Politik Ekonomi Dalam Memperdayakan.docx

  • Uploaded by: Rudy Even Naibaho
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Politik Ekonomi Dalam Memperdayakan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,214
  • Pages: 48
POLITIK EKONOMI DALAM MEMPERDAYAKAN KOPERASI DAN UMKM

Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Secara ringkas Konvensi ILO 169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya

ditujukan

untuk

menghidupi

dan

memenuhi

kebutuhan

hidup

masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada. Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya. Sistem Ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh – sungguh pada ekonomi rakyat. Dalam prakteknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring (network) yang menghubungkansentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan

berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat. Sebagai suatu jejaringan, ekonomi kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga “ lembaga bisnis internasional, Ekonomi kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik. Ekomomi kerakyatan sebagai antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi masal ala Taylorism. Dengan demikian Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisien yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan pembeli. Yang perlu dicermati peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi. Artinya, peningkatan kesejahteraan tak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan

strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu

produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota – anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal. Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisa dimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat. APA DAN BAGAIMANA EKONOMI KERAKYATAN Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertibandunia.

Pengejawantahan dari amanat Undang Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frasa “memajukan kesejahteraan umum,” pada hakekatnya merupakan tugas semua elemen bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah arahan pemerintah. Tidak terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan pendirian negara yang mulia tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus dicapai dengan menerapkan prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat.” Konsep tersebut telah jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta—wakil presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan bentuk perekenomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Orientasi utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan sebagian atau sekelompok kecil orang. Pandangan tersebut lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul “Ekonomi Rakyat” yang diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November 1933), mengekspresikan kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah penindasan pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa “kegundahan” hati Bung Hatta atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia—yang waktu itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya konsep ekonomi kerakyatan. Lebih jauh, pemikiran mengenai pentingnya perekonomian yang berpihak kepada rakyat menjadi dasar bagi lahirnya Pasal 27 dan 33 Undang Undang Dasar 1945. Kedua pasal tersebut kemudian menjadi dasar ertimbangan dilahirkannya Undang Undang Perkoperasian (UU Republik

Indonesia Nomor 25 Tahun 1992) dan Undang Undang Usaha Kecil dan Menengah (UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008). Dengan demikian, tampak jelas adanya keterkaitan yang erat antara ekonomi kerakyatan dengan koperasi dan usaha kecil dan menengah.Bahasan tentang peran kedua sektor usaha tersebut (koperasi dan usaha kecil dan menengah) dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan relatif jarang mengemuka. Namun, berkaca pada keadaan ekonomi saat ini yang sepertinya baik— sebagaimana diindikasikan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 6,10 persen—tetapi dibarengi oleh kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin yang semakin melebar—sebagaimana diindikasikan oleh fakta yang menunjukkan bahwa dua persen penduduk terkaya menguasai asset nasional sebesar 46 persen dan 98 persen penduduk menguasai 54 persen asset nasional.

PERANAN KOPERASI DAN UKM SEBAGAI LANDASAN PEREKONOMIAN INDONESIA Salah satu fungsi dan tujuan didirikannya sebuah negara adalah menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Oleh karena itu, keberfungsian sebuah negara tergambar pada seberapa sejahtera dan makmur rakyatnya. Dalam teori ekonomi pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara diukur melalui sejumlah indikator. Dua di antaranya adalah produk domestik bruto (PDB) per kapita dan indeks pembangunan manusia (IPM). Berdasarkan data tentang kedua indikator tersebut, Indonesia hingga tahun 2010

masih berada jauh di bawah Negara maju di kawasan Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Bahkan di Asia Tenggara, dilihat dari IPMnya, Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia hanya berada lima tingkat di atas Vietnam dan 12 tingkat di atas Timor Leste. Hal tersebut, ditambah dengan masih lebarnya kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin,” mengindikasikan bahwa negara dan bangsa kita masih harus bekerja keras dan—mungkin lebih tepat— bekerja cerdas untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Kaitan antara tingkat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran dengan tatanan ekonomi nasional, khususnya kedudukan ekonomi kerakyatan yang “diwakili” oleh koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah akan menjadi fokus bahasan.

KOPERASI DAN UKM SEBAGAI IMPLEMENTASI EKONOMI KERAKYATAN DALAM MASYARAKAT INDONESIA Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat.

Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan

pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya

ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya,sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada. Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya. Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa konsep, ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya untuk lebih mengedepankan masyarakat. Dengan kata lain konsep ekonomi kerakyatan dilakukan sebagai sebuah strategi untuk membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat.

Menurut Guru Besar, FE UGM ( alm ) Prof. Dr. Mubyarto, sistem Ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan keberpihakan sungguh – sungguh pada ekonomi rakyat Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring ( network ); saling menghubungkan sentra – sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat. Sebagai suatu jejaringan, ekonomi kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga “ lembaga bisnis internasional, Ekonomi kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik. Berkaitan dengan uraian diatas, agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut merupakan inti dari poitik ekonomi kerakyatan dan menjadi titik masuk ( entry point) bagi terselenggarakannya system ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang = Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya;

Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme ;

persaingan yang berkeadilan ( fair competition); Peningkatan alokasi sumber-

sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.;

Penguasaan dan

redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi – koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.

SUBSTANSI KOPERASI DAN UKM SEBAGAI SISTEM EKONOMI KERAKYATAN Berdasarkan bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat dirumuskan perihal substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup enam hal :

1. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.” 2. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia. 3. Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota – anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, meski kegiatan pembentukan produksi nasional dapat

dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktorfaktor produksi nasional. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional (institution capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Negara wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya 4. Demokratisasi modal material; negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka. 5. Demokratisasi modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali

tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan

pendidikan

bagi

seluruh

anggota

masyarakat

yang

membutuhkannya. 6. Demokratisasi modal institusional; tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikatserikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.

TUJUAN DAN SASARAN KEGIATAN KOPERASI DAN UKM SEBAGAI LANDASAN EKONOMI KERAKYATAN Bertolak dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa tujuan utama penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian. Bila

tujuan utama ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal: 1. Tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat. 2. Terselenggaranya sistem jaminan

sosial bagi

anggota masyarakat

yang membutuhkan, terutama fakir miskin dan anak-anak terlantar. 3. Terdistribusikannya kepemilikan modal material secara relatif 4.

merata di antara anggota masyarakat. Terselenggaranya pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap

anggota masyarakat. 5. Terjaminnya kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat-serikat ekonomi.

KEBANGKITAN EKONOMI KERAKYATAN DI INDONESIA. Pada akhir tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa dalam empat hingga lima tahun ke depan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan mencapai 9 ribu triliun rupiah atau dua ribu triliun rupiah lebih tinggi daripada PDB tahun 2010. Lebih jauh dijelaskan oleh Menko Perekonomian bahwa pada tahun 2025 PDB Indonesia akan berada pada kisaran antara 3,7 hingga 4,7 triliun dolar AS dengan pendapatan per kapita antara 12 ribu hingga 16 ribu dolar AS yang setara dengan lebih kurang 8,5 juta hingga 11 juta rupiah per kapita per bulan. Capaian yang cukup spektakuler tersebut akan direalisasikan melalui penggunaan “sistem ekonomi terbuka” yakni: sistem ekonomi yang mengutamakan peran pasar meski peran pemerintah tetap besar”.

