Perbandingan Metode Ilmiah Dan Proses Keperawatan.docx

  • Uploaded by: Kharisma Nabila
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perbandingan Metode Ilmiah Dan Proses Keperawatan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,074
  • Pages: 9
ANALISIS JURNAL METODOLOGI KEPERAWATAN PERBANDINGAN PROSES PENELITIAN DAN METODE ILMIAH SEBAGAI METODE PENYELESAIAN MASALAH Dosen Pembimbing Zainal Abidin S.Kep.Ners., M.Kes

DI SUSUN OLEH : 1.

Kharisma Khumairo Nabila (182303101007)

2.

Nur Khovifah

(182303101014)

3.

Siti Anisa

(182303101001)

4.

Laili Fitriya

(182303101020)

5.

Risma Wahyu Khandidah

(182303101021)

6.

Ni’matus Solihah

(182303101003)

KELOMPOK 5

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER 2019

PROSES PENELITIAN SEBAGAI METODE PENYELESAIAN MASALAH Dalam jurnal proses keperawatan sebagai metode penyelesaian masalah dengan judul “Gambaran Motivasi dan Tindakan Keperawatan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pasien di Ruang Icu Pku Muhammadiyah Gombong” 1. Rumusan Masalah Penelitian Terdapat suatu rumusan masalah yaitu pada penelitian Ni Putu Mega Pratiwi melaporkan perawat jarang menanyakan dan mengurusi masalah psikis dan spiritual pasien dan hanya berfokus pada kondisi fisik saja. Sedangkan pada penelitiannya Sumiati mengatakan intervensi asuhan keperawatan spiritual ternyata masih kurang optimal. 2. Hipotesis Berdasarkan beberapa pendapat ahli (Claude S. George) yang dikutip dari penelitian Zuidah (2006) mengatakan bahwa motivasi seseorang berkaitan dengan kebutuhan meliputi tempat dan suasana lingkungan kerja sehingga penurunan motivasi perawat mengakibatkan hasil kerja yang tidak memuaskan dan hasil tindakan perawat menurun. Seperti belum optimalnya pelaksanaan asuhan keperawatan secara holistik termasuk keperawatan spiritual Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hupcey (2000) bahwa 45 pasien Intensive Care Unit yang dirawat selama tiga hari di Intensive Care Unit mengalami distress spiritual. Distress spiritual merupakan suatu keadaan ketika pasien mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan dan arti kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan spiritual, mengungkapkan adanya keraguan yang berlebihan dalam mengartikan hidup, mengungkapkan perhatian yang lebih pada kematian, menolak kegiatan ritual dan terdapat tanda–tanda seperti menangis, menarik diri, cemas,dan marah, kemudian didukung dengan tanda–tanda fisik seperti nafsu makan terganggu, kesulitan tidur, tekanan darah meningkat (Hidayat, 2006). Hasil di atas menunjukkan pemenuhan kebutuhan spiritual oleh tenaga kesehatan, termasuk perawat merupakan hal yang penting bagi semua klien. Namun kenyataanya pemenuhan kebutuhan spiritual oleh perawat belum optimal. Hasil analisis situasi saat ini, dari beberapa sumber menunjukkan kenyataan bahwa penanganan atau asuhan keperawatan (spiritual care) belum diberikan perawat secara kompeten. Perlu adanya peningkatan motivasi perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan (spiritual care).

