Polri Dan Hak Asasi Manusia

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Polri Dan Hak Asasi Manusia as PDF for free.

More details

  • Words: 2,424
  • Pages: 41
POLRI DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Lies Soegondo, S.H. Ketua Subkomisi Hak Sipil dan Politik Komnas HAM

PENDAHULUAN 





Sebagaimana kita ketahui, baru amendemen ke-II UUD 1945 yang mengatur secara khusus tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimuat dalam Pasal 28 A s/d 28 J. Semula memang, HAM tidak diatur secara khusus Sejak amendemen, malah diatur dalam bab khusus (Bab X A), kendati beberapa hak asasi sudah diatur sebagai materi muatan dalam UUD 1945, seperti pasal 27, 28 dan 29 Dimana, sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pernah berlaku UUD 1950 yang di dalamnya sarat pengaturan tentang HAM 2







Saat BPUPKI menyusun UUD 1945, DUHAM memang belum muncul, masih dalam proses perdebatan. Jadi, wajar kalau di antara para penyusun ada yang berpendapat tidak setuju memasukkan HAM ke dalam materi muatan UUD 1945. Anggapan mereka (antara lain Prof Soepomo) menganggap HAM berbau liberal karena sifatnya yang sangat individual Sebelumnya, perjalanan sejarah bangsa ternyata pernah mengalami masa-masa penguasa yang otoriter 3





Jalannya pemerintahan daerah diatur oleh pusat. Hal-hal yang menyangkut penyelenggaraan negara dilaksanakan berdasar pola yang sama tanpa mempertimbangkan kekhususan daerah tertentu yang dipengaruhi oleh budaya setempat (lokal), seperti “Nagari” untuk orang Minang disebutnya “Desa” seperti di Jawa Pada tahun 1998, berakhirlah masa otoriter yang dipimpin oleh presiden kedua. Bendera reformasi berkibar 4



Masyarakat saat itu menjadi saat “menikmati” kebebasan, antara lain mengeluarkan pendapat di muka umum (diatur dalam UU Tahun 1998), kebebasan pers dan penyiaran, kebebasan memperoleh informasi publik (masih RUU), dll. Semua itu dilakukan secara “emosional”



Tuntutan tersebut sampai pada puncaknya, yaitu menuntut diadilinya para aparat yang dianggap telah melakukan “kejahatan” terhadap hak hidupnya melalui sebuah pengadilan. Bahkan tuntutan atas kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi 5

Mencari Keadilan Di Masa Transisi 

Para penyelenggara negara menyadari bahwa dengan memperhatikan tututan/desakan-desakan akan rasa keadilan masyarakat terhadap masa lalunya yang hak-haknya dilanggar



Melalui Majelis Permusyaratan Rakyat yang bersidang pada 1999 mulai bertindak untuk mengamendemen Konstitusi/UUD 1945 (yang sebelumnya dianggap tabu untuk mengutak-atik UUD 1945) 6



Reformasi itu diikuti dengan penyesuaian seluruh peraturan perundang-undangan, seperti kekuasan Kehakiman (Mahkamah Agung, semua pengadilan di lingkungan peradilan), UU tentang Kejaksaan dan UU tentang Kepolisian Negara (UU No 2/2002)



Tak kalah pentingnya di bidang HAM, yaitu melalui UU No 39/1999 tentang HAM, UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta UU No 12/2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik 7



Orang mencari “keadilan” bagi dirinya sebagai akibat tekanan pemerintahan otoriter. Biasanya, keadaan yang demikian itu sering disebut sebagai keadilan masa transisi



Peran Komnas HAM di masa keadilan transisi cukup signifikan, yaitu membantu “korban”, menjembatani kepentingannya secara independen/tidak memihak. Perannya hanya terfokus pada hak asasi saja dan wajib menghindarkan diri dari masalah politik dan lainnya 8



Atas berbagai desakan, baik dari lingkungan nasional maupun internasional terhadap kasus mencuatnya Timor-Timur memang berat, terutama kita dihadapkan pada permasalahan hukum asas legalitas



