Nicholaus Suprapto XI-A5/25
Perjanjian Linggarjati Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Akan tetapi, sudah dilakukan beberapa kali perundingan sebelum perjanjian Linggarjati. Namun, perundingan tersebut mengalami kegagalan karena adanya perbedaan pendapat. Berikut merupakan perundingan-perundingan yang telah dilakukan.
Perundingan Awal di Jakarta Pada tanggal 1 Oktober 1945, telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris) dengan pihak Republik Indonesia. Dalam perundingan tersebut, Christison mengakui secara de facto terhadap Republik Indonesia. Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945 mengeluarkan maklumat politik yang berisi keinginan pemerintah RI untuk diakui oleh Inggris dan Belanda. Oleh karena itu, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Di bawa pengawasan dan perantaraan Clark Kerr, pada tanggal 10 Februari 1946 diadakan perundingan Indonesia dengan Belanda di Jakarta. Belanda diwakili oleh Van Mook dan Indonesia diwakili oleh Syahrir. Pada tanggal 27 Maret 1946, Sutan Syahrir memberikana jawaban terhadap usul-usul Van Mook yang berisi: 1. Pemerintah Belanda mengakui kedaulana de facto RI atas Jawa dan Sumatera 2. RI dan Belanda bekerja sama membentuk RIS 3. RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, dan Curacao menjadi peserta dalam ikatan kenegaraan Belanda Usulan tersebut ternyata sudah saling mendekati kompromi. Namun, usaha perundingan tersebut masih perlu ditingkatkan.
Perundingan Hooge Veluwe Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok pembicaraan dalam perundingan itu adalah memutus pembicaraan yang dilakukan di Jakarta oleh Van Mook dan Syahrir. Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan itu,
Syahrir mengirim tiga orang delegasi dari Jakarta, yaitu Mr. W. Suwandi, dr. Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo. Perundingan mengalamai deadlock sejak hari pertama, karena masing-masing pihak sudah mempunyai harapan yang berbeda. Pada akhir pertemuan, draf Jakarta sudah disiapkan. Dari draf tersebut, tidak ada satu pun yang disetujui secara resmi, sehingga tidak dilakukan penandatangan. Oleh karena itu, perundingan Hooge Veluwe dianggap gagal dan diputuskan untuk mengadakan perundingan lagi.
Pelaksanaan Perundingan Linggarjati Kegagalan dalam perundingan Hooge Veluwe, pada April 1946, pemerintah Indonesia memutuskan untuk beralih pada tindakan militer yaitu melakukan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan Sumatra. Namun, genjatan senjata dianggap tidak berpengaruh besar sehingga pemerintah RI beralih untuk melakukan diplomasi. Pada awal November 1946, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat di Linggarjati. Sidang-sidang berlangsung pada tanggal 11 – 15 November 1946. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Perundingan berjalan dengan baik dan menghasilkan perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua pihak. Namun, pada 21 Juli 1947, Belanda mengadakan genjatan senjata operasi militer sehingga mendorong PBB untuk mengeluarkan resolusi. Ada dua resolusi yang diberikan yaitu; menghimbau agar RI dan Belanda segera menghentikan perang dan membentuk Negara Indonesia Serikat. Usulan itu kemudian dikenal dengan istilah “Komisi Tiga Negara”.
Konferensi Malino Dalam situasi politik yang tidak menentu di Indoneisa, Belanda melakukan tekanan politik dan militer di Indonesia. Tekanan ini dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Malino. Konferensi ini diadakan untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Konferensi Malino diselenggarakan pada 15-26 Juli 1946, sedangkan Konferensi Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Di samping itu, Belanda terus mengirim pasukannya memasuki Indonesia. Namun, usaha-usaha diplomasi terus dilakukan.
Tindakan untuk yang dilakukan Belanda kemudian menimbulkan kegelisahan. Oleh karena itu, diadakan rapat di Bandung pada Mei-Juli 1948. Konferensi Bandung itu dihadiri oleh empat negara federal yang sudah terbentuk yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, dan Negara Madura. Rapat itu kemudian diberi nama Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO).