Pola Kemitraan Tradisional Pembudidaya Rumput Laut.

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pola Kemitraan Tradisional Pembudidaya Rumput Laut. as PDF for free.

More details

  • Words: 1,234
  • Pages: 6
POLA KEMITRAAN TRADISIONAL PEMBUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Sosiologi Ekonomi Kasus Desa Punaga) By : Dr. Harnita Agusanty Komuna, S.Pi, M.Si1

Pola kemitraan tradisional dalam kerjasama usaha yang terjadi pada masyarakat pembudidaya rumput laut di Desa Punaga mengikuti pola hubungan patron – clientyang terbentuk secara alami. Pola ini merupakan pola lama yang terpahami dalam masyarakat yang ekonominya masih cenderung bersifat subsisten atau paling tidak warna subsistensi masih tersisa. Ada persepsi sosial (social perception) yang tertampilkan dalam masyarakat di desa ini bahwa keselamatan ekonomi di bangun dalam basis kebersamaan dengan pembenaran nilai-nilai komunalitas, sehingga lembaga punggawa-sawi (patron-klien) yang sangat akrab dalam masyarakat pesisir diorientasikan untuk keselamatan sosial-ekonomi sebagai warga komunitas yang dalam pandangan Scott (1983) disebut sebagai hubungan moral ekonomi dalam rana subsistensi komunitas lokal. Secara faktual fenomena ini masih mewarnai berbagai aktivitas masyarakat di Desa Punaga dengan berbagai variasinya.

Menurut Arief

(2007) Keberadaan kelembagaan tradisional punggawa-sawiyang masih tetap eksis dan mendapat penguatan dari masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil, tidak terlepas dari persoalan yang klasik bahwa tidak seluruh warga komunitas desa memiliki akses yang sama dalam proses ekonomi, baik

dalam

berproduksi

maupun

berkonsumsi.

Bahkan

dalam

perkembangan saat ini berbagai ketimpangan justru semakin mewarnai dalam perkembangan ekonomi masyarakat desa pesisir. Ketimpangan 1

Staf BBAP Takalar, Departemen Kelautan dan Perikanan

ekonomi yang terjadi inilah yang menghubungkan atau mengitegrasikan antara dua lapisan sosial, yaitu mereka yang memiliki akses dan kapital dan mereka yang tidak memiliki akses dan kapital sama sekali. Konteks hubungan dari substansi esensi yang terjalin tersebut, tentunya dilandasi oleh kepentingan diantara ke dua belah pihak.

Dimana

pada pihak pembudidaya rumput laut (klien ; sawi) dalam kajian ini, telah menjadi suatu keharusan bagi dirinya bahwa dalam menjalankan kegiatan usaha harus ditunjang oleh ketersediaan sarana produksi seperti modal, bibit, teknologi dan sebagainya.

Sementara bagi pihak pemilik modal

(patron ; punggawa), untuk mengakumulasi kekayaannya membutuhkan adanya orang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan produksi sehingga dapat diberikan modal usaha dan kepadanya dapat ditarik keuntungan yang berganda. Fenomena ini memperlihatkan bahwa struktur berdasarkan produksi pada komunitas pembudidaya rumput laut merupakan hubungan kerja yang sifatnya vertikal (hirarkis), dengan ditandai oleh adanya satu pihak yang mempunyai dominasi lebih kuat dibanding pihak lain, yang berdampak terhadap terjadinya hubungan ketergantungan yang besar antara pekerja terhadap

pemilik

modal.

