Peran Teknik Pencahayaan Buatan Di Ruang Dalam Gereja Katolik

  • Uploaded by: Yudistiro Sampurna
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Peran Teknik Pencahayaan Buatan Di Ruang Dalam Gereja Katolik as PDF for free.

More details

  • Words: 12,138
  • Pages: 70
UNIVERSITAS INDONESIA

PERAN TEKNIK PENCAHAYAAN BUATAN DI RUANG DALAM GEREJA KATOLIK (STUDI KASUS: GEREJA KATOLIK SANTO THOMAS & GEREJA KATOLIK REGINA CAELI)

SKRIPSI

IGNATIUS YUDISTIRO S. 0404050289

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR DEPOK JULI 2009

UNIVERSITAS INDONESIA

PERAN TEKNIK PENCAHAYAAN BUATAN DI RUANG DALAM GEREJA KATOLIK (STUDI KASUS: GEREJA KATOLIK SANTO THOMAS & GEREJA KATOLIK REGINA CAELI)

SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur

IGNATIUS YUDISTIRO S. 0404050289

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR DEPOK JULI 2009

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama

: Ignatius Yudistiro S.

NPM

: 0404050289

Tanggal

: 15 Juli 2009

Tanda Tangan,

( Ignatius Yudistiro S. )

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Skripsi

: Ignatius Yudistiro S. : 0404050289 : Arsitektur : Peran Teknik Pencahayaan Buatan di Ruang Dalam Gereja Katolik (Studi Kasus: Gereja Katolik Santo Thomas dan Gereja Katolik Regina Caeli)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur pada Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing

: Ir. Siti Handjarinto, M.Sc

(

)

Penguji

: Ir. Sukisno, M.Si

(

)

Penguji

: Wied Wiwoho W., S.T., M.Sc (

)

Ditetapkan di

: Depok

Tanggal

: 15 Juli 2009

iii

KATA PENGANTAR

Saya bersyukur, terutama kepada Tuhan Yesus yang selalu memberikan jalan terbaik dan menerangi hati dan pikiran saya supaya selalu terpacu untuk menyelesaikan tugas ini. Skripsi yang saya beri judul “Peran dan Teknik Pencahayaan Buatan Ruang Dalam Gereja Katolik (Studi Kasus: Gereja Katolik Santo Thomas dan Gereja Katolik Regina Caeli)” ini terselesaikan juga karena bantuan dari orangtua, saudara, teman, dan pihak-pihak lain. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Arsitektur Jurusan Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada

penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini.Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1) Dosen Pembimbing saya, yaitu Ir. Siti Handjarinto atau lebih dikenal dengan Bu Joko. Beliau selalu sabar mengarahkan dan memberikan nasehat kepada saya. 2) Bapak dan Ibu saya, pendukung yang setia, baik dari segi moral dan materi. 3) (alm.) Ibu kandung saya, Maria Magdalena Sarni, yang menjadi inspirasi dalam hidupku, menjadi semangat untuk melakukan yang terbaik dan berusaha untuk tidak menyia-nyiakan usahanya hingga saya bisa masuk UI. 4) Adi, adik saya. Kalo inget dia, pasti saya langsung semangat, supaya menjadi seorang kakak yang bisa dijadikan panutan yang baik. 5) Pak Kuncoro, yang telah menjadi pembimbing akademik sejak awal hingga semester yang lalu. 6) Ibu Elisa yang menjadi pembimbing akademik menggantikan Pak Kuncoro pada semester ini. 7) Gugun, bisa dibilang teman yang paling enak diajak ngobrol.

iv

8) Laksi, Lisa, Robi, dan Cindy. Temen-temen saya yang masih menemani saya hingga semester yang lalu. 9) Mas Hadi. Temen gereja, yang pertama kali mengenalkan Gereja Regina Caeli, yang nggak lupa memberikan tips dan trik menyelesaikan skripsi. 10) Mas Ono, Reza, Romo Natet yang memberikan dukungan spiritual dan mental. 11) Sinta. Akhirnya saya bisa bales, “ini... skripsi gw udah selesai”. 12) Teman-teman gereja yang memberikan dorongan dan memberikan penghiburan di saat saya merasa jenuh. 13) Esi, Anne, Dion. Temen dari ISTN yang sering menanyakan kabar ttg skripsi yang saya jalani, “skripsinya gimana?”. 14) Mbak Fitri, sepupu saya yang senasib dengan saya, tapi “sory ya mbak, gw duluan lulusnya”. 15) Romo Felix sebagai Pastor Paroki Regina Caeli, dan Pak Mulyadi sebagai Dewan Paroki Regina Caeli. Terima kasih telah menerima saya dengan ramah untuk melakukan survey di gereja ini. 16) Pak Santoso, pengurus teknikal Gereja Regina Caeli, yang memberikan penjelasan tentang hal-hal teknis pada Gereja Regina Caeli. 17) Pak Bhinukti, Sekretaris Dewan Paroki Santo Thomas. Terima kasih atas denah gereja yang Bapak kirimkan. 18) Pak Fernandes, Sekretariat Gereja Santo Thomas, yang memberikan informasi tentang sejarah gereja ini.

Terima kasih yang sebanyak-banyaknya buat semuanya, semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan semua yang telah membantu. Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu. Amin.

Depok, 25 Juni 2009 Penulis

v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

: Ignatius Yudistiro S.

NPM

: 0404050289

Program Studi : Arsitektur Departemen

: Arsitektur

Fakultas

: Teknik

Jenis karya

: Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Nonexclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Peran Teknik Pencahayaan Buatan di Ruang Dalam Gereja Katolik (Studi Kasus: Gereja Katolik Santo Thomas dan Gereja Katolik Regina Caeli)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan atau memformat-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Depok, 10 Juli 2009 Yang menyatakan,

( Ignatius Yudistiro S. )

vi

ABSTRAK Nama : Ignatius Yudistiro S. Program Studi : Arsitektur Judul : Peran Teknik Pencahayaan Buatan di Ruang Dalam Gereja Katolik (Studi Kasus : Gereja Katolik Santo Thomas dan Gereja Katolik Regina Caeli)

Cahaya mempunyai peran lain selain fungsinya sebagai pencahayaan. Dalam ajaran Agama Katolik, terang cahaya sering disimbolkan sebagai wujud Tuhan, malaikat, dan orang-orang kudus. Penulis meneliti peran teknik pencahayaan buatan di ruang dalam gereja Katolik. Dalam interior gereja Katolik, kita akan menjumpai berbagai macam pencahayaan buatan, baik itu tradisional maupun elektrikal. Penelitian ini menggunakan metode berdasarkan literatur, pengamatan pada studi kasus, dan wawancara pada narasumber. Adapun studi kasus yang penulis analisis adalah gereja Katolik Santo Thomas dan gereja Katolik Regina Caeli. Lampu di ruang dalam gereja berfungsi sebagai penerangan, tetapi juga mempunyai peran lain, yaitu sebagai Cahaya Liturgis, Cahaya Simbol Gereja dan Supernatural, atau sebagai Cahaya Ambien dan Dekoratif.