3. Analisis Data Hasil penelitian Roatib (2007) tentang penerapan komunikasi terapeutik di Rumah Sakit Sultan Agung Semarang dengan menggunakan sampel 47 sampel menyimpulkan bahwa dalam penerapan komunikasi terapeutik pada fase kerja berhubungan dengan motivasi perawat sebesar 80,9% untuk nilai>87, sedang 19,1% untuk nilai 55-87, dan tidak terdapat motivasi kurang. Pendampingan spiritual dapat diberikan pada semua pasien yang membutuhkan khususnya pada pasien dalam kondisi terminal atau pun pada pasien yang menghadapi kondisi krisis. Seseorang yang menghadapi penyakit yang serius dan dianggap sebagai penyakit terminal akan menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap kepercayaannya (Johson, 2005). Pemenuhan kebutuhan spiritual merupakan bentuk pelaksanaan pelayanan keperawatan bagi penderita penyakit terminal (Nagai Jaconsen & Burkhart, 1989; Wright, 2002 dalam Sinclair, Raffin, Oereira & Guebert, 2006). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan instrument lembar kuesioner untuk motivasi perawat dan lembar observasi untuk tindakan keperawatan spiritual yang dilakukan perawat. Gambaran umum motivasi dalam pelaksanaan tindakan keperawatan spiritual di Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Gombong adalah sebagai berikut: Dilihat dari hasil penelitian, motivasi perawat dalam pelaksanaan tindakan keperawatan spiritual adalah 1. Motivasi baik sebanyak 1 responden (8.3%) 2. Motivasi cukup sebanyak 7 responden (58.3%) 3. Motivasi kurang sebanyak 4 responden (33.3%). Hasil penelitian pertama yang diperoleh untuk motivasi perawat di Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Gombong sebagian besar termasuk dalam kategori cukup. Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan hal ini terjadi karena faktor internal dari perawat sendiri yang mempunyai persepsi tentang pelaksanaan tindakan keperawatan spiritual yang tidak sepenuhnya menjadi kewajiban perawat karena sudah ada pembimbing rohani di rumah sakit tersebut, sehingga perawat ICU hanya melakukan tindakan keperawatan spiritual yang bisa mereka lakukan atau pun ringan seperti mengingatkan waktu ibadah/sholat dan menganjurkan untuk berdoa serta perawat mempunyai faktor persepsi dan kebutuhan spiritual dalam diri mereka sendiri yang dapat mereka ukur dengan mereka melaksanakan tindakan keperawatan spiritual pada pasien.

Dilihat dari beban kerja perawat ICU PKU Muhammadiyah Gombong masih belum ideal, perbandingan antara perawat dan pasien yaitu 1: 3 sedangkan idelnya 1 : 2 (Hanafie, 2007). Hanafie (2007) juga mengemukakan bahwa untuk pelayanan intensif minimal 50% perawat bersertifikat terlatih perawat/ terapi intensif atau minimal pengalaman kerja di ICU selama 3 tahun, sedangkan perawat ICU PKU Muhammadiyah Gombong yang sudah memiliki sertifikat terlatih semua dan yang bekerja lebih dari 3 tahun ada 9 perawat. Hasil penelitian kedua, gambaran pelaksanaan tindakan keperawatan spiritual adalah 1. Pelaksanaan cukup sebanyak 7 responden (58.3%) 2. Pelaksanaan kurang sebanyak 5 responden (41.7%) Hasil penelitian yang diperoleh untuk pelaksanaan tindakan keperawatan spritual di Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Gombong, tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutanto, (2009). tentang persepsi perawat tentang pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pada klien di Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Bantul didapatkan hasil pelaksanaan tindakan keperawatan spiritual sebagian besar berkategori cukup. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, hal ini terjadi karena untuk tindakan keperawatan spiritual belum pernah mendapatkan sosialisasi yang jelas mengenai uraian yang wajib dilaksanakan oleh perawat. Karena di rumah sakit islam seperti PKU Muhammadiyah Gombong sendiri sudah mempunyai lembaga khusus yang menangani bimbingan rohani (bimroh) pasien namun tidak setiap hari seorang binroh datang mengunjungi pasien sehingga perawat ICU sebagai orang yang paling intens bertemu dengan pasien masih berkewajiban untuk memenuhi spiritual pasien selama dirawat di ICU. Prinsip pemberian pelayanan keperawatan adalah holistic care yang meliputi biopsikososio dan spiritual. 4. Kesimpulan Pemenuhan kebutuhan spiritual oleh tenaga kesehatan, termasuk perawat merupakan hal yang penting bagi semua klien. Namun kenyataanya pemenuhan kebutuhan spiritual oleh perawat belum optimal. Hasil analisis situasi saat ini, dari beberapa sumber menunjukkan kenyataan bahwa penanganan atau asuhan keperawatan (spiritual care) belum diberikan perawat secara kompeten. Perlu adanya peningkatan motivasi perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan (spiritual care).

