Kompilasi Permasalahan
Direktorat Perjanjian Ekonomi Sosial dan Budaya Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri 2008
TOR DEPLU MENGENAI STUDI TENTANG SISTEM HUKUM SUATU NEGARA TERKAIT DENGAN PROSES PENGESAHAN DAN PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL SERTA PENGOLAHAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH SUATU NEGARA DAN ORGANISASI INTERNASIONAL * TOR ini dilengkapi dengan “Diskusi Professor Ko Swan Sik dengan Bapak Damos Dumoli Agusman berkaitan dengan TOR DEPLU mengenai Studi Tentang Sistem Hukum Suatu Negara Terkait dengan Proses Pengesahan dan Pemberlakuan Perjanjian Internasional serta Pengolahan Naskah Perjanjian Internasional oleh suatu Negara dan Organisasi Internasional”
Permasalahan yang lahir dari Praktek Negara RI tentang Internasional yang perlu mendapatkan penjelasan akademis:
Perjanjian
1. Dalam kaitannya dengan hubungan perjanjian internasional dengan hukum nasional, apakah Indonesia menganut faham monisme atau dualisme? 2. Apakah perjanjian internasional perlu di definisi ulang sehingga mencakup semua perjanjian yang bersifat transnasional? 3.
Apakah loan agreements adalah perjanjian internasional?
4.
Apakah nomenclauture membedakan bobot juridis suatu perjanjian internasional?
5. Apakah lembaga negara di luar eksekutif (MA, BPK, DPR) dapat membuat perjanjian internasional? 6. Apakah Sekjen ASEAN dapat membuat perjanjian dengan negara ketiga atas nama angota ASEAN?
PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM DINAMIKA GLOBAL 1.
Dinamika hubungan masyarakat internasional yang sedemikian pesat, sebagai akibat dari semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang membawa dampak pada percepatan arus globlalisasi, mengakibatkan hukum perjanjian internasional juga mengalami perkembangan pesat seiring dinamika masyarakat internasional itu sendiri. Sekalipun Literarur hukum internasional telah menyediakan banyak teori dan praktek tentang perjanjian internasional yang cenderung ajeg dan konsisten, namun dinamika masyarakat internasional melalui diplomasi praktis telah memperkaya teori dimaksud dalam berbagai variasinya dalam bentuk format dan klausula yang kreatif dan inovatif.
2.
Perkembangan antar bangsa seperti itu membawa pula dampak peningkatan dan intensitas pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan negara lain maupun dengan organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya.
3.
Dalam hal pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, diatur dalam Pasal 11 UUD 1945, yang kemudian diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
4.
UU tentang Perjanjian Internasional sangat penting artinya untuk menciptakan kepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI. Pada dasarnya UU tersebut memuat prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional dan Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Organisasi Internasional, yang sekalipun tidak/belum diratifikasi oleh Indonesia namun telah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional dan telah dijadikan pedoman bagi masyarakat internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional.
PRAKTEK HUKUM RI: MONISME OR DUALISME? 5.
Praktek Indonesia dalam masalah implementasi perjanjian internasional dalam hukum nasional RI tidak terlalu jelas mencerminkan apakah Indonesia menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Dalam prakteknya, sekalipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk mengimplementasikannya pada domain hukum nasional, seperti UNCLOS 1982 yang diratifikasi oleh UU No. 17/1985 tetap membutuhkan UU No. 6/1996 tentang Perairan. Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yang diratifikasi namun dijadikan dasar hukum untuk implementasi, seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982.
Komentar Prof. Swan Sik:
Pertanyaan berlakunya hukum internasional (HI) didalam lingkungan hukum nasional Indonesia (HN) memang belum jelas terjawab. ToR tepat menitikberatkan bahwa dari sudut tata-hukum Indonesia perlu dikembangkan pilihan politik hukum antara kemungkinan2 sebagai berikut: (a) HI dianggap sebagai tata-hukum yang mutlak terpisah dari dan tiada hubungan sistematis dengan HN, dengan lain perkataan secara mutlak berada dan berlaku diluar dan disamping lingkungan HN (pada hakekatnya menganut “aliran dualisme”). Pilihan ini berkonsekwensi diperlukan pembuatan hukum menurut acara dan dalam bentuk HN (transformasi) agar kaidah isi HI bersangkutan dapat berlaku sebagai hukum dalam lingkungan HN. Dengan demikian kaidah tersebut yang telah di”transformasi” sebagai HN, berlaku setaraf dengan HN lainnya, dan tunduk pada azas2 yang menentukan hubungan antar-kaidah hukum (a.l. lex posterior derogat legi priori) (b) HI dan HN pada hakekatnya dianggap sama2 merupakan bagian dari hukum sebagai keseluruhan (sesuai ajaran monisme). Oleh karena itu HI dianggap berlaku pula (“diinkorporasikan”) dilingkungan HN, setaraf dengan HN “aseli”, namun dengan mempertahankan sifat HI-nya (tanpa “transformasi”) dan sejauh isinya cocok untuk diterapkan pada hubungan2 HN. Azas2 tsb.tadi berlaku pula terhadapnya.
(c) HI dianggap tidak hanya ter-inkorporasi dalam lingkungan HN, bahkan diakui sebagai hukum yang bertingkat lebih tinggi, sehingga mendahului HN yang berlawanan dengannya. Dalam jurusan ini terdapat dua variasi, yang satu mengecualikan UUD dari pengutamaan HI, dan yang lain bahkan menempatkan UUD pun dibawah HI. Pilihan antara ketiga kemungkinan tsb. diatas dapat ditentukan secara berbeda-beda. Ada HN yang menentukan pilihan tsb. di Konstitusinya, atau dgn jalan undang-undang, atau melalui tundakan2 berdasarkan otoritas pejabat hukum (misalnya hakim, atau pemerintah pusat) Disamping itu ada kemungkinan diadakannya perbedaan antara HI tertulis (perjanjian internasional) dan HI tak tertulis (hukum kebiasaan) dalam penerapan pilihan sistem. Sikap tata hukum Indonesia (HN) terhadap berlakunya HI dalam lingkungan HN sebagai keseluruhan belum jelas. Petunjuk paling jelas sebenarnya dapat dilihat dalam praktik peradilan (“yurisprudensi” dalam arti-kata umum). Bahkan dari zaman kolonial masih ada ketentuan yang berdasarkan peraturan2 peralihan masih berlaku, seperti pasal 22a “Ketentuan2 umum perundang-undangan” (Algemene bepalingen van wetgeving, Staatsblad 1847:23) yang berbunyi: “Wewenang hakim dan daya pelaksanaan keputusan hakim dan akta otentik dibatasi oleh pengecualian2 hukum internasional.” Berdasarkan ketentuan ini hakim wajib menguji wewenangnya terhadap HI, sehingga dapat diharapkan ada keputusan2 hakim yang mengutarakan pendapatnya tentang ada (tidak)-nya “pengecualian2” demikian, baik yang bersumber di hukum kebiasaan, maupun di hukum PI yang berlaku untuk Indonesia. Sayang sukar untuk diketahui praktek hakim karena masih belum adanya kebijakan pengumuman luas keputusan2 hakim (selain dari pemberitaan2 wartawan disurat kabar).
Komentar Agusman:
Damos
Dumoli
Dari hasil diskusi dengan para ahli hukum Indonesia, terdapat suatu pertanyaan critical, yaitu ”apakah suatu negara mutlak memilih salah satu jurusan tersebut”. Beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya ketiga jurusan itu bisa dipakai dengan menggunakan parameter kepentingan nasional secara kasus per kasus. Artinya, jika kepentingan nasonal (national interest) menuntut, maka ketiga jurusan itu bisa dipakai secara bergantian. Dalam konteks ini mereka tidak menginginkan HN Indonesia memilih jurusan dan membiarkan ketiganya applicable dalam setiap kasus. Saya sendiri berpendapat bahwa ”bukan jurusan yang menentukan apa yang HN pilih, tapi apa yang HN pilih yang akan menentukan jurusan”. HN Indonesia tidak perlu terjebak dengan berbagai jurusan tsb namun tetap diperlukan adanya sikap (”legal provisions”) dalam HN Indonesia yang menentukan apa status HI dalam HN (hubungan HI dan HN). Jika HN telah menetapkan status hubungan ini maka warna jurusan akan terlihat dan teridentifikasi. Kesulitan yang saya hadapi adalah, para ahli Indonesia menolak menggunakan teori monisme-dualisme dalam menjelaskan hubungan HI dan HN namun tanpa sengaja pandangan mereka tentang hubungan ini selalu dilatarbelakangi oleh salah satu aliran ini. They deny the theory but their thinking reflect the theory.
Saya sendiri keberatan jika parameter kepentingan nasional selalu dipakai untuk menentukan pemilihan jurusan karena akan menciptakan ketidakpastian hukum dan prinsip predictability yang menjadi fundasi suatu sistem hukum. Dari pandangan para ahli hukum Indonesia, dapat saya simpulkan bahwa pandangan mereka terhadap hubungan HI dan HN mengarah pada memilih salah satu jurusan teori, dan belum terlihat adanya pandangan yang diluar dari ketiga jurusan tsb. Pertanyaan saya: dapatkan suatu negara memilih ketiga jurusan tersebut? Jika dapat, apakah dilakukan secara “silent”? (tanpa memerlukan penetapan oleh HN?) *** 6.
Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasanaliran hukum yang dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah mewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian internasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk mengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah apakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam suatu perundang-undangan?
Komentar Prof. Swan Sik:
Syarat keberlakuan PI untuk lingkungan HN ditetapkan oleh HI (ada tidaknya PI yang relevan untuk RI) dan HN (ketentuan status PI tsb. dalam lingkungan HN). Adanya perundangundangan yang mengatur hal2 sama dengan apa yang telah diatur pula dalam suatu PI yang berlaku untuk RI, tidak per se merupakan bukti bahwa RI menganut dualisme. Perundang2an bersangkutan mungkin “mengatur lebih lanjut” (ToR dengan tepat menggunakan istilah “implementasi”). Agar PI mengikat suatu negara (berlaku, dari sudut HI, terhadap suatu negara) diperlukan seperangkat tindakan pejabat hukum HN (ratifikasi) yang dalam hal ini bertindak baik dalam fungsi HN maupun fungsi HI. Apakah tindakan2 tersebut juga berakibat PI bersangkutan berlaku dalam lingkungan HN (lihat catatan diatas) adalah pertanyaan yang perlu dijawab oleh HN, dalam bentuk tegas ataupun sebagai hasil penafsiran (contoh: oleh hakim).
Komentar Agusman:
Damos
Dumoli
Memang tidak terdapat indikasi tegas apa yang dianut oleh Indonesia dalam masalah hubungan HI dan H. Praktek Indonesia justru tidak konsisten dalam masalah ini. Indikasi kearah monisme misalnya tercermin dari:
1.
Penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000 tentang PI: ”Penempatan peraturan perundangundangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah TREATIES: WHAT AREagar THEY? dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.” 7)
8)
9)
Perjanjian Internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969 (dan 1986) tentang Hukum 2. Klausula yang dimuat dalam UU yang meratifikasiadalah: suatu PI selalu memuat kalimat: Perjanjian Internasional (dan olehsuatu organisasi internasional) naskahAgreement asli (PI) dalam bahasa between Inggris dan terjemahannya dalam bahasa “An ”Salinan International concluded States and International Indonesiainsebagaimana dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan Organizations written formterlampir and governed by international Law, whether embodied dari ini. or in two or more related instruments and whatever its in a Undang-Undang single instrument particular designation” 3. Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982 prakteknya diterapkan langsung ada UU Perjanjian Internasional yangdalam dimaksud dalam dapat UU Nomor 24 Tahun 2000tanpa tentang tentang Diplomatik/Konsuler. Kasus SengketadiTanah Fatwa MA Perjanjian Internasional adalah: setiap perjanjian bidangKedubes hukum Saudi publik,Arabia: yang diatur Merujuk Padadan Konvensi Wina oleh Langsung hukum internasional, dibuat oleh1961 Pemerintah dengan Negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. 4. Judicial review MK tentang UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: merujuk langsung padabeberapa “praktekkriteria dan kebiasaan secara Dari pengertian hukum ini, maka terdapat dasar yanginternasional harus dipenuhi universal” oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan UU Nomor 24 Tahun tentang Perjanjian Internasional, 5. UU NO 39/1999 tentang HAM: Ketentuan hukum internasional yang telah diterima yaitu: Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum annegara International Agreement bynasional. Subject of International Law
in Written Form 6. “governed PASAL 22AbyAB:international KEKUASAAN law”((diatur HAKIM DIBATASI OLEH PENGECUALIAN-PENGECUALIAN dalam hukum internasional serta OLEH HI menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik) whatever form. Namun dilain pihak, praktek Indonesia juga mengindikasikan dualisme misalnya dalam praktek penerapan UNCLOS bahwa 1982. UU No.dokumen 17/1985adalah yang meratifikasi UNCLOS 1982 tidak 10. Bagaimana mengidentifikasi suatu ”governed by international mencabut UU Perpu 4/1960 tentang Perairan Indonesia. UU ini baru dicabut oleh UU No. law” juga masih menimbulkan perdebatan akademis. Apakah dari: 6/1996. Dalam of halthe ini, UU No. 17/1985 tidak dianggap bertentangan dengan UU Perpu a. the intention Parties? 4/1960 karena karakter dualisme. Dalam rangka dualisme, UU No.6/1996 sendiri dapat b. the Subject-Matter of the agreement? dianggap sebagai UU yang mentransformasikan UNCLOS 1982. c. should there be a presumption that an inter-state agreement which is intended to Pandangan dualisme ini tampaknya juga didukung oleh Kelompok ahli hukum perundangcreate legal relations is governed by international law? undangan Indonesia yang menolak untuk mengkategorikan UU/Perpres yang meratifikasi utatu hukum PI sebagai perundang-undangan. kelompok ini UU/Perpres ini hanya Pakar D.J. produk Harris sendiri masih melihat halMenurut ini sebagai ”unanswered questions”. jubah untuk menyatakan persetujuan DPR/Presiden dan bukan merupakan UU/Perpres dalam pengertian perundang-undangan. Kelompok ini masih menganggap perlu adanya 11. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sendiri telah menekankan UU/Perpres yang mentransformasikan PI dimaksud. bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup UU ini adalah hanya perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia yang diatur dalam hukum Jurisprudensi serta Indonesia sendiri belum berkembang sehingga kontribusi internasional menimbulkan hak dan kewajiban di bidang belum hukum memberikan publik dan bukan untuk pengembangan doktrin hubungan HI dan HN. di bidang hukum perdata. 12. Praktek Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya UU ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara sepanjang yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam ”treaty room”. Perjanjian yang dibuat dengan NGO juga dianggap sebagai Perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex, PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai Perjanjian Internasional dan bahkan diratifikasi melalui UU Nomor 1 Tahun 1963.
13. Parameter untuk menentukan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional sering luput dari perhatian sehingga acapkali menimbulkan kerancuan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Kalangan publik Indonesia telah menggunakan istilah perjanjian internasional secara popular yang mencakup seluruh perjanjian yang bersifat lintas negara baik publilk maupun perdata (kontrak internasional), antar negara maupun antar perusasahaan multinasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang apakah perjanjian internasional perlu didefinisikan kembali.
14. Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah mewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian internasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk mengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah apakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam suatu perundang-undangan?
Komentar Prof. Swan Sik:
Dilihat dari sudut umum, pilihan para fihak (negara atau organisasi internasional) tentang penempatan (G-to-G) loan agreement mereka dilingkungan HI atau HN adalah pilihan politik (kebutuhan dan kepentingan) dan tidak merupakan persoalan teoretis juridis. Pertanyaan yang kita hadapi yalah apakah pilihan demikian masih mungkin bagi RI, dengan adanya UU 24/2000 pasal 10 judul (f). Tercantumnya judul ini boleh jadi oleh karena pembuat UU secara prinsip tidak sudi memperbolehkan perjanjian pinjaman/hibah antarnegara/organisasi internasional diperlakukan sebagai perjanjian yang dikuasai suatu HN. Sebaliknya tercantumnya judul tersebut juga boleh jadi melulu disebabkan kehendak pembuat UU 24/2000 bahwa perjanjian pinjaman/hibah, karena materinya, perlu disetujui UU. Dalam hal ini persetujuan dengan UU itu dapat saja ditafsirkan lepas dari hal penempatan perjanjian tsb. dilingkungan HN atau HI (lihat juga catatan atas ayat 16). Tafsiran terakhir ini lebih2 masuk akal apabila ternyata praktek Indonesia setelah diundangkannya UU 24/2000 masih tetap kadang2 memuat klausula tentang “governing law” (lihat ToR ayat 24)
Komentar Agusman:
Damos
Dumoli
Dilihat dari historis pembuatan UU No 24/2000, perumus UU No. 24/2000 pada waktu itu tidak dibekali oleh pemahaman tentang definisi perjanjian internasional, sehingga menganggap semua perjanjian baik perdata maupun public adalah treaty dalam pengertian
Konvensi Wina 1969. Sehingga loan agreement pada waktu itu oleh perumus UU No. 24/2000 selalu dianggap sebagai treaty sekalipun governed by HN. Dalam konteks pemahaman yang keliru inilah loan agreements dirumuskan dalam UU No. 24/2000. Akibatnya, maka berdasarkan UU No. 24/2000 tidak lagi diberi ruang bagi adanya loan agreement governed by HN. Dalam praktek, hal ini tidak dapat dipertahankan karena acapkali muncul loan agreements yang governed by HN namun “dipaksakan” untuk dikategorikan sebagai PI berdasarkan UU No. 24/2000. Untuk itu sejak tahun 2006, dalam rangka pembuatan RUU tentang Pinjaman/Hibah telah diupayakan untuk membedakan perjanjian pinjaman menjadi dua jenis, yaitu governed by international law dan governed by national law. Untuk kelompok pertama diterapkan UU No. 24/2000 tetapi untuk kelompok kedua tidak perlu diberlakukan. Saat ini terjadi perdebatan yang sangat intensif antara Deplu dengan Depkeu/Bapenas tentang status loan agreements dalam RUU tentang Pinjaman/Hibah. Deplu mengusulkan agar dalam RUU ini dibedakan antara kedua jenis perjanjian ini sehingga dapat diketahui rejim UU apa yang akan diberlakukan. Menurut saya, pilihan hukum tentang loan agreements tetap menjadi persoalan juridis teoritis karena “theoretically” loan agreement bukan merupakan domain dari hukum internasional. ILC sendiri dalam drafting Vieanna Convnetion 1969 menempatkan loan agreements sebagai “subject to a national law”. Praktek negara (termasuk IBRD) yang cenderung menggunakan HI sebagai governing law adalah karena konstelasi politik internasional dewasa ini beranggapan “governed by international law” lebih secured dari pada “governed by a national law”. Mereka enggan menggunakan pengadilan nasional dan HN untuk penyelesaian conflict. Sehingga mereka menggunakan “treaty” dari pada “contract”. Pertanyaan critical adalah apakah norma HI sudah cukup “adequate” dan available untuk mengatur tentang loan agreements, their terms, misalnya penetapan loan interest. *** 15. Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasi internasional ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihak kreditor agar perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional dan ditempatkan pada rejim hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jika perjanjian pinjaman memiliki karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnya yang perdata. Akibatnya, muncul berbagai perjanjian pinjaman antar negara dan organisasi internasional yang mendindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tunduk pada hukum nasional seperti tercermin pada General Conditions for Loans IBRD 2005. 16. Dengan adanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status perjanjian pinjaman, yaitu: a.
b.
perjanjian internasional publik governed by international law seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan, perjanjian perdata internasional biasa yang governed by other than international law yang tidak membutuhkan prosedur seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina dan UU tersebut.
17. Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut Pasal 10 (f) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan UU dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam UU tersendiri. UU Nomor 17 Thn 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya persetujuan DPR ini sehingga dalam Pasal 23 (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR”. 18. Dalam pembahasan RUU tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, kalangan Departemen Keuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang berlaku selama ini, pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya UU APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah diperoleh pada saat membuat perjanjian pinjaman luar negeri. 19. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan akademis tentang apakah persetujuan DPR dalam kontek UU APBN identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan UU (oleh DPR) seperti yang dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?. Seperti diketahui bahwa UU tentang APBN bukanlah UU untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan UU untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Dalam kaitan ini, apakah lembaga ratifikasi seperti yang dikenal dalam hukum tatanegara telah mengalami pergeseran makna? 20. Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun PP Nomor 2 Tahun 2006 (bahkan dalam RUU Pinjaman/Hibah Luar Negeri) apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional biasa. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional jelas mengkategorikan perjanjian pinjaman sebagai perjanjian per definisi UU ini yaitu perjanjian governed by international law. Konsekuensinya, untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Dalam praktek Indonesia, perjanjian pinjaman (loan agreements) adakalanya memuat klausula tentang governing law yang merujuk pada hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridis teoritis perjanjian ini bukan termasuk kategori perjanjian seperti dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasional. Konsekuensinya adalah mekanisme ratifikasi menurut hukum perjanjian internasional tidak diperlukan karena perjanjian ini tunduk pada hukum nasional bukan hukum internasional.
21. Selain itu, Pasal 16 PP Nomor 2 Tahun 2006 menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang tentunya membutuhkan ratifikasi sebelum pemberlakuannya.
Komentar Prof. Swan Sik:
Menurut tafsiran yang manapun, dengan (dan selama) adanya UU 24/2000 pemerintah tidak mungkin mengadakan perjanjian pinjaman yang mulai berlaku sejak saat ditandatangani, dan dengan demikian pasal 16 PP 2/2006 bertentangan dengan UU.
Komentar Agusman:
Damos
Dumoli
Untuk menyelesaikan problem ini, maka DEPLU telah memberikan penafsiran bahwa loan agreement menurut UU 24/2000 adalah “treaty”. Jika loan agreement itu tidak treaty (governing law adalah HN) maka UU 24/2000 tidak apply, artinya PP 2/2006 can apply.
Komentar Prof. Swan Sik:
Cara persetujuan DPR seperti yang disebut di ayat 18 diatas pada hakekatnya merupakan persetujuan terlebih dahulu (in advance) atau “pemberian wewenang” untuk mengadakan pinjaman sampai batas tertentu, walaupun tanpa perincian sumber pinjaman demikian. Apakah ini dapat dianggap telah memenuhi syarat tersebut dipasal 23(1) UU 17/2003 dan pasal 10 UU 24/2000 merupakan soal penafsiran yang dapat dijawab oleh praktek hubungan pemerintah-DPR. Sebaiknya pemerintah mencari ketegasan dengan jalan memancing pernyataan azas dari fihak DPR.
Komentar
Damos
Dumoli
Melihat kompleksitas masalah ini maka sampai saat ini DPR belum memberikan posisi apa pun tentang hal ini. Namun demikian Depkeu menyatakan pasal 16 PP 2/2006 tidak bertentangan dengan UU karena sudah ada persetujuan dari DPR dalam bentuk UU APBN. Pertanyaan saya adalah apakah persetujuan DPR (in advance) identik dengan ratifikasi? Mengingat karakter ratifikasi adalah “confirming the act that already taken by the executive” maka persetujuan in advance bukan ratifikasi. UU 24/2000 tidak mengatur persetujuan in advance karena tidak dikenal dalam hukum perjanjian internasional. NOMENCLATURE, SHOULD THEY BE DISTINGUISHED? 22. Secara tradisional bentuk dan nama perjanjian (nomenclature) tidak relevan untuk dibedakan karena apa pun namanya tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini, content perjanjian merupakan tolok ukur ketimbang namanya. Namun demikian, dunia diplomasi cenderung memberikan bobot yang berbeda untuk setiap nomenclature. Treaty dan Agreement akan dianggap lebih mengikat ketimbang MOU.
Komentar Prof. Swan Sik:
Salah satu hal yang masih tetap tanpa ketegasan yalah konsekwensi bermacam- macam sebutan yang dipakai dalam praktek untuk perjanjian2 antar-negara/organisasi internasional.
Yang dimaksudkan yalah apakah penggunaan istilah tertentu berakibat berbeda dalam bidang keberlakuan hukumnya. Masalah ini sayang sekali terlalu luas (dan spekulatif) untuk dijadikan objek catatan singkat. Bagaimanapun persoalan ini sekali-kali tidak semata-mata soal nomenclatur, melainkan soal usaha politik antar-negara untuk menghindari keterikatan pada kewajiban hukum tanpa mengaku maksud tersebut. Petunjuk utama jika menghadapi persoalan bersangkutan yalah tafsiran segala faktor yang memain peranan dalam terjadinya “perjanjian” bersangkutan. (Masalah tersebut pernah saya bahas sebagai judul pidato inaugurasi saya pada tahun 1990, sayang sekali dalam bahasa Belanda: “De verplichting in het volkenrecht” [Kewajiban dalam hukum internasional] . Pustaka mengenai masalah ini pasti telah banyak berkembang sejak saat itu, namun menurut terkaan saya masalahnya tetap terbuka)
Komentar Agusman:
Damos
Dumoli
Praktek Indonesia dalam pembuatan PI dengan negara-negara lain sangat inkonsisten. Pandangan para negotiators selalu terjebak pada mind setting bahwa MOU lebih rendah dari agreement dan agreement lebih rendah dari Treaty.
23. Perkembangan hukum perjanjian internasional juga ditandai dengan adanya perbedaan praktek Negara mengenai nomenclature MoU. Ada praktek Negara, khususnya pada Negara-negara common law system yang berpandangan bahwa MoU adalah non legally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara negara (termasuk MoU) memiliki daya mengikat seperti treaties. 24. Adanya pengertian MoU yang non-legally binding dalam praktek beberapa Negara akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik dan moral. Untuk kebutuhan praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri masih belum memberikan klarifikasi yang berarti khususnya tentang implikasinya dalam hukum nasional. 25. Dinamika dalam masalah nomenclature ini menimbulkan pertanyaan mendasar dalam dunia praktisi tentang apakah diperlukan adanya tingkat hirarki perjanjian internasional berdasarkan namanya.
APAKAH LEMBAGA NEGARA DI LUAR EKSEKUTIF DAPAT MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL? 26. Praktek internasional termasuk Indonesia juga ditandai dengan maraknya pembuatan perjanjian internasional oleh lembaga di luar eksektif seperti MA, BPK dan DPR. Gejala ini telah memicu pertanyaan yang bersifat akademis yaitu apakah dewasa ini pemerintah suatu negara yang selama ini dikenal sebagai pemangku fungsi representation of states tidak lagi menjadi lembaga tunggal untuk membuat perjanjian internasional?
Komentar Prof. Swan Sik:
Bagi HI yang menentukan yalah apakah ada suatu PI, artinya perjanjian antara subjek2 internasional bersangkutan, biasa negara, dan sekali-kali bukannya alat(-alat) perlengkapannya. Sejauh pimpinan negara mengizinkan lembaga2 kenegaraan lain daripada Eksekutif mengadakan PI dan sejauh fihak lainnya menerimanya, tidak ada halangan terhadap praktek demikian. Yang berbeda dari kebiasaan hanya pejabat pelaksananya. Hasilnya yang dituju tetap suatu PI. Begitu pula pertanyaan tentang full powers kelihatannya tidak relevan benar (lihat dibawah catatan atas ayat 32/37). Aspek lain yang kelihatannya kadang-kadang menimbulkan pertanyaan dalam kepustakaan yang tidak jelas terjawab, yalah apakah sifat (PI atau tidak) dan apakah akibat hukum (menurut tata hukum mana) dari perjanjian2 yang kadang-kadang diadakan antara lembaga dan alat perlengkapan badan2 hukum tingkat rendahan (contoh: antara kota-kota) dari negara berbeda. Perjanjian ini diberi nama “administrative agreements”.
Komentar Agusman:
Damos
Dumoli
Secara traditional, eksekutif adalah the legitimate representive of states. Adanya pembagian kekuasaan negara yang semakin ketat di Indonesia menimbulkan implikasi bahwa apa yang dilakukan oleh lembaga non-eksekutif bukan merupakan urusan eksekutif sehingga perjanjian yang dibuat oleh mereka bukan tanggung jawab eksekutif. Kenapa pertanyaan full power muncul? Karena non-ekeskutif tidak mengakui Menteri Luar Negeri sebagai bagian dari eksekutif mengeluarkan full power bagi mereka. Mereka mengklaim tidak perlu memperoleh kuasa dari pemerintah. Dalam HN, kedudukan Menlu sebagai pejabat khas dalam hukum internasional tidak dikenal 27. Seiring dengan maraknya perjanjian internasional oleh lembaga non-eksekutif, maka kemudian muncul pertanyaan tentang lembaga full powers. Dalam hal ini, apakah Menlu lazim mengeluarkan full powers kepada lembagai non-eksekutif?
ASEAN’S TREATY MAKING POWER 28. ASEAN telah memiliki konstitusi barunya (ASEAN Charter) yang akan memberikan landasan hukum bagi aktivitas ASEAN baik dari segi internal maupun eksternal. Treaty making power merupakan salah satu isu dasar yang lazim diatur dalam konstitusi setiap organisasi internasional sebagai bagian dari paragraf tentang external relations. Namun ASEAN Charter tidak secara rinci mengatur mengenai treaty making power of ASEAN, dan hanya mengindikasikan bahwa masalah ini akan diatur lebih lanjut dalam perangkat implementasi.
Komentar Prof. Swan Sik:
[Catatan ini dibuat tanpa penelitian data perjanjian di ASEAN Documents Series] Pembuatan perjanjian dengan fihak ketiga yang dilakukan (ditandatangani) oleh Sekretariat/Sekjen atau “pejabat salah-satu anggauta” dapat (1) tegas atas nama ASEAN, atau (2) tegas atas nama para negara anggauta, atau (3) tanpa ketegasan demikian. Selanjutnya tindakan tersebut dapat (1) berdasarkan suatu ketentuan khusus dalam naskah “anggaran dasar” ASEAN. , atau (2) berdasarkan pemberian wewenang khusus oleh para negara anggauta secara insidental. Pemberian wewenang demikian tidak selalu ternyata dari naskah yang diumumkan. Dari sudut HI tiada halangan apapun (ayat 37) terhadap acara demikian; para negara yang berdaulat berkuasa penuh untuk “memberi kuasa” kepada subyek hukum lain. Dalam hal adanya keperluan ratifikasi, DPR tidak “mengesahkan perbuatan hukum oleh subjek hukum internasional lain” melainkan mengesahkan perbuatan yang bersifat perbuatan hukum RI berdasarkan pemberian wewenang (“surat kuasa”) tersebut tadi. Pengeluaran Surat Kuasa Resmi (Full Powers) adalah untuk kepentingan fihak lainnya (counterpart) dalam perjanjian agar fihak ini memperoleh kepastian bahwa si wakil RI bersangkutan memang “disuruh” RI dan perbuatannya memang di”tanggung” RI. Dalam konstruksi seperti digambarkan diatas fihak lain itu percaya, menerima dan mengaku (recognition!!) wewenang Sekretariat ASEAN, sehingga soal full powers tidak timbul.
Komentar Agusman:
Damos
Dumoli
Treaty making power of ASEAN telah menjadi persoalan dalam praktek ASEAN dalam membuat perjanjian. Saya telah membuat catatan khusus tentang issue ini yang akan saya sampaikan secara terpisah. Permasalahannya adalah, European Union yang sudah demikian terintegrasi tidak pernah suatu negara anggota memberi mandate kepada Presiden Komisi untuk bertindak atas nama negara tersebut mengikatkan diri dengan pihak lain. Dalam EU dikenal adanya Mix Agreements, dimana negara anggota akan turut membubuhkan tanda tangan jika bagian dari perjanjian dengan EU tersebut adalah wewenang negara anggota. Praktek ASEAN dalam hal ini tidak didasarkan pada prinsip hukum perjanjian internasional bahwa “consent to be bound” harus dinyatakan oleh negara itu sendiri. Apa yang dilakukan oleh ASEAN adalah hanya untuk kebutuhan praktis. Pertanyaan yang muncul jika Sekjen ASEAN menandatangani PI atas nama negara anggota adalah: 1.
Apakah full powers oleh negara itu kepada Sekretaris Jenderal ASEAN adalah full powers yang dimaksud oleh Vienna Convnetion 1969?
2. Jika negara itu ingin “terminate atau amandement perjanjian itu, dapatkan dilakukan tanpa melalui consent dari Sekretaris Jenderal ASEAN?
29. Praktek ASEAN dalam hubungan eksternalnya sudah sangat intensif dan dapat dibedakan atas dua perspektif: a.
b.
30.
Hubungan antara seluruh anggota ASEAN dengan pihak ketiga dimana status negara anggota adalah sebagai subjek hukum internasional yang berdiri sendiri. Istilah ASEAN dalam hal ini hanya digunakan untuk merujuk setiap Negara anggota sebagai collective members; Hubungan antara ASEAN sebagai subjek hukum internasional (biasanya ASEAN Secretariat) dengan pihak ketiga, yang terlepas dari Negara anggotanya. Kedudukan ASEAN dalam kaitan ini adalah sebagai organisasi internasional seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional oleh Organisasi Internasional.
ASEAN sebagai collective members telah banyak membuat perjanjian dengan negara/organisasi internasional lain. Sekalipun judul perjanjian itu menggunakan isitilah ASEAN namun pada hakekatnya perjanjian dimaksud adalah perjanjian antara negaranegara anggota secara individu dengan organisasi/negara ketiga (perjanjian multilateral). Hal ini tercermin dari participation clause-nya serta pihak yang menandatangani perjanjian dimaksud yang dilakukan oleh masing-masing negara anggota ASEAN secara individual seperti pada the Cooperation Agreement between the Member Countries of ASEAN and the EEC, 7 March 1980. Dalam perjanjian ini yang membuat perjanjian dengan EEC adalah setiap dan semua negara anggota dan bukan ASEAN sebagai a distinct subject separated from its members. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa materi yang diperjanjikan bukan merupakan ruang lingkup atau wewenang ASEAN sebagai suatu organisasi yang berdiri sendiri namun terletak pada negara-negara anggotanya. Sedangkan EEC, bertindak sebagai organisasi internasional as a distinct subject separated from its members
31. Namun demikian, dalam kaitannya dengan ASEAN sebagai subjek hukum internasional, ASEAN juga telah membuat berbagai perjanjian dalam kedudukannya sebagai a distinct subject separated from its members yang biasanya menggunakan istilah ASEAN Secretariat. 32. Dilain pihak, praktek ASEAN juga menunjukkan adanya beberapa perjanjian yang tampaknya agak menyimpang dari prinsip hukum umum yang berlaku, yaitu Perjanjian dengan Pihak Ketiga yang mengikat seluruh Negara anggota ASEAN tetapi ditandatangani oleh oleh Sekjen ASEAN/Pejabat salah satu anggota untuk dan atas nama Negara-negara anggota. 33. Penandatanganan oleh Sekjen ASEAN atas nama negara anggota terhadap perjanjian menimbulkan beberapa pertanyaan akademis tentang kekuatan mengikat perjanjian tersebut terhadap negara anggota. Dalam kaitan ini, dapatkah subjek hukum internasional lain melakukan tindakan express to be bound by a treaty atas nama subjek hukum internasional lainnya? Jika perjanjian tersebut memerlukan ratifikasi, dapatkah DPR mengesahkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum internasional lain? Jika perjanjian itu membutuhkan full power apakah lazim Menteri Luar Negeri memberikan full power kepada subjek asing? Jika negara anggota ingin menarik diri dari perjanjian semacam ini, dapatkah dilakukan sendiri tanpa melalui Sekjen ASEAN?
PROF. DR. MOHD. BURHAN TSANI, SH., MH.
STATUS HUKUM INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL REPUBLIK INDONESIA (DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA) Pengantar Dalam Hukum Tata Negara Indonesia tidak mudah untuk menemukan kaidah hukum yang mengatur tentang status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional RI. UUD 1945 tidak mencantumkan satu pasal pun yang mengatur status tersebut. Pasal 11 dan 13 UUD 1945, yang ada kaitannya dengan Hukum Internasional, mengatur mengenai proses atau prosedur ratifikasi dan pengangkatan serta penerimaan duta dalam ranah Hukum Nasional. Undangundang yang berkaitan dengan Hukum Internasional, seperti Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional juga tidak mencantumkan pasal tersendiri yang mengatur status tersebut. Indonesia sejak proklamasi Kemerdekaan 1945, sudah mengadakan interaksi dengan Negara maupun Organisasi Internasional, yang tunduk pada Hukum Internasional. Indonesia sudah terlibat dalam pembuatan berbagai Perjanjian Internasional. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana sikap Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, dan bagaimana Indonesia menerapkan Hukum Internasional, termasuk didalamnya Perjanjian Internasional. Pada tahun 1969, 1978 dan 1986. Indonesia menetapkan bahwa yang mempunyai kapasitas untuk membuat Perjanjian Internasional adalah Presiden. Sekarang Indonesia mempunyai Undang-Undang mengenai Perjanjian Internasional yakni Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.
Permasalahan yang mungkin masih relevan untuk dibahas adalah bagaimana sikap Negara ketika terjadi pesinggungan atau perbenturan dan bahkan pertentangan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Hal ini mungkin terjadi dalam penerapan Perjanjian Internasional di ranah Hukum Nasional. Negara akan mengutamakan Hukum Internasional atau Hukum Nasional? Permasalahan pengutamaan dapat diselesaikan dengan menggunakan paham (teori) dalam hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Dikenal ada dua paham yaitu dualisme dan monisme. Menurut paham dualisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat Hukum Internasional berbeda dengan Hukum Nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan mengabaikan Hukum Internasional. Berdasarkan paham monisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Pengutamaan mungkin pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional. Menurut faham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Nasional, Hukum Internasional merupakan kelanjutan Hukum Nasional. Hukum Internasional merupakan Hukum Nasional untuk
“Cukup sulit menetapkan teori apa yang digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menerima teori inkorporasi. Tetapi Indonesia nampak cenderung secara diam-diam menggunakan teori inkorporasi. Dalam menerapkan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal, Indonesia tidak pernah melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai adopsi khusus.” Pasal 13 UUD 1945 menunjukkan kesediaan Indonesia mengakui keberadaan Hukum Diplomatik, yang juga masih berupa Hukum Kebiasaan Internasional. Hukum tentang hubungan diplomatik dan konsuler dituangkan dalam Perjanjian Internasional baru tahun 1961, 1963, 1969, 1973, 1975 dan 1979. Indonesia menetapkan bahwa Presiden mempunyai kapasitas untuk mengangkat dan menerima duta dan konsul. Sekarang Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan Hukum Internasional. Berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Internasional, Hukum Nasional secara hirarkis lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan Hukum Internasional.