Kata kunci: Pencahayaan buatan, gereja Katolik

vii

Universitas Indonesia

ABSTRACT Name : Ignatius Yudistiro S. Study Program : Architecture Title : The Role of Artificial Lighting Technique in Catholic Church Interior (Cases Study : Saint Thomas Catholic Church and Regina Caeli Catholic Church)

Light have another role beside as an illumination. In Catholic, light used to use as a symbol of God, angels, and sacred people. I research the role of artificial lighting techniques in Catholic church interior. In the interior, we will see a kind of artificial lighting, such as a traditional lamps and electric lamps. This research metode based on the literature, observation, and interview. I take the case of Saint Thomas Catholic Church adn Regina Caeli Catholic Church. The lamps in the church interior is not only as an illumination, but also as Liturgy Lighting, Symbol of Supernatural Lighting, or an Ambient and Decorative Lighting. Key words: Artificial lighting, Catholic church

viii

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................ vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii ABSTRACT .................................................................................................... viii DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix 1. PENDAHULUAN ..........................................................................................1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................1 1.2 Tujuan Penulisan .........................................................................................2 1.3 Perumusan dan Pembatasan Masalah .........................................................3 1.4 Metode Penelitian .......................................................................................3 1.5 Sistematika Penulisan .................................................................................3 1.6 Skema Pemikiran ........................................................................................4 2. GEREJA KATOLIK DAN CAHAYA ........................................................5 2.1 Gereja Katolik .............................................................................................5 2.1.1 Agama Katolik ....................................................................................5 2.1.2 Pengertian Gereja Katolik ...................................................................8 2.1.3 Bagian-bagian Gereja Katolik .............................................................9 2.2 Cahaya .......................................................................................................10 2.2.1 Pengertian Cahaya .............................................................................10 2.1.1 Peran Cahaya dalam Arsitektur .........................................................11 2.3 Aspek Peran Pencahayaan di Ruang Dalam Gereja ..................................12 2.3.1 Penerangan Ruangan .........................................................................12 2.3.2 Prosesi Kegiatan Liturgi ....................................................................13 2.3.3 Simbol Gereja dan Supernatural .......................................................15 2.3.4 Pencahayaan Ambien dan Dekoratif .................................................16 3. TEKNIK PENCAHAYAAN .......................................................................19 3.1 Satuan Cahaya ...........................................................................................19 3.2 Sifat-sifat Cahaya ......................................................................................20 3.3 Sumber Pencahayaan ................................................................................22 3.3.1 Pencahayaan Alami ...........................................................................22 3.3.2 Pencahayaan Buatan Tradisional ......................................................23 3.3.1 Pencahayaan Buatan Elektrik ............................................................25 3.4 Teknik Pencahayaan Alami ......................................................................28 3.5 Teknik Pencahayaan Buatan .....................................................................32 3.5.1 Strategi Pencahayaan.........................................................................32 3.5.2 Teknik Pemasangan Lampu ..............................................................33 3.5.3 Teknik Pencahayaan Interior .............................................................35 4. STUDI KASUS 1 .........................................................................................40 4.1 Profil Gereja ..............................................................................................40 4.1.1 Sejarah Gereja ...................................................................................40 4.1.2 Arsitektur Gereja ...............................................................................41

ix

Universitas Indonesia

4.2 Analisis Pencahayaan Buatan ...................................................................43 4.2.1 Altar Gereja .......................................................................................43 4.2.2 Tempat Umat dan Floyer...................................................................45 5. STUDI KASUS 2 .........................................................................................48 5.1 Profil Gereja ..............................................................................................48 5.1.1 Sejarah Gereja ...................................................................................48 5.1.2 Arsitektur Gereja ...............................................................................49 5.2 Analisis Pencahayaan Buatan ...................................................................50 5.2.1 Altar Gereja .......................................................................................50 5.2.2 Tempat Umat .....................................................................................52 5.2.2 Ruang Tabung dan Floyer .................................................................54 6. KESIMPULAN ............................................................................................56 7. DAFTAR REFERENSI ..............................................................................58

x

Universitas Indonesia

   

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Cahaya sangat memegang peranan penting dalam kehidupan manusia bahkan sejak bumi pertama kali diciptakan dan manusia pertama kali terlahir ke bumi. Tuhan menciptakan cahaya yang dapat membedakan permukaan bumi dan langit. Keberadaan cahaya itu menyebabkan bumi terus berputar dan terciptalah kehidupan di bumi, dan satu-satunya cahaya alami yang ada di galaksi kita adalah Matahari. Cahaya matahari memang merupakan cahaya yang paling baik untuk proses kehidupan di alam bumi ini, tumbuh-tumbuhan dapat ber-fotosintesis, binatang dapat berburu dan bermain, dan manusia dapat melakukan kegiatan apapun yang mereka sukai. Manusia tidak dapat lepas dari cahaya, karena tanpa adanya cahaya maka manusia tidak dapat melakukan banyak hal, tidak dapat melakukan kegiatan dengan baik, tidak dapat melihat keindahan dan keburukan di sekitar kita. Menyadari bahwa begitu besarnya peran cahaya bagi kehidupan manusia, maka manusia menggunakan cahaya buatan untuk kegiatan pada malam hari. Pada awalnya hanya berupa api unggun kemudian dengan perkembangan kehidupan manusia, mereka mulai menciptakan cahaya buatan yang sumber tenaganya berasal dari listrik. Sejak manusia menciptakan cahaya buatan, manusia tidak hanya bekerja pada siang hari, tetapi dapat dilakukan pada malam hari. Cahaya buatan merupakan pengganti cahaya matahari pada waktu malam hari. Namun, kekuatan dan besar cahaya yang dikeluarkan cahaya buatan berbeda jauh dengan kuat cahaya matahari. Oleh karena itu, untuk menerangi sebuah ruang agar manusia dapat berkegiatan normal, maka perlu ada beberapa cahaya buatan yang terkontrol atau disebut dengan sistem pencahayaan. Akan tetapi, ternyata tidak hanya itu saja fungsi cahaya. Cahaya mempunyai peran lain dalam kehidupan beragama. Beberapa agama mensimbolkan wujud Tuhan atau Orang Suci dengan nur (cahaya), seperti

1   

Universitas Indonesia

2   

Agama Islam menggambarkan wajah Nabi Muhammad SAW dengan cahaya, kemudian terdapat lingkaran cahaya yang mengelilingi kepala pada Budha dalam Agama Budha (Gbr 1.1). Dalam Agama Kristen, penampakan wujud Tuhan disertai dengan cahaya, sama seperti Agama Budha, terdapat lingkaran suci di kepala pada orang-orang suci.