Jelas dari ungkapan presiden dan pembantunya di atas, tatanan ekonomi Indonesia, diakui atau tidak, tidak lain adalah—atau paling tidak, sebagaimana dikemukakan, lebih mengarah ke tatanan ekonomi neoliberasme yang didefinisikan oleh Martinez dan García (2001) sebagai “…. a modern politicoeconomic theory favoring free trade, privatization, minimal government intervention in business, reduced public expenditure on social services, etc.” Di dunia, lanjut mereka, neoliberalisme diterapkan oleh lembaga keuangan dunia yang sangat kuat yakni International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan the Inter-American Development Bank. Ciri lain dari ekonomi neoliberalisme adalah fokusnya yang kuat pada pertumbuhan ekonomi yang biasa direpresentasikan, antara lain, oleh produk domestik bruto (PDB). Dampak langsung dari diterapkannya sistem ekonomi neoliberalisme adalah turunnya upah sebesar 40 hingga 50 persen dan meningkatnya biaya hidup hingga 80 persen pada tahun pertama pemberlakuan NAFTA (North America Free Trade Agreement) di Meksiko. Lebih dari 20 ribu unit usaha kecil dan menengah mengalami kepailitan dan tidak kurang dari seribu unit badan usaha milik pemerintah (semacam BUMN) diprivatisasi. Berdasarkan pada fenomena tersebut, ada pihak yang mengatakan bahwa neolibelisme di Amerika Latin tidak lain adalah neokolonialisme—bentuk penjajahan baru.

Meskipun belum didukung oleh data empiris yang akurat, gejala seperti apa yang dialami Meksiko, yakni banyaknya unit usaha kecil dan menengah yang

mengalami kepailitan dan adanya sejumlah unit badan usaha milik pemerintah yang diprivatisasi, di Indonesia sudah mulai menampakkan wajahnya. Kondisi tersebut ditambah dengan semakin melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian serta tingginya tingkat kerusakan ekologi akibat eksploitasi besar-besaran, mengindikasikan bahwa sebenarnya tatanan perekonomian yang diterapkan di Indonesia adalah neoliberalisme. Bahkan, lebih tegas ia mengemukakan bahwa setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung semakin dalam. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dalam Tatanan Ekonomi Kerakyatan Indonesia dan Era Globalisasi. Konstituen utama sistem ekonomi kerakyatan adalah kelompok masyarakat yang termarjinalkan dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal. Mereka, secara garis besar, adalah kelompok tani, kelompok buruh, kelompok nelayan, kelompok pegawai negeri sipil golongan bawah, kelompok pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah serta kelompok miskin di perkotaan. Sementara itu, koperasi jelas diungkapkan dalam penjelasan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 merupakan bangun perusahaan yang sesuai untuk menjadi wadah perekonomian rakyat. Dengan demikian, koperasi dan usaha kecil dan menengah merupakan bagian integral dari sistem ekonomi kerakyatan.

Dilihat dari jumlah unit usaha dan penyerapan tenaga kerja, usaha mikro, kecil, dan menengah menempati posisi penting dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan oleh data yang mengindikasikan bahwa jumlah usaha kecil di Indonesia pada 2009 tercatat tidak kurang dari 52 juta orang (99,92%). Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha kecil tercatat lebih dari 93 juta orang (88,59%). Namun, kontribusi usaha kecil terhadap kegiatan ekspor masih relatif kecil, yaitu sebesar 5,38% (Kemenkop dan UKM, 2010). Perbandingan kinerja antara usaha mikro dan kecil, usaha menengah, dan usaha besar juga dapat dilihat dari nilai tambah yang dihasilkan untuk setiap sektor industrinya. Relatif masih kecilnya sumbangan UKM, termasuk di dalamnya IKM, pada PBD umumnya dan pada nilai ekspornya khususnya disebabkan oleh sejumlah kelemahan yang dimiliki sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja ini. Sebagaimana dilaporkan OECD (2002), kelemahan utama industri kecil dan menengah (IKM) di Indonesia mencakup aspek berikut: (i) orientasi pasar; (ii) kualitas sumberdaya manusia; (iii) penguasaan teknologi; (iv) akses pasar; dan (v) permodalan. Koperasi merupakan salah satu pilihan bentuk organisasi ekonomi dalam menghadapi era globalisasi. Alasannya adalah karena koperasi sejak kelahirannya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama yang didasari oleh prinsip “self help and cooperation.” Sejalan dengan pernyataan di atas, koperasi dipandang memilik peranan strategis dalam perekonomian Indonesia, antara lain, karena tiga bentuk eksistensi koperasi Ketiga bentuk eksistensi dimaksud, adalah: (i) koperasi dipandang sebagai lembaga yang

menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat; (ii) koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain; dan (iii) koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Tentang pentingnya peranan koperasi dalam perekonomian Indonesia, bahwa koperasi di Indonesia, yang pendiriannya dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya yakni memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara. Dapat disimpulkan bahwa koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan bentuk pengejawantahan ekonomi kerakyatan—sistem perekonomian yang lebih mementingkat kesejahteraan dan kemakmuran orang banyak bukan orang per orang. Kedua bentuk organisasi ekonomi ini, selain merupakan konstituen system ekonomi kerakyatan, juga merupakan bentuk organisasi ekonomi yang cocok bagi karakteristik bangsa Indonesia yang lebih bersifat “homo societas” daripada “homo economicus” yakni lebih mengutamakan hubungan antarmanusia daripada kepentingan ekonomi atau materi.

KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH : BEBERAPA KELEMAHAN DAN HAMBATAN Baik koperasi maupun usaha mikro, kecil, dan menengah, dilihat dari definisi dan ruang lingkup serta karakteristik anggotanya yakni kecil ruang lingkup usahanya dan anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga terbatas, memiliki sejumlah hambatan dalam upaya memainkan perannya dalam “kancah” perekonomian nasional. Kelemahan yang dimiliki oleh usaha mikro, kecil, dan menengah, erat kaitannya dengan karakteristik yang dimilikinya. Usaha mikro, kecil, dan menengah secara umum memiliki karakteristik berikut: (i) manajemen berdiri sendiri, dengan perkataan lain, tidak ada pemisahan yang tegas antara pemilik dan pengelola perusahaan; (ii) pemilik biasanya juga berperan sebagai pengelola; (iii) modal umumnya disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik modal; (iv) daerah operasinya umumnya lokal, walaupun adanya sejumlah kecil UMKM yang memiliki orientasi lebih luas bahkan beroreintasi ekspor; (v) ukuran perusahaan (firm size), baik dari segi total aset, jumlah karyawan maupun sarana prasarana relatif kecil. Seiring dengan karakteristiknya yang spesifik tersebut, usaha mikro, kecil, dan menengah memiliki beberapa kelemahan (weaknesses), yaitu: 1. Kekurangmampuan dalam menangkap peluang pasar yang ada dan dalam memperluas pangsa pasar; 2. Kekurangmampuan dan keterbatasan dalam mengakses sumber dana (modal) dan kelemahan dalam struktur permodalan;

3. Rendahnya kemampuan dalam bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia; 4. Keterbatasan jaringan usaha kerjasama antarpelaku usaha mikro, kecil, dan menengah; 5. Berkaitan dengan kelamahan butir (v) adalah terciptanya iklim usaha yang kurang kondusif, karena cenderung berkembang kearah persaingan yang saling mematikan; 6. Program pembinaan yang dilakukan masih kurang terpadu; dan 7. Kkurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah.

