PHOENIX Sore itu, tampak dihiasi dengan permadani jingga. Bersamaan dengan awan putih nan lembut yang bergerombolan dimana – mana. Disaat yang sama pula, seekor burung Cendrawasih betina tengah bertelur diatas sarangnya yang hangat sambil berharap semoga telur – telur yang akan menetas nanti dalam keadaan baik – baik saja. Beberapa minggu kemudian, tiga ekor anak burung Cendrawasih menghiasi sebuah sarang yang mereka tempati dengan bulu – bulu mereka yang indah. Mereka bertiga sangat bangga dengan diri mereka, karena masing – masing dari mereka mempunyai warna bulu yang indah dan menawan. Namun, berbeda dengan saudara mereka yang satu ini. Hanya bias tertunduk lesu dengan perasaan yang sedih dipojok sarang. Warna bulu burung kecil ini… hanya hitam. Hitam pekat dan berserakan, karena memiliki bulu seperti itu, saudara – saudaranya akhirnya mengejeknya dan mengatainya sebagai… “Kecoak Berbulu” seru salah satu saudaranya sambil menunjuk kearahnya. “Dasar kecoak hitam! Mati saja sana! Kau tidak pantas ada disini!” seru salah satunya lagi yang tidak mau kalah. “Buat apa kau hidup dengan bulu hitam jelek seperti itu? Sia – sia saja kau hidup!” ujar yang tertua sambil melangkahkan kakinya ke depan. “Aku tidak suka jika kau ada disini! Merusak pemandangan saja!” Sakit, Cendrawasih berbulu hitam itu selalu merelakan sakit setiap menerima makian dari saudara – saudaranya. Ia selalu saja berharap semoga hari esok tidak akan pernah ada. Namun harapannya itu hanya berupa angan – angan saja. Lalu tiba – tiba saja, sebuah ide terlintas dikepalanya. Ia akhirnya mendapatkan cara agar ia tidak akan pernah lagi mendengarkan makian dari saudara – saudaranya. Ia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Mungkin itu yang terbaik baginya. Keesokan harinya saat induknya pergi mencari makanan, ia memanfaatkan waktu itu sebaik – baik mungkin. Ia lalu berdiri dengan tegak di tepi sarangnya. “Hei bodoh! Apa yang kau lakukan?” Tanya saudaranya yang tertua. “Mau bunuh diri ya? Silakan saja, kami sangat mengharapkan kejadian itu!” Celetuk salah satu saudaranya yang lain. Burung kecil itu tidak menghiraukan apa yang dikatakan saudara – saudaranya. Ia lalu menghela nafas untuk yang terakhir kalinya, lalu…. Ia akhirnya membiarkan dirinya yang lemah tak berdaya itu jatuh ke tanah. Tapi belum sempat ke tanah, tiba – tiba saja setitik cahaya api yang entah dari mana datangnya mengarah ke burung kecil itu. Tidak. Ia tidak terbakar. Setitik cahaya api itu tiba – tiba saja menyelimuti tubuh burung kecil itu. Dan membuat tubuh burung kecil itu semakin besar. Sebesar burung Cendrawasih dewasa. Lalu akhirnya, ia membuka matanya dan membentangkan sayapnya. Kini, bulunya bukan lagi hitam