Namun

demikian,

terlepas

dari

hubungan

ketergantungan yang terjadi dalam hubungan produksi, jika dihubungkan dengan KEPMEN Pertanian mengenai Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian (DEPTAN, 1997) dengan pendasaran pada (Pasal 4) yang menjelaskan bahwa kemitraan usaha pertanian/perikanan dapat dilaksanakan dengan berbagai pola, yaitu; pola inti plasma, pola sub kontrak, pola dagang umum, pola warlaba, pola keagenan, serta pola kerjasama operasional agribisnis (KOA). Berdasarkan penjelasan diatas, maka secara umum pola kemitraan tradisional pembudidaya rumput laut di Desa Punaga, dapat disejajarkan atau berada pada tataran pola kerjasama operasional agribisnis (KOA). Dimana hubungan kemitraan yang terjadi mengharuskan kelompok mitra

(sawi) menyediakan sarana (lahan) dan tenaga, sedangkan perusahaan mitra (punggawa) menyediakan modal/biaya, bibit dan teknologi sehingga menghasilkan produk.

Pembagian Hasil Sesuai dengan Kesepakatan Gambar 1. Pola Kemitraan Tradisional (PKT) yang Dipersamakan dengan Model Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Namun yang menjadi menarik dengan pola kemitraan tradisional (PKT) seperti ini adalah hubungan usaha yang terbentuk tidak hanya berdimensi ekonomi tetapi juga tertafsirkan dalam dimensi sosial, sehingga kedudukan punggawa dalam komunitas pembudidaya tidak ditempatkan dalam posisi mitra ”duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” tetapi di pandang kedudukannya lebih tinggi dan terhormat dalam struktur berdasarkan pekerjaan yang juga sekaligus ditokohkan dan terhormal dalam hubungan masyarakat (human relation) secara umum. Proposisi ini terbangun oleh karena adanya peran remunarasi dan manipulasi normatif yang senantiasa punggawa jalankan dengan baik (Sallatang, 1983; Salman, Agusanty, 2002; Arief, 2007). Secara kongkrit fakta empirik ini dapat tercermati apabila ketika ada sawi atau anggotanya yang berhasrat menikah, ada isteri anggotanya yang akan melahirkan atau anaknya sakit, atau ketika biaya hidup sehari-hari anggotanya tidak tercukupi, maka sebagai punggawa ia harus turun tangan dalam rana sentimen group/community

memberikan bantuan material sehingga keluarga sawi atau anggotanya terhindar dari krisis. Menurut informan, sampai standar tertentu, punggawa menganggapnya sebagai bantuan

semata,

tetapi

jika

dianggap

melewati

standar,

bantuan

tersebut

diperhitungkannya sebagai utang sawi yang harus dibayar bila panen berhasil. Konteks ini memperlihatkan bahwa eksistensi atau warna modal sosial masih terpraktekkan dengan baik dalam kemitraan yang sifatnya tradisional melalui ragam variasi sesuai dengan perkembangannya, yang tetap dilandasi oleh faktori kepercayaan (trus), eksistensi jaringan (network), dan kemudahan bekerja sama (easy of cooperation) (Fukuyama,2002). Secara teoritis menurut Damsar (2002) bahwa kuat tidaknya satu ikatan (integritas) tergantung dari besar kecilnya hubungan kepentingan yang terjadi didalamnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peranan pemimpin/punggawa sangat besar artinya dalam hal menjaga integritas anggota kelompoknya.

Kuat-

lemahnya Integritas kelompok dapat teramati dari besar-kecilnya semangat solidaritas melalui pertukaran sosial (resiprositas) kalangan kelompok itu sendiri.