1. Gambaran karakteristik (Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan) motivasi dan tindakan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien, usia perawat sebagian besar antara 32-38 tahun sebanyak 8 responden (66.7%), jenis kelamin yang mendominasi adalah perempuan sebanyak 7 responden (58.3%), pendidikan perawat sebagian besar D3 keperawatan sebanyak 7 responden (58.3%). 2. Gambaran motivasi perawat dalam pelaksanaan tindakan keperawatan spiritual di Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Gombong sebagian besar berkategori cukup (58.3%). 3. Gambaran pelaksanaan tindakan keperawatan spiritual di Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Gombong sebagian besar berkategori cukup (58.3%). DAFTAR PUSTAKA 1. Ariani. (2011). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Spiritual Care

Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Kepada Klien Di Ruang Intensive Care Rumah Sakit Umum Pku Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta. 2. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: Rineka

Cipta. 3. Depkes RI. (1994). Pedoman Instalasi Gas Medis Rumah Sakit. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI.

METODE ILMIAH SEBAGAI METODE PEMECAHAN MASALAH Dalam jurnal metode ilmiah sebagai metode pemecahan masalah dengan judul “Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Fraktur di RSUD UNGARAN”

1. Identifikasi Masalah Terdapat suatu rumusan masalah yaitu nyeri yang diakibatkan oleh Fraktur yang merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total atau sebagian yang disebabkan oleh trauma fisik, kekuatan sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak. Dalam metode ilmiah ini perawat RSUD Ungaran mencoba menggunakan kompres dingin untuk penurunan intensitas nyeri pada pasian fraktur. 2. Hipotesis Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian dikemukakan bahwa terapi berbasis suhu bisa membantu mengurangi intensitas nyeri. Menurut hasil penelitian Kartika (2003) bahwa ada pengaruh pemberian kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada bendungan payudara pada ibu post partum dengan Z hitung = - 2,877 < nilai kritis Z = 1,96. Sulistiyani (2009) dengan hasil kompres es batu mampu menurunkan nyeri pada prosedur pemasangan infuse pada anak pra sekolah dengan nilai 83,3%. Berdasarkan dari catatan medik Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran jumlah pasien fraktur dalam 3 tahun terakhir dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013, yaitu 752 pasien. Penanganan nyeri pada pasien fraktur lebih kepada penanganan secara farmakologis, yaitu pemberian obat analgesik seperti ketorolak, ketopain. Sedangkan penanganan nyeri secara non farmakologis kompres dingin tidak dilakukan. 3. Menguji Hipotesis Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin pada Pasien Fraktur di RSUD Ungaran Variabel Jenis Kelamin

F

%

Perempuan

12

57,1

Laki-laki

9

42,9

total

21

100

Berdasarkan table 1 menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak disbanding laki-laki dengan jumlah 12 responden (57,1%).

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden berdasarkan Usia pada Pasien Fraktur di RSUD Ungaran

Variabel Usia

F

%

< 20 tahun

2

9,5

21 – 45 tahun

11

52,4

> 45 tahun

8

32,1

Total

21

100

Berdasarkan table 2 menunjukkan bahwa responden yang berusia 21 – 45 tahun lebih mendominasi dengan jumlah 11 (52,4%) dan responden yang berusia < 20 tahun lebih sedikit berjumlah 2 (9,5%). Tabel 3 Distribusi Frekuensi Skala Nyeri Sebelum diberikan Kompres Dingin pada PAsien Fraktur di RSUD Ungaran Variabel Skala Nyeri Nyeri Sedang

F

%

21

100

Berdasarkan table 3 menunjukkan bahwa jumlah responden yang mengalami nyeri sedang dengan skala 4 – 6 sebanyak 21 responden (100%). Tabel 4 Distribusi Frekuensi Skala Nyeri Sesudah diberikan Kompres Dingin pada Pasien Fraktur di RSUD Ungaran Variabel Skala Nyeri

F

%

Tidak Nyeri

2

9,5

Nyeri Ringan

19

90,5

Total

21

100

Berdasarkan table 4 menunjukkan bahwa responden yang mengalami nyeri ringan (skala 1 – 3) sebanyak 19 (90,5%) dan responden yang mengatakan tidak nyeri (skala 0 sebanyak 2 (9,5%) Tabel 5 Analisis Skala Nyeri Sebelum dan Sesudah dilakukan Kompres Dingin pada Pasien Fraktur di RSUD Ungaran Variabel

Median

Min.