Gbr 1.1 Cahaya pada Orang Kudus (sumber:http://petikanbuku.blogspot.com, www.budha.cz)

Selain itu, Agama Kristen Katolik menggunakan lampu untuk menjadi bagian dari proses ibadah di gereja. Oleh karena itu, pada gereja Katolik terdapat berbagai lampu yang bervariasi, seperti lampu lilin, lampu dekorasi di sekitar altar, lampu ambien, dan beberapa lampu dengan fixture tertentu. Pada dasarnya, semua lampu tersebut berfungsi sebagai penerangan, namun terkadang pihak gereja maupun pihak perancang interior memakai lampu untuk tujuan tertentu, entah sebagai hal yang wajib diadakan demi berjalannya suatu proses ibadah, untuk menciptakan suasana tertentu agar umat lebih kyusuk dan tenang mengikuti ibadah, sebagai simbol tertentu, atau hanya sebagai cahaya ambien atau dekorasi saja.

1.2 Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apa peran pencahayaan yang ada di dalam gereja dan bagaimana penggunaan teknik pencahayaan di ruang gereja Katolik untuk memenuhi peran pencahayaan tersebut, dalam hal ini pada Gereja Katolik St. Thomas dan Gereja Katolik

Universitas Indonesia 

 

3   

Regina Caeli. Di samping itu, semoga orang lain dapat mengetahui dan menggunakan skripsi ini untuk kemajuan arsitektur khususnya arsitektur gereja di bidang pencahayaan.

1.3 Perumusan dan Pembatasan Masalah Pertanyaan skripsi ini adalah lampu-lampu pada ruang dalam gereja Katolik mempunyai peran apa selama kegiatan agama berlangsung dan bagaimana teknik pencahayaannya? Perumusan masalah dimulai dari pencahayaan apa saja yang digunakan di ruang dalam gereja selama kegiatan agama berlangsung, kemudian menganalisis teknik pencahayaan buatan yang digunakan, lalu menganalisis peran lampu itu berdasarkan analisis teknik pencahayaan buatan. Pembatasan masalah adalah lampu-lampu yang dibahasa adalah lampu-lampu yang digunakan selama kegiatan agama berlangsung pada gereja Katolik St. Thomas dan gereja Katolik Regina Caeli.

1.4 Metode Penulisan Adapun metode penulisan yang digunakan adalah dengan pengumpulan data-data, pengkajian teori-teori yang terkait, pengamatan pada studi kasus, kemudian menganalisa teori-teori pada studi kasus. Data-data yang digunakan bersumber dari buku, literatur, koran/majalah, internet, maupun hasil wawancara pada narasumber. Studi kasus didapat dari pengamatan langsung maupun data-data dari buku, literatur, majalah, maupun internet.

1.5 Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari beberapa bagian, antara lain:

Bab I Pendahuluan Berisikan tentang latar belakang penulisan skripsi, tujuan penulisan, perumusan masalah, metode dan sistematika penulisan. Selain itu juga terdapat kerangka pemikiran, yaitu bagaimana pola pemikiran penulis untuk mengerjakan skripsi ini.

Universitas Indonesia 

 

4   

Bab II Gereja Katolik dan Cahaya Memberikan penjelasan mengenai definisi, Agama Katolik, Gereja Katolik dan bagian-bagian dalam ruang gereja. Definisi cahaya, peran cahaya dalam arsitektur, penerangan ruang dalam gereja, dan peran pencahayaan dalam Gereja. Bab III Teknik Pencahayaan Memberikan penjelasan tentang satuan cahaya, sifat-sifat cahaya. Menjelaskan tentang sumber pencahayaan sampai dengan teknik pencahayaan, baik alami maupun buatan. Bab IV Studi Kasus Menganalisis fungsi pencahayaan dan teknik yang digunakan pada Gereja Santo Thomas berdasarkan kajian teori beserta kesimpulannya. Bab V Analisis Studi Kasus Menganalisis fungsi pencahayaan dan teknik yang digunakan pada Gereja Regina Caeli berdasarkan kajian teori beserta kesimpulannya. Bab V Kesimpulan Berisi kesimpulan yang didapat setelah menganalisis studi kasus.

Universitas Indonesia 

 

5   

Peran Teknik Pencahayaan Buatan pada Gereja Katolik

Latar Belakang

Gereja Katolik dan Cahaya

Cahaya mempunyai peran selain sebagai pencahayaan terutama dalam ruang gereja Katolik

Pengertian Agama Katolik, Gereja Katolik. Cahaya, peran cahaya dalam arsitektur, dan peran pencahayaan dalam gereja Katolik

Tujuan Penulisan

Teknik pencahayaan

Mengetahui bagaimana makna cahaya terwujud ke dalam pengalaman ruang di dalam Gereja Katolik melalui teknik pencahayaan

Sifat cahaya, Sumber Pencahayaan, teknik pencahayaan alami, teknik pemasangan dan pencahayaan buatan.

Pokok Permasalahan

Studi Kasus

Peran pencahayaan buatan pada kegiatan agama di gereja dan teknik pencahayaan yang digunakan

Pengamatan pada Gereja Katolik St. Thomas dan Gereja Katolik Regina Caeli

Analisis pada Studi Kasus

Kesimpulan

Universitas Indonesia 

 

   

BAB II GEREJA KATOLIK DAN CAHAYA

2.1 Gereja Katolik 2.1.1 Agama Katolik Agama Katolik, atau sering juga disebut Agama Katolik Roma, adalah sebuah kepercayaan yang berdasarkan pada ajaran, hidup, sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus atau Isa Almasih, yang bersifat katolik. Kata Katolik berasal dari kata sifat bahasa Yunani, Katholikos, yang berarti utuh atau universal. Roma sendiri adalah pusat Agama Katolik dengan Paus sebagai pemimpinnya. Hal yang membedakan agama ini dengan agama lainnya adalah Agama Katolik mempunyai struktur atau hirarki layaknya sebuah negara. Paus merupakan pemimpin tertinggi Gereja Katolik di dunia, mewakili Yesus Kristus sebagai pemimpin tertinggi yang tidak kelihatan. Di bawah Paus terdapat Uskup, Imam dan Diakonia. Setiap negara mempunyai uskup, dan uskup tersebut membawahi suatu wilayah tertentu yang disebut Keuskupan, seperti Keuskupan Bogor dipimpin oleh Uskup Mgr. Cosmas Angkur OFM. Kemudian, di bawah Keuskupan terdapat Paroki yang dipimpin seorang Pastor Paroki. Untuk kepengurusan umat dan kegiatannya, maka daerah Paroki dibagi menjadi beberapa wilayah seperti wilaya I, wilayah II, dan seterusnya, lalu setiap wilayah juga dibagi menjadi beberapa lingkungan. Baik wilayah maupun lingkungan dipimpin oleh umat sebagai ketuanya. Agama Katolik sudah ada di dunia lebih dari 1000 tahun yang lalu. Oleh karena itu, Agama Katolik sudah melewati berbagai masa dan peristiwa. Yesus

Kristus

adalah

pendiri

Gereja

Katolik,

yang

kemudian

kepemimpinannya dilanjutkan oleh Para 12 Rasul-Nya, khususnya Santo Petrus sebagai pemimpinnya. Setelah Santo Petrus wafat, kepemimpinannya dilanjutnya oleh seorang uskup yang telah dipilih yang disebut Paus, dan berlanjut terus hingga akhir jaman. Pada saat Gereja dipimpin oleh Santo Petrus, Agama Katolik hanya satu yang juga disebut Kristen (para pengikut Kristus). Kata katolik sendiri diatributkan sebagai nama Gereja yang dibangun



Universitas Indonesia

 

7   

oleh Yesus ditemukan di dalam surat Ignatius dari Antiokia kepada jemaat di Smirna pada tahun 110 M. Ignatius dari Antiokia, Epistle to the Smyrneans 8:2 (A.D. 110), "Wherever the bishop appears, let the people be there; just as wherever Jesus Christ is, there is the Catholic Church". Sebelum adanya Konsili Vatikan, Agama Katolik pernah mengalami masa-masa suram, seperti terjadinya perang saudara, perbedaan paham, sampai terjadinya perpecahan.

