PERKENALAN DOSEN Dr. SUMIHARTI, Ak, M.Si ALAMAT: JALAN ALU-ALU NO.15 RAWAMANGUN JAKARTA TIMUR TELPON: RUMAH: 021-4896412 HP: 0811951517 1
UNDANG UNDANG No. 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG UNDANG
Nomor : 36 TAHUN 2008 2
PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pasal 1
ADALAH
PAJAK YANG DIKENAKAN TERHADAP SUBJEK PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEHNYA DALAM TAHUN PAJAK
3
DASAR HUKUM
UU No. 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UU No. 36 TAHUN 2008
•PP •KEP PRES •KEP MENKEU •KEP DIRJEN •SE DIRJEN
4
SUBJEK PAJAK Pasal 2 ayat (1)
- ORANG PRIBADI - WARISAN YG BELUM TERBAGI
BADAN
BENTUK USAHA TETAP (BUT)
5
SUBJEK PAJAK Pasal 2 ayat (2)
SUBJEK PAJAK
DALAM NEGERI
LUAR NEGERI
6
SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI Pasal 2 ayat (3)
ORANG PRIBADI : - BERTEMPAT TINGGAL / BERADA DI INDONESIA LEBIH DARI 183 HARI DLM 12 BULAN; ATAU - DALAM SUATU TAHUN PAJAK BERADA DI INDONESIA DAN MEMPUNYAI NIAT BERTEMPAT TINGGAL DI INDONESIA BADAN YANG DIDIRIKAN ATAU BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA
WARISAN YANG BELUM TERBAGI 7
SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI Pasal 2 ayat (4)
• ORANG PRIBADI YG TIDAK BERTEMPAT TINGGAL DI INDONESIA / BERADA DI INDONESIA TIDAK LEBIH DARI 183 HARI DALAM 12 BULAN • BADAN YG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA
YANG MENJALANKAN USAHA ATAU KEGIATAN MELALUI BUT DI INDONESIA
YANG MENERIMA ATAU MEMPEROLEH PENGHASILAN DARI INDONESIA BUKAN DARI MENJALANKAN USAHA ATAU KEGIATAN MELALUI BUT DI INDONESIA 8
PERBEDAAN WP DALAM NEGERI DAN WP LUAR NEGERI, ANTARA LAIN ADALAH:
WAJIB PAJAK DALAM NEGERI Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dan luar Indonesia. Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum (Tarif UU PPh Pasal 17). Wajib menyampaikan SPT WAJIB PAJAK LUAR NEGERI Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto. Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif UU PPh Pasal 26). Tidak wajib menyampaikan SPT. 9
BENTUK USAHA TETAP Pasal 2 ayat (5)
BENTUK USAHA YANG DIPERGUNAKAN OLEH
ORANG PRIBADI SEBAGAI SUBJEK PAJAK LN
BADAN SEBAGAI SUBJEK PAJAK LN
UNTUK MENJALANKAN USAHA ATAU KEGIATAN DI INDONESIA 10
BENTUK USAHA TETAP Pasal 2 ayat (5)
DAPAT BERUPA • • • • • • . . • •
• • • •
• •
Tempat kedudukan manajemen Cabang perusahaan Kantor perwakilan Gedung kantor Pabrik Bengkel Gudang Ruang utk promosi dan penjualan Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran untuk eksplorasi pertambangan Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan Proyek konstruksi/instalasi/perakitan Pemberian jasa yang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan Agen yang kedudukannya tidak bebas Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi luar negeri yang menerima premi atau menanggung resiko di Indonesia Komputer, dedicated server, utk kegiatan usaha melalui internet. Tempat tinggal OP atau tempat kedudukan Badan yg 11 ditetapkan oleh Dir.Jen. Pajak.
TEMPAT TINGGAL/ KEDUDUKAN WAJIB PAJAK Pasal 2 ayat (6)
TEMPAT TINGGAL ORANG PRIBADI
TEMPAT KEDUDUKAN BADAN
DITETAPKAN OLEH DIRJEN PAJAK
MENURUT KEADAAN YANG SEBENARNYA
12
KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF Pasal 2A ayat (1),(2),(3),(4) dan (5)
SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI
SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI
ORANG PRIBADI
SELAIN BUT
MULAI :
- SAAT DILAHIRKAN - SAAT BERADA ATAU BERNIAT TINGGAL DI INDONESIA
BERAKHIR :
- SAAT MENINGGAL - MENINGGALKAN INDONESIA UNTUK SELAMANYA.
BADAN MULAI :
SAAT DIDIRIKAN/ BERKEDUDUKAN DI INDONESIA
BERAKHIR : SAAT DIBUBARKAN ATAU TIDAK LAGI BERKEDUDUKAN DI INDONESIA.
MULAI :
WARISAN YG BELUM TERBAGI
SAAT MENERIMA /MEMPEROLEH PENGHASILAN DARI INDONESIA
MULAI :
BERAKHIR :
BERAKHIR :
SAAT TIDAK LAGI MENERIMA/MEMPER OLEH PENGHASILAN DARI INDONESIA
SAAT TIMBULNYA WARISAN
SAAT WARISAN SELESAI DIBAGIKAN
BUT MULAI :
SAAT MELAKUKAN USAHA/KEGIATAN MELALUI BUT DI INDONESIA
BERAKHIR :
SAAT TDK LAGI MENJALANKAN USAHA/KEGIATAN MELALUI BUT DI INDONESIA. 13
KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF Pasal 2A ayat (6)
KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF ORANG PRIBADI YANG BERADA ATAU BERTEMPAT TINGGAL DI INDONESIA
HANYA MELIPUTI SEBAGIAN DARI TAHUN PAJAK MAKA
BAGIAN TAHUN PAJAK TERSEBUT MENGGANTIKAN TAHUN PAJAK 14
TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK Pasal 3
BADAN PERWAKILAN NEGARA ASING
PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN DIPLOMATIK DAN KONSULAT ATAU PEJABAT-PEJABAT LAIN DARI NEGARA ASING, DAN ORANG-ORANG YG DIPERBANTUKAN KPD MEREKA YG BEKERJA PADA DAN BERTEMPAT TINGGAL BERSAMA-SAMA MEREKA DGN SYARAT BUKAN WNI DAN DI INDONESIA TDK MENERIMA ATAU MEMPEROLEH PENGHASILAN LAIN DI LUAR JABATAN ATAU PEKERJAANNYA TSB SERTA NEGARA YBS MEMBERIKAN PERLAKUAN TIMBAL BALIK ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DITETAPKAN OLEH MENKEU DGN SYARAT INDONESIA MENJADI ANGGOTANYA DAN TDK MENJALANKAN USAHA / KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH PENGHASILAN DARI INDONESIA SELAIN PEMBERIAN PINJAMAN KPD PEMERINTAH YG DANANYA BERASAL DARI IURAN PARA ANGGOTA PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL YG DITETAPKAN DGN KEPMENKEU DGN SYARAT BUKAN WNI DAN TDK MENJALANKAN USAHA / KEGIATAN/ PEKERJAAN LAIN UTK MEMPEROLEH PENGHASILAN DARI INDONESIA SESUAI KMK NO. 574/KMK.04/2000
15
OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (1)
PENGHASILAN
SETIAP TAMBAHAN KEMAMPUAN EKONOMIS YANG :
- DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK, - BERASAL DARI INDONESIA MAUPUN DARI LUAR INDONESIA, - DAPAT DIPAKAI UNTUK KONSUMSI ATAU - UNTUK MENAMBAH KEKAYAAN WAJIB PAJAK,
DENGAN NAMA DAN DALAM BENTUK APAPUN
16
OBJEK PAJAK Pasal 4 Ayat 1 a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dgn pekerjaan atau jasa yg diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dlm bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dlm UU ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan/kegiatan dan penghargaan; c.
Laba usaha
Objek Pajak D. KEUNTUNGAN KARENA PENJUALAN ATAU KARENA PENGALIHAN HARTA TERMASUK :
keuntungan krn pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sbg pengganti saham/penyertaan modal; 2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya krn pengalihan harta kpd pemegang saham, sekutu atau anggota; 3. keuntungan krn likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha; 4. keuntungan krn pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kec. yang diberikan kpd keluarga sedarah dlm garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yg ditetapkan oleh Menkeu, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yg bersangkutan; dan 5. Keuntungan krn penj.atau pengalihan sebag. atau seluruhnya hak penambangan, tanda turut serta dlm pembiayaan atau permodalan perusahaan pertambangan; 1.
OBJEK PAJAK e. Penerimaan kembali pembayaran pajak
yang telah dibebankan sbg biaya dan pemby.tambahan Pengembalian pajak; f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan krn jaminan pengembalian utang; g. Dividen, dgn nama dan dlm bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kpd pemegang polis, dan pembagian SHU koperasi; h. Royalti, atau imbalan atas penggunaan hak; i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dgn penggunaan harta j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala k. Keuntungan krn pembebasan utang, kecuali sampai dgn jumlah tertentu ditetapkan dgn PP (PP No.130 Tahun 2000)
OBJEK PAJAK l. Keuntungan krn selisih kurs mata uang asing, m.selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, n. premi asuransi, o. iuran yg diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yg terdiri dari WP yg menjalankan usaha /pekerjaan bebas, p. tambahan kekayaan neto yg berasal dari penghasilan yg belum dikenakan pajak. q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah r. Imbalan bunga sesuai UU KUP s. Surplus Bank Indonesia. 20
PENGHASILAN TERTENTU Pasal 4 ayat (2)
Bunga deposito dan tabungan - Transaksi saham dan sekuritas di bursa efek - Pengalihan harta berupa tanah dan Bangunan - Penghasilan tertentu lainnya -
Pengenaan Pajaknya Diatur Dengan Peraturan Pemerintah (PP) 21
PENGHASILAN TERTENTU YANG PENGENAAN PAJAKNYA TELAH DIATUR DGN PERATURAN PEMERINTAH (PP) 1. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK ( PP No. 41 TH 1994 jo PP No. 14 TH 1997)
2. PENGHASILAN DARI HADIAH UNDIAN ( PP No. 132 TAHUN 2000) 3. PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN (PP No. 48 TH 1994 jo PP No.79 TH 1999) 4. PENGHASILAN DARI BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SBI ( PP No. 131 TAHUN 2000 jo KMK No.51/KMK.04/2001) 5. PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN ( PP No. 29 TH 1996 Jo. PP No. 5 Th 2002 ) 6. PENGHASILAN BERUPA OBLIGASI YG DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK ( PP. 139 TAHUN 2000 jo PP No. 6 Tahun 2002 Jo. KMK No.558/KMK.04/2000)
7. PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI DAN JASA KONSULTAN ( PP.140 TH 2000 jo KMK No. 559/KMK.04/2000) 22