Dimungkinkan ada monisme yang menganggap bahwa Hukum Nasional sejajar dengan Hukum Internasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tercermin dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang Terorisme Bonn. Hukum Internasional tidak mewajibkan bahwa suatu Negara harus menganut paham dualisme atau monisme. Dalam praktek pilihan pengutamaan pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional, ditentukan oleh preferensi etnis atau preferensi politis. Bagi pandangan yang mempunyai sikap politis nasionalis, akan mengutamakan Hukum Nasional. Sebaliknya bagi pandangan yang simpatik pada Internasionalisme, akan mengutamakan Hukum Internasional. Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional. Masalah berikutnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimanakah penerapan Hukum Internasional dalam ranah Hukum Nasional Indonesia. Mengenai hal ini ada beberapa teori yang dikenal dalam Hukum Internasional, yaitu teori transformasi, delegasi, dan inkorporasi. Menurut teori inkorporasi Hukum Internasional dapat diterapkan dalam Hukum Nasional secara otomatis tanpa adopsi khusus. Hukum Internasional dianggap sudah menyatu ke dalam Hukum Nasional. Teori ini berlaku untuk penerapan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal. Dalam penerapan Hukum Internasional, yang bersumber dari Perjanjian Internasional ada dua teori, yaitu teori transformasi dan teori delegasi. Berdasarkan teori transformasi, Hukum Internasional yang bersumber dari Perjanjian Internasional dapat diterapkan di dalam Hukum Nasional apabila sudah dijelmakan (ditransformasi) ke dalam Hukum Nasional, secara formal dan substantif. Teori transformasi mendasarkan diri pada pendapat pandangan positivis, bahwa aturanaturan Hukum Internasional tidak dapat secara langsung dan “ex proprio vigore” diterapkan dalam Hukum Nasional. Demikian juga sebaliknya. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan sistem hukum yang benar-benar terpisah, dan secara struktur merupakan sistem hukum yang berbeda. Untuk dapat diterapkan ke dalam Hukum Nasional perlu proses adopsi khusus atau inkorporasi khusus. Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan kepada masingmasing konstitusi Negara, hak untuk menentukan: 1. kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam Hukum Nasional; 2. cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional. Prosedur dan metode yang digunakan Negara merupakan suatu kelanjutan proses, yang dimulai dengan
penutupan (persetujuan) suatu Perjanjian Internasional. Tidak ada transformasi. Tidak ada penciptaan (pembuatan) aturan hukum atau Hukum Nasional yang benar-benar baru. Yang dilakukan hanya merupakan kelanjutan (perpanjangan) dari satu perbuatan penciptaan yang tunggal. Syarat-syarat konstitusional hukum nasional hanya merupakan bagian dari satu kesatuan mekanisme penciptaan (pembuatan) hukum. Cukup sulit menetapkan teori apa yang digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menerima teori inkorporasi. Tetapi Indonesia nampak cenderung secara diam-diam menggunakan teori inkorporasi. Dalam menerapkan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal, Indonesia tidak pernah melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai adopsi khusus. Indonesia nampak tidak sepenuhnya menggunakan teori transformasi. Dalam penerapan PerjanjianPerjanjian Internasional yang berlakunya tidak memerlukan ratifikasi, Indonesia belum pernah membuat perundang-undangan yang mengatur substansi perjanjian yang telah ditandatangani. Berkenaan dengan Perjanjian-perjanjian Internasional yang berlakunya memerlukan ratifikasi, Indonesia dapat dianggap ingin menggunakan teori transformasi. Pengesahan perjanjian-perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Dalam hal ini dapat dianggap terjadi penjelmaan dari Hukum Internasional menjadi Hukum Nasional. Akan tetapi perjanjian yang disahkan dilampirkan begitu saja seperti aslinya, bukan dalam bentuk perundang-undangan formal mengenai substansi perjanjian yang bersangkutan. Indonesia secara diamdiam menerima bahwa perjanjian yang bersangkutan sudah menyatu dalam Hukum Nasional. Untuk sepenuhnya menggunakan teori transformasi perlu dilampirkan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi yang termuat dalam perjanjian yang bersangkutan. Nampaknya Indonesia cenderung menggunakan teori delegasi. Pengesahan yang dilakukan menurut Hukum Nasional Indonesia, merupakan bagian prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Nasional untuk memperoleh instrumen ratifikasi, yang diperlukan prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Ratifikasi merupakan bagian prosedur pembentukan Hukum Internasional yang dituangkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Pasal 2 instrumen pengesahan telah menetapkan kapan berlakunya perjanjian yang bersangkutan dalam Hukum Nasional Indonesia. Ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Perjanjian Internasional yang bersangkutan dibiarkan dalam naskah aslinya. Prosedur yang dilaksanakan merupakan bagian dari keseluruhan proses pembuatan Perjanjian Internasional yang bersangkutan.
Keterikatan Indonesia pada Perjanjian Internasional yang bersangkutan, dilandaskan pada penyampaian instrumen ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Apabila Indonesia sudah menjadi Negara pihak, Indonesia wajib melaksanakannya dengan itikad baik dan melakukan penyesuaian perundang-undangannya dengan Perjanjian Internasional yang sudah berlaku secara definitif. Penutup Praktek-praktek yang tidak ajeg dan simpang siur yang mengakibatkan permasalahan perlu diluruskan. Hasil pelurusan dirumuskan dengan baik dan disosialisasikan serta dikomunikasikan kepada semua pengelola Negara dan Warga Negara. Hasil akhirnya dituangkan dalam bentuk perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar. PROF. DR. MOHD. BURHAN TSANI, SH., MH. Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
BEBERAPA ASPEK KENISBIAN DAN INTERNASIONAL Oleh Ko Swan Sik*
KESAMARAN
PERJANJIAN
* Penulis adalah mantan Guru Besar Erasmus Universiteit Rotterdam (19881996), pendiri Foundation for the Development of International Law in Asia dan anggota Instituut de Droit International.
Pengantar Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan analisa persoalan hukum tertentu (spesifik/ kongkrit), apalagi mencoba menyajikan pemecahan persoalan demikian. Penulis juga tidak bermaksud mencoba
menyajikan
risalah
teori
hukum
apapun.
Sebaliknya,
tulisan
ini
semata-mata
merupakan renungan tentang berbagai ketidakpastian dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari, dan bersumber pada pengertian perjanjian internasional (PI). Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali tidak hanya melekat karena kekurang jelasannya, melainkan kadang-kadang juga menunjukkan sifat nisbi berbagai pengertian dan azas sekitar PI. Istilah “perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota masyarakat tentang suatu keadaan yang mereka inginkan, yang mencerminkan hasrat mereka, dan yang memuat tekad mereka untuk bertindak kearah keinginan dan sesuai dengan hasrat tersebut. Apabila kesepakatan ini tercapai dan disertai kesungguhan para pihak, maka tata hukum yang berlaku di masyarakat bersangkutan memberi kekuatan hukum padanya dengan menetapkan perjanjian itu setaraf dengan undang-undang. Demikianlah bunyi Pasal 1338 KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) lama (sejauh kitab undang-undang ini masih kita akui sebagai sumber hukum berlaku), sesuai dengan seruan azas terkenal dalam bahasa asing kuno: pacta sunt servanda1. Penetapan kesepakatan sebagai perjanjian dalam arti huku, berarti bahwa isi kesepakatan itu dijadikan hak dan kewajiban para pihaknya yang berunsur khusus sebagai berikut: apabila si pengemban kewajibannya tidak memenuhi kewajibannya, maka tata hukum “menghukum”nya, artinya membebaninya dengan akibat-akibat (hukum) tertentu tanpa persetujuannya. Uraian singkat ini cukup mutlak dan terang bunyinya, tetapi tidak mencukupi sebagai penjelasan konsep perjanjian. Ternyata berbagai kenisbian dan kesamaran melekat padanya. Diantaranya, berlakunya hukum dalam batas-batas suatu tata hukum tertentu menampilkan pertanyaan tentang keterbatasan ruang lingkup daya hukum yang terkait pada kesepakatan. Kenisbian lain yaitu ketergantungan keabsahan perjanjian dari kedudukan para pelakunya sebagai subyek hukum
tata
hukum
bersangkutan, ditambah syarat kewenangan
pelaku
tersebut
untuk
mengadakan perjanjian yang berkekuatan hukum. Disamping itu, tata hukum mengenal 1
Pacta sunt servanda merupakan adagium dari Bahasa Latin yang pada umumnya ditafisrkan sebagai “perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya”. Guna lebih jelas lihat Black Law’s Dictionary.
pembatasan-pembatasan mengenai pokok persoalan (“obyek”) perjanjian, pembatasan mana biasanya bersangkut paut dengan sendi-sendi kemayarakatan bersangkutan. Kenisbian tersebut terdapat juga di bidang PI yang merupakan golongan khusus dari pengertian perjanjian yang lebih luas. Marilah kini kita meneliti beberapa kenisbian dan kesamaran khusus mengenai PI. “Internasional” Terhadap
latar
belakang
tersebut
di
atas,
tampillah
pengertian
dan
istilah
“perjanjian
internasional”, yang kata sifatnya “internasional” tidak berarti tunggal, hal mana kita ingat betul dari setiap permulaan tahun kuliah apabila kita mencoba menerangkan kepada para mahasiswa hakekat mata pelajaran yang mereka ikuti. Kita tahu bahwa keragu-raguan itu bukan akibat kurang jelasnya pencipta pengertian, melainkan akibat pemakaian perkataan dalam arti kata berganda. Kata “internasional” pertama digunakan untuk merujuk pada perjanjian antara para aktor yang bertindak selaku subyek hukum internasional (HI) dan oleh karena itu khusus berlaku dalam lingkungan HI. Meskipun kelihatannya cukup jelas, namun bagaimanakah kita dapat tetapkan bahwa suatu perjanjian yang kita hadapi itu memang “governed by international law” seperti yang disyaratkan Pasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1969 2 tentang Hukum Perjanjian Internasional? Ada kalanya yang kita maksudkan dengan istilah PI adalah perjanjian yang para pihaknya bertindak dalam lingkungan hukum nasional (HN) (tanpa mempedulikan apakah mereka itu asal mulanya diciptakan sebagai subyek HI ataupun sebagai subyek HN) tapi dengan mata perjanjian yang bersifat lintas batas suatu negara dan oleh karena itu disebut “internasional”.3 Kita dapat (meskipun syukur jarang terjadi) menambah kerumitan di lapangan PI golongan belakangan ini apabila tidak hanya obyek perjanjiannya melintas-batas, tetapi para pihaknya pun masing-masing bertindak dari lingkungan HN berbeda. Sesuai tafsiran undangan Editor jurnal ini, tulisan ini hanya akan mencurahkan perhatian kepada perjanjian golongan pertama dan kenisbian dan kesamaran yang melekat padanya. Sifat Normatif Hukum dan Sangkalannya Tadi telah pernah disebut Pasal 2 ayat 1 judul (a) Konvensi Wina 1969, ketika kita menitikberatkan keperluan menentukan apakah yang kita hadapi itu benar perjanjian yang dikuasai Hukum Internasional. Ternyata bahwa yang menjadi buah aturan Konvensi adalah “perjanjian internasional yang diadakan antara negara ... dan yang dikuasai oleh hukum internasional ...”. Ini berarti bahwa sekalipun kita jelas menghadapi perjanjian antar negara, yang sudah 2
3
memenuhi
syarat-syarat
yang
menurut
perkiraan
kita
menjadikannya
Perjanjian
Pasal 2 ayat (1) ini berbunyi: 1. For the purpose of the present Convention: (a) ‘treaty’ means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. Patut kiranya disini ditambah sekedar catatan sampingan tentang pemakaian istilah lain yang adakalanya terlihat dalam hubungan ini, yaitu istilah “publik”, seperti kini juga terdapat di Pasal 1 judul (3) UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Mungkinkah si perancang naskah undang-undang tersebut terjebak kekhilafan yang tersirat dalam penggunaan istilah “hukum internasional publik” sebagai “lawan” “hukum perdata internasional”? Di lingkungan (hukum) internasional (atau “dalam rangka tata hukum internasional”) yang tidak mengenal hubungan antara subyek-penguasa dan subyek yang tunduk pada kekuasaan, pertentangan (hukum) antara publik – perdata sebenarnya tidak berlaku (tidak dapat diterapkan). Sebagai contoh patut diajukan pertanyaan apakah ada perbedaan hukum antara PI tentang pinjaman uang antar-negara dan PI tentang persekutuan militer.
Internasional asli, kita masih juga perlu memeriksa apakah benar “dikuasai Hukum Internasional”. Apakah makna anak kalimat ini? Mengingat sifatnya, maksud tujuannya dan konteks pembuatannya, dapatlah kita bertolak dari anggapan bahwa Konvensi tersebut khusus mengacu pada perjanjian di lingkungan internasional, tanpa perhatian, bahkan mengenyampingkan, hal-hal yang mengenai perjanjian di lingkungan HN. Hal mana berarti bahwa satu-satunya dugaan tentang maksud dan arti anak kalimat tadi yang masuk akal adalah bahwa si perancang membayangkan kemungkinan adanya perjanjian antar negara, di lingkungan internasional, yang dapat dikuasai oleh “sesuatu” yang lain (bukan HN) daripada HI. Sistem apakah yang kita dapat bayangkan di sini? Istilah “dikuasai” di anak kalimat tersebut tentu berarti “dikuasai” sistem (hukum internasional) yang mengaitkan ciri normatif kepada kesepakatan antara para pihak perjanjian, satu dan lain menurut kehendak dan pilihan para pihak tersebut. Kita dapat bayangkan berbagai sistem normatif yang berlaku bagi kelakuan manusia selain sistem hukum, misalnya agama, adat istiadat, dan moralitas. Namun, sistem-sistem ini semuanya ditujukan kepada pribadi manusia dan tidak mengenal kaidah-kaidah pelaksanaan untuk memberlakukannya dan menerapkannya pada hubungan antar negara. Kadang-kadang disebut sistem “kesopanan kemasyarakatan” yang menguasai hubungan-hubungan internasional, akan tetapi sistem demikian hanya mengacu pada bentuk dan tata cara
kelakuan
dan
tidak bersangkut-paut
dengan
sifat
normatif
dari
hak/kewajiban yang termuat dalam perjanjian bersangkutan. Dalam perbincangan tentang hubungan-hubungan internasional, kadang terdengar
istilah
“perjanjian politik” untuk membedakannya dari perjanjian yang dikuasai hukum, dan dalam hubungan ini kadang-kadang terdengar pula istilah “perjanjian tidak mengikat” (“non-binding agreements”) yang agak aneh bunyinya dan biasanya dimaksudkan sebagai “perjanjian yang tidak mengikat dari sudut hukum” (legally non-binding agreements). Sehingga timbullah pertanyaan apakah kiranya ada “sistem politik” yang bersifat normatif dan menguasai kelakukan dan yang merupakan alternatif di samping sistem hukum. Memang, kadang-kadang kita menghadapi perjanjian-perjanjian antar negara yang dianggap tidak memuat kewajiban hukum melainkan “hanya memuat kewajiban politik”. Soalnya ialah bahwa hingga kini belum ada uraian yang memberi penjelasan memuaskan tentang bagimana sebenarnya isi sistem normatif politik demikian itu dan sejauh mana sistem tersebut berbeda dari sistem hukum. Memang ilmu politik mengenal dan memperhatikan keadaan dimana kelakuan tertentu pihak yang satu dapat diduga dan diharapkan sebagai akibat kelakuan tertentu pihak yang lain, dimana kelakuan belakangan ini merupakan “cogent motive for action” pihak pertama. Apabila dalam keadaan demikian kelakuan pihak yang satu itu ternyata tidak terjadi, bertentangan dengan apa yang diharapkan, tidak mustahil pihak yang dikecewakan membalas dengan menuntut apa yang diharapkan dan bahkan menuntut ganti kerugian, semua ini tanpa melalui ataupun berdasarkan alasan hukum. Contoh tersohor perjanjian yang kadar hukumnya terang-terangan disangkal adalah Akta Terakhir Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (Helsinki Final Act 1975) yang meliputi negaranegara Eropa Barat maupun Eropa Timur termasuk Uni Soviet dan Amerika Serikat dan Kanada (yang hingga kini masih berlaku di negara-negara bekas bagian Uni Soviet di Asia Sentral yang
sama sekali bukan merupakan bagian dari Eropa). Negara-negara Barat menitikberatkan bahwa Akta tersebut bukan PI yang mengikat menurut hukum. Hal ini ditegaskan secara agak aneh namun jelas. Latar belakang cara yang dipakai ini ialah Pasal 102 Piagam PBB 4 yang mewajibkan setiap PI yang diikutsertai negara anggota untuk didaftarkan pada Sekretariat untuk keperluan penerbitannya (di UN Treaty Series). “Sesuai dengan” peraturan ini, Akta Helsinki memuat ketentuan yang memohon si Tuan Rumah (Finlandia) untuk “transmit to the Secretary-General of the United Nations the text of this Final Act (untuk disosialisasikan di antara negara anggota PBB) which is not eligible for registration under Article 102 of the Charter of the United Nations, as would be the case were it a matter of a treaty or international agreement under the aforesaid Article”. Persoalan kewajiban perjanjian yang tidak berkadar hukum ini bahkan pernah dijadikan judul penelitian di kalangan Institut Hukum Internasional (Instituut de Droit Internasional) di tahuntahun 1970an dan 1980an. Lembaga inipun belum sanggup menyajikan jawaban yang memuaskan, dan bahkan memutuskan pada 1983 untuk menangguhkan penyelidikannya sambil menunggu perkembangan-perkembangan yang membawa bahan-bahan baru.5 Pokok persoalan fenomena tersebut, yang mengenai kewajiban kelakuan yang unsur hukumnya disangkal, mirip dengan, walaupun mungkin tetap perlu dibedakan dari, fenomena usaha-usaha “perundang-undangan internasional” dalam bentuk perjanjian-perjanjian multilateral, kadangkadang mengenai perbaikan kedudukan manusia pribadi di pelbagai lapangan, yang tidak, setidak-tidaknya belum, memuat aturan penegakan hak-hak yang diakui (“without legal remedies”). Terlihat disini fenomena hukum “pincang” yang “tidak sempurna”. Kenisbian dan kesamaran yang penulis sebut disini dan yang kadang agak kurang tepat diberi nama “hukum lemah” (soft law), perlu dibedakan dari naskah-naskah yang disepakati oleh para pihak namun yang jelas tidak dimaksudkan sebagai sumber hak/kewajiban melainkan sematamata sebagai rumusan pendirian dan tekad masing-masing (yang “kebetulan” sesuai) mengenai hal tertentu. Keraguan tentu sangat menyolok apabila para peserta berbeda pendapat tentang maksud naskah mereka. Akan tetapi, ini mengacu pada tidak tercapainya kesepakatan, bukan kesamaran perjanjian. Sumber Hak dan Kewajiban dan Sangkalannya Dalam menetapkan perjanjian-perjanjian mana yang dikuasai olehnya, Konvensi Wina dalam Pasal 2 ayat 1 judul (a) dengan tegas menyatakan bahwa PI dapat saja termuat dalam satu atau lebih dari satu dokumen dan dapat saja diberi nama apapun. Ketentuan ini, yang boleh dikatakan mencerminkan anggapan umum dan dengan demikian dapat dianggap berlaku sebagai HI umum, berarti bahwa bentuk PI tidak ada relevansinya bagi HI dan tidak mempengaruhi kadar hukum 4
5
Ketentuan Pasal 102 ini berbunyi : 1. Every treaty and every international agreement entered into by any Member of the United Nations after the present Charter comes into force shall as soon as possible be registered with the Secretariat and published by it. 2. No party to any such treaty or international agreement which has not been registered in accordance with the provisions of paragraph I of this Article may invoke that treaty or agreement before any organ of the United Nations. Lihat Annuaire de l’Institut de droit international jilid 60-I (persidangan Cambridge, 1983)
isinya. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa nama yang diberikan kepada naskah dan rumusan pengertian-pengertian dan istilah yang dipakai dalam naskah tidak penting, oleh karena nama dan rumusan itu merupakan sumber interpretasi tentang maksud para pihak dan makna dokumen bersangkutan mengenai hak dan kewajiban masing-masing.6 Pembuatan naskah sebagai hasil perundingan dapat mengacu ke berbagai tujuan. Ada kalanya naskah dimaksudkan sebagai penetapan hak / kewajiban masing-masing dengan kekuatan hukum. Apabila naskah diberi nama menurut kebiasaan tradisional di bidang PI, seperti kata “treaty” dalam bahasa Inggris, apalagi jika disertai acara-acara klasik seperti syarat ratifikasi (persetujuan keterikatan) dan/atau kesepakatan untuk mendaftarkannya di Sekretariat PBB sesuai Pasal 102 maka kesamaran tentang maksud para pihak boleh dikatakan dapat tercegah. Tapi bentuk dan acara demikian tidak merupakan syarat untuk menegaskan sifat hukum isinya. Tidak termuatnya ciri-ciri terkenal demikian sama sekali tidak membenarkan kesimpulan bahwa para pihak tidak menghendaki dokumen kesepakatan mereka merupakan sumber hak/kewajiban hukum. Inilah, antara lain, makna kebebasan bentuk yang diakui Pasal 2 ayat 1 judul (a) Konvensi Wina. Demikianlah tafsiran yang selayaknya diberi kepada istilah “treaties in simplified form” yang kita kenal dari praktek diplomasi dan yang dapat berbentuk, misalnya, pertukaran surat, “Pernyataan Bersama” (joint statement), bahkan “Nota Kesepahaman” (memorandum of understanding). Sebagai contoh yang cukup ekstrim, ada kalanya dipilih bentuk “Communiqué” yang sebenarnya berarti tidak lebih daripada “penerangan khalayak ramai tentang sesuatu yang terjadi”, namun dipakai sebagai sumber hak dan kewajiban. Sebaliknya, suatu naskah sebagai hasil komunikasi (secara bagaimanapun) antara para pihak dapat saja dibuat dengan tujuan berlainan. Tadi kita telah menjumpai fenomena perjanjian dengan hak/kewajibannya yang dikuasai sistem normatif yang tidak bersifat hukum atau suatu “sistem pengharapan” berdasarkan tindakan timbal balik. Disamping itu, naskah yang disepakati dapat dimaksudkan sebagai pernyataan penetapan tekad para pihak tentang kelakuan mereka di masa yang akan datang, tanpa tersiratnya janji yang bersifat hukum. Alternatif selanjutnya ialah pengumuman belaka, bagaimanapun resmi dan mulia sifatnya, tentang (biasanya hanya sebagian dari) apa yang diperbincangkan antara para pihak dan hasil kesepakatannya. Tadi telah disebut istilah “Communiqué”, meskipun “Pernyataan Bersama” kadang-kadang lebih disukai. Kadar Hak dan Kewajiban Sangkalan kadar hukum yang merupakan pokok persoalan di atas tadi tidak dapat disamakan dan tidak boleh dicampuradukkan dengan gejala lain, yaitu keanekaragaman jenis (hak dan) kewajiban yang kadar hukumnya tidak diragukan.
6
Tidak lama berselang Edy Prasetyono (CSIS) dilaporkan (Hukum Online 11 Juni 2006) pernah mengutarakan pendiriannya bahwasanya dokumen kesepakatan yang melahirkan organisasi ASEAN tidak mengikat. Beliau mengaitkan pandangan ini dengan kebijakan para pihak bersangkutan untuk ‘hanya menggunakan’ nama ‘Deklarasi Bangkok 1967 ‘. Meskipun harus diakui bahwa naskah Deklarasi tersebut memang kurang sesuai dengan bentuk lazim naskah pendirian organisasi, kiranya penyangkalan unsur keterikatan dalam comtoh ini patut dipertanyakan. Contoh lain ialah kabar tentang wawancara dengan Presiden AS pada bulan April 2005 tentang hubungan AS dengan Afghanistan setelah pemilihan presiden di negeri itu. Ia menitikberatkan bahwa hubungan strategis tidak mengharuskan pengaturannya dalam perjanjian resmi melainkan cukup diatur dalam bentuk pertukaran surat atau dalam suatu Memorandum of Understanding. Tanpa menerangkan alasan-alasan apakah yang menyebabkan kecondongan tersebut.
Pengertian sempurna tentang hakekat suatu kewajiban hukum merupakan syarat penting untuk dapat menetapkan apakah kewajiban itu dapat dinilai telah dipenuhi atau justru dilanggar. Itulah sebabnya perhatian yang cukup besar dicurahkan oleh Komisi Hukum Internasional PBB kepada penggolongan dan pembedaan antara berbagai jenis kewajiban hukum selama sebagian besar waktu perencanaan naskah ketentuan-ketentuan tentang perbuatan negara melawan hukum.7 Meskipun demikian, tetap terdapat cukup banyak gejala dalam praktek PI yang menimbulkan pelbagai pertanyaan tentang kelakuan dan tindakan ataupun hasil usaha yang merupakan isi sebenarnya kewajiban bersangkutan. Oleh karena itu, kita perlu mencurahkan perhatian khusus kepada soal kejelasan atau sebaliknya kesamaran yang kadang-kadang melekat pada rumusan suatu kewajiban. Antara kewajiban-kewajiban kita dapat membedakan kewajiban yang “keras” dan yang “lunak”. Dalam golongan kewajiban untuk melakukan sesuatu (obligation of conduct), sifatnya keras apabila tindakan itu dirumuskan secara sangat tegas dan spesifik, apalagi bila ditetapkan pula bahwa tindakan itu harus terlaksana dalam tenggang waktu yang tertentu. Sebaliknya, kewajiban dapat saja dirumuskan sebagai kewajiban untuk berusaha, sesuai dengan kemampuan si pengemban kewajiban, dengan mempertimbangkan keadaan menurut penilaian si pengemban kewajiban, untuk mencoba mencapai sesuatu. Dalam hal demikian, kewajiban ternyata begitu longgar dan kadar keharusannya menjadi demikian rendah, sehingga timbullah keraguan cukup mendalam tentang dimana letak sebenarnya garis batas antara pelaksanaan dan pelanggarannya. Ada sebagian peneliti yang mencari sebab kebijakan demikian di bidang adat-istiadat di bagianbagian dunia yang segan menitikberatkan secara tajam hak dan kewajiban masing-masing pihak, hal mana penulis sangsikan. Meskipun perlu diakui bahwa di lapangan HI yang bersifat khas itu pertimbangan-pertimbangan “tidak langsung” memainkan peranan yang jauh lebih besar di bidang perjanjian daripada di lingkungan HN, seperti memilih bermacam nama yang menghindari kata perjanjian. Kita dapat saja mengira bahwa kesamaran demikian tidak dapat timbul dalam hak kewajiban untuk mencapai suatu hasil usaha tertentu (kewajiban hasil usaha/obligation of result). Bayangkanlah kewajiban untuk mencegah terjadinya sesuatu. Namun, dugaan itu ternyata tidak tepat. Kesamaran tetap terdapat bila, misalnya, kewajiban bersangkutan mengharuskan menghasilkan suatu “keadaan yang bermanfaat” bagi sesuatu. Tadi
telah
kita
bertemu
dengan
istilah
“hukum
lemah”
yang
kadang
dipakai
untuk
menggambarkan sifat kewajiban yang tidak jelas apakah memang dimaksudkan sebagai kewajiban hukum. Kami mencatat disana bahwa penggunaan istilah dalam rangka itu rasanya kurang tepat oleh karena kesamaran disana mengenai batas antara hukum dan bukan-hukum. Istilah “hukum lemah” kiranya lebih tepat untuk menggambarkan kewajiban yang diakui sifat hukumnya namun memberi kelonggaran demikian banyaknya sehingga sukar menentukan garis batas antara memenuhi dan melanggar kewajiban.
7
Lihat, misalnya, Draft Articles on State Responsibility, versi 1996, Report of the ILC, 48th session, 1996 (A/51/10) Pasal 19-21.
Pihak Perjanjian dalam Kenyataan dan Pihak Perjanjian Menurut Hukum: Gejala “Perjanjian Administrasi” Penggolongan suatu perjanjian sebagai PI atau sebagai kategori lain menunjuk pada dikuasainya oleh HI atau hukum lain (atau, seperti kita sempat menjumpai tadi, sama sekali tidak dikuasai hukum). Penggolongan itu didasarkan berbagai kriteria, antara lain kedudukan para pihaknya sebagai subyek hukum. Aktor kemasyarakatan yang tidak diakui sebagai subyek HI tidak dengan sendirinya tidak dapat mengadakan PI sehingga perjanjian hasil kesepakatannya tidak pernah dapat dianggap bersifat PI. Sebaliknya perjanjian antara para aktor yang jelas subyek HI tidak otomatis bersifat PI, oleh karena mereka dapat saja di samping itu bertindak selaku subyek HN. Bayangkan sekarang perjanjian antara aktor yang tidak jelas kedudukannya sebagai subyek HI namun bertindak dalam rangka hukum publik di negaranya. Ada kalanya diadakan perjanjian antara alat-alat perlengkapan dari negara-negara berbeda, yang tidak khusus ataupun langsung berwenang dan bertugas di lapangan hubungan luar negeri atau antara kesatuan-kesatuan teritorial sesuai sistem otonomi daerah (seperti kota atau propinsi) negara masing-masing. Kesepakatan dan perjanjian demikian itu mengenai salah satu kebijakan di bidang tugas mereka. Tentu ada negara dimana hubungan lintas batas demikian antara alatalat perlengkapan ataupun kesatuan negara teritorial dilarang oleh hukumnya, sehingga gejala yang dibayangkan disini tidak terjadi. Akan tetapi, cukup banyak negara-negara dimana hal demikian dapat terjadi dan perjanjian-perjanjian demikian ternyata memenuhi kebutuhan bersama dibidang pemerintahan dan pengaturan kemasyarakatan setempat, terutama di kawasan-kawasan yang terletak saling berdekatan namun di negara yang berlainan.8 Timbullah pertanyaan apa sebenarnya kedudukan hukum perjanjian demikian yang kadang-kadang disebut “perjanjian administrasi”. Apakah perjanjian itu harus, atau boleh, disamakan dengan PI? Tetapi para pelakunya pada umumnya tidak merupakan (artinya: tidak diakui oleh negara bersangkutan sebagai) subyek HI (pengecualian boleh terjadi di negara federal tertentu). Haruskah kita menarik kesimpulan bahwa perjanjian semacam itu tidak bersifat “internasional” dalam arti kata lazim sehingga tidak tunduk pada hukum internasional mengenai PI melainkan harus dianggap dikuasai HN? Di samping itu, siapakah yang selayaknya dianggap sebagai pihak perjanjian? Haruskah negara-negara bersangkutan, biarpun tidak tegas menyuruh, mengizinkan ataupun menyetujui (meskipun tidak melarang) pembuatan perjanjian demikian, dianggap terikat padanya, meskipun seluruh acara pembuatannya tidak sesuai dengan acara yang lazim untuk PI dan semata-mata oleh karena aktor yang mengadakannya merupakan sebagian dari bangunan kenegaraan? Ataukah perjanjian demikian itu hanya mengikat para instansi bersangkutan di lingkungan HN? Tapi jika demikian, tata hukum manakah yang menguasainya, mengingat bahwa perjanjian demikian itu tidak pernah dimaksudkan sebagai suatu perjanjian HN?! Karangan singkat ini bukan tempatnya untuk menyelidiki persoalan ini secara panjang-lebar. Namun, mungkin disinipun kita dapat belajar dan mencari sandaran (meskipun hanya secara tidak langsung) di naskah PBB tentang perbuatan negara melawan hukum 2001, khususnya bab 2 yang berkepala “The ‘Act of the State’ under International Law” yang Pasal 5-nya berbunyi: 8
UU No. 37/1999 tidak memuat sebutan kemungkinan ini, meskipun demikian keluhan salah satu Dirjen Deplu tentang ”banyak perjanjian luar negeri yang dilakukan daerah kurang efektif”, Kompas 7 Agustus 2006, cukup membuat pelik.
“(1) For the purposes of the present articles, the conduct of any State organ acting in that capacity shall be considered an act of that State under international law, whether the organ exercises legislative, executive, judicial or any other functions, whatever position it holds in the organization of the State, and whatever its character as an organ of the central government or of a territorial unit of the State. (2) For the purposes of paragraph 1, an organ includes any person or body which has that status in accordance with the internal law of the State.” Keberlakuan di Lingkungan Hukum Nasional Perbedaan antara tata HI dan tata HN menyebabkan timbulnya kenisbian tentang makna PI, berhubung dengan persoalan kedudukan dan keberlakuan HI (atau khususnya PI) di lingkungan HN. Persoalan ini perlu dikaji dan dijawab oleh masing-masing tata HN sendiri, meskipun tentu hanya sejauh HI bersangkutan dapat ada relevansinya dalam lingkungan HI (relevansi demikian tidak ada dalam HI yang memang kita kenal ajaran-ajaran tentang kesatuan hukum internasional dan nasional (monisme) dan sebaliknya tentang perbedaan dan pemisahan mutlak antara kedua sistem hukum itu (dualisme). Akan tetapi, ajaran-ajaran muluk ini tidak menghidangkan jawaban langsung apapun atas pertanyaan yang kita hadapi dalam dunia “hukum yang berlaku” (“hukum positif”). Hal yang kita perlukan untuk memberi jawaban ialah adanya penetapan, atau “pilihan”m yang dibuat oleh hukum nasional tentang kedudukan dan peranan HI, khususnya PI, dilingkungannya. Pilihan demikian dapat berwujud tanpa atau melalui suatu tindakan hukum tegas dari tata HN bersangkutan yang termuat di undang-undang dasar, undang-undang biasa, atau, dimana HN ternyata tidak melakukan pilihan tegas (eksplisit), dikembangkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang penerapannya terlihat dalam keputusan-keputusan konkrit, misalnya keputusan-keputusan hakim. Tata HN dapat saja menyangkal mutlak segala peranan dan pengaruh HI terhadap HN, dan berpendirian bahwa pembuat hukum nasional merupakan satu-satunya yang berwenang mengadakan peraturan tentang hal apapun yang perlu diatur hukum di lingkungan HN. Sebaliknya, tata HN dapat juga pada azasnya mengakui kemungkinan peranan dan pengaruh itu, pengakuan mana dapat diutarakan menurut dua cara, yaitu dengan “mengizinkan” isi HI berlaku di lingkungan HN tanpa merubah sifat internasionalnya, atau dengan mengundangkan isi tersebut sebagai HN dalam bentuk perundang-undangan HN pula. Perbandingan antara sistem-sistem HN menunjuk dua jalan yang dapat dilalui dalam penerapan kebijakan cara pertama tadi. Jalan yang satu ialah secara “membuka pintu” bagi HI, yang berakibat HI itu berlaku di lingkungan HN, tanpa tindakan apapun dari pihak penguasa negara. Kebijakan “pintu terbuka” dapat juga hanya diterapkan sejauh mengenai HI tak tertulis yang biasanya bertepatan dengan HI yang “umum berlaku”, seperti di sistem mazhab hukum common law yang menggolongkan HI tak tertulis ini sebagai “law of the land”. Kebijakan ini berdasarkan sangkalan perbedaan antara hukum tak tertulis (“kebiasaan”) yang tercipta di suasana nasional dan internasional, dan yang melalui jalan itu juga menghasilkan keberlakuan HI tak tertulis di lingkungan nasional. Jalan yang lain perlu ditempuh apabila tata HN, sekalipun yakin akan
perlunya penerapan isi HI di lingkungan HN, menganggap perlu adanya suatu tindakan HN tegas agar mencapai hasil itu, seperti ketentuan dalam UUD atau perundangan biasa. Dalam hal PI, UU persetujuan PI (yang di praktek politik Indonesia disamakan dengan “ratifikasi”) kadang dipakai untuk keperluan ini. Sebagai alternatif kedua cara “pemberian izin” kepada HI tersebut kita kenal kebijakan menolak secara mutlak keberlakuan HI dalam tata HN. Dalam rangka ini, pemberlakuan isi HI di lingkungan HN memerlukan pembuatan HN yang tegas memuat ataupun setidaknya tegas mengundangkan isi HI bersangkutan sebagai HN (transformasi). Soal ya atau tidaknya tata hukum nasional memberlakukan HI, seluruhnya atau sebagian, di lingkungan HN-nya, tanpa “mengubah” sifatnya sebagai HIM, ataupun “hanya” memberlakukan isi HI di lingkungan HN sejauh (“diubah”) bentuk dan sifatnya menjadi HN, merupakan soal penting bagi penegak hukum nasional, yang kewenangannya di bidang penerapan hukum terbatas pada hukum yang berlaku di lingkungan hukum nasionalnya. Di samping itu, kebijakan berbeda itu juga memain peranan dalam penetapan kedudukan hirarki kaidah-kaidah hukum yang berasal internasional dan nasional yang termasuk kewenangan tersebut. Ruang Lingkup Azas Keterbatasan Berlakunya Antar-Pihak Titik tolak di bidang hukum perjanjian adalah bahwa perjanjian itu mencerminkan kesepakatan antara pihak-pihaknya tentang apa yang mereka inginkan. Dalam rumusan ini tersirat penetapan bahwa siapapun yang tidak ikut menyepakatinya dengan sendirinya tidak terikat padanya (pacta tertiis nec nocent nec prosunt; perjanjian tidak mengakibatkan keuntungan maupun kewajiban bagi pihak ketiga). Azas ini kelihatannya memang cukup layak, dan kelayakan ini lebih-lebih menyolok apabila kita memandang perjanjian itu sebagai sumber hak dan kewajiban timbal-balik antar para pihaknya, dengan hak pihak yang satu terhadap pihak yang lain tergabung dengan hak pihak kedua ini terhadap pihak pertama. Memang disini tidak ada alasan untuk memberi peranan apapun kepada pihak ketiga. Akan tetapi, PI tidak selalu bersifat timbal balik. Kadang-kadang, dan makin lama makin banyak, sesuai dengan bertambah padatnya hubungan-hubungan kemasyarakatan internasional di pelbagai
lapangan (“globalisme”)
dan
sejajar
dengan perkembangan itu,
timbullah dan
bertambahlah kebutuhan akan pengaturan hubungan-hubungan yang menyentuh pelbagai masyarakat nasional, dan yang bersifat baik lintas batas maupun tidak, namun tidak bersifat antar negara. Hubungan-hubungan kemasyarakatan itu mengenai bermacam-macam aspek kehidupan
yang
mencerminkan
cita-cita
kemasyarakatan,
seperti
hak
azasi
manusia,
pemberantasan penyakit, hubungan-hubungan keluarga, dan sebagainya. Dengan demikian, PI dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai kesamaan dalam menghadapi dan mengatur hubungan-hubungan
kemasyarakatan
tertentu
itu
di
masing-masing
lingkungan
hukum
nasionalnya. Pertanyaan yang kadang timbul adalah: dapatkah dan bolehkah PI yang berlaku antar negara AB-C-D (yang menyajikan peraturan bersama tentang perlindungan hak-hak azasi manusia, atau
merupakan peraturan bersama untuk persoalan-persoalan yang bersangkut dengan adopsi lintas batas, atau berisi aturan bersama
tentang pemindahan perselisihan perdata tertentu dari
kewenangan pengadilan kekuasaan pewasitan) diterapkan bila orang yang tersangkut dalam perkara HAM itu berkewarganegaraan negara E? Dan bagaimanakah apabila antara pihak hubungan internasional perdata ada yang berkewarganegaraan negara F? Atau apabila ada pihak berpekara digugat di pengadilan negara A untuk tunduk pada acara pewasitan sesuai dengan PI yang mengatur pewasitan, tapi pihak berperkara itu kebetulan berkewarganegaraan negara X, berhakkah negara X dengan alasan “memberi perlindungan diplomatik” kepada warganya atau dengan alasan lain menolak penerapan PI tersebut? Disini kadang tampak kemungkinan adanya suatu salah mengerti tentang makna azas pacta tertiis. Azas ini mengacu pada aspek primer PI, yaitu terjadinya kesepakatan antara negaranegara sebagai subyek HI yang berdaulat. Negara D tidak terikat pada perjanjian A-B-C, dan oleh karena itu , tidak dapat diwajibkan tunduk pada isi perjanjian tersebut tanpa persetujuannya sebagai negara berdaulat. Jika obyek perjanjian terdiri dari, misalnya, hak dan kewajiban timbal balik antar negara untuk bertindak bersama sebagai persekutuan militer, maka negara D tidak dapat dipaksa menurut hukum untuk menyesuaikan kelakuannya dengan persekutuan tersebut. Sebaliknya, apabila obyek perjanjian terdiri dari kesepakatan tertentu untuk menghadapi persoalan-persoalan kemasyarakatan tertentu secara sama di lingkungan HN masing-masing pihak perjanjian, maka negara D tetap tidak dapat dipaksa berdasarkan hukum untuk menyesuaikan kebijakan dalam lingkungan HN-nya dengan perjanjian tadi. Namun, ia juga tidak berwenang untuk berkeberatan, berdasarkan alasan tidak ikut sertanya sebagai pihak perjanjian, terhadap penerapan isi perjanjian tadi di lingkungan HN negara-negara A, B atau C jika penerapan demikian menyentuh suatu unsur yang berkaitan dengan negara D itu. Sebaliknya, keadaan ini tentu tidak mengurangi kewenangan negara D untuk mengajukan keberatan terhadap penerapan perjanjian itu berdasarkan alasan-alasan lain. Dalam contoh belakangan ini, perjanjian bersangkutan tidak mengenai hak-kewajiban antar negara yang timbal balik, melainkan merupakan kesepakatan (antar negara) untuk menghadapi dan mengatur hubungan-hubungan kemasyarakatan tertentu secara sama dan serupa di masingmasing lingkungan HN-nya. Disini terletaklah batas ruang lingkup azas pacta tertiis tersebut tadi. Ruang Lingkup Azas Pacta Sunt Servanda Azas ini merupakan inti dan hakekat pengertian perjanjian, termasuk PI. Tentu kewajiban yang terisi dalam azas ini, yang bersifat normatif dan tidak memaksa dalam arti kata hukum alam, dapat saja dilanggar. Akan tetapi, ciri inti tata hukum adalah, seperti telah pernah disebut tadi, bahwa pelanggaran demikian oleh tata hukum dikaitkan pada akibat-akibat tertentu tanpa persetujuan si pelanggar, sedang kewajiban asal tetap berlaku. Jika isi perjanjian tidak lagi memenuhi kehendak bersama para pihaknya, maka mereka itu tentu bebas untuk mengubahnya. Akan tetapi, gagasan pengubahan sepihak adalah sesuatu yang mutlak bertentangan dengan gagasan perjanjian.