Perpecahan besar yang pertama terjadi pada saat

Konsili Efesus yang mempermasalahkan tentang status Perawan Maria sebagai Theotokos (Bunda Allah). Perpecahaan terbesar dalam sejarah Agama Katolik Roma adalah sikap protes dari Martin Luther yang menentang kebijakan Paus Leo tentang surat pengampunan dosa. Pertentangan itu akhirnya melahirkan Agama Protestan. Untuk menjaga keutuhan Gereja Katolik, maka diadakanlah Konsili Vatikan yang pertama pada tahun 1868 yang dihimpun oleh Paus Pius IX, dan kemudian Konsili Vatikan II (gbr 2.1) pada tahun 1962-1965 yang dihimpun oleh Paus Yohanes XXIII. Perayaan ibadat umat Katolik disebut dengan misa. Dalam misa terdapat ibadat liturgi atau tata peribadatan Katolik, seperti liturgi sabda dan liturgi Ekaristi. Misa besar diadakan pada hari Minggu, sedangkan misa sederhana dapat diadakan setiap hari.

Gbr 2.1 Konsili Vatikan II (sumber: Wikipedia Indonesia)

 

Universitas Indonesia

 

8   

2.1.2 Pengertian Gereja Katolik Sebagaimana umat Kristiani percayai bahwa gereja adalah suatu tempat bagi mereka untuk melakukan ibadah atau kegiatan keagamaan. Ditelaah dari asal bahasanya, kata gereja merupakan serapan dari bahasa negara pembawa agama Kristiani pertama, Portugis yakni igreja. Kata igreja pun adalah kata serapan dari bahasa Yunani, yaitu ekklesia. Kata ekklesia terdiri dari ek yang berarti keluar, dan klesia (kaleo) yang berarti memanggil, sehingga pengertian ekklesia adalah perkumpulan orang-orang yang dipanggil ke luar (dari dunia ini). Dalam Bahasa Indonesia, penggunaan kata gereja terdiri dari 2 cara, yaitu Gereja dengan huruf depan besar dan gereja dengan huruf depan kecil. Gereja dengan huruf kapital ‘G’ besar berarti sebuah sebuah persekutuan atau simbolisasi dari umat Kristiani dan lembaga (institusi). Gereja dengan huruf ‘g’ kecil berarti sebuah bangunan atau rumah ibadah. Agama Katolik sering disebut juga dengan Gereja Katolik, karena pada dasarnya gereja adalah perkumpulan orang beriman. Oleh karena itu, gereja pertama-tama adalah sebuah rumah penduduk yang memungkinkan orang berkumpul dan beribadat. Pada saat orang Kristen melewati masa penyiksaannya, yaitu saat Konstatinopel menjadi Kaisar Roma, dan menjadikan kepercayaan para pengikut Kristus itu menjadi agama resmi Kerajaan Roma, Agama Kristen mulai berkembang. Pada perkembangan itulah, gereja mulai terekspresikan lewat bangunan-bangunan arsitektural, seperti Gereja Katolik St. Petrus di Vatikan (gbr 2.2).

Gbr 2.2 Gereja St. Petrus di Vatikan (sumber: www.saintpetersbasilica.org)

 

Universitas Indonesia

 

9   

2.1.3 Bagian-bagian Gereja Katolik Gereja Katolik terdiri dari bagian-bagian yang utama, yaitu Pintu Masuk, Tempat Umat, dan Altar. Pada umumnya, gereja juga menggabungkan bangunan lain sebagai penunjang kegiatan gereja, seperti pastoral dan kesekretariatan, aula gereja, dan kapel. Bagian-bagian dari ruang dalam Gereja Katolik, antara lain: 1. Pintu Masuk. Pintu masuk adalah batas antara gereja yang suci dengan dunia yang fana. Tepat di pintu gereja terdapat bejana air suci pada setiap pintu masuk, untuk pembaptisan umat ketika memasuki gereja. 2. Tempat duduk umat. Nama latinnya adalah navis, yang berarti kapal atau bahtera, adalah sebuah tempat di mana umat berkumpul. Menggambarkan gereja sebagai himpunan orang yang percaya dalam bahtera keselamatan. 3. Altar. Nama aslinya adalah Sanctuarium, dari kata latin ‘sanctus’ yang artinya kudus, adalah tempat di mana imam memimpin misa/ibadah dan melaksanakan tindak liturgis. 4. Tempat Paduan Suara. Beberapa gereja menyertakan tempat untuk paduan suara yang terpisah dari umat, tetapi tidak semua gereja menyertakan tempat khusus ini, terutama untuk gereja-gereja kecil atau kapel. 5. Patung Orang Kudus. Ini adalah ciri khas Gereja Katolik, yaitu terdapat Patung Yesus dan Bunda Maria. Biasanya diletakkan di dekat altar dan merupakan tempat untuk berdoa secara khusus. 6. Salib dengan patung Yesus. Salib ini umumnya berukuran besar dan terletak di latar altar, menjadi simbol orientasi ibadah. 7. Sakristi. Adalah tempat di mana imam, prodiakon, lektor, dan putera-puteri altar bersiap-siap dan berdoa sebelum memasuki ruang gereja. 8. Ruang Pengakuan Dosa. Adalah sebuah kamar kecil di mana umat melakukan pengakuan dosa kepada Tuhan melalui Imam.

 

Universitas Indonesia

 

10   

9. Tabernnakel. Beraasal dari katta ‘tabernacculum’ yanng berarti kemah k atau teenda, adalahh wadah di mana m Sakraamen Mahakkudus disim mpan. 10. Lukisaan/patung Jalan J Salib Yesus. Teerdiri dari 14 lukisan n atau dapat berupa b patuung, yang menggambar m rkan kisah ppenyaliban Yesus Y Kristuss.