Bagaimana mungkin memperlakukan secara retroaktif dimana pada saat tindak pidana dilakukan, peraturan perundang-undangan yang mengaturnya belum ada (pasal 15 Konvesi Hak Sipil dan Politik) 9

Konvensi Hak Sipil dan Politik 

Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 10 Desember 1948 mneurut sifatnya hanya mengikat secara moral saja. Oleh karenanya, agar memiliki kekuatan aplikatif dijabarkanlah menjadi beberapa konvensi sebagai turunannya, antara lain Konvensi tentang Hak Sipil dan Politik dan Konvensi tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 10



Hal-hal yang sangat terkait dengan fungsi dan tugas penegakan hukum akan saya paparkan di bawah ini: a. Hak atas pengakuan sebagai manusia pribadi di muka hukum Pasal 6 DUHAM berbunyi: “Setiap orang mempunyai hak atas pengakuan dimanapun sebagai manusia pribadi di muka hukum.” Pasal 6 DUHAM ini kemudian lebih dijabarkan dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik (Pasal 14 dan 16). 11

b. Hak atas kemerdekaan seseorang Pasal 9 DUHAM berbunyi: “Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang.” Pasal 9 DUHAM ini dijabarkan lagi dalam pasal 9, 10, dan 11 Konvensi Hak Sipil dan Politik c. Larangan UU Pidana Retroaktif Tercantum dalam pasal 11 dan 12 DUHAM. Larangan in kemudian dijabarkan ke dalam pasal 15 ayat (1) Konvensi Hak Sipil dan Politik 12

Penyelesaian Pelanggaran HAM di Indonesia 



Memang benar bahwa UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hanya mengatur hak saja, tanpa sanksi bagi pelanggarnya bahkan seolah-olah tanpa “kewajiban”. Hak-hak yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 yang masing-masing terdiri dari 10 hal, sesungguhnya pelanggaran terhadapnya mempunyai sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undanganan lainnya. 13



Apakah benar tidak diatur tentang kewajiban dasarnya? Berbicara hak asasi, karena ia melekat pada diri manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka kewajiban bagi setiap manusia muncul pada saat ia menggunakan haknya yaitu dalam bentuk menghormati hak asasi orang lain



Oleh karenanya disebut sebagai “kewajiban dasar”, karena ia berada tanpa jarak dengan hak asasi 14



Bahkan semula, sebelum hadirnya UU NO. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, semua pelanggaran (baca: tindak pidana) selalu diartikan tindak yang dilakukan oleh aparat



Setelah UU No. 26 Tahun 2000, maka pemahaman masyarakat mulai sedikit demi sedikit berubah bahwa “pelanggaran HAM”, dapat dilakukan oleh sesama anggota masyarakat sendiri (horizontal) tidak mesti harus vertikal yaitu dilakukan oleh aparat/penguasa terhadap rakyat 15



Ada rasa kekhawatiran manakala terjadi “pelanggaran HAM” dalam melaksanakan tugas. Padahal kalau aparat (negara) tersebut melakukan pelanggaran HAM itu, sanksinya yang paling berat hanya tuduhan melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHP, atau pelanggaran tata profesi atau kode etik saja



Berbeda dengan “pelanggaran HAM yang berat”, kepadanya diberlakukan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan syarat-syarat yang sangat ketat 16



Hak yang sifatnya underogable right, selain yang sudah diutarakan di atas, juga termasuk underogable right “hak memperoleh keadilan” sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 tentang hak diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak dan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5)

17

Pelanggaran HAM yang Berat 





Munculnya istilah pelanggaran HAM yang berat setelah mengadopsi Konvensi Internasional (yang berupa “Statuta Roma1998”) Hal ini akibat dari desakan negaranegara/masyarakat internasional atas peristiwa yang terjadi di Timor-Timur pasca jajak pendapat 1999 Pada intinya, munculnya keinginan dari dunia internasional untuk menghadapkan pelakupelaku peristiwa Tim-Tim di depan Pengadilan Pidana Internasional (International Crimes Court) di Den Haag 18