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (3) a.1.Bantuan
atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak
ATAU
Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, diatur dengan PP
2.HARTA HIBAHAN DENGAN SYARAT TERTENTU b. WARISAN
23
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (3)
c. HARTA TERMASUK SETORAN TUNAI YG DITERIMA OLEH BADAN SEBAGAI PENGGANTI SAHAM ATAU PENYERTAAN MODAL d. PENGGANTIAN/IMBALAN DALAM BENTUK NATURA DAN ATAU KENIKMATAN DARI WAJIB PAJAK ATAU PEMERINTAH e. PEMBAYARAN DARI PERUSAHAAN ASURANSI KEPADA ORANG PRIBADI SEHUBUNGAN DENGAN ASURANSI KESEHATAN/ KECELAKAAN/ JIWA/DWIGUNA DAN BEA SISWA 24
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (3)
f. DIVIDEN /BAGIAN LABA YG DITERIMA/DIPEROLEH PT SBG WP D.N, KOPERASI,BUMN/BUMD, DARI PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA YANG DIDIRIKAN/ BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA DGN SYARAT DIVIDEN BERASAL DARI CADANGAN LABA YG DITAHAN DAN KEPEMILIKAN PADA BADAN YG MEMBERIKAN DIVIDEN PALING RENDAH 25% DARI JUMLAH MODAL YG DISETOR DAN HRS MEMPUNYAI USAHA AKTIF DILUAR KEPEMILIKAN SAHAM TSB
g. IURAN YG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DANA PENSIUN YG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN OLEH MENKEU h. PENGHASILAN DARI MODAL YG DITANAMKAN OLEH DANA PENSIUN YG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN OLEH MENKEU DLM BIDANG-BIDANG TERTENTU YG DITETAPKAN DENGAN KMK i. BAGIAN LABA YG DITERIMA/DIPEROLEH ANGGOTA DARI PERSEROAN KOMANDITER YG MODALNYA TDK TERBAGI ATAS SAHAM-SAHAM, PERSEKUTUAN, PERKUMPULAN, FIRMA DAN KONGSI
j. BUNGA OBLIGASI YG DITERIMA ATAU DIPEROLEH PERUSAHAAN REKSA DANA SELAMA 5 TAHUN PERTAMA SEJAK PENDIRIAN/PEMBERIAN IJIN USAHA (dihapus)
25
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (3)
k. PENGHASILAN YG DITERIMA/DIPEROLEH PERUSAHAAN MODAL VENTURA BERUPA BAGIAN LABA DARI BADAN PASANGAN USAHA YG DIDIRIKAN & MENJALANKAN USAHA/ KEGIATAN DI INDONESIA DGN SYARAT BADAN PASANGAN USAHA MERUPAKAN PERUSAHAAN KECIL, MENENGAH, ATAU YG MENJALANKAN KEGIATAN DLM SEKTOR-SEKTOR USAHA YG DITETAPKAN DGN KEPMENKEU DAN SAHAMNYA TDK DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK DI INDONESIA l. BEA SISWA (DIATUR DG PMK) m. SISA LEBIH YG DIPEROLEH BADAN/ LEMBAGA NIRLABA (DIATUR DG PMK) n. BANTUAN ATAU SANTUNAN YG DIBAYARKAN OLEH BPJS KPD WP TERTENTU (DIATUR DG PMK)
DIATUR DENGAN PER. MEN. KEU. 26
OBJEK PAJAK BUT Pasal 5 ayat (1)
PENGHASILAN DARI
PENGHASILAN KANTOR PUSAT DARI
- USAHA/KEGIATAN BUT - HARTA YANG DIMILIKI/ DIKUASAI BUT
- USAHA ATAU KEGIATAN - PENJUALAN BARANG-BARANG - PEMBERIAN JASA
DI INDONESIA
YG SEJENIS DGN YG DILAKUKAN BUT DI INDONESIA
PENGHASILAN YG TERSEBUT DLM PASAL 26 YG DITERIMA ATAU DIPEROLEH KANTOR PUSAT
SEPANJANG ADA HUBUNGAN EFEKTIF ANTARA BUT DGN HARTA/KEGIATAN YG MEMBERIKAN PENGHASILAN
27
OBJEK PAJAK BUT PENGHASILAN KANTOR PUSAT TSB DALAM PASAL 26 SEPANJANG TERDAPAT HUBUNGAN EFEKTIF ANTARA BUT DGN HARTA/KEGIATAN YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf c
X. Inc DI LUAR INDONESIA
PERJANJIAN/ LISENSI PENGGUNAAN MERK“X Inc”
PT. Y DI INDONESIA
BUT DI INDONESIA
ROYALTI
JASA MANAJEMEN; JASA PEMASARAN; JASA PRODUKSI
28
BIAYA YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BUT Pasal 5 Ayat (2)
BIAYA YANG BERKENAAN DENGAN PENGHASILAN KANTOR PUSAT
SEHUBUNGAN DENGAN : - Usaha atau kegiatan, - Penjualan barang, - Pemberian jasa, YG SEJENIS DGN YANG DIJALANKAN “BUT” DI INDONESIA
PENGHASILAN SEBAGAIMANA TSB DALAM PASAL 26 JIKA TERDAPAT HUBUNGAN EFEKTIF ANTARA BUT DENGAN HARTA/KEGIATAN YG MEMBERIKAN PENGHASILAN
29
PENENTUAN LABA BUT Pasal 5 Ayat (3) BIAYA ADM. KANTOR PUSAT YG BOLEH DIBEBANKAN SBG BIAYA
BIAYA YG BERKAITAN DGN USAHA ATAU KEGIATAN BUT
BESARNYA DITETAPKAN DIRJEN PAJAK
PEMBAYARAN KPD KANTOR PUSAT YG TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SBG BIAYA
BUKAN SBG PENGHASILAN BUT, PEMBAYARAN DARI KANTOR PUSAT BERUPA
- ROYALTI/IMBALAN SEHUB. DGN PENGGUNAAN HARTA, PATEN, ATAU HAK LAINNYA - IMBALAN SEHUB. DGN JASA MANAJEMEN DAN JASA LAINNYA - BUNGA, KECUALI BUNGA YG BERKENAAN DGN USAHA PERBANKAN
- ROYALTI/IMBALAN SEHUB. DGN PENGGUNAAN HARTA, PATEN, ATAU HAK LAINNYA - IMBALAN SEHUB. DGN JASA MANAJEMEN DAN JASA LAINNYA - BUNGA, KECUALI BUNGA YG BERKENAAN DGN USAHA PERBANKAN
30
BIAYA-BIAYA YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 6 Ayat (1) huruf a 1). BIAYA UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH, DANMEMELIHARA PENGHASILAN TERMASUK : a. BIAYA YG SECARA LANGSUNG/ TDK LANGSUNG BERKAITAN DG KEGIATAN USAHA: 1.Biaya pembelian Bahan; 2. Biaya atas pekerjaan/jasa: upah, gaji, honorariun, bonus, gratifikasi, dan tunjangan dlm bentuk uang; 3. Bunga, sewa dan royalti; 4. Biaya perjalanan; 5. Biaya pengolahan limbah; 6. Premi asuransi; 7. Biaya promosi dan penjualan (diatur dg PMK); 8. Biaya administrasi; 9. Pajak kecuali PPh; 31
BIAYA-BIAYA YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 6 ayat (1)
(1) BIAYA UTK MENDAPATKAN, MENAGIH & MEMELIHARA PENGHASILAN TERMASUK : b. Biaya penyusutan fiskal dan/atau amortisasi c. Iuran kepada dana pensiun yg pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing f. Biaya penelitian & pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia g. Biaya bea siswa, magang, dan 32
BIAYA-BIAYA YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 6 ayat (1)
(1)BIAYA UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH, DANMEMELIHARA PENGHASILAN TERMASUK :
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang memenuhi syarat tertentu dgm Kep Dirjen Pajak i. Sumbangan dlm rangka bencana Nas (diatur PP) j. Sumbangan utk penelitian & pengembangan di Indonesia (diatur PP). k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial (diatur PP) l. Sumbangan fasilitas pendidikan (diatur PP) m.Sumbangan pembinaan olah raga 33
PENGELUARAN YANG BOLEH DIBEBANKAN SBG BIAYA Pasal 6 ayat (1) huruf a
PENGELUARAN YG MEMPUNYAI HUB. LANGSUNG DENGAN USAHA/KEGIATAN UTK MENDAPATKAN, MENAGIH,DAN MEMELIHARA (3M) PENGHASILAN
YANG MERUPAKAN OBJEK PAJAK BOLEH DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA .
YANG BUKAN MERUPAKAN OBJEK PAJAK TIDAKBOLEH DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA
CONTOH
. PENGHASILAN BRUTO DANA PENSIUN “A” a. PENGHASILAN YG BUKAN OBJEK PAJAK SESUAI PASAL 4 AYAT (3) HRF g SEBESAR Rp 100.000.000,00 b. PENGHASILAN BRUTO DI LUAR add a) SEBESAR Rp 300.000.000,00 TOTAL PENGHASILAN Rp 400.000.000,00 APABILA TOTAL BIAYA ADALAH Rp 200.000.000,00 MAKA BIAYA YG BOLEH DIKURANGKAN UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH, DAN MEMELIHARA PENGHASILAN ADALAH SEBESAR :
3/4 X Rp 200.000.000,00=Rp 150.000.000,00 34
PENGELUARAN YANG BOLEH DIBEBANKAN SBG BIAYA Pasal 6 ayat (1) huruf h
BIAYA UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH, DAN MEMELIHARA PENGHASILAN YANG MERUPAKAN OBJEK PAJAK, TERMASUK
PIUTANG YANG NYATANYATA TIDAK DAPAT DITAGIH
.
SYARAT
. 1. TELAH DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA DALAM LAPORAN LABA RUGI KOMERSIAL; 2. TELAH DISERAHKAN PERKARA PENAGIHANNYA KEPADA PN ATAU BUPLN ATAU ADANYA PERJANJIAN TERTULIS MENGENAI PENGHAPUSAN PIUTANG/PEMBEBASAN UTANG ANTARA KREDITUR DAN DEBITUR YBS; 3. TELAH DIPUBLIKASIKAN DALAM PENERBITAN UMUM ATAU KHUSUS; DAN 4. WP HARUS MENYERAHKAN DAFTAR PIUTANG YANG TIDAK DAPAT DITAGIH KEPADA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
PELAKSANAANNYA DIATUR KEPDIRJEN 35
KOMPENSASI KERUGIAN Pasal 6 ayat (2) dan PP 148 Tahun 2000
KERUGIAN DAPAT DIKOMPENSASIKAN DENGAN PENGHASILAN MULAI TAHUN PAJAK BERIKUTNYA BERTURUT-TURUT SAMPAI DENGAN 5 (LIMA) TAHUN
PENANAMAN MODAL DI BIDANGBIDANG USAHA TERTENTU ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU, KOMPENSASI KERUGIAN PALING LAMA 10 TAHUN
36
PENGHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN CONTOH PT. A dalam tahun 2013 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 tahun berikutnya rugi-laba fiskal PT. A sbb : 2014 : laba fiskal Rp 200.000.000,00 2015 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00) 2016: laba fiskal NIHIL 2017 : laba fiskal Rp 100.000.000,00 2018: laba fiskal Rp 800.000.000,00 Kompensasi kerugian dilakukan sbb : Rugi fiskal Thn 2013 (Rp 1.200.000.000,00) Laba fiskal Thn 2014 Rp 200.000.000,00(+) Sisa rugi fiskal Thn 2013 (Rp 1.000.000.000,00) Rugi fiskal Thn 2015 (Rp 300.000.000,00) Sisa rugi fiskal Thn 2013 (Rp 1.000.000.000,00) Laba fiskal Thn 2016 N I H I L (+) Sisa rugi fiskal Thn 2013 (Rp 1.000.000.000,00) Laba fiskal Thn 2017 Rp 100.000.000,00(+) Sisa rugi fiskal Thn 2011 (Rp 900.000.000,00) Laba fiskal Thn 2018 Rp 800.000.000,00 Sisa rugi fiskal Thn 2013 (Rp 100.000.000,00)
TIDAK BOLEH DIKOMPENSASIKAN LAGI DENGAN LABA FISKAL THN 2019 HANYA BOLEH DIKOMPENSASIKAN DGN LABA FISKAL THN 2015 & 2016 (KOMPENSASI DIMULAI SJK THN 2016)
37
BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3)
Rp.54.000.000,00
UNTUK DIRI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
Rp 4.500.000,00
TAMBAHAN UNTUK WAJIB PAJAK KAWIN
Rp 54.000.000,00
TAMBAHAN UNTUK SEORANG ISTERI YG PENGHASILANNYA DIGABUNG DENGAN PENGHASILAN SUAMI