5 7 6 

4 3

1  2

4



Gambar 2.33 Denah Gerreja Katolik Good G Shepheerd (suumber: Architeecture For Thee Gods) Keteranggan Gambar: 1. Pintu Masuk 2. Tempat Umaat 3. Sanctuarium 4. Tempat Koorr dan Prodiakoon 5. Aula Gereja atau perluasann tempat umatt 6. Pastoran dan Kesekretariattan 7. Sakristi 8. Ruang Tobatt

2.2 Cah haya 2.2.1 Pengertian P C Cahaya Cahaya addalah suatuu gelomban ng yang terrpancar darri suatu su umber cahaya atau bennda yang dapat mem mantulkan gelombangg tersebut yang kemudiian tertangkkap oleh maata kita. Jik ka mata kitaa melihat keeadaan di seekitar kita meenjadi teranng, itu dikarenakan di sekitar s kita terdapat t sum mber cahay ya dan benda-bbenda di seekitar kita memantulka m an cahaya teersebut ke m mata kita. Begitu B juga seebaliknya, jika j keadaaan sekitar kita k gelap gulita, g itu kkarena tidak k ada sumberr cahaya di sekitar kita,, dan bendaa-benda di seekitar kita tidak mempu unyai Unive ersitas Indo onesia

 

11   

berkas cahaya untuk dipantulkan. Mata kita dapat melihat sesuatu karena mata kita menerima rangsangan dari suatu berkas cahaya yang terpancar atau terpantulkan. Berdasarkan teori fisika dasar, cahaya didefinisikan sebagai bagian dari spektrum elektromagnetik yang sensitif bagi penglihatan kita (Lechner 372). Spektrum elektromagnetik itu sendiri terdiri dari bermacam-macam gelombang yang berbeda frekuensi dan panjang gelombangnya, namun dengan kecepatan yang sama dalam ruang hampa (c = 3 x 108 m/s) (Foster 4). Cahaya atau sinar tampak berada pada interval yang paling sempit yaitu dengan panjang gelombang antara 380 nm sampai 770 nm (Foster 4).

2.2.2 Peran Cahaya dalam Arsitektur Cahaya tidak hanya berfungsi sebagai penerangan saja, tetapi dalam dunia arsitektur, cahaya mempunyai peran dan fungsi yang spesifik, antara lain: •

Penerangan umum Peran umum cahaya adalah sebagai penerangan umum, yang berfungsi untuk menerangi ruangan sehingga manusia dapat melakukan kegiatan. Sebagai contoh: Ruang makan di rumah diberi lampu yang sesuai supaya penghuninya bisa melakukan kegiatan makan dengan baik.



Penerangan obyek spesifik Sesuai dengan namanya, fungsi penerangan objek spesifik adalah untuk menerangi area-area tertentu, atau obyek yang dianggap menarik. Misalkan, pada dapur terdapat lampu spesifik di bawah lemari dapur untuk membantu proses pengolahan makanan. Pada museum dan pameran seni, ruang pameran diberi pencahayaan yang tidak mencolok, tapi pada obyek yang dipamerkan diberi pencahayaan tersendiri.



Penerangan ambient Fungsi penerangan ambient adalah untuk menciptakan suasana dan mood pada ruangan dan untuk mempercantik ruangan. Fungsi penerangan ambient bisa sekaligus berfungsi sebagai penerangan

 

Universitas Indonesia

 

12   

umum. Seperti lampu-lampu pada museum, kafe, ruang pameran, yang berupa lampu sorot, lampu dinding, lampu gantung, dan lain-lain. •

Pembentuk batas ruang Cahaya juga dapat membentuk batas ruang yang imajiner. Walaupun sama-sama berada di ruangan yang sama, manusia lebih merasa terlindungi ketika berada di tempat yang terkena cahaya.



Pemberi sensasi terhadap proporsi ruangan Dalam dunia arsitektur, cahaya juga mempengaruhi sensasi seseorang terhadap proporsi ruangan. Ruangan terasa lebih kecil jika pencahayaan dalam ruangan minim, dan sebaliknya jika pencahayaannya maksimal, ruangan bisa terasa lebih besar dari sebelumnya.



Sumber Energi Satu-satunya sumber cahaya yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi adalah cahaya matahari. Salah satu pemanfaatan cahaya matahari sebagai sumber energi adalah melalui panel surya. Panas yang diterima panel surya akan diolah menjadi energi listrik, sehingga listrik tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan energi lain seperti lampu dan penghangat air.

2.3 Aspek Peran Pencahayaan di Ruang Dalam Gereja 2.4.1 Penerangan Ruangan Seperti halnya sebuah bangunan, pencahayaan menerapkan fungsi utamanya sebagai penerangan. Gereja memerlukan penerangan selama misa berlangsung supaya berjalan dengan baik yaitu: Pemimpin umat dapat memimpin misa dan ibadat liturgi, paduan suara dapat membaca teks lagu dengan baik, dan umat dapat mengikuti misa dan dapat membaca teks doa atau bacaan Alkitab dengan baik. Menurut sejarah, perjamuan pertama yang diadakan oleh Yesus bersama para murid-Nya diadakan pada malam hari. Pada saat itu, pencahayaan yang digunakan adalah lampu minyak atau pencahayaan dari api. Pada dasarnya, gereja menempatkan pencahayaan buatan tidak seperti bangunan

tinggal

atau

komersil,

tetapi

 

ada

unsur

spiritual

dalam

Universitas Indonesia

 

13   

menerapkannya, misalnya ada perbedaan terang dan gelap atau menggunakan ornamen dan rumah lampu yang sesuai. Lampu-lampu pada tempat umat dan tempat paduan suara tidak sama dengan lampu pada altar. Lampu pada tempat umat dan paduan suara dapat menggunakan lampu downlight atau lampu gantung. Sedangkan pada lampu di altar dipadukan dengan lampu lain yang memiliki fungsi lain. Penerangan pada altar umumnya lebih terang dan lebih bervariasi dari penerangan di sekitarnya (gbr 2.4).

Gambar 2.4 Penerangan pada Altar dan tempat umat (sumber: www.st-joseph-church.org)

Gambar 2.5 Penerangan pada Altar dan tempat umat di Hari Natal (sumber: www.st-joseph-church.org)

2.4.2 Prosesi Kegiatan Liturgi Cahaya yang digunakan untuk proses kegiatan liturgi adalah cahaya lilin. Dalam Gereja Katolik, cahaya lilin berperan sebagai lambang Ketuhanan.