Kemungkinan melanggar kewajiban hukum dapat dipandang sebagai kenisbian hukum pada umumnya dan tidak khusus mengenai pengertian perjanjian. Apa lagi, sejauh terjadi di lingkungan HN, terdapat (atau setidak-tidaknya: seharusnya terdapat) alat dan organisasi penegak hukum yang cukup lengkap dan kuat untuk menghadapi dan “menghukum” pelanggaran demikian sehingga dapat tertekan terjadinya. Akan tetapi, berbeda dari perjanjian di lingkungan HN, PI berada di lingkungan HI yang tidak mengenal organisasi masyarakat lengkap dengan dasar dan pucuknya, termasuk pemegang kekuasaan pusatnya dan alat perlengkapan penegak hukumnya yang berwenang dan nyatanya mampu menjaga dan mempertahankan hukum secara memaksa. Pada umumnya, baik hukum nasional maupun hukum internasional, pada hakekatnya merupakan hasil pergulatan kekuatan-kekuatan di masyarakat. Bedanya, di lingkungan HN pergulatan itu tersalur melalui bermacam bangunan organisasi dan penjagaan dan pembagian kewenangan, sehingga seakan-akan disublimasi dan dapat menghindari bentrokan-bentrokan yang merusak kestabilan masyarakat. Sebaliknya, di lingkungan HI aturan hukum hampir seluruhnya semata-mata merupakan buah hasil pergulatan kekuatan antara para subyek hukumnya yang kebebasannya hampir mutlak, berdasarkan titik tolak HI, yaitu kedaulatan negara. Dilihat dari sudut ini, kenisbian PI ternyata sekali dari kejadian beberapa waktu yang lalu, ketika presiden AS mengutarakan kesimpulannya bahwa AS tidak lagi berkepentingan dengan adanya Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (ABM Treaty) dan bahwa ia mempertimbangkan mengakhirinya. Ketika ditanya tentang niat tersebut, ia menyalahkan orang yang tidak dapat atau tidak mau mengakui bahwa zaman dan keadaan dapat saja berganti (dengan akibat kemungkinan perlunya hukum berganti pula). Pengaruh Kekerasan Menurut pengertian intinya, dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihamnya dan oleh karena itu tidak dapat lain daripada berdasarkan kehendak bebas. Di lingkungan HN, tata hukum dikuasai, dijaga, dan diatur oleh penguasa atau alat kekuasaan yang benar-benar berkuasa terhadap masyarakat lingkungan HN-nya. Kekuasaan ini dipegang secara monopoli dan mutlak (ingatlah julukan “negara gagal” bagi keadaan sebaliknya). Namun, maklumlah kekurangan dunia pengertian-pengertian dibanding kompleksitas kenyataan hidup jika menghadapi keadaan seperti negara Libanon dimana kekuasaan dan kekuatan sebenarnya yang membela kedaulatan negara terhadap dunia luar untuk sebagian besar berada di tangan organisasi di luar rangka pemerintah. Dalam rangka ini, lihatlah ketentuan Pasal 9 dari naskah PBB tentang perbuatan negara melawan hukum, 2001. Oleh karena itu, ancaman unsu kekerasan di bidang perjanjian perdata, sekalipun dapat saja
terjadi, namun biasa ditindak oleh penegak hukum dan pada umumnya tidak
merupakan faktor yang dapat mengurangi azas-azas yang berdasarkan hakekat perjanjian. Lain halnya di lingkungan HI yang berbeda secara mendalam dibanding dengan keadaan nasional. Wewenang menetapkan hukum, yaitu kewenangan politik hukum, seluruhnya pada dasarnya tergantung pada subyek hukum sendiri, terutama pada negara, sehingga dalam perbincangan hukum, unsur pembagian kekuatan, termasuk yang akibat kekerasan, perlu diperhatikan dan diperhitungkan. Unsur kebebasan kehendak sebagai inti perjanjian dengan demikian menjadi nisbi dalam hal PI.
Di pustaka sejarah politik internasional terkenal istilah “perjanjian tidak seimbang”, yang kadangkadang diiringi tuntutan pembatalannya. Istilah tersebut kebanyakan mengacu kepada perjanjian yang pernah diadakan di zaman lampau antara negara-negara Barat yang biasanya lebih kuat dengan kerajaan-kerajaan atau lain kesatuan kenegaraan di luar kawasan dunia Barat yang umumnya lebih lemah, sehingga perjanjian-perjanjian itu seringkali terus terang menguntungkan yang kuat dan merugikan si lemah. Timbullah pertanyaan apakah perjanjian-perjanjian demikian dapat dibatalkan ataupun dianggap batal demi hukum. Dilihat dari sudut kenyataan lingkungan HI seperti kita uraikan tadi, keinginan yang “sesuai rasa keadilan” itu sukar disesuaikan dengan kerangka bangunan tata HI yang belum mengenal larangan mempergunakan daya kekuatan dalam hubungan antar negara untuk menetapkan hak dan kewajiban antar mereka. Kita patut ingat bahwa sebelum terbentuknya tata hukum yang kita kenal semasa pasca Perang Dunia Kedua dalam bentuk piagam PBB termasuk larangan kekerasanya, tata HI bahkan mengizinkan, setidak-tidaknya tidak melarang, penggunaan kekuasaan (perang) untuk mencapai keinginan terhadap subyek lain, yang kemudian disahkan (!) dalam “perjanjian perdamaian” atau perjanjian lain. Berlatar belakang ini, kita condong berkesimpulan bahwa keinginan membatalkan perjanjian “tak seimbang” demi hukum akan gagal. Keinginan yang cukup legitimasi namun tanpa dasar hukum itu hanya dapat tercapai dengan cara penggemblengan kekuatan yang cukup besar dan segala cara meyakinkan lainnya (kecuali paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 52 Konvensi Wina) untuk mencapai perubahan isi perjanjian bersangkutan. Konvensi Wina, yang dapat kita anggap mencerminkan HI tentang PI menurut keadaan perkembangannya yang paling baru, mengenal ketentuan-ketentuan tentang peranan kekerasan di bidang PI, yaitu Pasal 51-52. Pasal 51 mengatur hal persetujuan negara untuk mengikat diri pada perjanjian yang diperoleh dengan, artinya sebagai akibat, kekerasan yang dipakai terhadap pribadi pejabat yang mewakili negara bersangkutan. Bagi keadaan demikian, Pasal 51 menentukan bahwa “persetujuan” demikian “tanpa akibat hukum apapun”. Kekerasan terhadap pribadi seseorang cukup jelas, setidak-tidaknya jauh lebih jelas daripada Pasal 52 yang menetapkan bahwa suatu perjanjian yang terjadi dengan memakai “ancaman atau penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan azas-azas HI yang termuat di Piagam PBB”. Multi interpretasi pengertian-pengertian yang digunakan di kalimat ini menunjuk pada kadar kenisbian cukup tinggi. Penutup Mudah-mudahan tulisan singkat ini berhasil menambah keyakinan akan tersimpulnya pelbagai kenisbian,
kesamaran
dan pertanyaan
di bidang
lembaga
perjanjian internasional yang
memerlukan penelitian dan penyelidikan seperlunya, baik di lapangan penerapan hukum praktis maupun di lapangan akademik, bagi kita semua.
PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL HUKUM NASIONAL OLEH SYAHMIN AK*
DALAM
SUASANA
* Dari buku Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, PT RajaGrafindo Persada, 2006: hal.186 s/d 205
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dampak ke dalam (internal effect) suatu perjanjian internasional sangat erat hubungannya dengan sistem hukum nasional suatu negara peserta.
Perjanjian internasional tertentu tidak menghendaki adanya ketentuan
pelaksanaan, sebaliknya ada perjanjian yang menghendaki ketentuan pelaksanaan dalam hukum nasionalnya.
Dalam hukum internasional dikenal dua teori yang menjelaskan
perlu-tidaknya ketentuan pelaksanaan nasional dalam rangka penerapan perjanjian internasional. Kedua teori dimaksud adalah teori adoption dan incorporation. Menurut teori adoption, perjanjian internasional mempunyai dampak hukum (legal effect) dalam
suasana
nasional.
Perjanjian
internasioal
tetap
mempertahankan
sifat
internasionalnya (keasliannya), namun diterapkan dalam suasana hukum nasional. Sebagai dasar teori ini adalah aliran monisme, yangmengajarkan bahwa hukum nasional dan hukum iternasional merupakan satu kesatuan dari satu siatem hukum pada umumnya.
Sementara itu, menurut teori incorporation, perjanjian internsional itu
terlebih dahulu harus diinkorporasikan ke dalam hukum nasional, baru dapat diterapkan dan menjadi hukum nasional. Teori ini mendasarkan ajrannya pada aliran dualisme, yaitu hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda. Menurut pandangan kaum dualisme, ikutnya suatu negara dalam perjanjian internasional melalui ratifikasi secara simultan menjadikan perjanjian internasional diinkorporasikan ke dalam sistem hukum nasional.
Sebaliknya menurut aliran dualisme yang strict dualist
system, perjanjian internasional harus ditransformasikan ke dalam hukum nasional dengan ketentuan yang telah ada. Selama tranformasi ini belum ada dampak ke dalam (internal effect) perjanjian internasional tersbut tidak ada, kecuali bila ada keputusan hakim nasional atau mengadakan penafsiran hukum nasional, mulai dari asumsi bahwa pembuat undang-undang tidak bermaksud bertindak atau mempertahankan ketentuan yang bertentangan dengan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional.
Perlu atau tidaknya suatu perjanjian internasional dibuatkan aturan pelaksanaannya jika diterapkan dalam suasan hukum nasional bergantung pada isi perjanjian itu sendiri, yaitu apakan isi perjanjian tersebut mempunyai sifat sebagai perjanjian yang self-excuting? Sebaliknya jika suatu perjnajian tidak berlaku secara otomatis dalam suasana nasional, perjanjian internasioal itu berarti memiliki sifat non-self executing. Jika perjanjian secara otomatis beralku sebagi hukum internasional, maka dapat muncul permasalahannya, yaitu bagaimana status hukum perjanjian tersebut jika berhadapan dengan hukum nasional yang tidak sesuai dengan isi perjanjian tersebut? Dalam hal ini, jika kita kembali pada teori transformasi yang mengajarkan bahwa suatu perjanjian yang telah diajdikan hukum nasional dengan jalan transformasi akan mempunyai status yang sama sebagai hukum nasional lainnya, asas lex posterior derogat lege priori akan diterapkan.
Sebaliknya jika kita kembali kepada teori adoption yang mengajarkan di
mana perjanjian diterapkan sebagai hukum internasiona, statusnya tidak otomatis sama dengan hukum nasional, melainkan membutuhkan penetuan sikan dari hukum nasional, ataupun hukum interasional atau praktik.
Dalam hal ini, baik teori monisme maupun
teori teori dualisme berpendapat bahwa suatu perjanjian dapat efektif berlaku pada akhirnya bergantung pada praktik nasional masing-masing negara. Hal yang jelas perlu diingat bahwa suatu negara bertanggung jawab atas penerapan perjanjian dalam suasana nasional. Jika penerapannya melanggar hukum internasional, suatu negara tidak dapat mempergunakan ketentuan hukum nasionalnya sebagai dalil pembelaan dan pembenaran atas pelanggaran tersebut.9 Selanjutnya, bagaiman sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dalam praktik ketatanegaraan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus meninjau kembali hukum konstitusi, yaitu UUD 1945. UUD 1945 ternyata tidak memberikan jawaban yang jelas mengenai hal tersebut.10 Hal itu disebabkan oleh sering kali kaidah-kaidah hukum internasional itu memang tidak jelas atau sudah berubah sebagai refleksi dari masyarakat internasional yang sedang mengalami masa transisi dan mengalami perubahan yang begitu cepat. pemberlakuan
perjanjian
internasional,
terutama
perjanjian
yan
Dalam
diwariskan
oleh
pemerintah kolonial Netherland dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda. Kadangkadang ditempuh cara tidakan sepihak (unilateral act) akrena tidak ada alternatif lain bagi negara yang menghendaki perubahan cepat atas norma yang dirasakan tidak adil.
9 10
Periksa Pasal 27 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Mochtar Kusumaatmdja, Op.Cit., hlm.87.
Akrena tidak adanya petunjuk pada UUD 1945, mengenai sikap Indonesia terhadap perjanjian ini, Prof. Mochtar Kusumaatmadja menegasakan sebagai berikut.11 “...kita tidak menganut teori transformasi apalagi sistem Amerika Serikat.
Kita
condong pada sistem negara Kontinental Eropa..., yakni langsung menganggap diri kita terikat pada keawajiban melaksanakan dan menaati ketentuan-ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lg undangundang pelaksana...” Meskipun demikian, beliau juga mengingatkan sebagai berikut. “...bahwa sebaikanya kita mengundangkan apa yang telah menjdaikan kita sebagai pihak peserta suatu perjanjian yang telah mengikat kita, apalagi kelalaian untuk melakukan hal itu bisa menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan hukum yang berlaku.
Sebaliknya, dalam beberapa hal pengundangan demikian tidak perlu,
masalahnya tidak menyangkut banyak orang atau persoalannya sangat teknis dan ruang lingkupnya sangat terbatas.
Akan tetapi, pengundangan dalam Undang-
Undang Nasional mutlak dipelukan, yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam Undang-Undang Nasional yang las\ngsung menyangkut hak warga negara sebagai perorangan.” Dari pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja di atas, jelas kiranya bahwa dalam memberlakukan
kaidah
hukum
internasional
khususnya
yang
berasal
dari
suatu
perjanjian internasional, UUD 1945 tidak memuat petunjuk dan untuk mengetahuinya, kita harus melihatnya pada praktik negara kita sendiri bagaimana. D.
Indonesia dan Konvensi tentang Pengkuan dan Pelaksanaan keputusan Arbitrase Asing
1.
Konvensi Jenewa 1927
Seperti telah penulis utarakan pada bab-bab terdahulu, dengan dikeluarkannya Keppres No.34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981 Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan Keppres No. 34 Tahun 1981 untuk mengesahkan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” yang telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958.
Konvensi ini telah mulai terlebih dahulu pada
tanggal 7 Juni 1959. Republik Indonesia baru menyatakan turut serta pada konvensi ini 11
Ibid., hlm.87.
dengan cara accescion, dan mulai tanggal 5 Agustus 1981.12 sebelum Konvensi New York 1958 ini dinyatakan berlaku, di Indonesia sebagai ahli waris dari Hindia Belanda berlaku Konvensi Jenewa 1927 tenang pelaksanaan Keputusan –keputusan Arbitrase luar negeri.13 Akan tetapi, sering timbul perbedaan paham mengenai masih berlaku atau tidaknya konvensi tersebut setal RI menjadi negara yang berdaulat.
Dengan kata lain, masih
berlaku atau tidaknya perjanjian internsional sehubungan dengan telah terjadinya suksesi negara/ pergantian negara (succession of state) dari Hindia Belanda sebagai negara yang digantikan (predecessor state) kepada negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara pengganti (sucessor state).14 Sehubungan dengan hal tersebut, suksesi negara ini dapat dibedakan antara pengertian yuridis dan pergantian menurut kenyataan. Pergantian negara karena kenyataan dapat terjadi karena perubahan yang disebabkan oleh penggabungan satu dan/atau lebih negara menjadi federasi, konfederasi, atau negara kesatuan, dapat juga karena sesi, aneksasi, dekolonisasi.15 Hal yang menyangkut maslah kita sekarang adalah pergantian negara karena perubahan karena dekolonisasi. Bagaimanakah nasib perjanjian internasional karena dekolonisasi? Dalam hukum internsional dibedakan antara personal treaties dan inpersonal treaties, serta dispositive. Personal treaties ialah perjanjian yang dibuat oleh kepala negara/kepala pemerintahan secara pribadi sebagai kepala pemerintahan. akan beralih kepada penggantinya. penggantinya.
Perjanjian demikian tidak
Bentuk perjanjian tidak akan beralih kepada
Bentuk perjanjian demikian yang personal dapat berbentuk perjanjian
yang bersifat polotis, baik bilateral maupun multilateral. Contoh perjanjian yang bersifat politis adalah perjanjian persahabatan, persekutuan (aliansi) pemberian bantuan, dan lain sebagainya. Dapat pula berupa kerja sama dalam bidang peradilan, misalnya perjanjian ekstradisi dan konvesi tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan hakim arbitrase luar negeri. Sementara itu, yang dimaksud dengan perjanjian yang termasuk dalam kategori dispositive adalah perjanjian yang menyangkut wilayah negara atau tanah. Perjanjian ini 12 13 14
15
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 40. Lihat Lampiran II buku ini Staatsblad Tahun 1933 No.131. Salah seorang pakar hokum internsional yang banyak mencurahkan perhatian dan banyak melakukan penelitian tentang succession of state ini adalah D.P.O. Connel. Karya tulidsnnys yang amat terkenal itu di antaranya ialah: The Law of State Succession, dan State Sucession in Municipal Law and Internasional, dan State Succession and Problems of Treaty Interpretation, Mac Millan & Co., Ltd, London. Syahmin AK., Hukum Perjanjian Internasional: Menurut Konvensi Wina 1969, (Bandung CV Armico, 1988), hlm.196; Lihat pula Budi Lazarusli dan Syahmin AK., Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internsional (Bandung: CV. Remadja Karya, 1986), hlm.6 dan seterusnya.
membebani suatu wilayah dengan status hukum, misalnya pernjanjian pangkalan militer, perjanjian perbatasan, dan lain sebgainya. Perjanjian ini mengikatkan negara dan tetap mengikat negara tersbut, meskipun negara tersebut, meskipun telah terjadi suksesi negara. Ternyata
dengan
timbulnya
negara-negara
baru
setelah
Perang
Dunia
II
dalam
penyelesaian maslah pernjanjian internsional yang dibuat oleh negara penjajahnya timbul praktik yang berbeda-beda. hukum
internasional,
ada
Mereka tidak seluruhnya menaati teori di atas. dua
doktrin
yang
populer
yang
dapat
dipakai
Dalam untuk
menganalisis sikap negara-negara baru dalam hal perjanjian internsional sehubungan suksesi negara.
Doktrin tersebut ialah acquired rigths doctrine atau vested rights
doctrine dan clean state doctrine. Menurut acquired rights doctrine, hak yang telah diperoleh oleh negara yang diganti beralih kepada negara yang menggantikannya. universal.
Teori ini juga disebut dengan teori
Sementara itu, doktrin yang kedua berpendapat bahwa negara baru tidak
dibebani dengan kewajiban yang timbul dari perjanjian internsional yang mengikat negara tersbut sebelum terjadinya suksesi negara. Doktrin ini juga disebut free choice doktrine. Ternyata dalam praktiknya, doktrin tersebut tidak dapat diikuti dengan strict dan penyelesaian masalah perjanjian internasional dalam kaitannya dengan suksesi negara berbeda-beda, bergantung pada sikap negara-negara baru yang bersangkutan. Cara lain untuk menyelesaikan masalah perjanjian internsional sehubungan dengan suksesi negara ialah dengan cara membuat inheritance agreement atau disebut perjanjian peralihan. Perjanjian peralihan ini merupakan cara agara beralihnya hak dan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian internasional dalam rangka suksesi negara dapat berjalan dengan lancar.