Max.

pvalue

5,00

4,00

6,00

0,000

Kompres Dingin Intensitas Nyeri Sebelum

Intensitas Nyeri

2,00

0,00

3,00

Sesudah

4. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 21 responden yang mengalami nyeri akibat fraktur yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dimana jenis kelamin perempuan lebih banyak dengan jumlah 12 (57,1%). Usia responden terbanyak terdapat pada rentang usia 21–45 tahun , yaitu 11 (52,4%). Semua responden sebelum pemberian kompres dingin mengalami nyeri sedang (skala 4–6) sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 21 responden, 19 (90,5%) responden mengalami nyeri ringan (skala 1–3). Penurunan intensitas nyeri pada pasien fraktur tersebut disebabkan setelah pemberian kompres dingin. Penggunaan air es dengan suhu 15oC dilakukan selama 10menit memberikan pengaruh terhadap perubahan tingkat skala nyeri dari nyeri sedang (skala 4–6) menjadi nyeri ringan (skala 1-3). Jaringan yang rusak disekitar tulang yang patah pada fraktur dapat menimbulkan nyeri (Helmi, 2013, hlm. 420) diantaranya nyeri sedang sampai hebat dan bertambah berat saat digerakkan (Lukman & Ningsih, 2012, hlm. 30). Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual. Penatalaksanaan nyeri meliputi intervensi secara farmakologi dan nonfarmakologi. Secara farmakologi melibatkan penggunaan obat sedangkan non farmakologi meliputi stimulasi kutaneus berupa kompres dingin. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati tahun 2011 terhadap 20 responden dengan nyeri sedang 12 (60%), nyeri ringan 4 (20%), dan nyeri berat 4 (20%) sebelum pemberian kompres dingin. Setelah pemberian kompres dingin diperoleh nyeri ringan 15 (75%), nyeri sedang 4 (20%), dan nyeri berat 1 (5%). Hasil uji wilcoxon diperoleh p= 0,05 yang artinya ada pengaruh kompres dingin terhadap pengurangan nyeri luka perineum pada ibu nifas. Berdasarkan hasil pengukuran nyeri sebelum pemberian kompres dingin, semua responden mengalami nyeri sedang yaitu dengan skala 4-6 sedangkan sesudah pemberian kompres dingin, 2 responden (9,52%) mengatakan tidak nyeri (skala 0) dan 19 reponden (90,48%) mengalami nyeri ringan (skala 1-3). Hasil uji Wilcoxon menunjukkan nilai p= 0,000 (p-value)

Penelitian lain yang dilakukan oleh Khusniyah dan Rizqi (2011) terhadap 15 responden ibu yang yang mengalami kala I fase aktif dengan membandingkan antara kelompok yang diberikan kompres hangat dan kompres dingin diperoleh hasil pada kelompok kompres hangat dengan nilai p= 0,003 dan kelompok kompres dingin dengan nilai p= 0,001. Sehingga disimpulkan bahwa stimulasi kulit dengan kompres dingin lebih efektif dibandingkan kompres hangat dalam menurunkan persepsi nyeri kala I fase aktif persalinan fisiologis. 5. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil uraian penelitian dan pembahasan tentang efektifitas kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien fraktur yang dilakukan di RSUD Ungaran diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Ungaran didapatkan 21 responden (100%) yang mengalami fraktur dimana responden yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dengan jumlah 12 responden (57,1%) dan didominasi dengan usia responden 21-45 tahun, yaitu 11 responden (52,4%). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 21 responden (100%) mengalami nyeri sedang dengan skala 4-6 sebelum diberikan intervensi kompres dingin, sedangkan sesudah diberikan intervensi kompres dingin diperoleh 19 responden (90,5%) mengalami nyeri ringan dengan skala 1-3 dan 2 responden (9,5%) mengatakan tidak nyeri dengan skala 0. Ada efektifitas kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien fraktur di RSUD Ungaran, hasil ini diperoleh dari hasil uji statistic menggunakan Wilcoxon dengan p-value sebesar 0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa kompres dingin efektif dalam menurunkan nyeri pada pasien fraktur.

Related Documents


More Documents from "rochmat"