Kelemahan-kelemahan yang bersifat struktural di atas dapat diatasi dan akan menjadi sumber kekuatan, jika diadakan perbaikan-perbaikan dalam struktur organisasi. Pemerintah menyadari bahwa upaya pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan bagian penting dari upaya mewujudkan bangsa yang berdaya-saing serta menciptakan pembangunan yang merata dan adil. Langkah pertama dalam upaya mengonversikan kelemahan menjadi kekuatan adalah dengan mengubah asumsi yang memandang koperasi dan UMKM sebagai lembaga usaha yang berskala terlalu kecil untuk diperhatikan, lemah, terbelakang, dan, dengan sendirinya, patut dikasihani.

Oleh karena itu, program-program pemberdayaan tidak dikemas seperti program charity, yang menganggap bahwa anggaran yang dikeluarkan semata-

mata merupakan alokasi dana sosial tanpa upaya untuk meningkatkan kemandirian dan kedewasaan berpikir para pelaku usaha tersebut. Tidak berbeda dengan usaha mikro, kecil, dan menengah, koperasi juga memiliki sejumlah kelemahan. Tiga di antaranya yang paling menonjol,: (i) modal anggota yang relatif sedikit dan lemah dalam pengelolaannya; (ii) kualitas sumberdaya manusia yang mengelola koperasi yang relatif rendah (kemampuan manajemen yang masih rendah); (iii) kurang terjalinnya kerjasama, baik antarpengurus, antar-anggota, antara pengurus dan Pengawas maupun antara pengurus dan anggota; dan (iv) proses pengambilan putusan yang bersifat demokratis cenderung menghasilkan putusan yang kurang efisien. Berkaitan dengan keempat kelemahan koperasi di atas, pada umumnya koperasi di Indonesia tidak memiliki daya saing dan dilihat dari posisi bisnisnya sebagian besar koperasi berada pada posisi “bertahan” dan cenderung ke arah “lemah.” Secara lebih lengkap karakteristik koperasi di Indonesia disajikan dalam tabel berikut. BEBERAPA ALTERNATIF LANGKAH KE DEPAN Bertolak dari sejumlah kelemahan yang dimiliki baik oleh koperasi maupun usaha mikro, kecil, dan menengah, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, sejumlah alternatif langkah dapat ditawarkan untuk mengatasinya. Secara garis besar, langkah yang perlu diambil untuk lebih memberdayakan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah,: (i) revitalisasi peran koperasi dan perkuatan posisi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam system

perkonomian nasional; (ii) memperbaiki akses koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap permodalan, teknologi, informasi, dan pasar serta memperbaiki iklim usaha; (iii) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan; dan (iv) mengembangkan potensi sumberdaya lokal. Secara lebih teknis dengan melakukan pendekatan 3C, yakni competition (persaingan—dalam bentuk system informasi terbuka, sistem legal, model bisnis yang dinamis, dan penguatan kapasitas pengurus/manajer), cooperation (kerjasama—dalam bentuk kerjasama selektif, pendidikan dalam penyusunan/perubahan model bisnis, dan kemitraan dengan public dan perguruan tinggi), dan concentration (konsentrasi— dalam bentuk spesialisasi produk, penentuan target produk). Ketiga pendekatan di atas lebih bersifat institusional atau kelembagaan— dalam hal lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas perkembangan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Dari sisi praktis, langkah yang perlu diambil dalam upaya memberdayakan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, harus didasarkan pada kelemahan yang ada. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan hal yang pokok baik pada koperasi maupun maupun usaha mikro, kecil, dan menengah. Program pelatihan dan pendampingan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah yang bersifat terpadu dan berkesinambungan merupakan salah satu pilihan terbaik. Namun, perlu ditekankan di sini bahwa aspek kemandirian harus lebih diutamakan. Artinya, inisiatif pengadaan atau pelaksanaan program pelatihan dan pendampingan harus berasal dari pihak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau dari pihak pengurus dan anggota koperasi.

Langkah yang dapat dilakukan atau disumbangkan oleh pihak perguruan tinggi untuk pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah bertolak dari fungsi dan tugasnya yang tercakup dalam tri darma perguruan tinggi: pendidikan; penelitian; dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui ketiga kegiatan tersebut perguruan tinggi dapat melakukan banyak hal, baik berupa pendidikan (pelatihan dan pendampingan), penelitian (dalam upaya menganalisis pelbagai aspek tentang koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah) maupun program pengabdian kepada masyarakat, yang fokus utamanya adalah koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan beragam aspek yang berkaitan dengannya. Dengan pendekatan yang sistematis semua upaya yang dilakukan akan lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan. KOPERASI DAN UKM SEBAGAI TONGGAK KEBANGKITAN PEREKONOMIAN INDONESIA Untuk mencapai pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup perlu adanya penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi, adanya pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural dan adanya pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Salah satu cermin dari sistem ekonomi kerakyatan adalah Koperasi. Koperasi mengutamakan kesejahteraan bagi anggotanya, hanya saja saat ini eksistensi Koperasi itu sendiri telah meredup seiring dengan perkembangan di era

Pasar berbas saat ini. Seperti yang kita ketahui bahwa Pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan ilmu ekonomi “Mazhab Amerika”, pulang ke negerinya dengan penguasaan peralatan teori ekonomi yang abstrak, dan serta merta merumuskan dan menerapkan kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan, yang menurut mereka juga akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Keangkuhan dari pakar-pakar ekonomi dan komitmen mereka pada kebijakan ekonomi gaya Amerika merupakan kemewahan yang tak lagi dapat ditoleransi Indonesia. Praktek-praktek perilaku yang diajarkan paham ekonomi yang demikian, dan upaya mempertahankannya berdasarkan pemahaman yang tidak lengkap dari perekonomian, hukum, dan sejarah bangsa Amerika, mengakibatkan terjadinya praktek-praktek yang keliru secara intelektual yang harus dibayar mahal oleh Indonesia. Pola pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan sudah harus dibuang, bagaimana tidak? jika terbukti menyengsarakan rakyat dan menimbulkan ekses ketidakadilan. Sekarang kita harus beralih pada strategi pembangunan yang dapat dinikmati seluruh rakyat secara adil dan merata. Strategi yang berbasis pemerataan

