Pertalian Kekerabatan Antara Raja Sriwijaya Raja Sunda, Raja Wurawari, Raja Dharmawangsa Teguh Dan Raja Bali

  • Uploaded by: Herman Adriansyah AL Tjakraningrat
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pertalian Kekerabatan Antara Raja Sriwijaya Raja Sunda, Raja Wurawari, Raja Dharmawangsa Teguh Dan Raja Bali as PDF for free.

More details

  • Words: 1,251
  • Pages: 5
HUBUNGAN KEKERABATAN RAJA-RAJA SUNDA, JAWA, SUNDA, BALI DAN DAN SUMATERA Atas dasar sumber penelitian dari Prasasti Cibadak Ada pertalian kekerabatan antara raja Sriwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Kadiri Dharmawangsaa Teguh dan raja Bali. Prasasti Cibadak – Sukabumi penting untuk dikemukakan mengingat masih ada para kahli sejarah yang menafsirkan, bahwa prasasti Cibadak menunjukan bukti bahwa Airlangga pernah menancapkan kekuasaannya di tatar Sunda. Menurut Pleyte (1915) didalam bukunya , prasasti tersebut dibuat untuk memperingati kemenangang Sri Jayabhupati dari kerajaan “Harp Gowardhana Uttunggadewa”. Penemuan prasasti merupakan aras yang jelas tuturus sunda. Mengingat sejak satu abad sebelum, atau sejak masa pemerintahan Prabu Dewageng, sunda nyaris tidak ada terberitakan. Dengan ditemukannya prasasti ini maka ditemukan titik terang tentang hubungan penguasa Sunda yang ada diwilayah ini. Sri Jayabhupati Tentang Sri Jayabhupati dituliskan Pleyte dalam buku “Maharaja Cri Jabhupati Soenda’s Oudst Boekende Vorst”. Pleyte mengemukakan hubungan Sri Jayabhupati dengan prasasti Cibadak. Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030‚ - 1042 M). Berkedudukan di Pakuan. Pada masa itu Sriwijaya menjadi sangat ekspansif ditunjang dengan armada lautnya yang kuat sehingga menjadi momok yang menakutkan bagi raja-raja disekitarnya. Untuk menghindarkan konflik, Kerajaan Sunda melakukan hubungan pernikahan antara raja ke 19, Prabu Sanghyang Ageng (Ayah dari Sri Jayabupati) dengan putri Sriwijaya. Jadi ibu Sri Jayabupati adalah seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wura Wuri. Dari pernikahan ini praktis Sri Jayabupati masih kerabat Sriwijaya dan Jawa Timur. Pusataka Nusantara melukiskan kondisi ini, sebagai berikut : ‘Mangkana ta hana pakadangan pantara raja Criwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Jawa Dharmawangsa Tguh mwang raja Bali. Dadyeka yudha nira kawalya rumebut yacawiryya mwang ahyun pinuja’. (Ada pertalian kekerabatan antara raja Sriwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Dharmawangsa Teguh dan raja Bali. Jadi, peperangan diantara mereka