 

Universitas Indonesia

 

14   

Cahaya lilin mewakili cahaya ilahi yang bersinar dalam kegelapan dan juga merupakan simbol dari Yesus sebagai Terang dunia (Cooper 43), seperti tertulis dalam Alkitab “Akulah terang dunia, barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan.” (Yohanes 8:12). Peran cahaya lilin tidak dapat digantikan dengan lampu elektrik, karena nyala api lilin yang hidup dijadikan lambang kehidupan. Cahaya lilin sudah menjadi tradisi umat Kristiani sejak waktu yang lama. Pada awal periode, cahaya lilin biasa dipakai pada saat Uskup melakukan prosesi di meja altar, selain itu juga digunakan untuk upacara pembaptisan dan kematian sejak abad pertengahan(Anson 111). Pada gereja-gereja Katolik, cahaya lilin harus diletakkan pada altar untuk keperluan misa dan untuk keperluan adorasi. Jumlah lampu lilin pada altar minimal terdapat 2 buah jika misa dipimpin oleh pastur, dan 4 buah atau lebih jika dipimpin oleh seorang uskup (“Altar and Sanctuary”). Pada Gereja Katolik, ada yang dinamakan lilin Paschal, yaitu lilin yang khusus digunakan pada Hari Raya Paskah. Lilin Paschal yang berukuran besar mensimbolkan Kristus yang bangkit mulia karena telah menebus dosa-dosa manusia (Stravinskas 576). Gereja-gereja kuno seperti gereja katedral, cahaya lilin juga digunakan sebagai penerangan utama pada altar. Sedangkan pada gereja masa kini, cahaya lilin dipadu dengan cahaya elektrik (gbr 2.6). Pada perayaan hari raya seperti Natal dan Paskah, terdapat upacara cahaya dimana semua lampu elektrik dimatikan dan hanya cahaya lilin saja yang dinyalakan. Hal yang paling penting dalam interior gereja Katolik adalah Tarbenakel. Tarbenakel adalah wadah dimana hosti sebagai Sakramen Kudus disimpan. Tarbenakel diletakkan di dekat meja altar, dan selalu diberi cahaya. Lampu pada tarbenakel merupakan tanda bahwa ada kehidupan dan benda suci di dalamnya, atau disebut dengan Lampu Abadi. Menurut tradisi, lampu yang lazim digunakan adalah lampu berbahan bakar lilin atau minyak zitun. Tetapi, pada masa kini, lampu tarbenakel sudah lazim menggunakan lampu elektrik (Mariyanto 110). Gereja kuno umumnya menggunakan lampu minyak, namun

 

Universitas Indonesia

 

15   

seiring perkembangan jaman, lampu elektrik mulai menggantikan, karena lebih efektif dan mudah dalam perawatan.

Gambar 2.6 Penerangan pada Altar (sumber: www.tintagelweb.co.uk & www.defensorveritatis.net)

2.4.3 Simbol Gereja dan Supernatural Simbol supernatural adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Ketuhanan dan Gerejawi. Dari waktu ke waktu, cahaya digunakan sebagai simbol supernatural dalam perwujudan dari Tuhan, sedangkan objek dalam bangunan menjadi simbol duniawinya (“Light In Architecture” 6). Tujuan pencahayaan sebagai simbol supernatural adalah untuk memberikan efek penguatan rasa sehingga efek ritual menjadi lebih tinggi. Cahaya simbol supernatural juga dapat berfungsi sebagai cahaya ambien atau dekoratif, namun cahaya ini memiliki arti atau makna tersendiri bagi Gereja. Cahaya simbol supernatural diterapkan pada gereja-gereja modern dengan menggunakan lampu elektrik. Namun, pada abad pertengahan telah diterapkan dengan memanfaatkan pencahayaan alami. Pada belahan Eropa yang miskin cahaya matahari, dibangun gereja katedral yang berukuran besar sehingga menciptakan kesan ruang yang gelap di dalam. Kemudian sebagai efek cahaya dibuat jendela-jendela dengan kaca ornamen yang memberikan makna “Cahaya yang datang di kegelapan” (I Nyoman). Contohnya pada kaca ornamen Gereja Saint Chapelle (gbr 2.7).

 

Universitas Indonesia

 

16   

Chapel of St. Ignatius memiliki tujuh skylight dan kaca berwarna yang memiliki warna dan intensitas cahaya yang berbeda-beda, yang dapat digambarkan sebagai tujuh botol cahaya yang tertanam pada kotak batu (Richardson 18-9). Ketujuh botol cahaya ini memiliki arti yaitu mencerminkan tujuh aspek dasar pada Gereja Katolik, antara lain: Procession, Narthex, Nave, Blessed Sacrament, Choir, Reconcilation Chapel, dan Bell Tower & pond. Ketujuh botol cahaya ini menghias ruang dalam gereja maupun dari luar gereja (gbr 2.8).

Gambar 2.7 Ornamen kaca pada Gereja Saint Chapelle (sumber: www.sacred-destinations.com)

Gambar 2.8 Cahaya pada Chapel of St. Ignatius (sumber: http://figure-ground.com/st_ignatius)

2.4.4 Pencahayaan Ambien dan Dekoratif Dalam gereja, pencahayaan ambien dan dekoratif berfungsi untuk menghias ruang gereja agar terlihat lebih indah layaknya tempat ibadat yang suci. Peran cahaya ambien dan dekoratif tidak terlalu penting mengingat keberadaannya hanya sebagai pelengkap saja. Namun, pada event-event

 

Universitas Indonesia

 

17   

tertentu seperti misa pernikahan dan hari raya, ruang dalam gereja dihiasi dengan berbagai lampu dekoratif. Penerapan cahaya ambien memanfaatkan teknik pencahayaan arsitektural, seperti pencahayaan cove, pencahayaan coffeer, dan lain sebagainya. Sedangkan penerapan cahaya dekoratif menggunakan lampu-lampu dekorasi atau fixture tertentu. Fixture yang digunakan pada pencahayaan dekoratif sebaiknya tidak berlebihan dan menarik perhatian umat sehingga tidak mengganggu konsentrasi umat dalam mengikuti ibadah. Pencahayaan ambien umum digunakan pada gereja-gereja yang memiliki ruang yang besar seperti gereja katedral. Cahaya ambien diletakkan pada area gelap atau titik yang tidak terjangkau, seperti cahaya ambien di sekitar langit-langit, pada kolom, dan dinding, seperti pada Katedral Lausanne dan Katedral San Fransisco (gbr 2.9). Selain, gereja-gereja modern juga menggunakan cahaya ambien, tidak hanya sebagai pembentuk suasana tapi juga memiliki maksud-maksud tersirat.

Gambar 2.9 Cahaya Ambien pada Katedral (sumber: http://fpcstjmsmn.org)

Pencahayaan dekoratif masih dapat terlihat pada gereja-gereja kuno, katedral dan gereja-gereja besar lain. Umumnya cahaya dekoratif yang digunakan memakai fixture lampu hias bermotif klasik yang digantung di atas tempat umat. Beberapa gereja, ada menggunakan fixture berbentuk lilin untuk menciptakan suasana yang sakral, yang memiliki efisiensi tinggi dan biaya yang rendah serta perawatan yang mudah daripada menggunakan cahaya lilin.

 

Universitas Indonesia

 

18   

Saat ini banyak terdapat fixture lampu gereja yang bervariatif bentuk maupun desainnya. Ada kurang lebih terdapat 4 jenis pencahayaan dekoratif, antara lain: Kontemporer, Tradisional, Indirect, dan Spot/Flood lighting (“Guide”). Desain lampu kontemporer cukup sederhana, menyerupai benda-benda liturgis seperti lilin paschal, salib, dan bentuk-bentuk lain yang lebih modern (gbr 2.10a). Lampu kontemporer memberikan pencahayaan dekoratif pada ruang gereja dengan cahaya yang indah dan nyaman. Desain lampu tradisional lebih bervariati dengan ukiran dan pernak-pernik pada lampu (gbr 2.10b). Lampu tradisional sangat sesuai untuk melengkapi ruang gereja yang memiliki arsitektur seperti gereja awal sampai abad pertengahan. Lampu indirect merupakan pencahayaan dengan bentuk fixture kaca yang sangat sederhana seperti berbentuk bola, tabung, dan sebagainya (gbr 2.10c). Lampu indirect umumnya digunakan pada gereja-gereja modern. Spot/Flood lighting merupakan bagian dari pencahayaan ambien untuk menerangi bagian tertentu di dalam bangunan.