yang

diikuti

pertumbuhan

lebih

menjamin

keberlanjutan

pembangunan, dimana dalam strategi tersebut sangat dibutuhkan adanya keberpihakan pada rakyat artinya pembangunan harus ditujukan langsung kepada yang memerlukan dan program yang dirancang harus menyentuh masyarakat serta mengatasi masalah serta sesuai kebutuhan rakyat, harus mengikutsertakan dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat sehingga bukan lagi kebijaksanaan pembangunan

ekonomi dari atas ke bawah ( top dowm) seperti pada masa Orba melainkan pembangunan alternatif yang bersifat dari bawah ke atas (buttom up), menciptakan sistem kemitraan yang saling menguntungkan, menghindari kegiatan eksploitasi keberadaan usaha kecil menengah dan koperasi untuk kepentingan pengusaha besar. Hal ini perlu ditegaskan karena kemenangan dalam pergulatan perdagangan pasar bebas tidak akan tercapai tanpa adanya rasa kebersamaan dan kesatuan di kalangan dunia usaha. Proses industrialisasi sebaiknya dimulai dari daerah pedesaan berdasarkan potensi unggulan daerah masing-masing dengan orientasi pasar dan ini sejalan dengan era otonomi daerah yang merupakan realitas mayoritas penduduk Indonesia

dapat

dilakukan

dengan

memanfaatkan

potensi

setempat.

Berkembangnya kegiatan sosial ekonomi pedesaan akan membuat desa berkembang menjadi jaringan unggulan perekonomian bangsa yang didukung infra struktur dan fasilitas lainnya seperti pusat-pusat transaksi (pasar) yang terjalin erat dengan kota-kota atau pintu gerbang pasar internasional. Jalinan ekonomi desa dan kota ini harus dijaga secara lestari dan dalam proses ini harus dihindari penggusuran ekonomi rakyat dengan perluasan industri berskala besar yang mengambil lahan subur, merusak lingkungan, menguras sumber daya dan mendatangkan tenaga kerja dari luar. Dalam pelaksanaan ekonomi kerakyatan harus benar-benar fokus pada penciptaan kelas pedagang / wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan tangguh. Untuk merealisaskannya, pemerintah seharusnya mengalokasikan

anggaran yang lebih besar dan memadai bagi pengembangan usaha kecil dan menengah ini. Inilah peran yang harus dimainkan pemerintah dalam megentaskan rakyat dari kemiskinan menghadapi krisis ekonomi. Adanya kemauan politik pemerintah untuk membangkitkan kembali ekonomi kerakyatan merupakan modal utama bagi bangsa untuk bangkit kembali menata perekonomian bangsa yang sedang terpuruk ini. Dalam pelaksnaannya pemerintahan harus diisi oleh orang-orang yang memiliki komitmen kerakyatan yang kuat karena mereka akan berjuang mengangkat kembali kehidupan rakyat yang miskin menuju sejahteraan karena kesalahan dalam memilih orang pada posisi-posisi penting ekonomi akan memperpanjang daftar penderitaan rakyat, jika mereka tidak memiliki simpati yang ditingkatkan menjadi empati terhadap denyut nadi kehidupan rakyat dengan menyederhanakan birokrasi dalam berbagai perizinan, menghapus berbagai pungutan dan retribusi yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi, menciptakan rasa aman dan sebagainya yang akan menghasilkan suasana kondusif bagi dunia usaha untuk meningkatkan kinerjanya. Di sisi lain rakyat sendiri harus mampu mengubah mentalnya dari keinginan menjadi pegawai menjadi mental usahawan yang mandiri, untuk itu peningkatan sumberdaya manusia melalui berbagai pendidikan dan pelatihan menjadi penting karena dalam meningkatkan ekonomi rakyat diperlukan adanya mental wiraswasta yang tangguh dan mampu bersaing dalam dunia bisnis di era pasar bebas. Sehingga rakyat harus bisa menciptakan lapangan kerja, bukan mencari kerja. Makin besar dan berkembang usaha mereka akan makin banyak

tenaga kerja tersalurkan. Ini tentu menjadi sumbangan yang tidak kecil bagi penciptaan lapangan kerja baru dan pengurangan jumlah pengangguran. Mari kita bersama-sama untuk menghidupkan kembali ekonomi kerakyatan yang menjadi tonggak kebangkitan perekonomian bangsa kita di tengah-tengah arus pasar bebas saat ini dengan semangat berwirausaha, jangan hanya bisa bergantung sepenuhnya pada pemerintah tetapi bagaimana kita belajar untuk menjadi masyarakat yang mandiri demi keberlangsungan kita bersama.

PENUTUP Koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan bentuk organisasi ekonomi yang selaras dengan sistem ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Melalui pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan—perumbuhan yang dibarengi dengan pemerataan—di mana kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin” semakin sempit, akan dapat diwujudkan. Upaya ke arah yang—saya yakini— dicita-citakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia tersebut merupakan tanggung jawab semua pihak atau semua pemangku kepentingan (stakeholders) yakni rakyat di segala lapisan dan pemerintah. Peningkatan

kualitas

sumberdaya

manusia

pelaku

usaha

dan

pengelola/pengurus serta anggota koperasi dalam arti luas merupakan kunci dari semua upaya pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Dengan demikian, produk domestik bruto (PDB) per kapita yang tinggi dan

indeks pembangunan manusia (IPM) yang juga tinggi dibarengi dengan kecilnya kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin” atau pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan sosial pada saatnya akan terwujud.

STUDI KASUS Formulasi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo dalam Pemberdayaan Pelakau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Danu Ramdhana Abstrak Penelitian

ini

mengkaji

tentang

formulasi

kebijakan

Pemerintah

Kabupaten Probolinggo dalam pemberdayaan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) melalui perspektif kebijakan publik. Penulis mengambil daerah penelitian UMKM di Kabupaten Probolinggo dikarenakan potensinya yang cukup potensial di Provinsi Jawa Timur. Oleh karenanya, faktor kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Probolinggo terhadap pelaku UMKM, yakni formulasi kebijakan dalam pemberdayaan pelaku UMKM, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi formulasi kebijakan tersebut, serta interaksi antar aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo akan disoroti dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan data kualitatif. Data diperoleh dari wawancara dan studi dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat

disimpulkan bahwa formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo terkait pemberdayaan pelaku UMKM dilakukan dengan menggunakan model sistem melalui pendekatan bottom up atau dengan melalui jaring aspirasi masyarakat. Hal ini, sesuai dengan teori negara kesejahteraan (welfare state) di mana pemerintah dituntut tanggung jawabnya untuk menjamin kesejahteraan warganya. Faktor pendukung dan penghambat seperti permodalan dan teknologi serta dukungan pemerintah menjadi bahan pertimbangan dalam formulasi kebijakan tersebut. Interaksi antara pemerintah kabupaten dan masyarakat serta interaksi antara pemerintah kabupaten dan DPRD pada formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo lebih mencerminkan proses interaksi dalam bentuk partisipatif dan asosiatif. Hal ini sesuai dengan teori sistem David Easton dimana dalam formulasi kebijakan terdapat interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan dengan lingkungannya. PENDAHULUAN Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan bagian dari roda kegiatan ekonomi kerakyatan yang pada awalnya sudah berkembang dan besar. Peranan UMKM sangat besar jika dilihat dari aspek-aspek, seperti peningkatan kesempatan kerja, sumber pendapatan, pembangunan ekonomi pedesaan, dan peningkatan ekspor nonmigas. Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi UMKM di Provinsi Jawa Timur di mana saat ini jumlahnya mencapai 8.204 dari keseluruhan 4.211.541 UMKM di Jawa Timur. Kebanyakan UMKM di Kabupaten Probolinggo terkonsentrasi pada sektor perdagangan, pangan, olahan pangan, tekstil, dll. Dalam hal ini, UMKM di