1

itulah hanyalah memperebutkan kemashuran dan ingin dipuja). Memang ada hubungan kekerabatan dari pernikahan kerabat para penguasa waktu itu. Menurut Yoseph Iskandar, : “melalui jaring-jaring perkawinan itulah, terjalin hubungan mesra antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan di Jawa Timur ; Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Sriwijaya ; dan keluarga keraton Sunda dengan keraton Galuh. Bahkan dua adik Sri Jayabhupati diperistri oleh raja Wurawari, musuhnya Dharmawangsa dan Airlangga. Dua orang putri Sri Jayabhupati diperistri oleh menteri dari Bali dan menteri dari Jawa Timur. Sri Jayabupati menikah dengan putri Dharmawangsa, sedangkan adik permaisuri Sri Jayabupati masih sesama putri Dharmawangsa, yaitu Dewi Laksmi bersuamikan Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati dan Airlangga mendapat anugerah gelar dari mertuanya. Hanya saja Sri Jayabupati jarang menggunakan gelar tersebut, hal yang sebaliknya dilakukan oleh Airlangga. Masalah pemberian dan penggunaan gelar Sri Jayabupati pada prasasti tersebut penting untuk dikemukakan, mengingat para penafsir Prasasti Sukabumi sering menyebutkan, bahwa pada masa itu Sunda berada dibawah Jawa Timur (Airlangga). Padahal gelar didalam Prasasti tersebut adalah gelar dari Sri Jayabupati, bukan gelar Airlangga. Pada masa masih sebagai Putera Mahkota Sunda dan keturunan Sriwijaya serta menantu Darmawangsa, Sri Jayabupati menyaksikan permusuhan antara Sriwijaya dengan Dharmawangsa, mertuanya. Pada puncak krisis ia hanya mengalami dan harus menyaksikan mertuanya, Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri tersebut pada tahun 1019 direkam didalam Prasasti Calucuta dan disebut Pralaya. Sriwijaya sendiri dimusnahkan pada tahun 1025 M akibat diserang Kerajaan Chola, India. Kemudian pada tahun 1088 Kerajaan Melayu Jambi menaklukan Sriwijaya dan berkuasa selama 200 tahun. Dua abad selanjutnya kedua kerajaan tersebut menjadi taklukan Kertanagara, dari kerajaan Singhasari, pada masa itu mengirimkan Mahisa Anabrang dalam ekspedisi Pamalayu 1 dan 2, dengan alasan mengamankan jalur pelayaran di Selat Malaka yang rawan pembajakan. Posisi Sunda sangat sulit dari adanya percaturan politik ini. Dalam Pustaka Nusantara dilukiskan :

2

‘Lawan mangkana Sunda i Bhumi Jawa Kulwan nityacah dumadi wyawahana pantara ning raja-raja Criwijaya, Jawa Cina, Cola mwang akweh manih rajya lenya. I sedeng raja haneng Bhumi Jawa Kulwan yatiku rajua Sunda lawan rajya Galuh tah ahyun ri sewaka ring sira kabeh, tan angga dumadi mandalika nira’. (Dengan demikian sunda di Bumi Jawa Barat selalu menjadi rebutan diantara raja-raja Sriwijaya, Jawa, Cina, Cola serta negara-negara lain ; sedangkan raja di Bumi Jawa Barat yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh tidak mau tunduk kepasa semuanya, tidak ingin menjadi raja bawahan mereka). Prasasti Cibadak - Sukabumi Prasasti Cibadak Sukabumi, terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaandugaan. Pertama, bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaannya tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak Ibukota Tarumanagara. Kedua, Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prebu Detya Maharaja. Masalah pemberian dan penggunaan gelar Sri Jayabupati pada prasasti tersebut penting untuk dikemukakan, mengingat para penafsir Prasasti Sukabumi sering menyebutkan, bahwa pada masa itu Sunda berada dibawah Jawa Timur (Airlangga). Padahal gelar didalam Prasasti tersebut adalah gelar dari Sri Jayabupati yang diberikan metuanya (Airlangga), bukan gelar Airlangga. Prasasti Cibadak dibuat bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Saat ini

3

disimpan dim musium pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte) : D 73 : //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapaksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda maharaja shri jayabhupati jayamanahen wisnumurtti samarawijaya shakalabhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikramottunggadewa, maD 96 : gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya cila. Irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra sasti pagepageh. mangmang sapatha. D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan Terjemahannya :

4

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah. Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya demikian. Batu prasasti keempat (D 98) berisi sumpah atau kutukan Sri Jayabupati sebanyak 20 baris yang intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan di surga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup denga kalimat seruan, “I wruhhanta kamung hyang kabeh” (Ketahuilah olehmu para hiyang semuanya). Sumber bacaan : 1. rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984). 2. http ://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh 3. Tjarita Parahyangan - Drs. Atja - Jajasan Kebudayaan Nusalarang (Bandung1968) 4. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Yoseph Iskandar, Drs. Gegersunten – Bandung 1997.

5

Related Documents


More Documents from ""