PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PROFESI DOKTER
Pemerintah melalui UU Praktik Kedokteran membentuk satu majelis khusus bagi memberikan perlindungan kepentingan kedua belah pihak. Majelis khusus tersebut bernaung dibawah Konsil Kedokteran Indonesia yang dikenali sebagai Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, (selanjutnya disingkat MKDKI).1
Pengaturan mengenai MKDKI ini diatur dalam Bab VIII, Pasal 55 UU Praktik Kedokteran, yaitu: (1) Untuk menegakan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, (selanjutnya disingkat MKDKI). (2) MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. (3) MKDKI dalam menjalankan tugasnya adalah bersifat mendiri.
Secara
umum
tugas
MKDKI
adalah
melakukan
penegakan
hukum
atas
penyelenggaraan praktik kedokteran yang merugikan kepentingan pasien. Hal ini adalah sebagaimana tertuang dalam Pasal 64 UU Praktik Kedokteran, yaitu: (1) MKDKI bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan (2) Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.
Sementara itu, dalam Pasal 66 UU Praktik Kedokteran adalah: (1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua MKDKI. (2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat: a. Identitas pengadu,
b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan. c. Alasan pengaduan.
Namun demikian, pengaduan sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat 1 dan ayat 2 tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.1
Secara umum UU Praktik Kedokteran belum memberikan definisi mengenai kesalahan medis dokter atau kelalaian medis. Namun demikian, MKDKI yang merupakan amanah dari UU Praktik Kedokteran adalah satu majelis khusus yang diberi tugas untuk melakukan penilaian terhadap ada tidaknya kesalahan tindakan medis dokter, sekaligus melakukan pemeriksaan, dan memutuskan terkait dengan tindakan dokter yang diduga melakukan satu kesalahan tindakan medis. Akan tetapi, pengaduan pasien atau masyarakat kepada MKDKI tidak menghilangkan haknya untuk melaporkan dugaan kesalahan tindakan medis ini kepada pihak berwenang untuk diproses pidana maupun digugat secara perdata.1
UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran memuat 6 Pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana yaitu Pasal 75 sampai dengan Pasal 80. Dilihat dari subjeknya ada tindak pidana yang subjeknya khusus untuk subjek tertentu dan ada yang subjeknya setiap orang. Tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh subjek tertentu/khusus diatur dalam pasal 75, pasal 76, pasal 79 yaitu tindak pidana hanya dapat dilakukan khusus oleh dokter atau dokter gigi. Tindak pidana yang bisa dilakukan oleh setiap orang diatur dalam Pasal 80. Yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang
perseorangan
dan
korporasi.
Tindak
pidana
dalam
UU
praktek
kedokteran,ditinjau dari rumusannya hanya terdapat Tindak pidana formil dirumuskan sebagai wujud perbuatan yang tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.1
Dokter dapat dikenakan suatu sanksi pidana jika memenuhi beberapa syarat2 yaitu: (1) Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum yaitu perbuatan yang dilakukan telah memenuhi unsur yang ada dalam perundang-undangan dan diancam dengan sanksi pidana ataupun perbuatan yang dilakukan tersebut dirasa tidak patut atau tercela oleh masyarakat (dalam hal peraturan tidak tertulis). (2) Ada kesalahan. Bentuk kesalahan yang dilakukan oleh dokter, menurut C. Berkhouwer & L.D. Vorstman yang sering terjadi disebabkan 3 faktor, yaitu: a. kurang pengetahuan b. kurangnya pengalaman, dan c. kurangnya pengertian. Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi dokter berupa kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culpa levis). Penentuan adanya kelalaian tersebut harus ada secara normative dan tidak secara fisik atau psikis karena sulit untuk mengetahui keadaan batin seseorang yang sesungguhnya. (3) Kemampuan bertanggungjawab. Seperti yang berbunyi dalam Pasal 44 KUHP, bahwa “barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa terganggu karena penyakit”. Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur subjektif sebab melekat pada diri seseorang. Begitu pula dalam kualitas diri seorang dokter. (4) Tidak ada alasan penghapus pidana. Unsur
terakhir
yang
harus
ada
agar
seorang
dokter
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah tidak ada alasan yang dapat menghapuskan pidana. Dasar penghapusan pidana yang dapat dipergunakan dalam tindak medis menurut KUHP adalah sebagai berikut: a. Jiwanya dalam keadaan sakit (Pasal 44 KUHP); b. Overmacht (Pasal 48 KUHP);
c. Pembelaan diri karena terpaksa (Pasal 49 KUHP); d. Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50) KUHP; dan e. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-undang no 29 ttg Praktik Kedokteran 2. Ohoiwutun AT. Op.cit., h.59-63