Kabupaten Probolinggo dimaksudkan untuk mendukung pengembangan sistem ekonomi kerakyatan yang menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam menjawab tantangan perekonomian bangsa ke depan. Kabupaten Probolinggo mempunyai track record yang bagus dalam pengembangan sentra UMKM dan menyimpan banyak sekali potensi dan peluang usaha yang dapat dimanfaatkan. Peranan UMKM di Kabupaten Probolinggo amat vital untuk dapat mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki pola pertumbuhan ekonomi yang signifikan di Jawa Timur. UMKM di Kabupaten Probolinggo tidak lagi hanya dipandang sebelah mata saja bahkan sekarang sudah diakui merupakan salah satu pilar utama pendukung kekuatan ekonomi bangsa. Pada tahun 2012, Bupati Probolinggo, Hasan Aminuddin, menerima penghargaan Satya Lencana Bidang Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kalimantan Timur. Penghargaan Satya Lencana Pembangunan bidang Koperasi dan UKM ini diberikan kepada tokoh yang telah berjasa kepada pembangunan negara di bidang Koperasi dan UKM. Penilaian penerima penghargan Satya Lencana Pembagunan ini dilakukan oleh tim Kementerian Koperasi dan UKM kepada tokoh yang memiliki komitmen, dedikasi dan usaha yang keras dalam mengembangkan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Kemudian pada bulan Juli 2013, pada puncak peringatan Hari Koperasi Nasional ke-66 di Halaman Bumi Gora Kantor Gubernur Provinsi NTB, Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Probolinggo, M. Sidik Wijanarko dan Ketua Dewan Koperasi Pimpinan Daerah (Dekopinda) Kabupaten Probolinggo, Joko Rohani Sanjaya,

menerima penghargaan Bakti Koperasi dan UKM atas jasanya dalam memajukan kegiatan koperasi dan UKM di Kabupaten Probolinggo. Penghargaan ini diberikan oleh Menteri Negara Koperasi & UKM Republik Indonesia Syarif Hasan berdasarkan Keputusan Menteri KUKM No. 29/Kep/M.KUM/V/2013. penghargaan tersebut diberikan karena besarnya komitmen pemerintah Kabupaten Probolinggo serta tingginya peran aktif masyarakat dalam menggerakkan UMKM di Kabupaten Probolinggo. Tingginya peran aktif masyarakat dalam menggerakkan UMKM ini dapat dilihat di antaranya dari banyak hal yang dilakukan oleh pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas produknya, yakni dengan saling bertukar informasi dan menjalin networking di antara sesama pelaku UMKM, sering berinteraksi dengan para pengusaha di semua tingkatan, dan yang lebih penting adalah dengan tidak pernah jenuh dalam berkarya. Komitmen Pemerintah Kabupaten Probolinggo sangat besar untuk tetap berupaya dalam memberdayakan UMKM sebagai kekuatan ekonomi rakyat agar mampu turut serta memasuki arus utama perekonomian nasional bersama dengan pelaku ekonomi yang lain yang kondisinya relatif lebih baik dan mampu bertahan dalam krisis keragaman global saat ini. Melihat kondusifnya perkembangan UMKM di Kabupaten Probolinggo ini, penulis tertarik untuk meneliti dan mempelajari tentang bagaimana formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo dalam pemberdayaan pelaku UMKM, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi formulasi kebijakan tersebut, serta bagaimana interaksi antar aktor

yang terlibat dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan data kualitatif. Fokus penelitian ini adalah formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo

dalam

pemberdayaan

pelaku

UMKM,

faktor-faktor

yang

mempengaruhi formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo dalam pemberdayaan pelaku UMKM, serta interaksi antar aktor dalam formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo terkait pemberdayaan pelaku UMKM. Unit analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah lembaga dan individu. Lembaga yang dijadikan unit analisis pada penelitian ini adalah DPRD dan Pemerintah Kabupaten Probolinggo melalui SKPD terkait yakni BAPPEDA, Dinas Koperasi dan UKM, kepala desa, kepala kecamatan dan individu yang dijadikan unit analisis pada penelitian ini adalah pelaku UMKM. Lokasi penelitian ini mengambil tempat di Kabupaten Probolinggo. Subjek penelitian ini adalah Bapak Bambang Supriadi selaku Kabid. Bina Usaha Kecil dan Menengah di Dinas Koperasi dan UKM, Bapak Anis Yahya selaku Kasubbid. Industri Perdagangan, Koperasi, dan Pengembangan Dunia Usaha di BAPPEDA, Bapak Mulabbi Cholili selaku Ketua Komisi B - DPRD Kabupaten Probolinggo, Bapak Yudi Hardwiyanto selaku Kasi. Perekonomian di Kecamatan Leces, Bapak Misnanto selaku Kepala Desa di Desa Kerpangan, dan Ibu Indriati selaku pelaku UMKM. Data penelitian diperoleh dari data primer dan sekunder. Pengumpulan

data dilakukan melalui wawancara dan dokumentasi. Pemeriksaan keabsahan data dengan menggunakan teknik triangulasi sumber data yang dilakukan dengan membandingkan hasil data pengamatan dengan data hasil wawancara dan hasil wawancara dengan dokumen yang terkait, dan analisis data melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992: 20) . FORMULASI KEBIJAKAN TERKAIT PEMBERDAYAAN PELAKU UMKM Formulasi kebijakan dapat dikatakan sebagai tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahapan berikutnya pada proses kebijakan publik. Manakala formulasi kebijakan tidak dilakukan secara tepat dan komprehensif maka hasil kebijakan yang dirumuskan tidak akan bisa mencapai tataran optimal. Hal ini, tampak jelas di dalam formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo mengenai pemberdayaan pelaku UMKM. Formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo terkait pemberdayaan pelaku UMKM dilakukan dengan menggunakan model sistem melalui pendekatan bottom up atau dengan melalui jaring aspirasi masyarakat (Subarsono, 2009: 29). Model ini merupakan model deskriptif karena berusaha menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah. Dalam pembuatan kebijakan terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pada akhirnya akan menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan

berinteraksi dengan organisasi. Dalam model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada diluar batas-batas politik. Kekuatan-kekuatan yang timbul dari dalam lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai masukan-masukan (inputs) sebagai sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan-tuntutan tadi dipandang sebagai keluaran (outputs) dari sistem politik. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi-alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan politik. Di dalam hubungan antara keduanya, pada saatnya akan terjadi umpan balik antara output yang dihasilkan sebagai bagian dari input berikutnya sehingga tidak akan berhenti. Dengan adanya hal ini, Dinas Koperasi dan UKM dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM lebih mempertimbangkan apa yang menjadi aspirasi, tujuan kebutuhan, dan permasalahan yang ditemui melibatkan aktor-aktor tingkat bawah. Jaring aspirasi masyarakat dilakukan melalui forum musrenbang. Hasil dari forum musrenbang tersebut akan dibawa ke forum SKPD untuk diklarifikasi dan disinkronisasikan bersama SKPD terkait agar sesuai dengan tupoksi yang ada. Setelah dari forum SKPD, kemudian hasilnya akan dibawa ke DPRD untuk dibahas lebih lanjut lagi dan disahkan. Hasil dari formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM, tertuang di dalam RENSTRA Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Probolinggo.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FORMULASI KEBIJAKAN TERKAIT PEMBERDAYAAN PELAKU UMKM Titik tolak dari formulasi kebijakan publik adalah memenuhi value of money yang isinya adalah konsep pengelolaaan organisasi sektor publik berdasarkan input-output kebijakan yang menghasilkan efektifitas, efisiensi, dan ekonomis. Jika sebuah formulasi kebijakan dapat memenuhi ketiga kriteria penilaian diatas, artinya kebijakan yang dibuat sudah memenuhi asas pembentukan yang baik, namun di dalam formulasi kebijakan seringkali terdapat beberapa permasalahan yang di antaranya menjadi faktor penghambat terbentuknya kebijakan tersebut. Di sisi lain, terdapat faktor pendukung yang akhirnya

mempengaruhi

keberhasilan

terbentuknya

kebijakan

tersebut.

Sebagaimana yang terlihat dalam formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo terkait pemberdayaan pelaku UMKM. Dalam hal ini, faktor penghambat meliputi adanya pengaruh era globalisasi, daya kreativitas dan inovasi yang sangat kurang, sumber-sumber pembiayaan dan permodalan masih lemah, serta keterbatasan informasi pasar tentang produk-produk unggulan daerah. Sementara itu, faktor pendukung meliputi adanya komitmen pemerintah dalam pemberdayan UMKM, adanya partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan UMKM, adanya produk perundangundangan (UU No. 20 tahun 2008), dan adanya anggaran yang cukup bagi pembinaan UMKM. Untuk itu, pemberdayaan pelaku UMKM menjadi tugas bersama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sehingga mampu menjadi pilar utama ekonomi daerah yang tangguh dan mampu menggerakkan

sektor riil, serta secara bertahap dapat mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan. INTERAKSI AKTOR DALAM FORMULASI KEBIJAKAN TERKAIT PEMBERDAYAAN PELAKU UMKM Aktor yang memiliki kewenangan dan domain dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM dari pemerintah kabupaten adalah pihak Dinas Koperasi dan UKM. Dinas Koperasi dan UKM dalam hal ini sebagai fasilitator, regulator, dan motivator dalam pembuatan kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM karena sesuai dengan TUPOKSI yang ada. Dalam formulasi kebijakan tersebut, Dinas Koperasi dan UKM dibantu oleh banyak pihak. Dalam hal ini, pihak lain yang terlibat dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM adalah BAPPEDA, DPRD, kepala desa, kecamatan, dan masyarakat termasuk di dalamnya pelaku UMKM. Mekanisme dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo memang tidak terlepas dari keberadaan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Sesuai dengan tupoksi yang ada, Dinas Koperasi dan UKM memiliki peran dalam hal melaksanakan urusan rumah tangga daerah di bidang koperasi, usaha kecil, dan menengah yang meliputi perencanaan anggaran, pelaksanaan, pembinaan baik dari sisi kelembagaan dan pengendalian dalam bidang koperasi dan UKM. Jadi yang memiliki inisiatif atau yang menjadi leader dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM adalah Dinas Koperasi dan UKM.

BAPPEDA sesuai dengan TUPOKSI yang ada memiliki peran dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. Dalam hal ini, BAPPEDA lebih pada menghimpun semua kebijakan dan kebijakan yang akan diajukan oleh SKPD terkait untuk disinkronisasikan bersama untuk dijadikan renstra masing-masing SKPD terkait. Di samping itu, peran BAPPEDA juga hanya sebagai fasilitator atau lebih tepatnya tink tank bagi pemerintah kabupaten dalam pengambilan keputusan. Setelah dari BAPPEDA maka hasilnya akan diserahkan ke DPRD bersama SKPD terkait untuk dibahas di sana. DPRD memiliki peranan yang sangat penting dengan cara menempatkan dirinya sebagai legislator yang berfungsi mengawasi jalannya pemberdayaan pelaku UMKM dan memperkuat dukungan terhadap pembuatan dan pelaksanaan pemberdayaan pelaku UMKM sesuai dengan peraturan yang ada. Desa memiliki peran dalam hal melaksanakan forum musrenbang desa atau dapat dikatakan sebagai fasilitator dalam memfasilitasi antara SKPD dengan masyarakat. Jadi, di sini SKPD berkoordinasi dengan desa dan masyarakat. Sama halnya dengan desa, kecamatan memiliki peran dalam hal melaksanakan forum musrenbang kecamatan atau dapat dikatakan sebagai fasilitator dalam memfasilitasi antara SKPD dengan masyarakat dan desa. Jadi, di sini SKPD berkoordinasi dengan kecamatan, desa, dan masyarakat. Sementara itu, masyarakat termasuk di dalamnya pelaku UMKM memiliki peran dalam hal memberikan informasi tentang apa yang menjadi permasalahan yang ada di lapangan. Di sini peran masyarakat sangat besar dalam hal

memberikan gambaran dan kejelasan mengenai permasalahan yang ada di lapangan termasuk permasalahan dalam hal pemberdayaan UMKM. Masyarakat berperan sebagai subjek sekaligus objek dari pembangunan. Sukses tidaknya partisipasi masyarakat tergantung dari seberapa jauh keterlibatan untuk ikut serta dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan UMKM. Di sinilah peranan aktor telah menduduki kursinya masing-masing, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya kebijakan tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan di luar dari tujuan utama yaitu menyejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa peran dari masing-masing aktor dalam formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo terkait pemberdayaan pelaku UMKM sangat besar karena peran dari masing- masing pihak itu semua akan menjadi bahan masukan dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM. Keinginan untuk menyejahterakan masyarakat tidak mungkin dicapai tanpa adanya partisipasi pemerintah, masyarakat, dan DPRD yang kapatibel, tidak saja dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga dalam menjaga supremasi hukum, stabilitas politik, serta keamanan sehingga tidak mungkin kesejahteraan masyarakat tercapai apabila tidak berhasil mempercepat pergerakan roda perekonomian. Dalam hal ini, tampak jelas ketika dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM, masing-masing aktor kebijakan saling berinteraksi satu sama lainnya. Adanya proses interaksi antara institusi penyelenggara pemerintah kabupaten dan masyarakat serta interaksi pemerintah kabupaten dan DPRD sangat kental terasa di dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM. Adanya proses interaksi dapat terlihat ketika

