poli resistan (TB PR) Resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Insoniazid dan Rifampisin Multi Drug Resistant (TB MDR) Resistan terhadap Insoniazid dan Rifampisin Extensive Drug Resistant (TB XDR) TB MDR yang resistant juga terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) Resistant Rifampisin (TB RR) Resistan terhadap rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional) 1
15
D. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya Kasus Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Kasus Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Kasus Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 1 II.8 PENCEGAHAN 1. Vaksinasi BCG Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis yang virulen. Imunitas timbul 6 – 8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi super infeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat. 8
2. Pengobatan profilaksis - Profilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif) tetapi kontak dengan penderita TB aktif. Obat yang digunakan adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 2 – 3 bulan.
16
- Profilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji tuberkulin positif tanpa gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi memiliki faktor resiko menjadi TB aktif, obat yang digunakan adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 6 –12 bulan. 8 II.9 TATALAKSANA 1. Isoniazid INH adalah obat OAT yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, cairan asites, jaringan caseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml. INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer, tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobartbital atau fenitoin dapat meningkatkan resiko hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3x harga normal atau terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning. Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin tiap 100 17
mg INH. Manifestasi alergi atau hipersensitivitas yang disebabkan INH jarang terjadi. Efek samping yang jarang terjadi antara lain pelagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD, dan reaksi mirip lupus yang disertai ruam dan artritis. 8 2. Rifampisin Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20mg/kgbb/hari, maksimal 600mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian perhari. jika diberikan bersama INH, dosis rifampisin tidak melebihi 15mg/kgbb/hari dan dosis INH tidak melebihi 10mg/kgbb/hari. Seperti halnya INH, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan diginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH. Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimptomatik.
Rifampisin
dapat
menyebabkan
trombositopenia.
Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg, 300mg dan 450mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan. 8 3. Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian PZA secara oral dengan dosis 15-30mb/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2g/hari. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg. efek samping PZA adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi
18
saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan hiperurisemia jarang timbul pada anak. 8 4. Etambutol Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari dengan dosis tunggal. Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. EMB tersedia dalam tablet 250mg dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan berdasarkan pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik pada dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali sehari. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anak-anak. 8 5. Streptomisin Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler pada keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram permilliliter dalam waktu 1-2 jam. Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing. 8
19
Gambar 4. Dosis OAT untuk anak
Terapi TB terdiri dari 2 fase : 1. Fase intensif : diberikan 3-5 OAT selama 2 bulan awal 2. Fase lanjutan : paduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan. Pada anak OAT diberikan secara harian baik pada fase intensif maupun fase lanjutan. 1 TB paru : INH, Rifampisin, dan Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif, lalu dilanjutkan dengan INH dan RIfampisin hingga genap 6 bulan terapi (2RHZ-4HR) TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstraparu : diberikan 4-5 OAT selama 2 bulan fase intensif, lalu dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin hingga genap 9-12 bulan terapi. TB kelenjar superficial : terapinya sama dengan TB paru. TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, lalu dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu (total pemberian waktu 1 bulan).
20
Gambar 5. Panduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak
Kombinasi dosis tetap OAT (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket.1
Gambar 6. Dosis OAT KDT pada TB anak
21
Gambar 7. Hasil Akhir Pengobatan Profilaksis untuk anak Bila anak balita sehat, yang tinggal serumah dengan pasitn TB paru BTA positif, mendapat skor < 5 pada evaluasi dengan sistem skoring, maka kepada anak balita tersebut diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/ hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah imunisasis BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.4
Gambar 8. Tatalaksana Pencegahan Tuberkulosis dengan Isoniazid
22
Tuberkulosis Resisten Obat pada Anak Kejadian TB resisten obat pada anak secara global masih belum pasti karena kesulitan mendapatkan konfirmasi bakteriologis pada anak. Kejadian TB kebal obat di Indonesia belum pasti, tetapi kewaspadaan terhadap kasus ini perlu ditingkatkan mengingat penatalaksanaan kasus TB pada anak masih belum optimal dan angka kejadian TB kebal obat pada dewasa yang terus meningkat. Diperkirakan banyak anak yang kontak dengan kasus TB dewasa kebal obat, sehingga kejadian TB kebal obat pada anak akan mencerminkan pengendalian TB kebal obat pada dewasa. 9 Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR, dan XDR. Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan mendapatkan resisten terhadap isoniazid atau rifampisin. Seorang pasien TB anak dikatakan mengalami MDR bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil basil M. tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin, sedangkan extensively drug-resistant (XDR)TB bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil MDR ditambah resisten terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat injeksi lini kedua (second-line injectable agents). Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi dewasa pasien TB MDR, yaitu : Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang kemungkinan strain itu masih sensitif; satu darinya harus injectable, satu fluorokuinolon (lebih baik kalau generasi kuinolon yang lebih akhir bila ada), dan PZA harus dilanjutkan Gunakan high-end dosing bila memungkinkan Semua dosis harus diberikan dengan menggunakan DOT Durasi pengobatan harus 18-24 bulan Semua obat diminum setiap hari dan dengan pengawasan langsung Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada dewasa dengan TB MDR Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dosis disesuaikan dengan berat badan pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua tidak child-friendly. 9 23
Gambar. 7 OAT TB MDR pada anak
24
BAB III KESIMPULAN Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun di Negara maju yaitu merupakan satu diantara 10 penyebab kematian utama di dunia.Penyakit ini dapat menyerang semua umur, baik pada anak maupun orang dewasa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan terdapat lebih dari 250.000 anak menderita TB dan 100.000 diantaranya meninggal dunia. Penyebab penyakit ini adalah kuman Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri tahan asam. Penyakit ini memerlukan pengobatan yang lama dan teratur sehingga memerlukan kesabaran dan peran serta dari keluarga dan dokter yang memberi pengobatan. Upaya untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi BCG sewaktu anak baru lahir atau dengan profilaksis primer pada anak yang belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif) tetapi kontak dengan penderita TB aktif, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi tuberculosis pada anak, dengan memberikan Isoniazid 5-15mg/kgbb/hari, dosis tunggal dan profilaksis sekunder bertujuan untuk mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit yang ditandai dengan uji tuberculin (+) teapi gejala klinis dan radiologis normal, yang diberikan adalah isoniazid 10mg/kgbb/hari selama 6-12 bulan.
25
DAFTAR PUSTAKA 1. Kementrian
Kesehatan
Republik
Indonesia,
2016,
Petunjuk
Teknis
Manajemen dan Tatalaksana TB Anak, 2016. 2. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et al : Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, EGC 2008, hal 1028 – 1042. 3. Kemenkes RI, 2016, Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak. Jakarta: Kemenkes. 4. WHO Indonesia, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Jakrta : WHO Indonesia; 2009;113-118 5. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Core Curriculum on Tuberculosis: What the Clinician Should Know, 6th edition (2013). Division of
Tuberculosis
Elimination, Centers
for
Disease
Control
and
Prevention (CDC). 6. WHO, 2010, Treatment of tuberculosis guidelines. 4th ed. 7. Kemenkes RI, 2014, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes. 8. Perez-Velez, CM, Marais, BJ, Tuberculosis in Children, 2012, New England Journal of Medicine. 9. Horsburgh,CR, Barry III, CE, Lange, C, Treatment of Tuberclosis, 2015, New England Journal of Medicine.
26