(a)

(b)

(c)

Gambar 2.10 Jenis lampu dekorasi; a. Lampu Kontemporer, b. Lampu Tradisional, c. Lampu Indirect (sumber: www.kingrichards.com)

 

Universitas Indonesia

 

   

BAB III TEKNIK PENCAHAYAAN

3.1 Satuan Cahaya Dalam teori pencahayaan, dikenal dengan color temperature dan color rendering. Color temperature adalah satuan cahaya yang digunakan untuk mendeskripsikan warna cahaya yang dihasilkan dari suatu sumber cahaya dalam satuan K (Kelvin). Kategorinya dapat dibagi menjadi 4 yaitu cahaya hangat (warm) dalam interval 2500 – 3000 K, cahaya putih netral dalam interval 3000 – 4000 K, cahaya putih dingin dalam interval 4000 – 5000 K, dan cahaya siang hari (daylight) di atas 5000 K. Cahaya hangat atau putih hangat (<4000 K) mempunyai sifat hangat, santai/rileks, intim, nyaman, dan cozy, sedangkan cahaya dingin (>4000 K) mempunyai sifat dingin, formal, segar, menyenangkan dan terang (“Philips” 4) (gbr 3.1). Color rendering indeks adalah satuan cahaya digunakan untuk mengukur kemampuan suatu sumber cahaya dalam membedakan warna dalam interval 0-100. Semakin besar color rendering sumber cahaya maka semakin baik untuk membedakan warna. Sebagai contoh cahaya putih sinar matahari mempunyai color rendering yang paling tinggi.

Gambar 3.1 Color Rendering & Color Temperature (Sumber: http://prestylarasati.files.wordpress.com)

19   

Universitas Indonesia

20   

3.2 Sifat-sifat Cahaya Sifat-sifat yang dimiliki oleh cahaya antara lain, cahaya dapat dipantulkan (refleksi), cahaya dapat dibelokan (refraksi), cahaya dapat dipadukan (interferensi), cahaya dapat dihantarkan (transmisi), dan cahaya juga dapat diserap (absorbsi). 1. Pemantulan/refleksi Apabila suatu sumber cahaya memancarkan sinarnya ke sebuah cermin datar maka terjadi pemantulan cahaya yang akan memenuhi hukum pemantulan yaitu sinar datang, sinar pantul dan garis normal berpotongan pada satu titik dan terletak pada satu bidang datar, serta sudut datang sama dengan sudut pantul (gbr 3.2).

Gambar 3.2 Proses Refleksi (Sumber: Diktat Kuliah Pencahayaan)

Berdasarkan bidang pantulnya, pemantulan cahaya terdapat 4 (empat) cara, antara lain: Pemantulan pada bidang datar, yang akan menghasilkan pantulan yang teratur; pemantulan pada bidang cekung, yang akan menghasilkan pantulan yang memusat; pemantulan pada bidang cembung, yang akan menghasilkan pantulan yang menyebar (terpusat di bayangan); dan terakhir adalah pemantulan pada permukaan tidak rata, yang akan menghasilkan pantulan yang membaur/tidak teratur (gbr 3.3).

Gambar 3.3 Proses Refleksi pada bidang datar dan tidak datar (Sumber: Diktat Kuliah Pencahayaan)

Universitas Indonesia 

 

21   

2. Pembelokan/refraksi Pembiasan terjadi karena cahaya merambat pada medium yang berbeda, contoh: cahaya datang dari udara kemudian menembus medium cair, maka akan terjadi pembelokan cahaya. Pembelokan ini disebut juga dengan pembiasan, karena cahaya tidak diteruskan secara garis lurus melainkan dibiaskan oleh medium yang berbeda. Pembiasan cahaya ini juga mempunyai hukum pembiasan yang berbunyi: Sinar datang, sinar bias dan garis normal berpotongan pada satu titik dan terletak pada satu bidang datang (bidang batas). Hubungan sudut datang dengan sudut bias dinyatakan oleh persamaan umum Snellius (Kanginan). Efek

pembiasan

dapat

kita

amati

dengan

percobaan

memasukkan stik ke dalam gelas berisi air, kemudian stik akan terlihat patah atau bengkok. Selain itu, efek pembiasan juga mempengaruhi perspesi jarak dalam air. Suatu kolam akan terlihat lebih dangkal dari yang sebenarnya.

3. Interferensi Interferensi adalah perpaduan antara dua atau lebih gelombang (dalam hal ini adalah gelombang cahaya) yang menghasilkan pola gelombang yang baru. Interferensi cahaya dapat menguatkan maupun melemahkan satu sama lain. Interferensi dapat diamati dengan percobaan seperti yang pernah dilakukan oleh Issac Newton bernama Cincin Newton (Newton’s Rings). Fenomena Cincin Newton adalah pola interferensi yang disebabkanoleh pemantulan cahaya antara dua permukaan yang berbeda (permukaan datar dan permukaan cembung).

4. Transmisi Transmisi merupakan sifat cahaya dimana cahaya dapat dihantarkan atau didistribusikan melalui suatu material tembus cahaya

Universitas Indonesia 

 

22   

seperti kaca. Prinsip transmisi sama dengan pemantulan, yakni hasil proses transmisi oleh suatu material tembus cahaya ada yang lurus, ada yang terdifusi, dan ada yang merata.

5. Penyerapan/absorbsi Absorbsi merupakan sifat cahaya dimana cahaya dapat diserap sebagian atau seluruhnya oleh suatu material. Sebagai contoh kasusnya adalah rumah yang memiliki dinding berwarna putih akan terlihat sangat terang dibandingkan dengan rumah yang dindingnya berwarna gelap atau hitam, kemudian benda yang menyerap warna biru, hijau, dan kuning akan berwarna merah ketika disinari cahaya putih.

3.3 Sumber Pencahayaan 3.3.1 Pencahayaan Alami Satu-satunya sumber pencahayaan alami adalah sinar matahari (gbr 3.4). Karena adanya pengaruh dari alam sekitarnya, sumber pencahayaan alami dibagi menjadi 3 dasar, yaitu: •

Sunlight – pancaran sinar matahari secara langsung melalui langit yang cerah atau sebagian awan.



Daylight – pancaran sinar matahari yang disebarkan melalui langit yang berawan.