Konteks ini

tentunya juga dapat dijadikan pendasaran akan fenomena kuatnya “kepunggawaan” pada masyarakat pesisir, karena meskipun beberapa hasil penelitian yang telah mempublikasikan dan program-program pemberdayaan masyarakat diintrodusir untuk mengatasi realitas kesenjangan ekonomi yang semakin tajam dikalangan masyarakat pesisir akibat hubungan yang eksploitatif, namun dalam pandangan dari dalam komunitas “kalangan sawi,komunitas grassroot” tidaklah demikian dan seakan-akan tidak peduli akan hal eksploitasi, ketergantungan dan sebagainya dan tetap patuh menjalani hubungan tersebut. Fenomena “kepatuhan” yang tertampilkan dari kalangan sawi seperti apa yang diungkapkan oleh informan, merupakan sebuah kombinasi yang efektif antara remunerasi (pemberian hadiah) dan manipulasi normatif sebagaimana yang ditulis Salman (2006) dalam bukunya “Jagad Maritim”. Dikatakan bahwa konteks remunerasi diberikan oleh punggawa dalam bentuk bagi-hasil dan bonus, sementara manipulasi normatif diperlakukan dalam bentuk pemberian bantuan yang mengikat sawi dalam norma resiprositas.

Meskipun faktanya remunerasi yang diberikan hanya cukup

untuk kebutuhan subsistensi, namun manipulasi normatif (sentimen group)

yang dilakukan punggawa cukup efektif untuk meredam ketidakpuasan sawi yang sekaligus berfungsi untuk mempertahankan kepatuhan individu, keutuhan kelompok, dan pencitraan yang baik dimata sawi maupun dalam masyarakat.

Konteks merupakan legitimasi hubungan patron-clien dalam

perspektif ekonomi dan sosial. Legitimasi patron-clien tercirikan melalui adanya pemberian perlindungan, keuntungan, barang dan jasa (pekerjaan) di satu pihak (patron), yang kemudian diterjemahkan oleh pihak yang menerima pemberian (clien) atau sawi sebagai “hubungan timbal-balik” yang kurang sepadan.

Sehingga clien atau sawi, menjadikannya sebagai

kewajiban moral untuk membalas pemberian patron melalui pemberian dukungan, jasa-jasa pribadi, kepatuhan, kesetiaan, dan mengikuti dukungan politik dan sebagainya. Secara teoritis Scott (1972) menjelaskan fenomena ikatan patron-clien yang terfokus pada pertukaran tidak setara yang berlangsung antara kedua pihak sebagai berikut :

Dari uraian diatas dapat dirangkum bahwa eksistensi pola kemitraan tradisional dalam karakteristik pola usaha, sedikit-banyaknya dapat dilihat dari dua dimensi kepentingan yang datangnya dikedua belah pihak yaitu; (1) kepentingan

punggawa

dalam

menjaga

integritas

kelompok

sebagai

kelompok produksi dengan tampil tidak hanya sebagai pemilik modal (perusahaan mitra), tetapi juga sekaligus memperlihatkan “kepemimpinan moral” melalui bantuan-bantuan sosial yang diberikan dengan itu akumulasi keuntungan dapat dilipat-gandakan, (2) dimensi kepentingan sawi yang merupakan manifestasi dari refleksi sikap

“savety first”

(dahulukan

selamat) lahir dalam kondisi ekonomi yang rawan subsistensi. Asumsinya

bahwa, sepanjang keamanan subsistensi tetap terjamin dan keterlibatan dalam proses produksi tetap berlanjut, ketimpangan bagi hasil atau eksploitasi yang terjadi bukan sesuatu yang harus dipersoalkan.

Secara

teoritis konteks ini mendukung tulisan Scot (1983), bahwa suatu perlakuan tidak adil akan dianggap eksploitatif oleh pihak yang berada dalam kondisi rawan subsistensi bila : kerangka legitimasi atas perlakuan tersebut memang tidak bisa diterimanya, dan tersedia alternatif status selevel atau lebih rendah yang bisa menampungnya bila ia terpaksa meninggalkan hubungan tidak adil tersebut. Namun demikian, kelemahan dari pola kemitraan tradisional seperti ini adalah sifatnya yang tidak kontraktual menyebabkan pihak kelompok mitra akan sulit menumbuhkan semangat dan kreativitas yang ditandai oleh kurang kondusifnya untuk adopsi inovasi dan teknologi karena adanya dimensi ketergantungan yang terjadi…..!!!!!

Related Documents