Rp 4.500.000,00
TAMBAHAN UNTUK SETIAP ANGGOTA KELUARGA SEDARAH SEMENDA DALAM GARIS KETURUNAN LURUS SERTA ANAK ANGKAT YG MENJADI TANGGUNGAN SEPENUHNYA MAKSIMAL 3 ORANG
PENERAPAN PTKP DITENTUKAN OLEH KEADAAN PADA AWAL TAHUN PAJAK ATAU AWAL BAGIAN TAHUN PAJAK
MULAI BERLAKU 01-01-2016 38
CONTOH PENERAPAN PTKP WP “A” SEORANG PEGAWAI MEMPUNYAI SEORANG ISTRI DAN 4 ANAK. BILA ISTRI MENERIMA/MEMPEROLEH PENGHASILAN YG SUDAH DIPOTONG PPh PSL 21 DAN PEKERJAANNYA TSB TDK ADA HUBUNGANNYA DGN PEKERJAAN/USAHA SUAMI/ANGGOTA KELUARGA LAINNYA. BESARNYA PTKP YG DIBERIKAN :
- WP SENDIRI - STATUS KAWIN - ANAK (3 x Rp 3.000.000) JUMLAH PTKP
Rp 54.000.000 Rp 4.500.000 Rp 13.500.000 Rp72.0000.000
UTK ISTRI SDH DIBERIKAN PTKP, SAAT PEMOTONGAN PPh 21 OLEH PEMBERI KERJA SEBESAR Rp36.000.000,-
BILA PENGHASILAN ISTRI “A” TSB TIDAK SEMATAMATA DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI SATU PEMBERI KERJA YG TELAH DIPOTONG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PASAL 21, DAN PEKERJAAN TSB ADA HUBUNGANNYA DENGAN USAHA ATAU PEKERJAAN BEBAS SUAMI ATAU ANGGOTA KELUARGA LAINNYA, MAKA PENGHASILAN ISTRI “A” DIGABUNG DGN PENGHASILAN “A” BESARNYA PTKP YANG DIBERIKAN :
- WP SENDIRI - STATUS KAWIN - ISTERI BEKERJA - ANAK (3 x Rp3.000.000) JUMLAH PTKP
Rp 54.000.000 Rp 4.500.000 Rp.54.000.000 Rp 13.500.000 Rp126.000.000
39
CONTOH PENGHITUNGAN PTKP : 1.Joko sudah menikah dengan mempunyai
seorang anak. PTKP Joko TAHUN 2016 PTKP setahun: - WP SENDIRI Rp 54.000.000 - STATUS KAWIN Rp 4.500.000 - ANAK (1 x Rp 3000.000) Rp 4.500.000 JUMLAH PTKP Rp 63.000.000
2. John Smith (warga negara asing) bekerja di Indonesia pada tanggal 1 Oktober 2015 dengan kontrak kerja selama 5 tahun. John mempunyai 3 anak. PTKP John untuk tahun 2016 adalah: PTKP setahun: - WP SENDIRI - STATUS KAWIN - ANAK (3 x Rp 3.000.000) JUMLAH PTKP
Rp 54.000.000 Rp 4.500.000 Rp 13.500.000 Rp 72.000.000
UNTUK MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP) DAPAT DIRUMUSKAN SBB: PENGHASILAN KENA PAJAK(PKP) WP ORANG PRIBADI KARYAWAN: = Penghasilan netto – PTKP PENGHASILAN KENA PAJAK(PKP) WP ORANG PRIBADI PENGUSAHA: = (Penghasilan bruto - Biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP) WP BADAN: Penghasilan netto = Penghasilan bruto - Biaya yang diperkenankan UU PPh PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP) WP BUT: Penghasilan netto = Penghasilan bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh – Biaya Administrasi Head Office
PENGHASILAN ATAU KERUGIAN BAGI WANITA KAWIN Pasal 8 ayat (1)
PENGHASILAN ATAU KERUGIAN BAGI WANITA YANG TELAH KAWIN
DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN ATAU KERUGIAN SUAMINYA
KECUALI
1. PENGHASILAN TSB SEMATA-MATA DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI SATU PEMBERI KERJA YG TELAH DIPOTONG PPh PASAL 21, DAN PEKERJAAN TSB TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN USAHA ATAU PEKERJAAN BEBAS SUAMI ATAU ANGGOTA KELUARGA LAINNYA 42
CONTOH Pasal 8 ayat (1)
WP ‘A” MEMPEROLEH PENGHASILAN Rp 200.000.000,00 MEMPUNYAI ISTRI SBG PEGAWAI DGN PENGHASILAN SEBESAR Rp 150.000.000,00
TDK DIGABUNG DGN PENGHASILAN ‘A’ DAN SUDAH FINAL JIKA : -. PENGH. TSB DIPEROLEH DARI SATU PEMBERI KERJA YANG TELAH DIPOTONG PPh 21 -. PEKERJAAN TSB TDK ADA HUB. NYA DGN USAHA/ PEKERJAAN BEBAS SUAMI/ANGGOTA KELUARGA LAINNYA.
BILA ISTRI “A” SELAIN MENJADI PEGAWAI JUGA MEMPUNYAI USAHA SALON KECANTIKAN DGN PENGHASILAN SEBESAR Rp 250.000.000,00; SELURUH PENGH. ISTRI SEBESAR Rp 400.000.000 (150 JUTA + 250 JUTA) DIGABUNGKAN DGN PENGH. “A”. DGN DEMIKIAN TOTAL PENGHASILAN “A” YG DIKENAKAN PPh SEBESAR Rp 600.000.000,00.
POTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ISTRI TIDAK BERSIFAT FINAL DAN DPT DIKREDITKAN DLM SPT TAHUNAN PPh
43
SUAMI-ISTRI DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH Pasal 8 ayat (2) dan (3)
HIDUP BERPISAH
PENGHITUNGAN PKP DAN PENGENAAN PAJAKNYA DILAKUKAN SENDIRISENDIRI
MENGADAKAN PERJANJIAN PEMISAHAN HARTA DAN PENGHASILAN SECARATERTULIS
PENGHITUNGAN PAJAKNYA BERDASAR
- Penghasilan Neto suami isteri digabung
- Besarnya pajak yg harus dilunasi oleh masing-masing suamiisteri, sebanding dgn Penghasilan Neto
44
PASAL 8 AYAT (2) HURUF C Isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri (Pasal 8 ayat (2)) Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara terpisah apabila dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. TATA CARA PENGHITUNGAN PPH TERUTANG SAMA DENGAN SUAMI-ISTERI YANG MELAKUKAN PERJANJIAN PEMISAHAN HARTA DAN PENGHASILAN.
45
CONTOH PENGHITUNGAN PPh BAGI SUAMI-ISTRI YG MENGADAKAN PERJANJIAN PEMISAHAN HARTA DAN PENGHASILAN SECARA TERTULIS Pasal 8 ayat (3)
CONTOH : 1. PENGHASILAN SUAMI (A) DARI PEGAWAI Rp 200.000.000,00 2. PENGHASILAN ISTRI DARI PEGAWAI DAN SALON Rp 400.000.000,00 JML PENGHASILAN Rp 600.000.000,00 PTKP (K/3) Rp 126.000.000,00 PKP Rp 474.000.000,00 PPh TERUTANG Rp.88.500.000,00 Tarif: 5% x Rp.50.000.000,00 = 2.500.000,00 15% x Rp.200.000.000,00 = 30.000.000,00 25% x Rp.224.000.000,00 = 56.000.000,00 88.500.000,00 PENGENAAN PPh MASING-MASING SUAMI-ISTERI DIHITUNG SBB :
PPh SUAMI : Rp 200.000.000,00 X Rp 88.500.000,00 = Rp 29.500.000,00 Rp 600.000.000,00
PPh ISTERI : Rp 400.000.000,00 X Rp 88.500.000,00 = Rp 59.000.000,,00 Rp 600.000.000,00 46
PENGHASILAN ANAK YANG BELUM DEWASA Pasal 8 ayat (4)
DIGABUNG DENGAN PENGHASILAN ORANG TUANYA KECUALI
PENGHASILAN DARI PEKERJAAN YANG TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN USAHA ORANG YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
47
PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 9 ayat (1)
a. PEMBAGIAN LABA DENGAN NAMA DAN
DALAM BENTUK APAPUN
b.BIAYA YG DIBEBANKAN UTK KEPENTINGAN PRIBADI PEMEGANG SAHAM, SEKUTU, ATAU ANGGOTA c. PEMBENTUKAN DANA CADANGAN KECUALI CADANGAN UNTUK JENIS USAHA TERTENTU YANG DITETAPKAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN d. PREMI ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWI GUNA, DAN ASURANSI BEA SISWA YG DIBAYAR OLEH WP ORANG PRIBADI
e. PENGGANTIAN/ IMBALAN PEKERJAAN/JASA YG DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN KECUALI - PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI - DI DAERAH TERTENTU DAN YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PEKERJAAN YANG DITETAPKAN KEPMENKEU (KMK No. 466/KMK.04/2000) 48
PEMUPUKAN DANA CADANGAN (Pasal 9 Ayat (1) huruf c) PEMBENTUKAN CADANGAN DIPERLUAS MELIPUTI:
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; 4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri; 49
PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 9 ayat (1)
f. JUMLAH YANG MELEBIHI KEWAJARAN YG DIBAYARKAN KEPADA PEMEGANG SAHAM ATAU PIHAK YG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA g. HARTA YG DIHIBAHKAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN, DAN WARISAN SESUAI PSL 4 AYAT (3) HURUF a DAN b KECUALI :ZAKAT ATAS PENGHASILAN YANG DIBAYARKAN OLEH WP ORANG PRIBADI PEMELUK AGAMA ISLAM DAN ATAU WP BADAN D.N YANG DIMILIKI OLEH PEMELUK AGAMA ISLAM, KEPADA BADAN AMIL ZAKAT ATAU LEMBAGA AMIL ZAKAT YANG DIBENTUK/DISAHKAN PEMERINTAH
h. PAJAK PENGHASILAN i. BIAYA YANG DIBEBANKAN/ DIKELUARKAN
UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI WP ATAU ORANG YANG MENJADI TANGGUNGAN
j. GAJI ANGGOTA PERSEKUTUAN, FIRMA, ATAU PERSEROAN KOMANDITER YG MODALNYA TIDAK TERBAGI ATAS SAHAM
k. SANKSI ADMINISTRASI DAN PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN 50
Pasal 9 Ayat 1 huruf g harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m Serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang Dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima Oleh lembaga keagamaan yang dibentuk Atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; 51
PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 9 ayat (1) huruf f
PEMBAYARAN YANG JUMLAHNYA MELEBIHI KEWAJARAN KPD PEMEGANG SAHAM ATAU PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA SEBAGAI IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN YANG DILAKUKAN
CONTOH : WP. A TENAGA AHLI DAN PEMEGANG SAHAM DARI PT. “B”. IMBALAN DARI PT. “B” YG DITERIMA “A” SEBESAR Rp 5.000.000,00. APABILA UNTUK JASA YG SAMA YG DIBERIKAN OLEH TENAGA AHLI LAIN YG SETARA HANYA DIBAYAR SEBESAR Rp 2.000.000,00, MAKA : - JUMLAH Rp 3.000.000,00 TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SBG BIAYA OLEH PT. “B” - BAGI TENAGA AHLI YG JUGA SEBAGAI PEMEGANG SAHAM, JUMLAH Rp 3.000.000,00, DIANGGAP SBG PEMBERIAN DIVIDEN DARI PT.“B”
52
PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SEKALIGUS Pasal 9 ayat (2)
PENGELUARAN UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH, DAN MEMELIHARA PENGHASILAN YANG MEMPUNYAI MASA MANFAAT LEBIH DARI SATU TAHUN
DIBEBANKAN MELALUI PENYUSUTAN ATAU AMORTISASI
53
PENENTUAN HARGA PEROLEHAN/ PENJUALAN ATAU NILAI PEROLEHAN/ PENJUALAN Pasal 10 ayat (1), (2), (3) dan (6) TIDAK DIPENGARUHI HUB. ISTIMEWA
JML YANG SESUNGGUHNYA DIKELUARKAN/DITERIMA
DIPENGARUHI HUB. ISTIMEWA
JML YANG SEHARUSNYA DIKELUARKAN/DITERIMA
DALAM HAL TUKAR-MENUKAR HARTA
JML YANG SEHARUSNYA DIKELUARKAN/DITERIMA BERDSRKAN HARGA PASAR
DALAM RANGKA : - Likuidasi - Penggabungan - Peleburan - Pemekaran - Pemecahan -Pengambilalihan USAHA
PERSEDIAAN DAN PEMAKAIAN PERSEDIAAN UNTUK PENGHITUNGAN HARGA POKOK
JUMLAH YANG SEHARUSNYA DIKELUARKAN/DITERIMA BERDASARKAN HARGA PASAR KECUALI DITETAPKAN LAIN OLEH MENKEU
BERDASARKAN HARGA PEROLEHAN YANG DILAKUKAN SECARA RATA-RATA ATAU DGN CARA MENDAHULUKAN PERSEDIAAN YG DIPEROLEH PERTAMA (FIFO) 54
PENENTUAN HARGA PEROLEHAN/ PENJUALAN ATAU NILAI PEROLEHAN/ PENJUALAN Pasal 10 ayat (4) dan (5)
PENGALIHAN HARTA HIBAHAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN, DAN WARISAN YG MEMENUHI PERSYARATAN PASAL 4 AYAT (3) HURUF a DAN b
DASAR PENILAIAN BAGI YANG MENERIMA SAMA DENGAN NILAI SISA BUKU YANG MELAKUKAN PENGALIHAN ATAU NILAI YANG DITETAPKAN DIRJEN PAJAK
PENGALIHAN HARTA YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT PASAL 4 AYAT (3) HURUF a
DASAR PENILAIAN BAGI YANG MENERIMA SAMA DENGAN NILAI PASAR
PENGALIHAN HARTA SBG PENGGANTI SAHAM ATAU PENGGANTI PENYERTAAN MODAL
DASAR PENILAIAN BAGI YANG MENERIMA SAMA DENGAN NILAI PASAR
55
CONTOH Pasal 10 ayat (2)
KETERANGAN
PT. A (HARTA X)
NILAI SISA BUKU Rp 10.000.000,00 HARGA PASAR Rp 20.000.000,00
PT. B (HARTA Y)
Rp 12.000.000,00 Rp 20.000.000,00
- ANTARA PT. A DAN PT. B TERJADI PERTUKARAN HARTA - TIDAK TERDAPAT REALISASI PEMBAYARAN - HARGA PASAR HARTA SEBESAR Rp 20.000.000,00
MERUPAKAN : NILAI PEROLEHAN YANG SEHARUSNYA DIKELUARKAN ATAU NILAI PENJUALAN YANG SEHARUSNYA DITERIMA - SELISIH ANTARA HARGA PASAR DENGAN NILAI SISA BUKU HARTA MERUPAKAN KEUNTUNGAN YANG DIKENAKAN PAJAK
- KEUNTUNGAN PT. A = Rp 20.000.000,00 - Rp 10.000.000,00 = Rp 10.000.000,00 - KEUNTUNGAN PT. B = Rp 20.000.000,00 - Rp 12.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
56
CONTOH Pasal 10 ayat (3) - PT. A DAN PT. B MELAKUKAN PELEBURAN DAN MEMBENTUK BADAN BARU YAITU PT. C. - NILAI SISA BUKU DAN HARGA PASAR HARTA KEDUA BADAN TERSEBUT ADALAH SBB :
KETERANGAN NILAI SISA BUKU HARGA PASAR
PT. A Rp 200.000.000,00 Rp 300.000.000,00
PT. B Rp 300.000.000,00 Rp 450.000.000,00
PADA DASARNYA PENILAIAN HARTA YG DISERAHKAN OLEH PT. A DAN PT. B DLM RANGKA PELEBURAN MENJADI PT. C ADALAH HARGA PASAR. KEUNTUNGAN PT. A Rp 300.000.000,00 - Rp 200.000.000,00 =Rp 100.000.000,00 KEUNTUNGAN PT. B Rp 450.000.000,00 - Rp 300.000.000,00 =Rp 150.000.000,00
PT. C MEMBUKUKAN SEMUA HARTA TSB SEBESAR Rp 750.000.000 (Rp 300.000.000,00+ Rp 450.000.000,00). NAMUN DLM RANGKA MENYELARASKAN DGN KEBIJAKAN DI BIDANG SOSIAL, EKONOMI, INVESTASI, DAN MONETER, MENKEU DIBERI WEWENANG UNTUK MENETAPKAN NILAI LAIN SELAIN HARGA PASAR, MISALNYA ATAS DASAR NILAI SISA BUKU (POOLING OF INTEREST). DALAM HAL DEMIKIAN, PT. C MEMBUKUKAN PENERIMAAN HARTA DARI PT.A DAN PT. B SEBESAR : (Rp 200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00) = Rp 500.000.000 57
CONTOH Pasal 10 ayat (5)
CONTOH : WP “X” MENYERAHKAN 20 UNIT MESIN BUBUT YANG NILAI BUKUNYA Rp 25.000.000,00 KPD PT. “Y” SBG PENGGANTI PENYERTAAN SAHAMNYA DENGAN NILAI NOMINAL Rp 20.000.000,00. HARGA PASAR MESIN BUBUT TSB Rp 40.000.000,00.
PT.“Y” MENCATAT MESIN BUBUT SBG AKTIVA SEBESAR Rp 40.000.000,00 BUKAN SEBAGAI PENGHASILAN. SELISIH ANTARA NILAI NOMINAL SAHAM DENGAN NILAI PASAR HARTA DIBUKUKAN SBG “AGIO”. * BESARNYA AGIO = (Rp 40.000.000,00 - Rp 20.000.000,00) =Rp 20.000.000,00 * BAGI WP “X”, KEUNTUNGAN YG DIPEROLEH DARI PENYERTAAN ADALAH OBJEK PAJAK, YAITU : (Rp 40.000.000,00 - Rp 25.000.000,00) = Rp 15.000.000,00
58
PENYUSUTAN (DEPRESIASI)
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tsb selama masa manfaat harta yang bersangkutan melalui penyusutan (depresiasi). 59
Lanjutan….
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, tanah hak guna usaha, dan hak pakai tidak boleh disusutkan, kecuali jika tanah tersebut berkurang karena digunakan untuk memperoleh penghasilan, seperti perusahaan genteng, perusahaan keramik, dan perusahaan batu bata.
60
Lanjutan…. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya biaya penyusutan adalah: - saat dimulainya penyusutan, - metode penyusutan, - kelompok masa manfaat dan tarif penyusutan, serta - harga perolehan.
61
PENYUSUTAN
Pasal 11 ayat (1),(2) dan (7) HARTA BERWUJUD
BANGUNAN
SELAIN BANGUNAN
USAHA TERTENTU
METODE SALDO MENURUN
METODE GARIS LURUS
PADA AKHIR MASA MANFAAT DISUSUTKAN SEKALIGUS (CLOSED ENDED)
DITETAPKAN MENTERI KEUANGAN
Misalnya KMK No. 521/KMK.04/2000 untuk KBH dengan PERTAMINA
KECUALI : TANAH YANG BERSTATUS HAK MILIK, HGU DAN HGB DAN HAK PAKAI 62
SAAT MULAI PENYUSUTAN Pasal 11 ayat (3),(4) dan (5)
PADA BULAN PENGELUARAN
KECUALI :
PADA BULAN HARTA MULAI DIGUNAKAN/ MENGHASILKAN
HARTA YG MASIH DLM PROSES PENGERJAAN, PADA BULAN SELESAINYA PENGERJAAN
DENGAN PERSETUJUAN DIRJEN PAJAK
DASAR PENYUSUTAN BAGI WP YG MELAKUKAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA SESUAI PASAL 19
NILAI SETELAH DILAKUKAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA 63
Contoh:
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung sebesar Rp.1000.000.000,Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2015. Bangunan tersebut selesai dan siap digunakan pada bulan Maret 2016. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret 2016. 64
contoh
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2015. Perkebunan tersebut diperkirakan mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2016. Penyusutan traktor tersebut dimulai pada tahun 2015. Akan tetapi dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2016. 65
MASA MANFAAT DAN TARIF PENYUSUTAN Pasal 11 ayat (6) dan (7)
KEL. HARTA BERWUJUD
MASA MANFAAT
TARIF PENYUSUTAN GARIS LURUS
SALDO MENURUN
1. BUKAN BANGUNAN - KELOMPOK 1 - KELOMPOK 2 - KELOMPOK 3 - KELOMPOK 4
4 8 16 20
THN THN THN THN
25 12,5 6,25 5
% % % %
50 % 25 % 12,5 % 10 %
2. BANGUNAN PERMANEN TDK PERMANEN
20 THN 10 THN
5 10
% %
Pasal 11 ayat (11) PENENTUAN KELOMPOK HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN DITETAPKAN DENGAN KMK No. 520/KMK.04/2000 66
contoh
Sebuah gedung dengan harga perolehan Rp1.000.000.000,- dan masa manfaatnya 20 tahun, penyusutan setiap tahunnya adalah sebesar Rp 50.000.000,- (Rp1000.000.000,- + 20). Besarnya penyusutan setiap tahun dapat dilihat pada label berikut ini: Tahun ke
Penyusutan
Nilai Sisa Buku
1
50.000.000,-
950.000.000,-
2
50.000.000,-
900.000.000,-
3
50.000.000,-
850.000.000,-
dst
dst
dst
20
50.000.000,-
0
67
PENGALIHAN HARTA BERWUJUD Pasal 11 ayat (8) dan (9) PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA SESUAI PSL 4 Ayat (1) Huruf d ATAU PENARIKAN HARTA KARENA SEBAB LAINNYA
JUMLAH NILAI SISA BUKU DIBEBANKAN SEBAGAI KERUGIAN
JUMLAH HARGA JUAL ATAU PENGGANTIAN ASURANSI DIBUKUKAN SEBAGAI PENGHASILAN
PADA TAHUN TERJADINYA PENGALIHAN ATAU PENARIKAN HARTA
KERUGIAN SEBESAR NILAI SISA BUKU HARTA KARENA PENGGANTIAN ASURANSI YG JUMLAHNYA BARU DAPAT DIKETAHUI DI MASA KEMUDIAN
DIBUKUKAN SBG BEBAN MASA KEMUDIAN DENGAN PERSETUJUAN DIRJEN PAJAK 68
PENGALIHAN HARTA BERWUJUD Pasal 11 ayat (10)
SEBAGAI BANTUAN ATAU SUMBANGAN; HARTA HIBAHAN ATAU WARISAN YG MEMENUHI SYARAT PASAL 4 Ayat (3) Huruf a dan b
JUMLAH NILAI SISA BUKU TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SEBAGAI KERUGIAN BAGI PIHAK YG MENGALIHKAN
69
AMORTISASI Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode garis lurus maupun metode saldo menurun. Dalam metode saldo menurun, nilai buku harta tak berwujud, atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus pada akhir masa manfaatnya. 70
AMORTISASI Pasal 11A ayat (1)
METODE GARIS LURUS
METODE SALDO MENURUN
PADA AKHIR MASA MANFAAT DIAMORTISASI SEKALIGUS (CLOSED ENDED)
71
MASA MANFAAT DAN TARIF AMORTISASI Pasal 11A ayat (2),(3),(4),(5) dan (6) KELOMPOK HARTA TAK BERWUJUD
- KELOMPOK 1 - KELOMPOK 2 - KELOMPOK 3 - KELOMPOK 4
MASA MANFAAT
4 8 16 20
TARIF AMORTISASI GARIS LURUS
THN THN THN THN
25 % 12,5 % 6,25 % 5 %
1. BIAYA PENDIRIAN 2. BIAYA PERLUASAN MODAL
PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH HAK PENAMBANGAN MIGAS
SALDO MENURUN
50 % 25 % 12,5 % 10 %
TARIF BERDASARKAN KELOMPOK HARTA ATAU DIBEBANKAN SEKALIGUS PADA TAHUN TERJADINYA PENGELUARAN
METODE SATUAN PRODUKSI
1. HAK PENAMBANGAN SELAIN MIGAS 2. HAK PENGUSAHAAN HUTAN 3. HAK PENGUSAHAAN SUMBER DAN HASIL ALAM LAINNYA
METODE SATUAN PRODUKSI SETINGGI-TINGGINYA 20 % SETAHUN
PENGELUARAN SEBELUM OPERASI KOMERSIL YANG MASA MANFAAT > 1 TAHUN
DIKAPITALISASIKAN DAN DIAMORTISASIKAN DG TARIF BERDASARKAN KELOMPOK HARTA 72
Contoh Amortisasi PT Pangan Selaras pada tanggal 2 Januari 2014 mengeluarkan uang sebesar Rp200.000.000,00 untuk memperoleh waralaba dari Kentucky Fried Chicken (KFC) selama 4 (empat) tahun untuk memproduksi ayam goreng dengan merek KFC. Penghitungan amortisasi untuk setiap tahun dan metode yang diperbolehkan dipilih sbb: METODE GARIS LURUS Tahun
Amortisasi
Nilai Sisa Buku
2014
25% x 200 jt = 50 jt
150.000.000,-
2015
25% x 200 jt = 50 jt
100.000.000,-
2016
25% x 200 jt = 50 jt
50.000.000,-
2017
25% x 200 jt = 50 jt
0 73
Contoh Amortisasi
Metode Saldo Menurun
PT Pangan Selaras pada tanggal 2 Januari 2014 mengeluarkan uang sebesar Rp200.000.000,00 untuk memperoleh waralaba dari Kentucky Fried Chicken (KFC) selama 4 (empat) tahun untuk memproduksi ayam goreng dengan merek KFC.