Pemerintah juga menyiapkan perangkat perundang-undangannya sebagai senjata penangkal Belakangan baru disadari bahwa Perpu No 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM sangat tidak memadai sebagai undang-undang yang mampu menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat Sering kita jumpai dalam Doktrin Internasional pelanggaran HAM yang berat adalah “extra ordinary crime”, yang artinya sebagai tindak pidana yang “luar biasa”. Jadi, apanya yang “luar biasa”?. 19





Dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM yang berat, meliputi: a. Kejahatan genosida b. Kejahatan terhadap kemanusiaan Sumbernya yaitu Statuta Roma 1998, dikenal 4 kejahatan. Di samping dua kejahatan tersebut, masih ada war crime dan agresi. Kedua kejahatan yang terakhir ini tidak diadopsi oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 20



Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis dan agama, dengan cara: a. Membunuh anggota kelompok b. Mengakibatkan penderitan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh maupun sebagiannya 21

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain 

Kejahatan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil 22



Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini, pada prinsipnya berlaku kedepan yaitu setelah undang-undang ini diundangkan. Namun demikian mengingat pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra ordinary crime”



Penjelasan umum UU No. 26 Tahun 2000, antara lain dinyatakan bahwa berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: 23







“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” Atas pertimbangan itulah, maka UU No 26 Tahun 2000 dapat diperlakukan surut (retroaktif). Permasalahannya muncul: sampai kapankah pemberlakuan mundur tersebut?

24



Mengingat salah satu unsur pelanggaran HAM yang berat adalah dilatarbelakangi politis, maka sebaiknya pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc digantungkan pada pertimbangan politis lembaga politik pula yaitu DPR sendiri. Atas pertimbangan itulah maka, muncul Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000

25



Tanggapan masyarakat atas Pasal 43 ayat (2) tersebut, seolah-olah itu memberi kesan adanya campur tangan badan legislatif terhadap yudikatif



Mereka beranggapan yang berwenang menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM yang berat setelah dilakukan penyelidikan terlebih dahulu. Sedangkan DPR tidak berwenang menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM yang berat 26

A.

Hukum Acara Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000: “Dalam hal tidak ditemukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana”.

27



Pengecualian yang ditentukan lain daripada KUHAP adalah: a. Penyelidik adalah Komnas HAM b. Penyidik adalah Jaksa Agung c. Baik penyelidik, penyidik maupun susunan majelis Hakim secara ad-hoc. Artinya diantara Jaksa karier, Hakim karier masih ditambah dari luar institusi resmi tersebut. Demikian pula dimungkinkan bagi Komnas HAM, disamping para anggotanya sendiri/Komisioner dimungkin tenaga dari luar Komnas HAM yang mewakili masyarakat 28

d. Masalah lamanya tahanan e. Masalah tenggang waktu penyelesaian baik sejak penuntutan maupun pengadilan tingkat pertama, tingkat banding sampai kasasi f. Tidak dikenal ketentuan mengenai kewenangan Atasan yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Pasal 48) g. Bagi pelaku yang baru berumur dibawah 18 tahun menjadi yurisdiksi Pengadilan Umum 29



Selama ini, Pengadilan HAM Ad-Hoc di Jakarta Pusat dalam Kasus Timor-Timor maupun Tanjung Priok, hukum acara yang diberlakukan adalah sesuai dengan bunyi Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000



Demikian pula menangani kasus Abepura di Pengadilan HAM di Makasar, prosesnya tetap mengacu pada hukum acara nasional yang ada

30



Cara Pemeriksaan saksi melalui Informations Technology (IT) sudah menjadi preseden dalam hukum acara kita



Demikian pula perlindungan saksi dan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1), (2) dan (3) UU No 26 Tahun 2000. Sudah dijabarkan dalam peraturan pelaksanaan mengenai tata caranya melalui Peraturan Pemerintah

31

B. Penghukuman/Pemidanaan 



Karena sifatnya yang “extra ordinary crime”, maka pemidanaanya berbeda. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 dikenal ancaman hukuman maksimal dan minimal Seperti misalnya, Prof. Moeladi, SH.[1], yang menginginkan ketentuan pidana dalam pelanggaran HAM yang berat dimasukkan ke dalam RUU KUHP, merubah ancaman hukuman minimum tersebut menjadi 5 tahun. Bahkan Beliau juga menambah jenis kejahatan pelanggaran HAM yang berat, yaitu “war crime” ke dalam RUU KUHP 32

C. Putusan Pengadilan HAM Ad-Hoc yang

cenderung Membebaskan Tersangka

1. 2.