Sebagai contoh untuk perjanjian peralihan ini adalah
perjanjian yang dibuat antara negara bekas jajahan Prancis dengan Prancis. Indonesia sendiri
mengadakan
perjanjian
dengan
Kerajaan
Belanda,
mulai
dari
perjanjian
Linggarjati tentang penyerahan kedaulatan (1947), dan ditindaklanjuti dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) tentang masalah Irian Barat (1949), kemudian disertai dengan perjanjian peralihan yang menampung kedudukan perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah Kerajaan Belanda yang dinyatakan berlaku bagi Hindia belanda. Pasal 5 ayat (1 dan 2) Perjanjian Peralihan KMB menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh Belanda tidak otomatis berlaku bagi bekas jajahannya di Netherlands Indie. Namun, setelah pemutusan perjanjian KMB, sikap Indonesia tetap bahwa perjanjian
internasional yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dan dinyatakan berlaku bagi wilayah Hindia Belanda tidak otomatis berlaku bagi Indonesia.16 Masalah perjanjian internasional dalam kaitannya dengan terjadinya suksesi negara dapat diatasi dengan adanya Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi Negara dalam hubungannya dengan penghormatan pada perjanjian internasional (Vienna Convention on Sucession of State in Respect of Treaties) yang diterima PBB pada 23 Agustus 1978. Pasal 11 Konvensi Wina Tahun 1978 menetapkan bahwa suksesi negara tidak dapat memengaruhi apa pun terhadap garis batas wilayah dan hak yang berhubungan dengan rezim perbatasan yang ditetapjan oleh perjanjian internasional.17 Sementara itu, Pasal 12 ayat (1,a-b) menetapkan pembentukan basis/pangkalan militer asing di wilayah negara itu karena terjadinya suksesi negara tidak mengikat negara pengganti.18 Jadi, Pasal 12 (3) merupakan pengecualian atas prinsip yang ditetapkan dalam Pasal 12 (1,2). Pasal 11 dan Pasal 12 (1,2) sesuai dengan teori dispositive treaties tetap belaku, meskipun telah terjadi suksesi negara. Isi ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pasal 62 (2,a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian yang menegaskan bahwa perubahan mendasar tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk mengakhiri suatu perjanjian perbatasan.19 Kembali
lepada
persoalan,
bagaimanakah
sikap
Indonesia
terhadap
perjanjian
internacional yang dibuat oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan dinyatakan berlaku bagi Hindia Belanda dalam hubungannya dengan telah terjadinya suksesi negara pada tahun 1945? Setelah berlakunya KMB sebagai perjanjian peralihan (devolution agreement), ternyata hubungan antara Indonesia dan Negeri Belanda tidak harmonis karena masalah Irian Barat, di mana pada saat itu Irian Barat masih tetap dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Perselisihan antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat itu, kemudian dipergunakan oleh Indonesia untuk membatalkan secara sepihak hubungan dengan pihak Kerajaan Belanda. Republik Indonesia dengan menggunakan prinsip rebus sic stantibus dan berlandaskan pada Undang-undang Nomor 13 tahun 195620, menyatakan tidak 16 17
18
19
20
Lihat, Keppres No.33 Tahun 1950, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1950. Konvensi Wina Tahun 1978, Article 11 – “Boundary Regime” merumuskan: A succession of States does not as such affect; (1) a boundary established by treaty; or (2) obligations and rights established by a treaty and relating to the regime of a boundary. Article 12 par.(3) merumuskan sebagai berikut. The provision of the present article do not apply to treaty obligations of the predecessor State providing for the establishment of foreign military bases on the territory to which the sucession of States relates. Article 62 tentang Fundamental change of circumstances: par. (2.a) merumuskan: fundamental change of circumstances may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from a treaty: (a) if the treaty establishes boundary. Lihat Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1956.
terikat lagi pada Perjanjian KMB, dan secara tegas telah memutuskan ikatannya dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar tersebut. Setelah pemutusan terhadap perjanjian KMB, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dalam kaitannya dengan suksesi negara berlandaskan pada UU No. 13 tahun 1956. Hal ini dapat kita ketahui dari pernyataan Indonesia kepada Sekretaris Jenderal PBB (sebagai deposan untuk perjanjian yang didaftarkan pada LBB/PBB sesuai dengan ketentuan Pasal 102 (1) Piagam PBB) Indonesia secara tegas menyatakan sikap tetap terikat oleh beberapa konvensi, antara lain adalah: a.
Convention for the Settlement of Certain Conflicts of Laws in Connection with Cheques and Protocol (Geneva March 19, 1931);
b.
Convention on the Stamps Laws in Connection with Cheques (Geneva, March 19, 1931);
c.
Convention Providing Uniform Law for Cheques and Protocol (Geneva, March 19 1931).
Oleh karena itu, untuk selanjutnya sikap Republik Indonesia terhadap perjanjian internasional yang dahulu dibuat oleh Kerajaan Belanda dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda, tidak secara otomatis berlaku. Hal ini sesuai dengan Surat Departemen Luar Negeri Republik Indonesia tanggal 19 Desember 1972 o. 12727, yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut: “…Praktik yang dianut oleh Indonesia dewasa ini ialaha bahwa Republik Indonesia hanya menjadi pihak pada suatu perjanjian yang dahulu dibuat oleh Nederland dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda, selama Republik Indonesia secara tegas menyatakan
demikian,
sesuai
dengan
internasional, kecuali mengenai perbatasan.”
prosedur
dalam
hukum
perjanjian
21
Kembali pada persoalan. Bagaimana sikap Republik Indonesia terhadap Konvensi Jenewa 1927 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Hakim Arbitrase Luar Negeri? Mengenai hal ini ada perbedaan pendapat. Pendapat pertama dikemukakan oleh Prof. Sudargo Gautama sebagai berikut. “…kami sendiri berpendapat bahwa Konvensi Jenewa tahun 1927 ini masih berlaku untuk negara kita. Hal ini disebabkan oleh karena dalam Konferensi Meja Bundar, dalam pasal peralihan telah dinyatakan bahwa berkenaan dengan pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia dihubungkan dengan Penetapan Presiden No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, maka persetujuan internasional 21
Budi Lazurusdi dan Syahmin AK., Op. Cit., hlm. 95.
yang berlaku untuk wilayah Republik Indonesia pada saat penyerahan kedaulatan tetap berlaku.”22 Jika kita hubungkan dengan pendapat yang telah penulis utarakan di muka, agaknya Prof. Sudargo Gautama ini menganut teori acquired rights/vested rights, atau juga disebut dengan teori universal. Pendapat kedua dianut oleh Prof. Asikin Kusumaatmadja, yaitu sebagai berikut. “Konvensi ini sudah tidak berlaku lagi sejak Konferensi Meja Bundar. Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada pernyataan secara tegas dan aktif oleh pihak Indonesia bahwa kita hendak menganggap diri terikat pada konvensi itu.” Pendapat yang kedua ini tampaknya sesuai dengan doktrin clean state. Agaknya terhadap pendapat yang berbeda-beda sebagaimana telah penulis paparkan di atas masing-masing mempunyai pendukungnya. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa adanya perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya ketentuan perundang-undangan kita yang tegas-tegas mengatur masalah tersebut. 2.
Implementasi Konvensi New York 1958 di Indonesia
Seperti telah penulis utarakan pada bagian awal pembahasan bab ini, Indonesia menjadi peserta Konvensi New York 1958 dengan pernyataan ikut serta (aksesi) melalui Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981. Aksesi ini didaftarkan pada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 7 Oktober 1981. Indonesia hanya mengajukan persyaratan (reservation) pertama saja, yaitu reciprocity principles (asas perberlakuan secara timbal balik). Aksesi ini merupakan langkah penting terhadap perkembangan iklim arbitrase di Indonesia. Hal ini penting karena dewasa ini dengan semakin meningkatnya kontrak internasional yang diadakan oleh pengusaha Indonesia dengan pihak asing, di mana klausul arbitrase tercakup di dalamnya, keppres tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah bersungguh-sungguh menghormati klausul tersebut beserta akibat hukum yang ditimbulkannya.
22
Sudargo Gautama, Op. Cit., hlm. 68
Meskipun Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York 1958, yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan
konvensi
tersebut
mengikat
Indonesia,
ternyata
dalam
pelaksanaannya kemudian masalah baru tentang pelaksanaan keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri muncul. Masalah ini baru berkisar pada adanya dua pendapat yang saling bertolak belakang antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan para pakar hukum ternama, khususnya Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama. Mahkamah Agung berpendapat bahwa meskipun pemerintah Republik Indonesia telah mengaksesi konvensi melalui Keppres No. 34 tahun 1981, namun dengan adanya perundang-undangan tersebut tidak serta merta berarti keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia. Mahkamah berpendapat perlu adanya peraturan pelaksanaan dari keppres tersebut agar pelaksanaan (eksekusi) suatu keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan. Lengkapnya Mahkamah menyatakan sebagai berikut. “Bahwa selanjutnya mengenai Keppres No. 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 dan
lampirannya
tentang
pengesahan
Convention
on
the
Recognition
and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards sesuai dengan praktik hukum yang masih berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan hakim arbitrase dapat diajukan langsung kepada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak
mengandung
hal-hal
yang
bertentangan
dengan
ketertiban
hukum
internasional bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, permohonan pelaksanaan putusan hakim arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima.”23 Sebaliknya, Prof. Dr. Sudargo Gautama berpendapat bahwa keppres tersebut tidak perlu dijabarkan oleh peraturan perundang-undangan pelaksanaannya. Menurut beliau, sebuah keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, berlainan dengan undang-undang yang menentukan. Untuk itu, diperlukan peraturan pelaksanaan. Beliau memberikan sebuah contoh tentang pasal 43 Undang-undang Nomor 1 Tentang Pokok-pokok Perkawinan di Indonesia Tahun 1974 yang menentukan bahwa anak di luar kawin mengikuti status hukum sang ibu. Hubungan lebih lanjut antara Ibu dan anak dengan keluarga sang ibu akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah ini hingga kini belum pernah diterbitkan.
23
Sudargo Gautama, Ibid., hlm. 57.
Menurut hemat penulis, sebenarnya tidak perlu ada pertentangan antara pemerintah (cq. Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia)
dengan
para
pakar
hukum
bila
yang
dipertentangkan itu hanya soal perlu tidaknya peraturan pelaksanaan. Kehendak pemerintah ketika mengaksesi Konvensi New York 1958 sudah jelas antara lain adalah untuk
terikat
kepada
ketentuan-ketentuan
Konvensi
New
York
tahun
1958
dan
menghormati secara timbal balik keputusan hakim arbitrase yang dibuat di luar negeri. Sebagai konsekuensi dari tindakan itu sudah barang tentu pemerintah seyogianya berupaya agar keputusan hakim arbitrase asing yang dibuat di luar negeri tersebut dihormati dan dilaksanakan. Peran pemerintah disini sudah jelas, yakni sebagai alat pengontrol terhadap keputusan tersebut agar benar-benar dapat dilaksanakan di dalam negeri. Jadi, peran kontrol inilah yang diemban oleh pemerintah. Sementara itu, yang memegang kendali utama dan sebenarnya dalam hal ini adalah tetap ada pada para pihak yang telah membuat klausul arbitrase dan menetapkan arbitrasenya, serta kesepakatan untuk melaksanakan segala keputusan yang dikeluarkan oleh arbitrase yang bersangkutan. Seperti telah diutarakan pada bab terdahulu, masalah keputusan hakim arbitrase asing di Amerika Serikat tidak begitu menjadi masalah yang terlalu signifikan lagi karena memang para pihak (terutama para pengusaha di negeri Paman Sam itu) telah benar-benar konsisten dan konsekuen dengan apa yang telah mereka tuangkan di dalam klausul arbitrase. Jadi, peranan pengadilan di sana tidak begitu banyak. Memang untuk para pengusaha di Indonesia, tampaknya komitmen dan taraf pemahaman, penghargaan terhadap klausul arbitrase belum setara dengan para pengusaha di luar negeri (Amerika Serikat) yang telah cukup lama berkecimpung dalam lembaga arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa komersial mereka. Di tanah air, pengenalan terhadap lembaga arbitrase saja masih minim sekali. Bukan saja bagi kalangan pengusaha, tetapi juga di kalangan perguruan tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990, sekaligus menjawab dua masalah penafsiran hukum yang saling berkaitan yang telah lama berkembang. Masalah pertama, apakah suatu keppres memerlukan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya atau tidak, sebagaimana halnya dengan undang-undang? Masalah kedua, badan peradilan manakah yang memiliki wewenang untuk menangani masalah pelaksanaan keputusan hakim arbitrase asing tersebut?
Masalah pertama, sehubungan dengan Pemerintah Republik Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tahun 1958 dengan Keppres No. 34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981. Namun, baik Konvensi New York 1958, maupun keppresnya sendiri tidak mengatur tentang bagaimana prosedur pelaksanaan kepuytusan arbitrase sehingga timbul reaksi dari para ahli hukum kita. Seperti telah diutarakan di muka bahwa keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, tetapi pihak pemerintah menganggapnya perlu. Mengulangi pernyataan sebelumnya, menurut hemat kami, peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 itu sekaligus merupakan penjabaran dan petunjuk lebih lanjut dari Keppres No. 34 tahun 1981, bukan peraturan pelaksanaan sebagaimana lazimnya yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan di sini bahwa keppres pun, bila pemerintah menganggap perlu, dapat dibuatkan aturan pelaksanaan. Masalah kedua, yaitu siapakah dan atau lembaga peradilan mana yang berwenang menangani masalah putusan arbitrase asing tersebut? Terjawab dengan ketentuan dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1990 itu sendiri bahwa badan yang diberi kewenangan untuk menangani masalah yang berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan hakim arbitrase asing itu adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dua pendapat mengenai perlu tidaknya keppres dibuatkan aturan pelaksanaannya telah mengundang perdebatan yang sengit dan memperoleh tanggapan yang saling bertolak belakang antara satu pihak dari pemerintah (cq. Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan pihak pakar hukum Indonesia. Akhirnya, telah terjawab dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1990 itu dimungkinkan. Karena tidak adanya ketentuan dalam peraturan hukum nasional Indonesia yang mengatur, bagaimanakah penerapan perjanjian internasional sebagai pelaksanaan dari Pasal 11 UUD 1945? Meskipun ada Surat Presiden No. 2826, dan telah dijadikan sebagai pedoman dalam hubungannya dengan pelaksanaan Pasal 11 sesuai dengan konvensi ketatanegaraan, pelaksanaan Surat Presiden No. 2826 dalam praktiknya belum dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Akibatnya praktik negara kita sehubungan dengan perjanjian internasional masih banyak masalah yang harus dibenahi.
APA PERJANJIAN INTERNASIONAL ITU? BEBERAPA PERKEMBANGAN TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh Damos Dumoli Agusman*
* Tulisan ini dimuat dalam buku “Refleksi Dinamika Hukum” (2008) dalam rangka mengenang Prof. Dr. Komar Kantaadmaja, S.H., LL.M. Penulis adalah lulusan FH Unpad (1987) dan University of Hull, Inggris (1990) yang saat ini menjabat Direktur Perjanjian Ekososbud, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, DEPLU. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dan bukan merupakan pandangan resmi DEPLU. ”Apa perbedaan antara perjanjian internasional dengan perjanjian biasa atau kontrak?”, demikian pertanyaan Almarhum Prof. DR. Komar Kantaatmadja S.H., LL.M, kepada penulis pada saat sidang ujian skripsi penulis tentang hukum perjanjian internasional pada tahun 1986. Penulis menjawab secara normatif bahwa yang pertama subjeknya adalah negara, sedangkan yang kedua subjeknya adalah orang/badan hukum. ”Tapi negara dengan negara juga bisa membuat kontrak?”, lanjut beliau dengan tersenyum. Penulis merenung dan saat usainya ujian skripsi, penulis masih belum dapat menemukan jawabannya. Penulis semakin menyadari betapa pentingnya memahami definisi perjanjian internasional guna membedakannya dengan kontrak/perjanjian biasa. Pemahaman publik tentang apa itu perjanjian internasional juga sangat minim dan acapkali melihatnya dari segi popular yaitu perjanjian yang bersifat lintas batas. Distorsi publik ini pulalah yang mendorong lahirnya klaim bahwa Production Sharing Contracts (PSC) antara Pemerintah RI adalah ”perjanjian internasional” sehingga memicu adanya judicial review terhadap UndangUndang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam jurisprudensi Indonesia
yang
mengangkat
permasalahan
teoritis
tentang
hukum
perjanjian
internasional. Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu issue kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Konvensi ini, perjanjian internasional adalah: “An
International
Agreement
concluded
between
States
and
International
Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied
in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation” Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan sebagai setiap perjanjian di bidang hukum
publik,
yang
diatur
oleh
hukum
internasional,
dan
dibuat
oleh
Pemerintah dengan Negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yaitu: ●
an International Agreement;
●
by Subject of International Law;
●
in Written Form;
●
“Governed
by
International
Law”
(diatur
dalam
hukum
internasional
serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik); ●
Whatever Form.
Parameter tentang ”Governed by International Law” merupakan elemen yang sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional tidak hanya di kalangan praktisi namun juga akademisi. Dalam pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, suatu dokumen disebut sebagai ”Governed by International Law” jika memenuhi dua elemen, yaitu “intended to create obligations and legal relations under international law: a. Intended to create obligations and legal relations. There may be agreements whilst concluded between States but create no obligations and legal relations. They could be in the form of a “Joint Statement”, or “MOU”, depends on the subject-matter and the intention of the parties (ILC Draft and Commentary, 1967). b. …Under International Law. There may be agreements between States but subject to the local law of one of the parties or by a private law system/conflict of law such as “agreements for the acquisition of premises for a diplomatic mission or for some purely commercial transactions i.e. loan agreements” (Report of the ILC Special Rapporteur, 1962).
Permasalahan teoritis tentang bagaimana mengidentifikasi bahwa suatu dokumen adalah ”Governed by International Law” juga masih menimbulkan perdebatan akademis. Apakah hal ini dapat ditarik dari the intention of the Parties? the Subject-Matter of the agreement?, atau should there be a presumption that an inter-state agreement which is intended to create legal relations is governed by international law? Pakar hukum D.J. Harris sendiri masih melihat hal ini sebagai ”unanswered questions”. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sendiri telah menekankan bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup Undang-Undang ini adalah hanya perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerinth Indonesia yang diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan bukan di bidang hukum perdata. Namun praktek Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya Undang-Undang ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI, diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam ”Treaty Room”. Perjanjian yang dibuat Pemerintah RI dengan NGO juga dianggap sebagai perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex, PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai perjanjian internasional dan bahkan diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1963. Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktek di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian namun masih terdapat
kesulitan
tentang
pembedaan
yang
berkaitan
dengan
“Governed
by
International Law”, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh Pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti “loan agreements”. Keputusan MK terhadap judicial review Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), dimana penulis juga terlibat untuk mewakili pemerintah, merupakan jurisprudensi landmark bagi perkembangan hukum perjanjian internasional di Indonesia. Dalam kasus ini, beberapa anggota DPR mempermasalahkan bahwa pasal 11 ayat (2) UU Migas yang berbunyi ”Setiap Kontrak Kerja Sama (KPS) yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR-RI” dianggap bertentangan dengan pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi ”Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR”. Mahkamah Konstitusi dalam judical review ini telah melakukan koreksi terhadap distorsi yang terjadi dalam opini public tentang apa itu perjanjian internasional.