Tahun ke
Amortisasi
Nilai Sisa Buku
2014
50% x 200 jt = 100 jt
100 jt
2015 2016 2017
50% x100 jt =50 jt 5o% x 50 jt =25 jt 50% x 25 jt =12,5 jt
50 jt 25 jt 25 jt Diamortisa si sekaligus
74
PENGALIHAN HARTA TAK BERWUJUD/HAK Pasal 11A ayat (7) dan (8)
NILAI SISA BUKU HARTA ATAU HAK DIBEBANKAN SEBAGAI KERUGIAN
JUMLAH PENGGANTIAN DIBUKUKAN SEBAGAI PENGHASILAN
PADA TAHUN TERJADINYA PENGALIHAN
SEBAGAI BANTUAN ATAU SUMBANGAN; HARTA HIBAHAN ATAU WARISAN YG MEMENUHI SYARAT PASAL 4 Ayat (3) Huruf a dan b
JUMLAH NILAI SISA BUKU TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SEBAGAI KERUGIAN BAGI PIHAK YANG MENGALIHKAN 75
CONTOH Pasal 11A ayat (5)
PENGELUARAN UNTUK - HAK PENAMBANGAN - HAK PENGUSAHAAN LAINNYA - HAK PENGUSAHAAN
MEMPEROLEH : SELAIN MINYAK DAN GAS BUMI HUTAN ATAU HASIL ALAM HASIL LAUT
CONTOH : - PENGELUARAN UNTUK HAK PENGUSAHAAN HUTAN Rp 500.000.000,00. - POTENSI HAK PENGUSAHAAN HUTAN 10.000.000 TON KAYU - JML YG DIAMORTISASI DGN PERSENTASE SATUAN PRODUKSI YG DIREALISASIKAN DALAM TAHUN YBS Rp 500.000.000,00 - JIKA DALAM SATU THN PAJAK JML PRODUKSI 3.000.000 TON KAYU YG BERARTI 30 % DARI POTENSI YG ADA, -AMORTISASI YG DIPERKENANKAN UTK DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PD TAHUN TSB SEBESAR 20 % (JUMLAH MAKSIMUM) DARI PENGELUARAN ATAU Rp 100.000.000,00
76
CONTOH Pasal 11A ayat (7)
- PENGELUARAN BIAYA UTK MEMPEROLEH HAK
PENAMBANGAN MIGAS OLEH PT. X = Rp 500.000.000,00 - TAKSIRAN KANDUNGAN MINYAK 200.000.000 BAREL - SETELAH PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI MENCAPAI 100.000.000 BAREL, PT.X MENJUAL HAKNYA KEPADA PT.Y DENGAN HARGA Rp 300.000.000,00 - PENGHITUNGAN PENGHASILAN DAN KERUGIAN DARI PENJUALAN HAK TERSEBUT SEBAGAI BERIKUT : - HARGA PEROLEHAN Rp 500.000.000,00 - AMORTISASI YG TELAH DILAKUKAN 100.000.000 BAREL =(50%) Rp 250.000.000,00 200.000.000 - NILAI BUKU HARTA - HARGA JUAL HARTA
Rp 250.000.000,00 Rp 300.000.000,00
PEMBUKUAN :
- JUMLAH NILAI BUKU HARTA Rp 250.000.000,00 DIBEBANKAN SEBAGAI KERUGIAN - JUMLAH SEBESAR Rp 300.000.000,00 DIBUKUKAN SEBAGAI PENGHASILAN
77
PENILAIAN PERSEDIAAN
-
-
Pada perusahaan pabrikasi (manufaktur) terdapat 3 jenis persediaan, yaitu: persediaan barang jadi, persediaan barang dalam proses produksi, serta persediaan bahan baku dan bahan pembantu,
Perusahaan dagang hanya terdapat satu jenis persediaan yaitu persediaan barang dagangan. Persediaan barang berupa peralatan atau bahan habis pakai tidak termasuk dalam ketentuan ini karena merupakan barang-barang yang dipakai untuk kegiatan operasional perusahaan. 78
METODE PENILAIAN PERSEDIAAN Penilaian persediaan barang didasarkan pada harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok penjualan hanya boleh dilakukan dua cara, yaitu: metode rata-rata (average), atau “metode masuk pertama keluar pertama” (first In first-out) FIFO
79
Contoh: Metode Rata-rata 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Persediaan awal 100 unit @ Rp 9,00 Pembelian 100 unit @ Rp 12,00 Pembelian 100 unit @Rp 11,25 Penjualan/dipakai 100 unit Penjualan/dipakai 100 unit Dengan Metode Rata-rata
No
Didapat/ dibeli
Dipakai/ dibeli
1.
Sisa persediaan 100 x 9 =900
2.
100 x 12 = 1200
-
200 x 10.5 = 2100
3.
100 x 11,25 = 1125
100 x 10,75 =1075
200 x 10,75 = 2001,50
100 x 10,75 =1075
100 x 10,75 = 1075
4.
80
Contoh: Metode FIFO
Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan metode FIFO adalah sebagai berikut: No
Dibeli
Dijual
1
Sisa Persediaan 100 x 9 = 900
2
100 x12 =1200
-
100 x 9 = 900 100 x12 =1200
3
100 x 11,25 = 1125
-
100 x 9 = 900 100 x12 =1200 100 x 11,25 = 1125
4
-
100 x 9 = 900
100 x 9 = 900 100 x12 =1200
100 x12 = 1200
100 x 11,25 = 1125
5
81
PENGGUNAAN NORMA PENGHITUNGAN Pasal 14 ayat (1)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk MENENTUKAN PENGHASILAN NETO I
DIBUAT DAN DISEMPURNAKAN TERUS-MENERUS SERTA DITERBITKAN OLEH DIRJEN PAJAK (KEPDIRJEN NO. KEP-536/PJ./2000)
82
PENGGUNAAN NORMA PENGHITUNGAN Pasal 14 ayat (2), (3) dan (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
HANYA WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI SYARAT
Peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 milyar 2. Memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari Tahun Pajak Ybs. Apabila tidak memberitahukan, dianggap memilih Pembukuan 3. Wajib menyelenggarakan Pencatatan 1.
83
PENGGUNAAN NORMA PENGHITUNGAN Pasal 14 ayat (5) WAJIB PAJAK
WAJIB PEMBUKUAN TAPI TDK BERSEDIA MEMPERLIHATKAN PEMBUKUAN /PENCATATAN
DIANGGAP MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN , TAPI TIDAK ATAU TIDAK SEPENUHNYA MELAKSANAKAN PEMBUKUAN
INGIN MENGGUNAKAN NPPN, TETAPI TIDAK MELAKSANAKAN PENCATATAN
PENGHASILAN NETO
DIHITUNG
MENGGUNAKAN NPPN ATAU CARA LAIN YANG DITETAPKAN KEPMENKEU 84
CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK YANG TERUTANG DENGAN MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETTO.
Tahun 2017 Wajib Pajak Arya status kawin (istri tidak bekerja) dan mempunyai 3 orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon. Misalnya besarnya persentase Norma untuk industri rotan di Cirebon 12,5% dan dokter di Jakarta 42,5%. Peredaran usaha da ri industri rotan di Cirebon setahun Rp1.400.000.000,00 Penerimaan bruto seorang dokter di Jakarta setahun Rp 600.000.000,00
Penghasilan netto dihitung sbb: Dari industri rotan: 12,5% x Rp1.400.000.000,00 = Rp175.000.000,00 Sebagai dokter: 42,5% x Rp600.000.000,00 = Rp.255.000.000,00 Jumlah peng hasilan netto = Rp.430.000.000,00 Penghasilan Tidak Kena Pajak = Rp.72.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak = Rp.358.000.000,00 PKP x Tarif Pasal 17 UU PPh 5% x 50.000.000,= 2.500.000,15% x 200.000.000,= 30.000.000,25% x 108.000.000,= 27.000,000- + Rp.59.500.000,85
NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS Pasal 15
UNTUK MENGHITUNG PENGHASILAN NETO DARI WAJIB PAJAK TERTENTU
DITETAPKAN MENTERI KEUANGAN
86
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS
1. PERUSAHAAN PELAYARAN ATAU PENERBANGAN DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI - KMK 416/KMK.04/96 - KMK 475/KMK.04/96 - KMK 417/KMK.04/96 2. WP LUAR NEGERI YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA (KMK 634/KMK.04/94)
3. PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN INVESTASI DALAM BENTUK BANGUN GUNA SERAH (BOT) (KMK 248/KMK.04/95) 4. WP yg melakukan kerjasama dgn PT Telkom berdasarkan sistem PBH tahap II selanjutnya (KMK No.88/KMK.04/1994 jo Kepdirjen Pajak No.155/PJ./2000 87
PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP) Pasal 16 ayat (1), (2), (3) dan (4)
PKP BAGI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI
PENGHASILAN DIKURANGI DENGAN BIAYA YANG DIPERKENANKAN, KOMPENSASI KERUGIAN, UNTUK WP ORANG PRIBADI DIKURANGI DGN PTKP,
PKP BAGI WAJIB PAJAK YG DIHITUNG DGN NORMA
DIHITUNG DENGAN NORMA PENGHITUNGAN DAN UNTUK WP ORANG PRIBADI DIKURANGI PTKP
PKP BAGI WP BUT
PENGHASILAN DIKURANGI DGN BIAYA YG DIPERKENANKAN , KOMPENSASI KERUGIAN
PKP BAGI WP ORANG PRIBADI D.N YG KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF NYA < 1 TAHUN YG TERUTANG PAJAK DLM BAG.THN PAJAK
DIHITUNG SESUAI PENGHASILAN NETO DALAM BAGIAN TAHUN PAJAK YANG DISETAHUNKAN 88
TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat 1 (a), (3) dan (7)
TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DN LAPISAN PKP - S/D Rp 50.000.000,00
TARIF PAJAK 5%
- DI ATAS Rp 50.000.000,00 S/D Rp 250.000.000,00
15 %
- DI ATAS Rp 250.000.000,00 S/D Rp 500.000.000,00
25%
- DI ATAS Rp 500.000.000,00
30 %
LAPISAN PKP DAPAT DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH DAPAT DITETAPKAN TARIF PAJAK TERSENDIRI ATAS PENGHASILAN TERTENTU, SEPANJANG TIDAK MELEBIHI TARIF PAJAK TERTINGGI 89
TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat 1 (b), (2)
TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK BADAN DN
Tarif Tunggal 28 %
Mulai tahun 2010 diturunkan menjadi 25% 90
TARIF WP PERSEROAN TERBUKA (Pasal 17 ayat (2b)) WP badan DN berbentuk perseroan terbuka (TBK) memeroleh penurunan tarif sebesar 5% dari tarif WP badan yang berlaku sepanjang memenuhi syarat: paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; & persyaratan tertentu lainnya. 91
TARIF DIVIDEN YANG DITERIMA WP OP DALAM NEGERI (Pasal 17 ayat (2c))
Tarif yang dikenakan atas dividen yang diterima WP OP dalam negeri adalah setinggi-tingginya sebesar 10% dan bersifat final (diatur lebih lanjut dengan PP).