pemerintah kabupaten melalui Dinas Koperasi dan UKM melakukan jaring aspirasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM. Interaksi yang terlibat disini lebih di dalam adanya forum musrenbang. Interaksi antara institusi pemerintah kabupaten dalam hal ini Dinas Koperasi dan UKM dengan masyarakat lebih mencerminkan proses interaksi dalam bentuk partisipatif. Prinsip partisipatif di sini lebih ditekankan pada ikut sertanya masyarakat dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM sesuai dengan kebutuhan dan memudahkan penentuan prioritas (transparansi). Dengan kata lain, masyarakat termasuk di dalamnya pelaku UMKM bukan semata-mata hasil dari produk kebijakan tetapi dari keikutsertaan dalam prosesnya sehingga hal itulah yang tampak dalam interaksi antara pemerintah kabupaten melalui Dinas Koperasi dan UKM dengan masyarakat. Sementara itu, interaksi yang terjadi dalam formulasi kebijakan pemberdayaan pelaku UMKM antara pemerintah kabupaten melalui Dinas Koperasi dan UKM dengan DPRD terkait formulasi kebijakan berjalan dengan lancar. Hal ini dikarenakan pihak Komisi B DPRD dengan Dinas Koperasi dan UKM merupakan mitra kerja sehingga memiliki kepentingan yang sama. Interaksi antara pemerintah kabupaten melalui Dinas Koperasi dan UKM dengan DPRD lebih mencerminkan poses interaksi dalam bentuk asosiatif. Terjadinya kerjasama atau kesepakatan bersama yang berlangsung dalam suatu interaksi merupakan karakteristik utama dalam proses asosiatif. Kerjasama timbul bilamana orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama (Madani, 2011: 47).

TEORI NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) DALAM FORMULASI KEBIJAKAN TERKAIT PEMBERDAYAAN PELAKU UMKM Dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo, pemerintah kabupaten melalui melalui instansi terkait (Dinas Koperasi dan UKM) telah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai tupoksi yang ada ketika dapat merumuskan kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM sehingga dapat memberikan dampak yang positif bagi perkembangan UMKM yang ada di Probolinggo. Dalam hal ini, Dinas Koperasi dan UKM memberikan tanggungjawabnya kepada pelaku UMKM dengan membuat kebijakan yang di dalamnya memuat pembinaan secara berkala baik dari segi teknik, permodalan maupun manajemen. Dalam formulasi kebijakan ini, pemerintah kabupaten melalui melalui instansi terkait (Dinas Koperasi dan UKM) menggunakan model sistem melalui pendekatan bottom up atau dengan melalui jaring aspirasi masyarakat. Jaring aspirasi masyarakat ini dilakukan melalui forum musrenbang. Forum musrenbang yang dilakukan melalui tiga tahap, yakni desa, kecamatan, dan kabupaten. Hasil dari forum musrenbang tersebut akan dibawa ke forum SKPD untuk diklarifikasi dan disinkronisasikan bersama SKPD terkait sesuai dengan TUPOKSI yang ada. Setelah dari forum SKPD, kemudian hasilnya dibawa ke DPRD untuk dibahas lebih lanjut lagi dan disahkan oleh pihak DPRD. Dari adanya formulasi kebijakan

ini memang sesuai dengan komitmen Pemerintah Kabupaten Probolinggo yang sangat besar untuk tetap berupaya memberdayakan UMKM sebagai ekonomi rakyat agar mampu terus serta memasuki arus utama perekonomian nasional bersama dengan pelaku ekonomi yang lain yang kondisinya relatif lebih baik dan mampu bertahan dalam krisis keragaman global saat ini. Dengan adanya hal tersebut, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Probolinggo sesuai dengan teori negara kesejahteraan (welfare state) dimana pemerintah dituntut tanggung jawabnya untuk menjamin kesejahteraan warganya (Rachbini, 2004: 134). Peran negara dianggap sebagai mesin atau power, yang dianggap potensial menjadi sumberdaya ekonomi atau sebaliknya sebagai ancaman yang merugikan perusahaan atau industri. Negara di sini lebih bertugas dalam memainkan peran untuk menciptakan

keadilan publik dan tidak memberikan fasilitas istimewa

untuk individu sehingga menyuburkan praktik perburuan rente ekonomi. Dalam bidang ekonomi, negara bisa mengeluarkan peraturan ekonomi, seperti proteksi, lisensi, dan sebagainya. Inilah yang menjadi pokok bahasan utama dari adanya suatu peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33. Dasar demokrasi ekonomi nasional ditujukan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Kesejahteraan dimaksud bukan orang seorang atau kelompok dan golongan tertentu. Perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Hal itu telah diatur secara tegas dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusi pembangunan ekonomi

nasional. Negara kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila sebab ketentuan dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila sebagai cita hukum akan menguasai hukum dasar baik tertulis maupun tidak tertulis dan akan berfungsi sebagai barometer dan penguji serta landasan hukum dasar yang akan selanjutnya akan menjadi fundamen bagi peraturan perundangan negara Republik Indonesia. Di sini, UMKM merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat. UMKM juga berperan dalam proses pemerataan serta peningkatan pendapatan masyarakat sekaligus pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan stabilitas nasional, namun potensi besar UMKM tersebut tidak seimbang dengan masalah yang dihadapinya. Masalah mendasar antara lain masih rendahnya produktivitas, keterbatasan akses kepada sumber daya produktif seperti modal, teknologi, informasi dan pasar, kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan iklim usaha belum menunjang secara optimal. Pemerintah harus memperkuat sistem koordinasi kebijakan UMKM antar lembaga pusat dan daerah yang adil dalam rangka menuju kesetaraan dan keseimbangan yang proporsional bagi semua pelaku usaha

sehingga produk hukum yang akan dihasilkan berupa sinergi

kebijakan peraturan perundang-undangan dan formulasinya dapat mendukung pengembangan daya saing UMKM. UMKM harus memperoleh kesempatan yang setara, perlindungan, dan pengembangan sebagai wujud kebijakan yang adil kepada kelompok usaha ekonomi rakyat. Oleh karena itu, dengan adanya formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo terkait pemberdayaan pelaku UMKM di Probolinggo, pemerintah berada dalam posisi yang aktif dan

berperan secara dinamis untuk menumbuhkan arah kegiatan ekonomi untuk mencapai kemakmuran ekonomi yang semakin meluas bagi masyarakat banyak sehingga ini sesuai dengan teori negara kesejahteraan (welfare state) yang menuntut tanggungjawab negara terhadap kesejahteraan para warganya.