Mahkamah
Konstitusi menyatakan: “Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, “perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, kami dapat menyetujui pendapat Pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties) dan pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karenanya, Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) UU Migas, tidak termasuk Perjanjian Internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD 1945, dan karena itu permohonan Pemohon sepanjang mengenai hal tersebut tidak cukup beralasan”. Status loan agreements juga menjadi kontroversi dalam perspektif definisi perjanjian internasional. Hal ini disebabkan adanya pergeseran tentang governing law yang mendasari perjanjian-perjanjian pinjaman. Secara konvensional, perjanjian pinjaman dikenal sebagai perjanjian perdata internasional dan tunduk pada hukum nasional tertentu sehingga status perjanjian ini bukanlah perjanjian internasional ”Governed by International Law”, dan dengan demikian bukan perjanjian internasional seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional). Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasi internasional ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihak kreditor agar perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional dan ditempatkan pada rejim hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jika perjanjian pinjaman memiliki karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnya yang perdata (lihat Georges R. Delaume, The Proper Law of Loans concluded by International Persons: A Restatement and Forecast, American Journal of International Law, Vol. 56, 1962). Akibatnya, muncul berbagai
perjanjian
pinjaman
antar
negara
dan
organisasi
internasional
yang
mengindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tunduk pada hukum nasional seperti tercermin pada General Conditions for Loans IBRD 2005. Namun di lain pihak, banyak perjanjian pinjaman seperti halnya perjanjian komersial lainnya yang tidak secara tegas menyebutkan governing law, sehingga penetapan status perjanjian diserahkan pada intepretasi di kemudian hari manakala terjadi sengketa. Dengan adanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status perjanjian pinjaman, yaitu:
a.
perjanjian internasional publik ”Governed
by International Law”
seperti yang
dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan; b.
perjanjian perdata internasional biasa yang ”Governed by other than International Law yang tidak membutuhkan prosedur seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan Undang-Undang dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya persetujuan DPR ini sehingga dalam pasal 23 ayat (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR”. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, kalangan Departemen Keuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang berlaku selama ini, pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah diperoleh pada saat membuat perjanjian pinjaman luar negeri. Namun perlu ditekankan bahwa persetujuan DPR dalam konteks Undang-Undang APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang (oleh DPR) seperti yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang APBN bukanlah Undang-Undang untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan Undang-Undang untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Di lain pihak pengesahan/ratifikasi adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan hukum pemerintah RI sesuai dengan Hukum Perjanjian Internasional. Dalam hal ini, perbuatan Pemerintah RI
yang menandatangani suatu perjanjian disahkan dengan Undang-Undang (dengan demikian melalui persetujuan DPR) sehingga Indonesia secara resmi, berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, terikat pada perjanjian itu. Sedangkan
pengertian
persetujan
DPR
pada
Undang-Undang
APBN
bukanlah
mengesahkan perjanjian yang sudah ditandatangani melainkan menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Persetujuan DPR pada Undang-Undang APBN adalah terhadap perjanjian yang akan dan belum ditandatangani oleh Pemerintah RI sedangkan persetujuan dalam konteks pengesahan/ratifikasi adalah terhadap perjanjian yang sudah ditandatangani. Dengan demikian, secara juridis formal, adanya persetujuan DPR dalam APBN tidak dapat meniadakan persyaratan ratifikasi sebagaimana ditetapkan oleh
pasal 10
huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun
2000
tentang
Perjanjian
Internasional, kecuali secara tegas dinyatakan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pinjaman/Hibah Luar Negeri ini. Dalam prakteknya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang pada hakekatnya mengatur tentang Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah Luar Negeri. Menurut pasal 15 Peraturan Pemerintah tersebut, wewenang penandatanganan Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri berada pada Menteri Keuangan. Pada Peraturan Pemerintah ini tidak terdapat aturan yang mengindikasikan
bahwa
Naskah
Perjanjian
Pinjaman
atau
Hibah
harus
mendapat persetujuan DPR. Selain itu, Pasal 16 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Itulah sebabnya, dalam rangka akuntabilitas juridis serta untuk mengamankan kepentingan hukum khususnya kewajiban pengesahan dengan Undang-Undang, maka posisi Departemen Luar Negeri pada setiap perjanjian pinjaman kategori ini selalu mengupayakan klausula tentang dipenuhinya terlebih dahulu prosedur konstitusional/internal sebelum berlakunya perjanjian. Dalam praktek, Departemen Luar Negeri akan menyampaikan notifikasi “telah terpenuhinya prosedur konstitusional/ internal” setelah mendapatkan konfirmasi tertulis dari Departemen Keuangan perihal itu. Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam Undang-Undang
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 (bahkan dalam Rancangan Undang-Undang Pinjaman/Hibah Luar Negeri) apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional biasa. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional hanya mengatur tentang perjanjian pinjaman per definisi Undang-Undang ini yaitu perjanjian “Governed by International Law”. Sehingga untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UndangUndang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Akibat tidak adanya
penegasan
juridis
dari
Rancangan
Undang-Undang,
akan
terjadi
konflik
kewenangan antara substansi dan format yaitu Menteri Keuangan yang memiliki kewenangan atas pinjaman luar negeri dengan kewenangan Menteri Luar Negeri yang memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional itu sendiri. Terlebih lagi, dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri ditandatangani oleh Menteri Keuangan sedangkan menurut penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, “Dalam hal pinjaman luar negeri, Menteri (dalam hal ini Menteri Luar Negeri) mendelegasikan kepada Menteri Keuangan”. Dalam praktek Indonesia, perjanjian pinjaman dapat merupakan perjanjian internasional dan juga dapat berupa perjanjian perdata internasional. Loan Agreements yang dibuat oleh Indonesia selama ini adakalanya memuat klausula tentang governing law yang merujuk pada hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridis teoritis perjanjian ini bukan termasuk kategori perjanjian seperti dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun
2000
tentang
Perjanjian Internasional.
Konsekuensinya
adalah mekanisme
ratifikasi menurut hukum perjanjian internasional tidak diperlukan karena perjanjian ini tunduk pada hukum nasional bukan hukum internasional. Namun di pihak lain, beberapa negara seperti Jerman dan Loan Agreement dengan International Fund for Agriculture Development tahun 2000 menginginkan agar perjanjian pinjaman ini mengambil format perjanjian internasional yang tunduk pada Konvensi Wina 1969, sehingga prosedur Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 harus diterapkan, termasuk prosedur ratifikasi berdasarkan pasal 10. Dalam definisi tentang Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri pada Rancangan UndangUndang ini, diindikasikan bahwa Pemerintah RI dapat membuat perjanjian dengan pemberi pinjaman, yang dalam hal ini mungkin Bank Swasta Asing, Lembaga Keuangan Non-Pemerintah Asing, serta Lembaga Donor Swasta lainnya. Lembaga-lembaga ini jelas bukan Subjek Hukum Internasional dan dengan demikian perjanjian pinjaman dengan
lembaga-lembaga ini bukan merupakan perjanjian yang menjadi lingkup Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Pada sisi lain terdapat pula kecenderungan pada publik opini untuk menggunakan parameter nomenklatur atau judul dokumen sebagai faktor penentu untuk menetapkan dokumen itu sebagai perjanjian internasional. Dengan demikian maka setiap dokumen yang berjudul treaty, convention, agreement, adalah perjanjian internasional sedangkan agreed minutes, MOU, record of discussion bukan perjanjian internasional. ICJ Qatar/Bahrain Case, 1994, memberikan petunjuk bahwa untuk menetapkan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional tidak harus dilihat dari judul perjanjian. Dalam tanggapannya terhadap “Minutes signed by Foreign Ministers of Bahrain, Qatar and Saudi Arabia, 1990”, ICJ menyatakan bahwa Minutes ini adalah perjanjian internasional. ICJ merujuk pada The ICJ Aegean Sea Continental Shelf, 1978: a. In order to ascertain whether an agreement of that kind has been concluded, the Court must have regard above all to its actual terms and to the particular circumstances in which it was drawn up. b.
The Minutes are not a simple record of a meeting; they do not merely give an account of discussions and summarize points of agreement and disagreement. They enumerate the commitments to which the Parties have consented. They thus create rights and obligations in international law for the Parties. They constitute an international agreement.
c. Having signed such a text, the Foreign Minister of Bahrain is not in a position subsequently to say that he intended to subscribe only to a "statement recording a political understanding” and not to an international agreement”. d. The Court concludes that the Minutes of 25 December 1990, like the exchanges of letters of December 1987, constitute an international agreement creating rights and obligations for the Parties. Sekalipun Konvensi Wina dan jurisprudensi tidak menempatkan judul dokumen sebagai faktor penentu, perlu pula diperhatikan bahwa praktek negara tentang judul suatu perjanjian sangat dinamis dan memunculkan berbagai variasi. Dewasa ini banyak negara yang menggunakan berbagai variasi judul seperti Joint Statement, Protocol, Charter, Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation, Side Letter, Reciprocal Agreement (dalam format Nota Diplomatik), Letter of Intent, Minutes
of
Memorandum
Meeting, of
Aide
Agreement,
Memoire, Letter
Demarche, of
Letter
Understanding,
of
Agreement,
Memorandum
of
Cooperation, Record of Understandings, atau nama lain yang disepakati oleh para pihak dalam perjanjian. Walaupun judul suatu perjanjian dapat beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokan perjanjian internasional dalam nomenklatur tertentu dimaksudkan dan diupayakan untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Selain itu terdapat kecenderungan
dalam
praktek
negara-negara,
sekalipun
tidak
konsisten,
bahwa
nomenklatur tertentu menunjukkan bahwa materi perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian tersebut dengan perjanjian internasional lainnya. Praktek di Indonesia misalnya, sekalipun tidak mengikat secara hukum cenderung menempatkan Agreement lebih tinggi dari MOU yang kemudian diikuti dengan Arrangements, Exchange of Notes. Sekalipun Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak mempermasalahkan judul atau nomenklatur, namun praktek Indonesia pada umumnya tanpa disengaja telah mengarah pada kristalisasi penggunaan nomenklatur tertentu untuk
ruang
lingkup
materi
tertentu,
misalnya
lebih
cenderung
menggunakan
“Agreement” sebagai instrumen payung dan kemudian MOU serta Arrangements untuk instrumen turunannya. Pendekatan ini dimaksudkan hanya untuk kebutuhan praktis dan secara hukum tidak mengurangi atau melarang Indonesia untuk menentukan bentuk lain berdasarkan asas kebebasan berkontrak sepanjang kedua pihak menyepakatinya. Selain itu, terdapat pula kecenderungan umum dalam praktek Indonesia bahwa dalam setiap pembuatan perjanjian yang bersifat teknis antar sektor harus didahului dengan pembuatan perjanjian payung, seperti Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik. Pendekatan ini cukup idealis namun hanya dimaksudkan untuk kepentingan conveniences dan bukan merupakan suatu aturan yang mengikat. Dalam hal ini, jika terdapat kebutuhan lain maka suatu perjanjian dapat saja dibuat untuk masalah yang teknis dan konkrit tanpa adanya perjanjian payung. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding) merupakan salah satu model dokumen yang memiliki sifat khas/typical. Terdapat praktek negara, khususnya pada negara-negara common law system, yang berpandangan bahwa MOU adalah nonlegally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara negara (termasuk MOU) memiliki daya mengikat seperti Treaties. Para ahli berpendapat bahwa istilah MOU digunakan dengan alasan politis yaitu ingin sedapat mungkin menghindari penggunaan Agreement yang dinilai lebih formal dan mengikat. Adanya pengertian MOU yang non-legally binding dalam praktek beberapa negara akan
menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik dan moral. Untuk kebutuhan praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri masih belum memberikan klarifikasi yang berarti. Secara umum pengertian ini selalu diartikan bahwa salah satu pihak tidak dapat meng-enforce isi MOU melalui jalur peradilan internasional atau jalur kekuatan memaksa yang lazim dilakukan terhadap perjanjian internasional. Dari sisi hukum nasional, khususnya pada negara-negara common law, pengertian nonlegally binding memiliki implikasi bahwa dokumen ini tidak dapat dijadikan alat pembuktian serta di-enforce oleh pengadilan. Dalam praktek diplomasi Indonesia saat ini, sebenarnya belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian sengketa atas suatu perjanjian internasional melalui pengadilan internasional. Dengan demikian, pengertian non-legally binding belum menjadi concern yang berarti bagi Indonesia. Istilah MOU sendiri ternyata telah sering digunakan sebagai bentuk yang lebih informal dari ”kontrak” atau ”perjanjian” dalam hubungan perdata nasional. Dalam rangka menarik dan memberikan jaminan politik terhadap investor asing, Pemerintah Daerah juga sudah mulai menggunakan format MOU untuk merefleksikan jaminan Pemerintah Daerah terhadap niat investor asing untuk melakukan investasi di daerah itu. Status hukum MOU semacam ini masih menjadi perdebatan. Perlu pula dicermati bahwa MOU sudah menjadi instrumen yang digunakan dalam hubungan kerjasama antar wilayah dalam kerangka otonomi daerah di Indonesia. Pengertian MOU oleh otonomi daerah merupakan dokumen awal yang tidak mengikat yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk “Perjanjian Kerjasama” yang bersifat mengikat. Metode yang digunakan dalam praktek Indonesia untuk menentukan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional masih belum konsisten. Hal ini terlihat dari pola sistem penyimpanan perjanjian (depository system) yang ternyata menyimpan pada Treaty Room Departemen Luar Negeri semua dokumen sepanjang ditandatangani oleh Pemerintah RI tanpa melihat apakah dokumen tersebut memenuhi semua elemen sebagai suatu perjanjian. Jika diteliti lebih dalam seluruh dokumen yang tersimpan pada Treaty Room berdasarkan materi perjanjian (the merits of the documents), maka pada hakekatnya dapat dilakukan klasifikasi sbb:
a.
Perjanjian seperti yang didefinisikan oleh Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dan Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Multilateral Convention, Border Treaties, Extradition, Agreement, MOU’s, Exchange of Notes, etc);
b.
Perjanjian yang memiliki karakter internasional tetapi tidak tunduk pada hukum internasional publik (loan agreements, procurement contracts, etc);
c.
Dokumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (joint statements, declarations, agreed minutes, etc).
Dinamika hubungan masyarakat internasional yang sedemikian pesat, sebagai akibat dari semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang membawa dampak pada percepatan
arus
globlalisasi,
mengakibatkan
hukum
perjanjian
internasional
juga
mengalami perkembangan pesat seiring dinamika masyarakat internasional itu sendiri. Sekalipun literatur hukum internasional telah menyediakan banyak teori dan praktek tentang perjanjian internasional yang cenderung ajeg dan konsisten, namun dinamika masyarakat internasional melalui diplomasi praktis telah memperkaya teori dimaksud dalam berbagai variasinya dalam bentuk format dan klausula yang kreatif dan inovatif. Dari uraian diatas maka praktek Indonesia juga ternyata tidak luput dari dinamika tersebut.
BIBLIOGRAPHY John H Jackson, “Status of Treaties in Domestic Legal System: A Policy Analysis”, AJIL, Vol, 86, No. 2 (Apr. 1992), pp. 310-340. Anthony Aust, “Modern Treaty Law and Practice”, Cambridge University Press, 2000. Charlotte Ku & Paul F. Diehl, “International Law: Classic and Contemporary Readings”, London: Lynne Rienner Publishers, Inc, 2003. D. J. Harris, “Cases and Materials on International Law”, London: Sweet & Maxwell, Ltd, 1998. Delano Verwey. “The European Union and the International Law of Treaties”, Cambridge University Press, 2004. Jan Klabbers. “The Concept of Treaty in International Law”, Martinus Nijhoff Publishers, 1996. Malcolm N. Shaw. “International Law”, Cambridge University Press, 1997. Marvin A. Chirelstein. "Concepts and Case Analysis in the Law of Contracts”, New York: Foundation Press, 2001. M.N. Shaw, “International Law”, Grotius Publication, 1991. Rebecca Wallace, “International Law”, Sweet & Maxwell, London, 2005. Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional”, Bina Cipta, 1975. Syahmin AK, “Hukum Kontrak Internasional”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Clifford J. Hynning, “Treaty Law for the Private Practitioner”, The University of Chicago Law Review, Vol. 23. Antonio Cassese, “International Law”, Oxford, 2005. Damos Dumoli Agusman, “Pedoman Teknis dan Referensi tentang Pembuatan Perjanjian Internasional”, Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, DEPLU, 2006.
KEMUNGKINAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI - JUDICIAL REVIEW – KAN oleh Lita Arijati, et. al*
*Diambil dari Jurnal Konstitusi, volume 3, nomor 1, Februari 2006.
Latar Belakang Pemerintah RI dalam melaksanakan politik luar negerinya selalu berusaha melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentinan nasionalnya diantaranya adalah dengan
membuat
suatu
perjanjian
internasional
dengan
negara
lain,
organisasi
internasional dan subyek hukum lainnya. Dengan meningkatnya intensitas hubungan dan interdependensi antarnegara, menyebabkan meningkatnya pula kerjasama internasional yang dituangkan dalam bentk berbagai macam perjanjian internasional. Kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan DPR. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
antara
Pemerintah
Indonesia
denganpemerintah
negara-negara
lain,
organisasi internasional dan subyek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum
yang
sangat
penting,
karena
mengikat
negara
dengan
subyek
hukum
internasional lainnya. Oleh sebab itu salah satu cara pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan UU. Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh
perjanjian
internasional
tersebut.
Pengesahan
suatu
perjanjian
internasional
dilakukanberdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional
yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang. Dalam penelitian ini, akan dibahas pokok permasalahan sbb: 1. Bagaimana proses pengesahan perjanjian nternasional menjadi UU di Indonesia? 2. Apakah UU yang mengesahkan perjanjian internasional dapat diajukan ke depan MK? 3. Bagaimana proses pengajuan UU yang mengesahkan perjanjian internasional dalam hal diajukan kehadapan MK? 4. Bagaimana dampak secara nasionalmaupun internasional dari UU yang mensahkan perjanjian internasional jika dibatalkan ole MK? Proses Pengesahan Perjanjian Internasional Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lainnya adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu, pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan UU. Sebelum adanya UU No. 24 tahun 2000, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan perstujuan DPR. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkanlebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.24 Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua
DPR,
dan
telah
menjadi
pedoman
dalam
proses
pengesahan
perjanjian
internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden dapat dilakukan melalui UU atau Keppres, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prakteknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan UU yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.
24
Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.
Hal ini emudian yang menjadi alas an perlunya perjanjian internasional diatur dalam UU No. 24 tahun 2000. Dalam UU tersebut, adapun isi yang diatur adalah25: a. Ketentuan Umum b. Pembuatan perjanjian internasional c. Pengesahan perjanjian internasional d. Pemberlakuan perjanjian internasional e. Penyimpangan perjanjian internasional f.
Pengakhiran perjanjian internasional
g. Ketentuan peralihan h. Ketentuan Penutup Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1. Ratifikasi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional; 2. Aksesi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian; 3. Penerimaan atau penyetujuan, yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut; 4.
Selain itu juga ada perjanjian- perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan surat uasa (Full Powers).26 Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah presiden dan menteri.
25
26
Indonesia (a), UU No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 185 Ibid, Pasal 7
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa. Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh
perjanjian
dilakukan
internasional
berdasarkan
tersebut.
ketetapan
Pengesahan
yang
disepakati
suatu
perjanjian
oleh
para
internasional
pihak.
Perjanjian
internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam UU.27 Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU atau Keppres.28 Pengesahan dengan UU memerlukan persetujuan DPR.29 Pengesahan dengan Keppres hanya perlu pemberitahuan ke DPR.30 Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui UU apabila berkenaan dengan: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara c. kedualatan atau hak berdaulat negara d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup e. pembentukan kaidah hukum baru f.
pinjaman dan/atau hibah luar negeri.31
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggungjawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 24 tahun 2000. Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 24 tahun 2000, dinyataka bahwa, “Pengesahan perjanjian internasional sebagaiana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.” Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia tidakserta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia
27 28 29 30 31
Ibid, Pasal 8 Ibid, Pasal 9 Ibid, Pasal 10 Ibid, Pasal 11 Ibid, Pasal 10
memandang hukum nasional dan hukum interasional sebagai dua sitem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya. Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui UU dan Keppres. UU ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, UU ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat UU yang lebih spesifik mengenai perjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi ICCPR melalui UU, maka selanjutnya Indonesia harus membuat UU yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam UU yang lebih spesifik. Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/ nota diplomatic, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak. Perjanjian yang termasuk kedalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, social, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasama antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Apakah MK Berwenang Menguji UU yang Mengesahkan Perjanjian Internasional? Menurut UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, pada Pasal 10 dinyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji UU terhadap UUD 1945 b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 c. memutus pembubaran partai politik, dan d.
32
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum32
Indonesia (b), UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, Lembaran Negara RI tahun 2003 No. 98, Pasal 10.