92
TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat (4)
UNTUK KEPERLUAN PENERAPAN TARIF PAJAK
JUMLAH PKP DIBULATKAN KE BAWAH DALAM RIBUAN RUPIAH PENUH
93
TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat (5) dan (6)
BESARNYA PAJAK YANG TERUTANG BAGI WP ORANG PRIBADI D.N YANG KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIFNYA < 1 TAHUN YG TERUTANG PAJAK DLM BAGIAN TAHUN PAJAK DIHITUNG
JUMLAH HARI 360
X PAJAK TERUTANG UTK 1TAHUN PAJAK
JUMLAH PKP DIBULATKAN KE BAWAH DALAM RIBUAN RUPIAH PENUH
94
CONTOH: PPh OP sebagai karyawan Gunawan seorang karyawan Bank Swasta status kawin memp. anak 3 orang, Isteri tidak bekerja, Tahun 2017 mempunyai Penghasilan bruto Rp.900.000.000,-. PPh yg telah dipotong oleh Bank Rp.180.000.000,Hitung PPh yg Terutang th 2016, Penghasilan Bruto= Rp.900.000.000,00 PTKP = Rp. 72.000.000,00 PKP Rp.828.000.000,00
PPh terutang: 5% x Rp.50.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00 15%x Rp.200.000.000,00=Rp. 30.000.000,00 25%xRp.250.000.000,00 =Rp. 62.500.000,00 30%xRp.328.000.000,00 =Rp. 98.400.000,00 Jumlah PPh = Rp.193.400.000,00 PPh yang sdh dipotong bankRp. 180.000.000,00 PPh Kurang dibayar = Rp. 13.400.000,00 95
CONTOH: OP PENGUSAHA (Pembukuan) Gunawan status kawin mempunyai anak 3 orang,Isteri tidak bekerja, seorang Pengusaha bengkel motor, dg pembukuan. Tahun 2017 mempunyai penghasilan brutoRp.1.500.000.000,Biaya yg dpt dikurangkan dr penghasilan bruto Rp.924.711.025,00. Hitung PPh terutang Tahun 2017 . PKP sebesar : Rp.1.500.000.000,Biaya Usaha: (Rp. 924.711.025,-) PTKP (Rp. 72.000.000,-) _ PKP Rp.503.288.975,Besarnya PKP: Rp.503.288.000,(dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh) PPh terutang : 5% x Rp50.000.000,15% x Rp200.000.000,25% x Rp.250.000.000,30% x Rp.3.288.000,Jumlah
= = = =
Rp 2.500.000,Rp 30.000.000,Rp.62.500.000,Rp. 986.400,Rp.95.986.500,96
PPh Terutang dari BADAN USAHA PT Cahaya, sepanjang tahun 2017 mempunyai penghasilan Bruto sebesar Rp.1.500.000.000,Biaya yang dpt dikurangkan Rp. 924.711.025,Besarnya PPh yang harus dibayar atau terutang oleh PT Cahaya adalah: Penghasilan Bruto Rp.1.500.000.000,Biaya usaha Rp. 924.711.025,PKP Rp. 575.288.975,(dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh) PPh terutang: 25% x Rp575.288.000,- = Rp.143.822.000,-
97
PPh Terutang dari BUT BUT NIKI SAE, sepanjang tahun 2017 mempunyai penghasilan Bruto sebesar Rp.1.500.000.000,- Biaya yang dptdikurangkan Rp.924.711.025,-, dan biaya administrasi dari Head Office nya Rp.25.000.000,00 Besarnya PPh yang harus dibayar atau terutang oleh BUT NIKISAE adalah: Penghasilan Bruto Rp.1.500.000.000,Biaya usaha (Rp.924.711.025,-) Biaya Adm H.O. (Rp. 25.000.000,-) PKP Rp.550.288.975,(dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh) PPh yang terutang atau harus dibayar: 25% x Rp.550.288.000,00= Rp.137.572.000,-
Penghasilan setelah Pajak : ( Rp550.288.975,- - Rp.137.572.000,-) = 412.716.000 Atas penghasilan tersebut akan dikenakan PPh Pasal 26 (4) lagi sebesar : 20% x Rp 412.716.000,- = Rp82.543.200,Namun apabila atas PKP BUT sesudah dikurangi PPh tersebut 412.716.000,- ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. Jadi tidak ada pemotongan PPh sebesar 20% atau Rp82.543.200,- tersebut. 98
FASILITAS PERPAJAKAN BAGI UMKM (Pasal 31E) WP badan DN dengan peredaran bruto s.d Rp.50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang dikenakan atas PKP dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. 99
Pasal 31E (Ayat 1)
Contoh 1: Peredaran bruto PT Y tahun 2017 sebesar Rp4.500.000.000,00 dengan PKP sebesar Rp500.000.000,00. Penghitungan PPh terutang: Seluruh PKP yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif PPh badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y < Rp4.800.000.000,00. PPh yang terutang: (50% x 25%) x Rp500.000.000,00 = Rp62.500.000,00
Pasal 31E
Contoh 2: Peredaran bruto PT X tahun pajak 2017 sebesar Rp30.000.000.000,00 dengan PKP sebesar Rp3.000.000.000,00. PPh yang terutang: Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas: (Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00 Jumlah PKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00 PPh yang terutang: (50% x 25%) x Rp480.000.000,00= Rp 60.000.000,0025% x Rp2.520.000.000,00 =Rp630.000,00(+) Jumlah PPh yang terutang Rp690.000.000,00
Pasal 31E
Contoh 3: Peredaran bruto PT X tahun pajak 2017 sebesar Rp40.000.000.000,00 dengan PKP sebesar Rp5.000.000.000,00. PPh yang terutang: Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas: (Rp5.000.000.000,-:Rp40.000.000.000,-) x Rp4.800.000.000,- = Rp600.000.000,Jumlah PKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: Rp5.000.000.000,- – Rp600.000.000,- = Rp4.400.000.000,PPh yang terutang: (50% x 25%) x Rp600.000.000,-= Rp 67.200.000,25% x Rp4.400.000.000, =Rp1.100.000.000,-(+) Jumlah PPh yang terutang Rp1.167.200.000,-
PERBANDINGAN UTANG DAN MODAL & SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN Pasal 18 ayat (1) dan (2)
MENTERI KEUANGAN BERWENANG MENETAPKAN
BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK
SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WPDN ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK
SYARAT a. BESARNYA PENYERTAAN MODAL WP DN PALING RENDAH 50 % DARI JUMLAH SAHAM YANG DISETOR; atau b. SECARA BERSAMA-SAMA DENGAN WP DN LAINNYA MEMILIKI PENYERTAAN MODAL PALING RENDAH 50 % ATAU LEBIH DARI JUMLAH SAHAM YANG DISETOR 103
PENGHITUNGAN PKP BAGI WP YG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 18 ayat (3)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK BERWENANG
- MENENTUKAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN DAN PENGURANGAN; - MENENTUKAN UTANG SEBAGAI MODAL
UNTUK MENGHITUNG BESARNYA PKP BAGI WP YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
104
PENGHITUNGAN PKP BAGI WP YG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 18 ayat (3a)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK BERWENANG
MELAKUKAN PERJANJIAN DENGAN WAJIB PAJAK DAN BEKERJASAMA DENGAN PIHAK OTORITAS PAJAK NEGARA LAIN
UNTUK MENENTUKAN HARGA TRANKSASI ANTAR PIHAK-PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM AYAT (4)
BERLAKU SELAMA SUATU PERIODE TERTENTU DAN MENGAWASI PELAKSANAANNYA SERTA MELAKUKAN RENEGOSIASI SETELAH PERIODE TERTENTU TERSEBUT BERAKHIR 105
Pasal 18 Ayat (3) (3b) Pembelian saham atau aset perusahaan WP dalam negeri melalui Spesial Purpose Company (SPC). (3c) Penjualan saham SPC di tax haven country yang memiliki saham WP dalam negeri. (3d) Pembayaran gaji ekspatriat yang ditempatkan oleh perusahaan induk di luar negeri untuk bekerja sebagai pegawai perusahaan/WP dalam negeri yang merupakan anak perusahaannya. 106
HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 18 ayat (4)
HUBUNGAN ISTIMEWA DIANGGAP ADA APABILA :
• WP mempunyai penyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25 % pada WP lainnya; atau
• Hubungan antara WP dengan penyertaan paling rendah 25 % pada dua WP atau lebih; atau • Hubungan antara dua WP atau lebih yang disebut terakhir;
WP YANG MENGUASAI WP LAINNYA, DUA ATAU LEBIH BAIK LANGSUNG MAUPUN TIDAK LANGSUNG ADA HUBUNGAN KELUARGA SEDARAH MAUPUN SEMENDA DALAM GARIS KETURUNAN LURUS DAN/ATAU KE SAMPING SATU DERAJAT 107
PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP Pasal 19 ayat (1) dan (2)
MENTERI KEUANGAN BERWENANG MENETAPKAN PERATURAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP DAN FAKTOR PENYESUAIAN APABILA TERJADI KETIDAKSESUAIAN ANTARA UNSUR-UNSUR BIAYA DENGAN PENGHASILAN KARENA PERKEMBANGAN HARGA
SELISIH PENILAIAN KEMBALI
DIKENAKAN TARIF PAJAK TERSENDIRI SEPANJANG TIDAK MELEBIHI TARIF PAJAK TERTINGGI PASAL 17 Ayat (1) UU PPh
108
PELUNASAN PPh DALAM TAHUN BERJALAN Pasal 20 ayat (1), (2) dan (3)
- PEMOTONGAN DAN PEMUNGUTAN PAJAK OLEH PIHAK LAIN (PPh Psl 21,22,23,24) - PEMBAYARAN OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI (PPh Pasal 25)
- DILAKUKAN SETIAP BULAN, ATAU - MASA LAIN YANG DITETAPKAN OLEH MENTERI KEUANGAN
MERUPAKAN ANGSURAN PAJAK YANG BOLEH DIKREDITKAN TERHADAP PPh YANG TERUTANG UNTUK TAHUN PAJAK YBS KECUALI PEMBAYARAN PPh YANG BERSIFAT FINAL
109
KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 Pasal 21 ayat (1)
PENGHASILAN WP ORANG PRIBADI DALAM NEGERI
W A J I B
BERUPA GAJI, UPAH, HONOR, TUNJANGAN, DAN PEMBAYARAN LAIN SBG IMBALAN MENYANGKUT PEKERJAAN YG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI ATAU BUKAN PEGAWAI
DIPOTONG, DISETOR DAN DILAPORKAN PPh -NYA
OLEH
PEMBERI KERJA
GAJI, UPAH, HONOR, TUNJANGAN, DAN PEMBAYARAN LAIN YANG MENYANGKUT PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN
BENDAHARAN
UANG PENSIUN ATAU PEMBAYARAN LAIN DALAM RANGKA PENSIUN
DANA PENSIUN/
PEMERINTAH
BADAN LAIN
HONORARIUM ATAU IMBALAN SERTA PEMBAYARAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN JASA
BADAN YANG MENBAYAR
PEMBAYARAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN ADANYA KEGIATAN
PENYELENGGARA KEGIATAN
110
TIDAK TERMASUK SEBAGAI PEMBERI KERJA Pasal 21 ayat (2)
- BADAN PERWAKILAN NEGARA ASING - ORGANISASI INTERNASIONAL SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 3 UU PPh
111
PENGHASILAN PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN Pasal 21 ayat (3)
DIPOTONG PAJAK UNTUK SETIAP BULAN
DARI JUMLAH PENGHASILAN BRUTO SETELAH DIKURANGI DENGAN :
Biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan Menteri Keuangan
Iuran pensiun Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
112
PENGHASILAN PEGAWAI HARIAN, MINGGUAN, SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA Pasal 21 ayat (4)
DIPOTONG PPh 21
DARI JUMLAH PENGHASILAN BRUTO SETELAH DIKURANGI DENGAN :
Bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan Menteri Keuangan
113
Tarif Pemotongan sesuai dengan Tarif Pasal 17 ayat (1) Kecuali ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Pasal 21 ayat (5)
Seperti
Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (PP No. 149 Tahun 2000)
114
Pasal 21 Ayat (5a) Besarnya tarif untuk WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 20% (dua puluh persen), dibanding dengan WP yang memiliki NPWP.
