Pilpres dalam Pandangan Islam Oleh: Gunarto TINGGINYA tingkat respons masyarakat dalam menyambut hajatan pilihan presiden yang akan diselenggarakan pada 5 Juli mendatang memang menggemberikan. Setidaknya, hal itu merefleksikan kuatnya kesadaran demokrasi yang tumbuh sejak sepuluh tahun terakhir. Begitu kuatnya kesadaran itu, sehingga momentum pilpres tidak semata-mata dianggap sebagai bagian dari keharusan demokratisasi, tetapi juga menjadi bagian dari wilayah keagamaan. Beberapa waktu yang lalu, sejumlah kiai khos dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Syura Ulama Indonesia (SUI) memberi respons khusus terhadap momentum pilpres dalam bentuk fatwa politik. Bagi ulama NU, presiden tidak boleh dipangku oleh kaum wanita. Sebab, menurut mereka bertentangan dengan kaidahkaidah agama (Islam). Bahkan, SUI secara vulgar mengharamkan umat Islam memilih Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perhelatan politik pada 5 Juli mendatang. Terlepas dari pro dan kontra terhadap fatwa politik tersebut, tergambar jelas bahwa, bagi sebagian kalangan, pilpres bukan semata-mata wilayah politik, tetapi juga menjadi tanggung jawab keagamaan. Karena itu, penulis ingin memberi gambaran yang lebih jelas, bagaimana sesungguhnya menyikapi momentum pilpres ini dari persepektif keagamaan, khususnya menurut pandangan Islam. Agama dan Politik Secara doktrinal, sebenarnya muncul banyak varian pendapat dalam Islam tentang hubungan agama dan politik. Pertama, ada sebagian kalangan muslim yang berkeyakinan bahwa antara agama dan politik tidak terpisahkan. Keharusan politik Islam sebanding dengan keharusan agama itu sendiri. Kelompok ini, di samping merujuk pada petunjuk-petunjuk verbal kitab suci, juga didasarkan pada fakta historis berdirinya negara Madinah yang dipersepsi sebagai representasi dari model negara Islam. Kelompok ini bersandar pada ajaran yang menganjurkan agar kaum muslim memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri dengan kualifikasi ketakwaan, keadilan dan seterusnya. Logikanya, tidak mungkin masyarakat muslim menyerahkan otoritas kepemimpinannya kepada orang lain (nonmuslim) yang notabene tidak memahami kepentingan masyarakat muslim. Sebab, nonmuslim sudah pasti tidak beraqidah Islam dan tidak mungkin memahami keharusan-keharusan keadilan sebagaimana amanat ajaran Islam. Karena itu, berkembanglah konsep negara Islam atau sistem teokrasi, sebuah negara (termasuk juga sistem politiknya) yang
didesain secara Islami dan diatur berdasarkan prinsip-prinsip dasar Islam. Kepala pemerintahannya bisa dipilih secara perwakilan oleh lembaga khusus melalui musyawarah (ahl halli wa al aqdi). Atau dilakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat (teokrasi) tetapi dengan kualifikasi-kualifikasi Islami. Kedua, berkembang juga paham yang sebaliknya. Paham ini tidak melihat keharusan politik Islam sebagai bagian dari ajaran agama. Meskipun kelompok ini melihat Madinah sebagai representasi dari negara Islam, bagi mereka itu lebih didasarkan pada kebutuhan sosiologis, bukan pengejawantahan dari doktrin agama. Logikanya, wajar lahir negara Madinah sebagai negara Islam. Sebab, masyarakat muslim Madinah dominan secara politik. Jadi, konteksnya sangat sosiologis. Berkaitan dengan doktrin-doktrin verbal di dalam kitab suci, kelompok ini memandangnya sebagai keharusan etik bagi kualifikasi kepemimpinan yang berlaku umum, baik muslim maupun nonmuslim. Jadi petunjuk-petunjuk kitab suci dianggap sebagai prinsip-prinsip moral yang sangat mendasar bagi kepemimpinan yang kontekstual, tanpa dibarengi dengan penekanan teologis. Sebagai kelanjutan dari pemahaman semacam itu, kelompok ini berkeyakinan bahwa antara wilayah agama dan politik harus dipisah. Agama ya agama itu sendiri. Sementara politik adalah entitas lain lagi yang berdiri sendiri, meskipun pada wilayah etiknya didasari pada prinsip-prinsip keagamaan. Tapi tetap terpisah. Karena itu, pemimpin agama berbeda dengan pemimpin politik. Begitu juga keharusan agama berbeda pula dengan keharusankeharusan politik. Ketiga, muncul pemahaman sintetik yang menggabungkan antara dua paham di atas. Menurut paham ini, meskipun wilayah agama terpisah dari domain politik, tetapi prisip-prinsip politik harus disesuaikan dengan norma-norma keagamaan agar perilaku politik tetap berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah keagamaan. Bagi kelompok ini, yang substansi dalam petunjuk verbal kitab suci adalah seberapa jauh implementasi nilai-nilai Islam dijadikan landasan dalam sistem politik negara, bukan menjadikan negara itu Islam atau tidak. Sebab, menurut mereka banyak negara mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam tetapi tidak Islami. Sebaliknya, negara-negara yang tidak menyebut dirinya sebagai negara Islam, dalam implementasinya justru menganut prinsipprinsip keislaman. Karena itu, kelompok ini lebih menekankan pada substansinya, bukan pada wujud formalnya. Lalu, bagaimana dengan pilpres, apa pandangan Islam? Memilih Pemimpin Sebenarnya, perdebatan kepemimpinan dalam Islam juga mengikuti alur perdebatan tentang relasi politik dan agama seperti
terfragmentasikan ke dalam tiga narasi aliran dan pemahaman seperti tersebut di atas. Sebab, kepemimpinan adalah bagian dari sistem politik negara. Hanya saja, dalam konteks pilpres, penulis ingin memberi beberapa catatan tambahan mengingat (1) Indonesia bukan negara Islam dan (2) pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia. Catatan ini terasa menjadi lebih penting jika dikonfrontasikan dengan munculnya fatwa politik beberapa ulama yang melarang presiden dari kalangan perempuan. Sebenarnya, di dalam kitab suci tidak ada petunjuk khusus yang melarang atau menganjurkan pemimpin harus berjenis kelamin lakilaki atau perempuan. Keharusan pemimpin dari kalangan laki-laki hanya didasarkan pada pemahaman ulama dan pengalaman kekhalifahan yang semuanya berasal dari kalangan laki-laki. Formula semacam itu lazim karena kultur masa lalu peradaban manusia, termasuk Islam sangat bernuansa patriarkhi, sebuah desain kultur yang lebih mensuperioritaskan kaum laki-laki. Maka wajar kalau formulanya sarat dengan nuansa kelaki-lakian. Memang ada sebuah ayat di dalam Alquran yang menyebutkan bahwa "kaum laki-laki adalah qawwamun atas kaum perempuan". Kata qawwamun inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai pemimpin. Karena itu dipahami bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Kenyataannya, kata itu tidak selalu berarti pemimpin. Makna harfiahnya banyak sekali, seperti pembimbing, pelindung, pengatur dan lain sebagainya. Karena itu, banyak pemikir muslim yang menolak pemahaman yang malarang pemimpin perempuan. Sebab, di dalam Alquraan sendiri tidak ada penjelasan yang mensubordinasikan kaum perempuan di bawah kaum laki-laki. Bahkan, tuturan kitab suci justru menceritakan tentang kepemimpinan seorang perempuan yang kemudian diketahui bernama Bilqis, seorang ratu yang hidup semasa dengan Nabi Sulaiman. Tuturan seperti itu memberi kesan kuat bahwa "tidak ada masalah dengan pemimpin perempuan". Dengan argumen semacam itu, perdebatan tentang perempuan ini harus segera dilampaui dengan melihat urgensi kualitatif kepemimpinan itu sendiri tanpa membedakan jenis kelaminnya.Karena pemimpin di Indonesia dipilih secara langsung, maka secara moral tentu saja setiap pemilih menanggung beban etik agar memilih pemimpin dengan kualitaskualitas kebaikan yang sangat masksimal. (29) -H Gunarto, kandidat doktor Ilmu Hukum Undip, Dekan Fakultas Hukum Unissula Semarang