Kegamangan terhadap penghukuman tersebut menjadi salah satu masalah/kendala Unsur-unsur kejahatan kemanusiaan tidak dapat diperoleh baik dari UU No. 26 Tahun 2000 maupun Statuta Roma 1998 secara rinci, kecuali hanya berupa “menyebar/meluas” atau “sistematik”, si pelaku mengetahui sebagai bagian dari serangan, adanya serangan kepada penduduk sipil secara fisik maupun mental, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 33

3. Belum berpengalamannya para penegak hukum

dalam menangani suatu kejahatan pelanggaran HAM yang berat 4. Tempus delicti-nya sudah terlalu lama berlalu. Bukti-buktinya pun sudah banyak yang hilang atau kabur 5. Hakimnya mengambil beberapa Yurisprudensi Internasional yang sudah pernah diputus di Pengadilan Internasional seperti ICTY dan ICTR 6. Pemerintah sudah menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangannya yaitu UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Harapan terakhir korban adalah melalui lembaga tersebut 34

D. Pertanggungjawaban Komando 





Tidak mudah orang mengatakan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat bagi seseorang aparat negara (TNI atau POLRI/Sipil) Harus dapat dibuktikan si pelaku adalah bagian dari serangan dan ia tahu bahwa ia merupakan bagian serangan tersebut terhadap penduduk sipil Sering sekali serangan terhadap penduduk sipil dikaitkan dengan kebijakan negara/penguasa 35



Oleh karenanya, para pelaku lapangan melakukan tindak yang diduga merupakan pelanggan HAM yang berat tersebut, atas dasar perintah yang tidak perlu dalam bentuk tertulis



Ia harus merupakan seorang yang berwenang mengendalikan secara efektif bawahannya. Dalam hal ini sering disebut sebagai pertanggungjawaban komando

36



Dijelaskan dalam Pasal 42 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, bahwa: a. Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan itu sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat b. Komandan militer atau seseorang itu tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan 37



Hal tersebut juga berlaku selain untuk TNI, POLRI maupun Sipil bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahannya



Statuta Roma 1998 juga mengenal pertanggungjawaban Komando tersebut dan sama pengertiannya dengan yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000

38

E. Masalah Daluarsa 





Perbedaan UU No. 26 Tahun 2000 tentang masalah daluarsa tersebut dengan pengertian di dalam KUHP, berbeda. KUHP mengenal daluarsa bagi suatu tindak pidana Dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, istilah tersebut tidak berlaku Pengertian dalam UU tentang Pengadilan HAM tersebut, sama dengan masalah daluarsa yang diatur dalam Statuta Roma 1998, sedangkan untuk masa lalu UU No. 26 Tahun 2000, tidak mengenal daluarsa 39



 



Statuta Roma 1998 hanya berlaku kedepan, dan tidak mengenal retroaktif. Statuta ini berpegang teguh pada asas non-retroaktif International Criminal Court memang memiliki yurisdiksi secara individu Namun demikian, tidak mudah pula seseorang di seret ke hadapan ICC. Harus memenuhi persyaratan-persyaratan bahwa orang yang bersangkutan, benar-benar tidak dijamin hukum nasionalnya. Keharusan perlindungan hak memperoleh keadilan di tingkat nasional di dalam hukum kebiasaan Internasional (International Customary Law), adalah sama harus dikedepankan (Deklarasi Wiena tahun 1993) 40

Penutup Pada prinsipnya para aparat penegak hukum, tidak perlu ragu-ragu dalam mengemban tugasnya, asal semua itu dilaksanakan benar menurut Protab yang berlaku. Sebab keragu-raguan takut dianggap melanggar HAM akan memicu tindakan by omission yang dapat pula dianggap telah melakukan tindak pelanggaran HAM yang berat 41

Related Documents

Hak Asasi Manusia
May 2020 29
Menjaga Hak Asasi Manusia
October 2019 41
Hak Asasi Manusia
November 2019 35
Hak Asasi Manusia
May 2020 31