Dengan demikian salah satu kewenangan dari MK yang perlu digaris-bawahi adalah mengenai menguji UU terhadap UUD 1945. Hal ini relevan karena dalam melakukan ratifikasi terhadap suatu perjanjian internasional adalah melalui UU. Sesuai dengan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, dalam Pasal 8, disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi (1) hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3) pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5) kewarganegaraan dan kependudukan; dan (6) keuangan negara.33 Selanjutnya selain dari yang berkaitan dengan UUD 1945 adalah diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.34 Hal ini sama dengan ketentuan dalam UU No. 24 tahun 2000 mengenai hal apa saja dari perjanjian internasional yang disahkan dalam UU. Beberapa hal yang sama adalah mengenai kedaulatan, hak asasi manusia, wilayah negara dan masalah keuangan negara. Hal lain adalah merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih spesifik dari muatan UU secara umum. Sehingga tidak adanya suatu perbedaan antara UU ratifikasi perjanjian internasional dan UU pada umumnya dilihat dari sudut muatan materi UU. Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemprakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, RUU, atau rancangan Keppres tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.35 Pengajuan disampaikan
pengesahan kepada
perjanjian
Presiden.36
internasional Presiden
dilakukan
mengajukan
melalui
RUU
Menteri
tentang
untuk
pengesahan
perjanjian internasional yang telah disiapkan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR. Dalam surat tersebut Presiden menegaskan antara lain tentang menteri yang ditugasi mewakili presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR.37 DPR mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat presiden diterima. Untuk keperluan pembahsan RUU di DPR, menteri atau pimpinan 33
34 35 36 37
Indonesia (c), UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara RI tahun 2004 NO. 53, Pasal 8 Ibid, Pasal 8 ayat (2) Ibid, Pasal 12 Ibid, Pasal 12 ayat (3) Indonesia (c), Pasal 20
lembaga
pemrakarsa
diperlukan.
memperbanyak
naskah
RUU
tersebut
dalam
jumlah
yang
38
Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan, Tingkattingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Tata cara pembahasan RUU tersebut diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPR.39 Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden, diampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi UU.40 Setiap UU atau Keppres tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara RI. Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam Lembaran Negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara.41 Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan pemerintah RI pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara-negara pihak dalam perjanjian internasional atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpanan pada organisasi internasional.42 Lembaga penyimpanan (depositary) merupakan negara atau organisasi internasional yang ditunjuk atau disebut secara tegas dalam surat perjanjian untuk menyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional.Praktek ini berlaku bagi perjanjian multilateral yang memiliki banyak pihak. Lembaga penyimpanan selanjutnya memberitahukan semua pihak bahwa perjanjian tersebut telah menerima piagam pengesahan dari salah satu pihak.43 Disamping perjanjian internasional yang disahkan melalui UU atau Keppres, pemerintah dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran
dokumen
perjanjian/nota
diplomatic,
atau
melalui
cara
lain
sesuai
kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian. Secara struktur, muatan dan isi serta proses pembentukan dari UU pengesahan perjanjian internasional tidak berbeda dengan UU lainnya. Oleh karena itu, UU ini dapat diajukan ke MK.
38 39 40 41 42 43
Ibid. Ibid, Pasal 32, ayat 1,5,6, dan 7 Ibid, Pasal 37 Indonesia (a), Pasal 14 Ibid, Pasal 14 Ibid.
Tatacara Pengajuan Permohonan Pengujian UU yang Mengesahkan Perjanjian Internasional ke MK Dalam perkara permohonan pengujian UU Pengesahan Perjanjian Internasional, maka prosedur pengajuan yang digunakan tidaklah berbeda dengan apa yang telah ditetapkan dalam peraturan Mahkamah tentang pengajuan permohonan. Dimana bagian yang terpenting adalah legal standing dari pemohon dalam mengajukan permohonannya. Dalam hal ini adalah kepentingan pemohon dalam mengajukan permohonan termaksud. Dalam berperkara di MK, sebenarnya tidak semua orang boleh mengajukan perkara permohonan
ke
MK
dan
menjadi
pemohon.44
Adanya
kepentingan
hukum
saja
sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata45 maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar. Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut UU untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada MK. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian UU. Persyaratan legal standing dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam UU, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang dipersoalkan. Dalam hukum acara MK yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003, yang bunyinya sbb:
a.
Perorangan warganegara Indonesia;46
b.
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI ynag diatur dalam UU;47
44
45
46
47
Semua perkara konstitusi di MK disebut sebagai perkara permohonan, bukan gugatan. Alasannya karena hakikat perkara konstitusi di MK tidak bersifat adversaria atau contentious yang berkenaan dengan pihakpihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata maupun tata usaha negara. Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara pengujian undang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. UU yang digugat adalah UU yang mengkat umum terhadap segenap warga negara. Oleh sebab itu perkara yang diajukan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permohonan. Dengan demikian, subjek hukum yang mengajukan disebut sebagai pemohon. Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point d’interet poiny d’action, yaitu apabila ada kepentingan hukum diperbolehkan untuk mengajukan gugatan. Yang termasuk sebagai ini adalah kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan yang sama dapat tampil sebagai pemohon, asalkan dapat membuktikan dirinya memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU untuk menjadi pemohon. Rumusan ini merujuk pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
c.
Badan hukum public atau privat;48
d.
Lembaga Negara.49
Hal
yang
perlu
diingat
bahwa
pemohon
harus
mampu
menguraikan
dalam
permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di MK, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas. Dua criteria dimaksud adalah:50 a. Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan WNI (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU; (iii) badan hukum public atau privat, atau (iv) lembaga negara; b. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Kemudian, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Perkara No. 006/PUU-III/2005, Mahkamah telah menentukan lima persyaratan mengenai kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu UU sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, yaitu: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu UU yang dimohonkan pengujian; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat khusus dan actual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d.
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya UU yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa setiap pemohon haruslah: 48
49 50
Dengan berkembangnya ilmu hukum di masa modern ini, besar kemungkinan badan hukum tidak hanya mencakup pengertian public/privat saja, melainkan juga mencakup pengertian lainnya secara luas. Maksudnya adalah lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat. Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press: Jakarta, 2005, hal. 81-82
1. salah satu dari keempat kelompok subjek hukum tersebut di atas; 2. bahwa subjek hukum dimaksud memang mempunyai hak-hak atau kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945; 3. bahwa hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah dirugikan
atau
dilanggar
oleh
berlakunya
UU
atau
bagian
dari
UU
yang
dipersoalkannya itu; 4. bahwa adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan sebab akibat atau hubungan kausal dengan berlakunya UU yang dimaksud; 5. bahwa apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian konstitusional
yang
bersangkutan
memang
dapat
dipulihkan
kembali
dengan
dibatalkannya UU dimaksud. Jika kelima criteria ini tidak dapat dipenuhi secara kumulatif, maka yang bersangkutan memang dapat dipastikan memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan perkara ke MK. Sudah tentu, dalam pelaksanaannya, kelima criteria tersebut masih bersifat abstrak. Bagaimana penilaiannya oleh hakim sangat tergantung kepada kasus konkretnya di lapangan. Untuk dinyatakan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, kelima kriteria itu kadang-kadang tidak diterapkan secara kaku, atau bersifat kumulatif secara mutlak. Karena, penilaian mengenai legal standing ini baru mengantarkan pemohon kepada keabsahannya sebagai pemohon, belum memperhitungkan pokok permohonannya. Untuk itu dalam kaitannya dengan permohonan yang diajukan ke mahkamah, dalam permohonannya pemohonharus menjelaskan kedudukan hukum pemohon dalam perkara yang
diajuakan.
Dalam
kaitannya
dengan
pengajuan
permohonan
pengujian UU
pengesahan perjanjian internasional, maka pemohon harus menguraikan dengan jelas mengenai anggapan tentang hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU a quo. Uraian ini harus secara jelas dan tegas yang pada pokoknya
akan
menunjukkan
hubungan
hukum
antara
pemohon
dengan
materi
permohonan yang hendak diajukan. Dalam kaitannya dengan pengajuan permohonan pengujian UU pengesahan perjanjian internasional, Mahkamah perlu lebih berhati-hati dalam memutuskan legal standing ini. Untuk itu secara khusus perihal legal standing harus menjadi perhatian Mahkamah, mengingat dampak kekuatan mengikatnya tidak saja terhadap keberlakuan UU tersebut akan tetapi juga dalam pergaulan internasional.
Materi pengajuan yang hendak dimohonkan ke mahkamah juga harus menyebutkan dengan jelas perihal permohonan pengujian formil atau pengujian materiil. Dalam hal ini pemohon harus menguraikan dengan jelas yang berisi uraian perihal permohonan yang hendak diajukan, apakah itu materiil atau formil. Uraian ini akan menjadi gambaran yang jelas bagi hakim dalam menilai materi permohonan yang diajukan. Dalam kaitannya dengan pengajuan pengujian formil, dalam perkara pengujian UU pengesahan perjanjian internasional, kiranya menjadi perhatian khusus Mahkamah dalam memeriksa dan memutus perkara ini adalah terkait dengan pengujian atas pembentukan UU a quo. Hal ini terkait dengan proses keikutsertaan Indonesia sebagai pihak dalam perjanjian internasional, masalah proses perundingan atau negosiasi, keterwakilan pemerintah dalam perjanjian internasional tersebut dan proses pengesahan perjanjian internasional menjadi UU. Dalam pengujian formalitas UU pengesahan perjanjian internasional, pemeriksaan tidak hanya terkait dengan proses pembentukan di DPR akan tetapi harus juga dijadikan perhatian perihal proses keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional. Dalam hal
ini
harus
internasional
diperhatikan
tersebut.
bagaimana
Terkait
dengan
keikutsertaan keterwakilan
Indonesia pemerintah
dalam
perjanjian
Indonesia
dalam
perjanjian tersebut, dimana harus dilihat siapa yang mewakili pemerintah Indonesia? Apa dasar keterweakilan pemerintah Indonesia? Hal ini terkait dengan surat kuasa yang diemban oleh wakil Indonesia dalam proses perjanjian internasional tersebut. Hal ini akan terkait dengan sejauh mana wewenang wakil pemerintah tersebut dalam kaitannya dengan proses keikutsertaan dalam perjanjian internasional. Hal lain yang harus juga diperhatikan dalam kaitannya dengan permohonan pengujian formil UU pengesahan perjanjian internasional adalah apa bentuk UU pengesahan tersebut. Hal ini akan terkait dengan bentuk keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional. Hal ini adalah untuk menjawab pertanyaan perihal bentuk pengesahannya apakah UU ratifikasi atau aksesi atau penerimaan, sebagaimana yang disebutkan dalam UU Perjanjian Internasional. Dalam petitumnya pemohon dalam permohonan pengujian formil UU pengesahan perjanjian internasional, menyatakan bahwa UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permohonan putusan Mahkamah dalam petitum penting untuk dinyatakan dalam permohonan yang diajukan, hal ini sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara a quo. Apabila dalam permohonan tidak dinyatakan
petitumnya, maka hal ini harus menjadi perhatian dalam pemeriksaan pendahuluan dan memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Dalam hal permohonan yang diajukan adalah pengujian materiil UU pengesahan perjanjian internasional, maka pengujian dilakukan berkaitan dengan materi muatan dalam ayat, pasl dan/ atau bagian yang bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal ini harus diperhatikan dengan baik terkait dengan materi muatan yang menjadi dasar pengujian materiil yang diajukan, dimana apakah pernyataan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atas materi muatan yang diperiksa dan diputus mahkamah akan dapat dikategorisasi sebagai pembatalan sepihak atau tidak. Dalam hal ini harus diperhatikan, perjanjian internasional tersebut secara keseluruhan. Kerena pengujian UU pengesahan perjanjian internasional memiliki dimensi yang tidak saja bersifat nasional namun juga internasional. Kesemua aspek tersebut akan menjadi bagian yang penting dalam pertimbangan yang akan dibuat oleh Mahkamah dalam memutus permohonan a quo. Dalam hal pengujian UU pengesahan perjanjian internasional dapat menimbulkan penafsiran sebagai bentuk pembatalan sepihak (denunciation) dari keikutsertaan Indonesia, hal ini juga harus diperhatikan oleh Mahkamah, yaitu apakah dalam perjanjian internasional tersebut dimungkinkan untuk melakukan pembatalan sepihak atau penangguhan. Hal ini penting bagi Indonesia, karena Indonesia tidak dapat menarik diri dari perjanjian tersebut jika tidak ada pasal yang mengatur mengenai pe,batalan sepihak atau penangguhan keikutsertaan dalam perjanjian tersebut. Dalam memberikan keputusan yang terkait dengan permohonan pengujian UU pengesahan perjanjian internasional, juga harus dipertimbangkan dampak yang akan timbul dari dikabulkannya permohonan tersebut. Meskipun dengan pembatalan UU pengesahan perjanjian internasional tidak secara
serta
merta
menghilangkan
keikutsertaan
Indonesia
dalam
pergaulan
internasional. Dampak Pembatalan UU yang Mengesahkan Perjanjian Internasional Dampak dari pembatalan UU tersebut tidak hanya akan bersifat nasional tetapi juga bersifat internasional. Walaupun dalam Konvensi Wina Article 46 dinyatakan bahwa negara peserta dari suatu perjanjian internasional dapat membatalkan keikutsertaannya dalam perjanjian jika pelanggaran terhadap perjanjian tersebut merupakan suatu tindakan yang memang sesuai dengan internal law of fundamental importance. Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah jika perjanjian internasional yang disahkan oleh UU
dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945, hal ini dapat dimasukkan dalam kategori tersebut. Konvensi Wina menyatakan hal di atas karena dalam prosedur ratifikasi, negara peserta diberikan kesempatan untuk memutuskan apakah akan menjadi pihak dalam perjanjian internasional atau tidak, dengan menyesuaikan perjanjian internasional tersebut dengan konstitusi negaranya. Maka pernyataan untuk terikat dalam perjanjian internasional tersebut merupakan suatu itikad baik, yang harus dihormati oleh negara-negara lainnya. Mengenai pembatalan perjanjian yang diakibatkan oleh dibatalkannya suatu UU yang mensahkan suatu perjanjian internasional oleh MK tidak termasuk dalam faktor-faktor yang menjadikan perjanjian menjadi batal atau ditangguhkan. Namun dalam hal ini dapat dimasukkan dalam pembatalan atau penangguhan secara sepihak ini tidak akan menjadi masalah jika pengunduran diri diatur dalam suatu perjanjian
internasional,
seperti
halnya
dalam
Konvensi
Jenewa
1949
tentang
Perlindungan Korban Perang, dalam Pasl 63 mengenai Perbaikan Keadaan Luka dan Sakit di Medan Perang di darat, menetapkan bahwa pembatalan atau pernyataan tidak terikat terhadap perjanjian ini berlaku satu tahun sejak pemberitahuan mengenai pernyataan tersebut diterima oleh Dewan Federasi Swiss. Berlainan
jika
pengunduran
diri
atau
pembatalan
tidak
diatur
dalam
perjanjian
internasional. Seperti halnya di dalam Piagam PBB. Sebagai contoh adalah ketika Indonesia mundur dari keanggotaan PBB pad Desmber 1964. Hal ini berlainan dengan LBB yang mengatur mengenai pengunduran diri dari LBB. PBB tidak ingin mengulangi pengalaman LBB yang dilemahkan oleh pengunduran diri beberapa anggotanya pada tahun 1938. Pada saat Indonesia ingin kembali menjadi anggota PBB, pengunduran diri Indonesia di PBB dihitung sejak pernyataan mundur Indonesia di PBB. Dengan demikian Indonesia sebenarnya tidak pernah keluar dari PBB. Indonesia diwajibkan membayar segala kewajiban selama ketidak aktifannya di PBB. Dengan demikian pembatalan suatu UU yang mensahkan suatu perjanjian internasional yang dilakukan oleh MK tidak selalu menjadikan Indonesia lepas dari keterikatannya yang telah dinyatakan oleh Indonesia terhadap perjanjian tersebut, jika pengunduran diri atau penangguhan untuk terikat terhadap perjanjian tidak diatur. Hal berbeda jika hal ini diatur dalam perjanjian internasional.
PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL MENJADI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Oleh Pan Mohamad Faiz*
* Penulis adalah mahasiswa program Master of Comparative Law (M.C.L.) di Faculty of Law, University of Delhi dan program Master of Political Science (M.A.) di School of Social Science, IGNOU, New Delhi.
I.
Latar Belakang
Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional. Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis. Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme,[1] yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis[2] yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.[3] Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan
pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.
II. Teori Keberlakuan Hukum Internasional A.
Aliran Dualisme
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.[4] Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini: 1.
Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;
2.
Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
3.
Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.
4.
Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya. Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.
B.
Aliran Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional. Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme. Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[8] Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut: 1.
tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
2.
dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.[9]
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional tunduk
pada
hukum
internasional
yang
pada
hakikatnya
berkekuatan
mengikat
berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional. Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.
III. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.[11] Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah: 1.
Perjanjian Internasional;
2.
Kebiasaan Internasional;
3.
rinsip Hukum Umum;
4.
Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[12]
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.[13] Dewasa
ini
dalam
hukum
internasional
kecendrungan
untuk
mengatur
hukum
internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara. Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27
Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.[14] Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.[15] Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.[16] Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.[17] Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat. Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia. Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut: 1.
Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2.
Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalahmasalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3.
Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
4.
Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan
(acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional. 5.
Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional
dapat
dilakukan
melalui
pengesahan
(ratification/accession/acceptance/approval).
IV. Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang. Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[18] Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19] Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah: •
Ketentuan Umum
•
Pembuatan Perjanjian Internasional
•
Pengesahan Perjanjian Internasional
•
Pemberlakuan Perjanjian Internasional
•
Penyimpanan Perjanjian Internasional
•
Pengakhiran Perjanjian Internasional
•
Ketentuan Peralihan
•
Ketentuan Penutup[20]
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional; 2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian; 3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut; 4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan). Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).[21] Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri. Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada
dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa. Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh
perjanjian
dilakukan
interansional
berdasarkan
tersebut.
ketetapan
Pengesahan
yang
disepakati
suatu oleh
perjanjian para
internasional
pihak.
Perjanjian
internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.[22] Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden.[23] Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.[24] Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.[25] Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan: •
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
•
perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
•
kedaulatan atau hak berdaulat negara;
•
hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
•
pembentukan kaidah hukum baru;
•
pinjaman dan/atau hibah luar negeri.[26]
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000. Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa: ”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.” Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang
hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya. Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku
perlu
dibuat
undang-undang
yang
lebih
spesifik
mengenai
perjanjanjian
internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik. Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak. Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut. *** Catatan: Tulisan ini merupakan resume dari salah satu hasil penelitian yang dibuat penulis bersama
tim lainnya
Perjanjian Internasional".
dalam "Pengujian Undang-undang yang Mensahkan
Endnotes: [1] Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pasa kehendak negara ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai pemikiran ilmu hukum di Eropa pada abad ke 19. [2] Teori ini menghendaki adanya suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional. Akhir dari puncak kaidah hukum terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi. Kelsen dianggap sebagai bapak dari mazhab Wina, yang mempengaruhi teori Objektivis ini. [3] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Jakarta 2003, hal 56 [4] I A Shearer, Starke’s International Law, 11th ed., Butterworths, USA, 1984, hal 64, Aliran ini pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Para pemuka aliran ini adalah Triepel dan Anziloti. [5] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung 2003, hal 57-56. [6] Loc. cit. [7] Ibid, hal 65. [8] Op. cit., hal 61 [9] Ibid [10] Ibid, hal 62, Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wina (Kunz, Kelsen dan Verdross) [11] Ibid, hal 114 [12] Shearer, hal 29 [13] Op. cit., hal 117
[14] Vienna Convention on the Law of Treaties, Vienna 1969 [15] Op. cit., hal 119 [16] Ibid [17] Ibid [18] Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960. [19] Loc. cit. Lihat: Catatan Kaki No. 5. [20] Indonesia (a), Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185. [21] Ibid, Pasal 7. [22] Ibid, Pasal 8 [23] Ibid, Pasal 9 [24] Ibid, Pasal 10 [25] Ibid, Pasal 11 [26] Ibid, Pasal 10