115
PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI 1 (SATU) PEMBERI KERJA Pasal 21 ayat (6) dan ayat (7)
DI
HAPUS
116
PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA ATAU KEGIATAN Pasal 21 ayat (8) DIR. JEND PAJAK (Per. Dir. Jen. Pajak No. KEP-31/PJ./2009)
BERWENANG MENETAPKAN
PETUNJUK MENGENAI PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPH 21
ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA ATAU KEGIATAN
DIATUR DGN PERATURAN MENTERI KEUANGAN 117
PEMUNGUT PPh PASAL 22 Pasal 22 ayat (1)
MENTERI KEUANGAN BERWENANG MENETAPKAN (KMK No. 450/KMK.04/1997
BADAN-BADAN TERTENTU - BADAN PEMERINTAH - BADAN SWASTA
BENDAHARA PEMERINTAH TERMASUK BENDAHARA PEM. PUSAT, PEMDA, INSTANSI/LEMBAGA PEMERINTAH DAN LEMBAGALEMBAGA NEGARA LAINNYA
UNTUK MEMUNGUT PAJAK
BERKENAAN DENGAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU USAHA DI BIDANG LAIN
BERKENAAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG
118
DASAR PEMUNGUTAN, SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN, TATA CARA PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 22 Pasal 22 ayat (2)
MENTERI KEUANGAN
BERWENANG MENETAPKAN
- Dasar pemungutan -- Sifat dan besarnya pungutan - Tata cara penyetoran dan pelaporan pajak (KMK No. 450/KMK.04/1997)
119
Pasal 22 Ayat (3) Besarnya pungutan bagi WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% (seratus persen) dibanding WP yang yang memiliki NPWP.
120
PEMOTONG PPh PASAL 23 Pasal 23 ayat (1)dan ayat (3)
• BADAN PEMERINTAH • SUBJEK PAJAK BADAN DALAM NEGERI
• PENYELENGGARA KEGIATAN • BENTUK USAHA TETAP • PERWAKILAN PERUSAHAAN LUAR NEGERI LAINNYA • ORANG PRIBADI SEBAGAI WP DALAM NEGERI TERTENTU YANG DITUNJUK OLEH DIRJEN PAJAK
121
PENGHASILAN WP DN ATAU BUT YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PSL 23 Pasal 23 ayat (1)
PPh PASAL 23 • DIVIDEN • BUNGA TERMASUK PREMIUM, DISKONTO, DAN IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN JAMINAN PENGEMBALIAN UTANG • ROYALTI • HADIAH DAN PENGHARGAAN SEHUBUNGAN DGN KEGIATAN SELAIN YG TELAH DIPOTONG PPh Ps. 21
Pasal 23 Ayat 1 huruf b DIHAPUS
• SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DGN PENGGUNAAN HARTA • IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN : -
JASA TEKNIK JASA MANAJEMEN JASA KONSTRUKSI JASA KONSULTAN JASA LAIN YG DITETAPKAN DIRJEN PAJAK SELAIN JASA YG TELAH DIPOTONG PPh PSL 21
122
TARIF DAN DASAR PEMOTONGAN PPh PASAL 23 ayat (1)
TARIF
15% x PENGHASILAN BRUTO
• DIVIDEN • BUNGA TERMASUK PREMIUM, DISKONTO, IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN JAMINAN PENGEMBALIAN UTANG • ROYALTI
HADIAH DAN PENGHARGAAN SEHUBUNGAN DGN KEGIATAN SELAIN YG TELAH DIPOTONG PPh Ps. 21
Pasal 23 Ayat 1 huruf b dihapus
2% x PENGHASILAN BRUTO
SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA
IMBALAN JASA : • JASA TEKNIK; • JASA MANAJEMEN; • JASA KONSULTAN • JASA KONSTRUKSI
Ketentuan lebih lanjut Jasa lain (ayat 1c (2)) Diatur dgn Per Men Keu.
123
PASAL 23 Ayat (1a) Besarnya pungutan bagi WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% (seratus persen) dibanding WP yang yang memiliki NPWP.
124
PERKIRAAN PENGHASILAN NETO DAN PENUNJUKAN ORANG PRIBADI SEBAGAI PEMOTONG PPh PASAL 23 Pasal 23 ayat (3)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK BERWENANG
MENUNJUK WP ORANG PRIBADI DALAM NEGERI UNTUK MEMOTONG PPh PASAL 23
125
DIKECUALIKAN DARI PEMOTONGAN PPh PASAL 23 Pasal 23 ayat (4) PENGHASILAN YANG DIKECUALIKAN a. PENGHASILAN YANG DIBAYAR/TERUTANG KEPADA BANK
b. SEWA YANG DIBAYARKAN/TERUTANG SEHUBUNGAN DENGAN SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI
c. DIVIDEN/BAG. LABA YG DITERIMA/DIPEROLEH PT SEBAGAI WP DALAM NEGERI, KOPERASI, BUMN/BUMD DARI PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA YG DIDIRIKAN DAN BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA DENGAN SYARAT : 1. DIVIDEN BERASAL DARI CADANGAN LABA DI TAHAN; DAN 2. BAGI PT, BUMN, BUMD SAHAM YANG DIMILIKI MIN. 25% DAN MEMPY. USAHA AKTIF DILUAR KEPEMILIKAN SAHAM TSB.
d. DIHAPUS
e. BAGIAN LABA YG DITERIMA/DIPEROLEH ANGGOTA DARI PERSEROAN KOMANDITER YANG MODALNYA TIDAK TERBAGI ATAS SAHAM-SAHAM, PERSEKUTUAN, PERKUMPULAN, FIRMA DAN KONGSI
f. SHU KOPERASI YG DIBAYARKAN KEPADA ANGGOTANYA
g. DIHAPUS h. Penghasilan yg dibayar atau tertang kepada badan usaha atu jasa
keu yg berfungsi sbg penyalur pinjaman dan /pembiayaan diatur dg Per Men. Keu.
126
PENGKREDITAN PPh YANG DIBAYAR ATAU TERUTANG DI LUAR NEGERI Pasal 24 ayat (1), (2), (5), dan (6) PPh YANG DIBAYAR ATAU TERUTANG DI LUAR NEGERI ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI LUAR NEGERI OLEH WP DALAM NEGERI
BOLEH DIKREDITKAN DENGAN PPh YANG TERUTANG DLM THN PAJAK YANG SAMA
SEBESAR PAJAK PENGHASILAN YANG DIBAYAR/TERUTANG DI LUAR NEGERI, TETAPI TIDAK BOLEH MELEBIHI PENGHITUNGAN PAJAK YANG TERUTANG BERDASARKAN UU PPh
APABILA PPh DARI LUAR NEGERI YANG TELAH DIKREDITKAN TERNYATA DIKURANGKAN/ DIKEMBALIKAN, MAKA PPh YANG TERUTANG MENURUT UU PPh HARUS DITAMBAH DGN JUMLAH TERSEBUT PADA TAHUN PENGURANGAN ATAU PENGEMBALIAN DILAKUKAN
PELAKSANAAN PENGKREDITAN PAJAK ATAS PENGHASILAN DARI LUAR NEGERI DIATUR DGN KMK 640/KMK.04/1994 127
PENGHITUNGAN BATAS PPh YANG BOLEH DIKREDITKAN Pasal 24 ayat (3) dan (4) DITENTUKAN BERDASARKAN SUMBER PENGHASILAN
3) PENGHASILAN DARI :
a. Saham dan sekuritas lainnya adalah negara ; tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut berkedudukan; ;
b. Bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada; c. Sewa harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak; d. Imbalan sehubungan dengan jasa,pekerjaan dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada; 128
Pasal 24 (3 & 4) e. Bentuk Usaha Tetap adalah negara tempat Bentuk Usaha Tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. f. Keuntungan krn penj.atau pengalihan sebag. atau seluruhnya hak penambangan, tanda turut serta dlm pembiayaan atau permodalan perusahaan pertambangan, adalah negara tempat lokasi penambangan berada; g. Keuntungan krn pengalihan harta adalah negara tempat harta tersebut terletak; h. Keuntungan krn pengalihan harta yg menjadi bagian dr BUT adalah negara tempat harta tersebut terletak; 4) PENGHASILAN LAINNYA DENGAN MENGGUNAKAN PRINSIP YANG SAMA DENGAN AYAT 1) DI ATAS.
129
ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN Pasal 25 ayat (1)
BESAR ANGSURAN PPh PASAL 25 SETIAP BULAN
SAMA DENGAN PPh TERUTANG MENURUT SPT TAHUNAN PPh THN PAJAK YG LALU
DIKURANGI
PPh YANG DIPOTONG ATAU DIPUNGUT :
PPh YANG TERUTANG ATAU DIBAYAR DI LUAR NEGERI YANG BOLEH DIKREDITKAN (PPh PSL 24)
PPh PSL 21 PPh PSL 22 PPh PSL 23
DIBAGI 12 (DUA BELAS) ATAU BANYAKNYA BULAN DALAM BAGIAN TAHUN PAJAK 130
CONTOH PENGHITUNGAN ANGSURAN PPh 25
PPh TERUTANG MENURUT SPT TAHUNAN PPh 2008 SEBESAR Rp 50.000.000,00 DIKURANGI : a. PPh YG DIPOTONG PEMBERI KERJA Rp 15.000.000,00 (PPh PSL. 21) b. PPh YG DIPUNGUT PIHAK LAIN Rp 10.000.000,00 (PPh PSL. 22) c. PPh YANG DIPOTONG PIHAK LAIN (PPh PSL 23) Rp 2.500.000,00 d. KREDIT PPh LUAR NEGERI Rp 7.500.000,00 (PPh PSL. 24) JUMLAH KREDIT PAJAK (Rp 35.000.000,00) SELISIH Rp 15.000.000,00 BESARNYA ANGSURAN YG HRS DIBAYAR SENDIRI SETIAP BULAN UTK THN 2009 SEBESAR 1/12 X Rp 15.000.000,00 YAITU Rp 1.250.000,00
131
ANGSURAN BULANAN UNTUK BULAN SEBELUM BATAS WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh Pasal 25 ayat (2)
SAMA BESARNYA DENGAN : - Angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu
CONTOH :
- SPT TAHUNAN PPh 2008 DISAMPAIKAN MARET 2009 ANGSURAN PPh DESEMBER 2000 Rp 1.000.000,00 BESARNYA ANGSURAN UNTUK BULAN JANUARI 2009 DAN PEBRUARI 2009 SEBESAR Rp 1.000.000,00 - APABILA BULAN SEPTEMBER 2008 DITERBITKAN KEPUTUSAN PENGURANGAN ANGSURAN PAJAK MENJADI NIHIL SEHINGGA ANGSURAN PAJAK SEJAK OKTOBER 2008 S.D DESEMBER 2008 MENJADI NIHIL - BESARNYA ANGSURAN UNTUK BULAN JANUARI 2009 DAN PEBRUARI 2009 NIHIL .