TEORI SISTEM DAVID EASTON DALAM INTERAKSI AKTOR YANG TERLIBAT FORMULASI KEBIJAKAN TERKAIT PEMBERDAYAAN PELAKU UMKM Mekanisme dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo memang tidak terlepas dari keberadaan aktoraktor yang terlibat di dalamnya. Dalam hal ini, aktor tersebut berasal dari pihak Dinas Koperasi dan UKM, BAPPEDA, DPRD, kepala desa, kepala kecamatan, dan masyarakat yang di dalamnya termasuk pelaku UMKM yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Adanya proses interaksi yang terjadi antara pemerintah kabupaten dan masyarakat serta interaksi antara pemerintah kabupaten dan DPRD pada proses formulasi kebijakan pemerintah kabupaten memang menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan dari adanya formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM. Interaksi antara institusi pemerintah kabupaten dengan masyarakat yang terjadi lebih mencerminkan proses interaksi dalam bentuk partisipatif. Prinsip partisipatif disini lebih ditekankan pada ikut sertanya masyarakat dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM yang sesuai dengan kebutuhan dan memudahkan penentuan prioritas

(transparansi). Di lain pihak, interaksi antara pemerintah kabupaten dengan DPRD yang terjadi lebih mencerminkan proses interaksi dalam bentuk asosiatif. Hal ini dikarenakan terjadinya kerja sama atau kesepakatan bersama yang berlangsung dalam suatu interaksi merupakan karakteristik utama dalam proses asosiatif. Kerja sama timbul bilamana orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingankepentingan yang sama. Interaksi yang terlihat di dalam formulasi kebijakan ini dapat dikatakan sebagai hasil dari suatu sistem politik. Hal ini sesuai dengan teori sistem David Easton di mana dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (input dan output) (Rahman, 2012: 11). Input terdiri atas dua jenis yakni tuntutan dan dukungan. Tuntutan timbul bila individu-individu atau kelompok-kelompok setelah memperoleh respons dari adanya peristiwa-peristiwa dan keadaan yang ada di lingkungannya berupaya mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Tuntutan dalam kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM ini berasal dari sistem politik yang terdiri dari pihak Dinas Koperasi dan UKM, BAPPEDA, DPRD, kepala desa, kepala kecamatan, dan masyarakat yang di dalamnya termasuk pelaku UMKM saling berinteraksi dalam suatu kegiatan atau proses untuk mengubah input menjadi output. Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor di dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Sistem politik disini adalah sekumpulan struktur

untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Dukungan dan sumber-sumber diperlukan untuk menunjang tuntutantuntutan yang telah dibuat tadi. Apakah sistem politik telah berhasil membuat keputusan-keputusan atau kebijakan yang sesuai dengan tuntutan tadi maka implementasinya keputusan- keputusannya akan semakin mudah dilakukan. Menerima keputusan dan mematuhi UU merupakan perwujudan dari pemberian dukungan dan sumber-sumber tadi. Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya disebut sebagai output yang mana merupakan alokasi-alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi. Kebijakan pemberdayaan pelaku UMKM yang tertuang di dalam renstra Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Probolinggo merupakan hasil (output) dari kegiatan politik itu sendiri. Ini adalah bentuk dari apa yang sudah dilakukan Dinas Koperasi dan UKM, BAPPEDA, DPRD, kepala desa, kepala kecamatan, dan masyarakat yang di dalamnya termasuk pelaku UMKM lakukan secara otoritatif untuk dialokasikan kepada seluruh pelaku UMKM di Probolinggo. Karena sifatnya yang otoritatif maka kebijakan itu secara sah dapat dipaksakan pelaksanaannya kepada seluruh pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo. Pengalokasian nilai-nilai (kebijakan) kepada seluruh pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo sudah pasti ada konsekuensinya. Konsekuensi-konsekuensi itu berupa dampak positif atau negatif yang memang diterapkan oleh pembuat kebijakan di mana kebijakan itu bermanfaat dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat termasuk di dalamnya pelaku UMKM itu sendiri.

PENUTUP Pertama, dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM di Kabupaten Probolinggo, pemerintah kabupaten melalui melalui instansi terkait (Dinas Koperasi dan UKM) telah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai TUPOKSI yang ada ketika merumuskan kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Probolinggo sesuai dengan teori negara kesejahteraan (welfare state) dimana pemerintah dituntut tanggung jawabnya untuk menjamin kesejahteraan warganya. Hal ini dapat dilihat ketika dalam formulasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Probolinggo terkait pemberdayaan pelaku UMKM yang dilakukan dengan menggunakan model sistem melalui pendekatan bottom up atau dengan melalui jaring aspirasi masyarakat. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM meliputi faktor penghambat dan faktor pendukung. Dalam hal ini, faktor penghambat meliputi adanya pengaruh era globalisasi, daya kreativitas dan inovasi yang sangat kurang, sumber-sumber pembiayaan dan permodalan masih lemah, serta keterbatasan informasi pasar tentang produkproduk unggulan daerah. Sementara itu, faktor pendukung meliputi adanya komitmen

pemerintah

dalam

pemberdayan

UMKM,

adanya

partisipasi

masyarakat dalam pemberdayaan UMKM, adanya produk perundang- undangan (UU No. 20 tahun 2008), dan adanya anggaran yang cukup bagi pembinaan UMKM.

Ketiga, adanya proses interaksi yang terjadi antara pemerintah kabupaten dan masyarakat serta interaksi antara pemerintah kabupaten dan DPRD pada formulasi kebijakan menjadi salah satu faktor penentu atas keberhasilan dari formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM. Interaksi antara institusi pemerintah kabupaten dengan masyarakat lebih mencerminkan proses interaksi dalam bentuk partisipatif, sedangkan interaksi antara pemerintah kabupaten dengan DPRD yang terjadi lebih mencerminkan proses interaksi yang bersifat asosiatif. Interaksi yang telibat di dalam formulasi kebijakan ini dapat dikatakan sebagai hasil dari suatu sistem politik. Hal ini sesuai dengan teori sistem David Easton dimana dalam formulasi kebijakan terkait pemberdayaan pelaku UMKM terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan dengan lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA Dwijowijoto, Riant Nugroho. (2004) Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Madani, Muhlis. (2011) Dimensi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Miles, M.B, dan Huberman, AM. (1992) Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Rachbini, Didik J. (2004) Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan. Jakarta: Granit. Rahman, Arifin. (2002) Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC. Subarsono, AG. (2009) Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Akbar, Syamsul. (2013) Kadiskop dan UKM Serta Ketua Dekopinda Terima Penghargaan Bakti Koperasi dan UKM. [Diakses tanggal 15 Januari 2014]. http://probolinggokab.go.id/newest/index.php? option=com_content&view=article&id =514:kadiskop-dan-ukm-serta-ketuadekopinda-terima-penghargaan-bakti-koperasi- dan-ukm&catid=1:latestnews&Itemid=102. Fais, Ahmad. (2013) Pemkab Probolinggo Berdayakan UKM. [Diakses 2 Oktober 2013]. http://www.gemari.or.id/artikel/2887.shtml.

Related Documents


More Documents from "Mulia"