132
ANGSURAN PPh PASAL 25 APABILA TELAH DITERBITKAN skp UNTUK 2 (DUA) TAHUN PAJAK SEBELUM TAHUN SPT TAHUNAN PPh Pasal 25 ayat (3)
DI HAPUS
133
ANGSURAN PPh PASAL 25 APABILA DALAM TAHUN BERJALAN DITERBITKAN skp UNTUK TAHUN PAJAK YANG LALU Pasal 25 ayat (4)
ANGSURAN PAJAK DIHITUNG KEMBALI BERDASARKAN skp TAHUN PAJAK YANG LALU, BERLAKU MULAI BULAN BERIKUTNYA SETELAH BULAN PENERBITAN skp
CONTOH : - BERDASARKAN SPT TAHUNAN PPh 2008, BESARNYA ANGSURAN PAJAK RP. 1.250.000,00 - MEI 2009 DITERBITKAN SKP TAHUN 2008 MENGHASILKAN ANGSURAN SETIAP BULAN RP. 2.000.000,00 - ANGSURAN PAJAK MULAI JUNI 2008 SEBESAR Rp 2.000.000,00
134
ANGSURAN PPh PASAL 25 ATAS SPT TAHUNAN PPh LEBIH BAYAR Pasal 25 ayat (5)
DI HAPUS
135
ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALAN DALAM HAL-HAL TERTENTU Pasal 25 ayat (6)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK BERWENANG
MENETAPKAN ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN APABILA :
WP BERHAK ATAS KOMPENSASI KERUGIAN
WP MEMPEROLEH PENGHASILAN TIDAK TERATUR SPT TAHUNAN PPh TAHUN YG LALU DISAMPAIKAN SETELAH LEWAT BATAS WAKTU YG DITENTUKAN
WP DIBERIKAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh WP MEMBETULKAN SENDIRI SPT THNAN PPh YG MENGAKIBATKAN ANGSURAN BULANAN LEBIH BESAR DARI ANGSURAN BULANAN SEBELUM PEMBETULAN TERJADI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN WP 136
ANGSURAN PPh PASAL 25 BAGI WP TERTENTU Pasal 25 ayat (7)
MENTERI KEUANGAN BERWENANG
MENETAPKAN PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PPh PASAL 25 BAGI :
* Wajib Pajak baru * Wajib Pajak Bank * Wajib Pajak Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi * Badan Usaha Milik Negara
* Badan Usaha Milik Daerah •Wajib Pajak tertentu lainnya •WP OP TERTENTU DG TARIF : 0,75% X PEREDARAN BRUTO. 137
FISKAL LUAR NEGERI Pasal 25 ayat (8) WP ORANG PRIBADI DN YG TDK PUNYA NPWP YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI WAJIB MEMBAYAR PAJAK
DIATUR DENGAN PERATURAN PEMERINTAH
Pasal 25 ayat (8a) Ketentuan yg diatur dlm Pasal 25 ayat (8) berlaku sd 31 Desember 2010 138
PEMOTONG, OBJEK DAN TARIF PPh PASAL 26 Pasal 26
PEMOTONG PPh 26
* BADAN PEMERINTAH * SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI * PENYELENGGARA KEGIATAN * BENTUK USAHA TETAP * PERWAKILAN PERUSAHAAN LUAR NEGERI LAINNYA
OBJEK PENGHASILAN WP LUAR NEGERI
:
DIVIDEN, BUNGA,ROYALTI, SEWA, IMBALAN SEHUB. DGN. JASA, PEKERJAAN,KEGIATAN,HADIAH DAN PENGHARGAAN, PENSIUN DAN PEMBAYARAN BERKALA LAINNYA, PREMI SWAP, KEUNTUNGAN KRN PEMBEBASAN UTANG.
DIPOTONG PPh PSL 26 DGN TARIF
20 % DARI JUMLAH BRUTO (FINAL)
PENGHASILAN DARI PENJUALAN HARTA DI INDONESIA KECUALI YG DIATUR DLM PASAL 4 (2) DAN PREMI ASURANSI/REASURANSI YANG DIBAYARKAN KPD PERUSAHAAN ASURANSI LN
20 % DARI PERKIRAAN PENGHASILAN NETO (FINAL)
PKP SETELAH DIKURANGI PPh BUT DI INDONESIA, KECUALI PENGHASILAN TSB DITANAM KEMBALI DI INDONESIA
20 % DARI PKP DIKURANGI PPh BUT (FINAL)
PELAKSANAAN KETENTUANNYA DIATUR LEBIH LANJUT DGN KEP.MENKEU 139
PASAL 26 AYAT (1)a Negara Domisili dr WPLN selain yg menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia, adalah neg. tempat tinggal atau tempat kedudukan WPLN yg sebenarnya menerima manfaat dr penghasilan tsb. (BENEFICIAL OWNER)
140
PASAL 26 AYAT (2a) Atas penghasilan berupa penjualan atau pengalihan saham sesuai Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak 20% dari perkiraan penghasilan netto.
141
CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 PADA BUT
PENGHASILAN KENA PAJAK BUT DI INDONESIA
Rp 17.500.000.000,00
PPh TERUTANG : 28 % Rp.17.500.000.000,00 Pajak Penghasilan
(Rp 4.200.000.000,00)
Penghasilan sesudah PajakRp
13.300.000.000
PPh PSL 26 (4) YG DIPOTONG (20%) (Rp
PENGHASILAN YG DIKIRIM KE KANTOR PUSAT
2.453.500.000)
Rp 10.846.500.000,00
PKP SETELAH DIKURANGI PAJAK
APABILA DITANAMKAN KEMBALI DI INDONESIA SESUAI KEP. MENKEU, MAKA TIDAK DIPOTONG PAJAK
142
PEMOTONGAN PPh PASAL 26 YANG TIDAK BERSIFAT FINAL Pasal 26 ayat (5)
PEMOTONGAN ATAS : a. -. Penghasilan kantor pusat dari usaha
atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan oleh BUT di Indonesia
- Penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT
143
KREDIT PAJAK BAGI WP DALAM NEGERI DAN BUT Pasal 28 ayat (1) dan (2)
PASAL 21
PASAL 22
PEMOTONGAN PPh DARI PEKERJAAN,JASA DAN KEGIATAN LAIN PEMUNGUTAN PPh DARI KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN
PASAL 23
PEMOTONGAN PPh DARI DIVIDEN,BUNGA,ROYALTI,SEWA, HADIAH DAN PENGHARGAAN, DAN IMBALAN LAIN
PASAL 24
PAJAK YG DIBAYAR ATAU TERUTANG ATAS PENGHASILAN DARI LUAR NEGERI YANG BOLEH DIKREDITKAN
PASAL 25
PEMBAYARAN YG DILAKUKAN OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI
PASAL 26 AYAT (5)
PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YG TDK BERSIFAT FINAL
TIDAK BOLEH DIKREDITKAN
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA, DENDA DAN KENAIKAN SERTA SANKSI PIDANA BERUPA DENDA 144
CONTOH PENGHITUNGAN KREDIT PAJAK: PPh TERUTANG WP ORG PRIBADI
Rp 80.000.000,00
KREDIT PAJAK : a. PPh YG DIPOTONG PEMBERI KERJA (PPh PSL. 21) b. PPh YG DIPUNGUT PIHAK LAIN (PPh PSL. 22) c. PPh YANG DIPOTONG PIHAK LAIN PPh PSL 23 (DARI MODAL) d. KREDIT PPh LUAR NEGERI (PPh PSL. 24) e. DIBAYAR SENDIRI OLEH WP (PPh PSL 25)
Rp 5.000.000,00
Rp 10.000.000,00
Rp 5.000.000,00 Rp 15.000.000,00
Rp 10.000.000,00
JUMLAH PPh YG DPT DIKREDITKAN
(Rp 45.000.000,00)
PPh YG MASIH HARUS DIBAYAR
Rp 35.000.000,00
145
RESTITUSI PPh Pasal 28 A PAJAK TERUTANG PADA SUATU TAHUN PAJAK LEBIH KECIL DARI JUMLAH KREDIT PAJAK
SETELAH DILAKUKAN PEMERIKSAAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DIKEMBALIKAN
SETELAH DIPERHITUNGKAN DENGAN UTANG PAJAK LAINNYA BERIKUT SANKSI
146
BATAS WAKTU PEMBAYARAN PPh PADA AKHIR TAHUN PAJAK Pasal 29
PAJAK TERUTANG UNTUK SATU TAHUN PAJAK LEBIH BESAR DARI JUMLAH KREDIT PAJAK
KEKURANGAN PAJAK YANG TERUTANG
HARUS DILUNASI SELAMBAT-LAMBATNYA
SEBELUM SPT TAHUNAN PPh DISAMPAIKAN
147
FASILITAS PERPAJAKAN Pasal 31 A DENGAN PERATURAN PEMERINTAH DAPAT DIBERIKAN FASILITAS PERPAJAKAN
a. PENGURANGAN PENGHASILAN NETO PALING TINGGI 30% DARI JUMLAH PENANAMAN YANG DILAKUKAN b. PENYUSUTAN DAN AMORTISASI YANG DIPERCEPAT c. KOMPENSASI KERUGIAN YANG LEBIH LAMA TETAPI TIDAK LEBIH DARI 10 TAHUN d. PENGURANGAN PPh ATAS DIVIDEN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM Pasal 26 SEBESAR 10% KECUALI APABILA TARIF MENJADI PERJANJIAN PERPAJAKAN YANG BERLAKU MENETAPKAN LEBIH RENDAH
BAGI WAJIB PAJAK YG MELAKUKAN PENANAMAN MODAL
DI BIDANG USAHA TERTENTU
DI DAERAH TERTENTU
SEKTOR - SEKTOR KEGIATAN EKONOMI YG BERPRIORITAS TINGGI DALAM SKALA NASIONAL, KHUSUSNYA PENGGALAKAN EKSPOR
DAERAH TERPENCIL, SEPERTI YANG TERDAPAT DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
148
FASILITAS PERPAJAKAN Pasal 31 A
PERATURAN PEMERINTAH SEHUBUNGAN DENGAN FALISITAS PERPAJAKAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 147 TAHUN 2000 jo. KMK NOMOR 11/KMK.04/2001
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 148 TAHUN 2000 jo. KMK NOMOR 571/KMK.04/2001
BERLAKU UNTUK KAPET
BERLAKU SECARA UMUM
149
FASILITAS PERPAJAKAN Pasal 31 B
DIHAPUS
150
PEMBAGIAN PENERIMAAN PAJAK UNTUK PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH Pasal 31 C
PASAL 31 C AYAT 1 DENGAN PERATURAN PEMERINTAH
PEMBAGIAN PENERIMAAN NEGARA DARI PPh. OP DALAM NEGERI DAN PPH PASAL 21 YANG DIPOTONG OLEH PEMBERI KERJA DIBAGI DENGAN IMBANGAN 80% UNTUK PEMERINTAH PUSAT DAN 20% UNTUK PEMERINTAH DAERAH TEMPAT WP TERDAFTAR
PASAL 31 C Ayat 2 DIHAPUS
151
PASAL 31 D Ketentuan perpajakan bagi bidang usaha: - pertambangan minyak dan gas bumi, - bidang usaha panas bumi, - bidang usaha pertambangan umum, - bidang usaha berbasis syariah DIATUR TERSENDIRI DENGAN PERATURAN PEMERINTAH.
152
PASAL 31 E FASILITAS PERPAJAKAN BAGI UMKM -WP
badan dalam negeri dengan peredaran bruto s.d Rp50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Besarnya bagian peredaran bruto sesuai ayat 1 dpt dinaikkan dg PER MEN. KEU. -
153
TATA CARA PENGENAAN PAJAK DAN SANKSI-SANKSI Pasal 32
TATA CARA PENGENAAN PAJAK DAN SANKSI-SANKSI BERKENAAN DENGAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PPh
DIATUR DALAM UNDANG - UNDANG KUP
154
PERJANJIAN PERPAJAKAN DENGAN NEGARA LAIN Pasal 32 A
PEMERINTAH BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PERJANJIAN DENGAN PEMERINTAH NEGARA LAIN DALAM RANGKA PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK
155
PASAL 32 B Ketentuan ttg pengenaan pajak atas bunga atau diskonto obligasi negara yang diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan negara lain tsb. Diatur dengan Peraturan Pemerintah.
156
HAL-HAL YANG BELUM CUKUP DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG INI LEBIH LANJUT DIATUR DENGAN PERATURAN PEMERINTAH (Pasal 35)
Seperti
PP No. 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
157
SELAMAT BELAJAR