Reflected light – pancaran sinar akibat terjadi pemantulan oleh lingkungan sekitar di permukaan bumi

Gambar 3.4 Matahari Terbit dan Daylight (Sumber: dokumentasi pibadi)

Universitas Indonesia 

 

23   

Cahaya matahari mempunyai color temperature yang bisa berubahubah, hal ini dikarenakan pengaruh bumi berotasi yang membuat matahari ‘berputar’ dari timur ke barat. Pada saat pagi hari atau sore hari, cahaya matahari mempunyai color temperature dari 1000 K sampai 1800 K. Ketika tengah hari, cahaya matahari bisa mencapai 5000 K, dan bahkan saat matahari sangat terik, color temperaturenya dapat mencapai lebih besar dari 10.000 K.

3.3.2 Pencahayaan Buatan Tradisional Lampu tradisional yang diciptakan manusia pada jaman dahulu masih digunakan sebagai bagian dari pencahayaan ruang dalam gereja. Lampu tersebut antara lain: •

Lilin Lilin adalah sumber cahaya dan sumber panas yang terbuat dari parafin yang diberi sumbu ditengahnya untuk nyala api. Lilin umumnya berbentuk silinder atau tabung. Tapi dari berbagai kebudayaan dan belahan dunia, bentuk dan model lilin bermacam-macam (gbr 3.5). Ada yang berbentuk persegi, ada yang berbentuk segi-n, ada yang berbentuk huruf, dan bahkan ada yang berbentuk angka. Bentuk huruf dan angka biasanya digunakan untuk perayaan ulang tahun dimana lilinnya diletakkan di atas kue ulang tahun. Selain itu, untuk mempercantik lilin, digunakan berbagai macam pegangan lilin, seperti pegangan motif bunga, pegangan berukir, pegangan kaca berwarna, dan sebagainya. Lilin yang dipakai untuk keperluan religius, umumnya berbentuk tabung dengan berbagai ukuran. Lilin yang dipakai di dalam gereja memiliki kandungan minimal 50% parafin dari madu, sedangkan lilin Paschal memiliki kandungan 67 sampai 75 persen parafin madu (Anson 111).

Universitas Indonesia 

 

24   

Gambar 3.5 Berbagai aneka bentuk lilin (Sumber: www.candlesjustonline.com)



Lampu Minyak Lampu minyak adalah sumber cahaya dan sumber panas yang berasal dari nyala api pada sebuah bejana atau tempat sederhana, dimana bejana tersebut menampung minyak sebagai bahan bakar. Lampu minyak telah digunakan sejak ratusan abad yang lalu, dan telah menjadi kebudayaan dari berbagai belahan dunia. Lampu minyak tertua yang pernah ditemukan terbuat dari batu atau cangkang siput, yang digunakan kurang lebih 15.000 tahun yang lalu (Burnie 9). Pada perkembangan lampu minyak dari jaman ke jaman mengalami perubahan. Saat ini, lampu minyak menggunakan bahan bakar minyak tanah dengan berbagai macam bentuk (gbr 3.6). Beberapa gereja tertentu, terutama gereja Orthodox masih menggunakan lampu minyak, baik untuk perlengkapan altar maupun sebagai penerangan ruang gereja. Namun, kebanyakan gereja sudah tidak memakai lampu minyak karena masalah efisiensi dan biaya. Lampu minyak digantikan dengan lampu elektrik karena lampu elektrik seperti halogen mengeluarkan tingkat cahaya yang lima kali lebih banyak dibandingkan dengan lampu minyak (Flafin 77).

Universitas Indonesia 

 

25   

Gambar 3.6 Berbagai aneka lampu minyak (Sumber: www.yesholyland.com & www.theoillampstore.com)

3.3.3 Pencahayaan Buatan Elektrik Lampu elektrik sebagai sumber pencahayaan buatan yang umum digunakan, terdiri dari 2 jenis yaitu lampu pijar (incandescent lamps) dan lampu sekali pakai (discharge lamps). Lampu discharge pun terdiri dari 2 jenis yaitu low-pressure discharge dan high-intensity discharge lamp. Selain itu terdapat jenis sumber cahaya baru seperti lampu induksi, lampu sulfur, dan lampu LED. 1. Lampu Pijar (Incandescent lamps) Lampu pijar (gbr 3.7) adalah lampu yang sumber cahayanya dihasilkan dari pemanasan filamen tungsten secara elektris di dalam bola (“Incandescent”). Bola kaca ini berisi gas argon, nitrogen dan juga kripton yang mempunyai tekanan yang rendah dan berfungsi untuk mengurangi proses evaporasi pada filamen. Proses evaporasi pada filamen menyebabkan 2 hal yaitu lampu pijar yang semakin buruk kualitas pencahayaannya dan filamen tungsten yang semakin tipis hingga akhirnya putus (“A to Z” 4). Namun ada lampu pijar yang dapat mengurangi proses evaporasi sehingga bertahan lebih lama, yaitu lampu

Universitas Indonesia 

 

26   

Halogen. Cahaya yang dihasilkan lebih terang dari lampu pijar biasa. Lampu pijar sering digunakan pada rumah tangga, seperti lampu meja dan lampu tidur. Sedangkan, lampu halogen sering digunakan untuk pencahayaan interior untuk menghasilkan pencahayaan ambien, pencahayaan setempat, dan juga sering digunakan untuk lampu sorot. Lampu pijar mempunyai color temperatur yang rendah sehingga warna yang dihasilkan berwarna kekuning-kuningan.

Lampu Pijar biasa

Lampu Halogen

Gambar 3.7 Lampu Incandescent (Sumber: Phlips, Lighting AtoZ, Product Knowledge)

2. Low-pressure discharge lamp Lampu ini lebih dikenal dengan nama lampu flourescent. Lampu flourescent merupakan termasuk dalam keluarga lampu discharge, di mana sumber cahaya yang dihasilkan berasal dari pengionisasian gas serta penggunaan ballast untuk mengatur pasokan arus listrik ke dalam tabung lampu. Lampu fluorescent (gbr 3.8) mempunyai color temperatur yang tinggi sehingga warna yang dihasilkan cenderung berwarna putih dingin. Namun demikian, saat ini juga terdapat lampu flourescent yang menghasilkan cahaya putih yang hangat. Lampu ini juga memiliki color rendering indeks yang tinggi pula, oleh karena itu sangat baik untuk membedakan warna. Berdasarkan efisiensi energi, umur lampu, color temperature dan color rendering indeksnya, maka lampu flourescent dapat digunakan untuk berbagai aplikasi, ruang dan tempat, contohnya: untuk lampu interior

Universitas Indonesia 

 

27   

rumah tinggal, kantor, ruang kerja, untuk lampu belajar, termasuk lampu eksterior dan lampu taman.

Gambar 3.8 Berbagai macam lampu flourescent (sumber: Wikipedia Bahasa Inggris)

3. High-intensity discharge lamp Lampu merkuri, lampu metal-halide, dan lampu sodium termasuk ke dalam lampu jenis high-intensity discharge lamp. Lampu merkuri berintensitas tinggi mempunyai karakter cahaya yang sangat dingin, kaya akan warna biru dan hijau, sedikit warna merah dan orange pada spektrumnya (Lechner 470). Lampu merkuri mempunyai color rendering indeks yang buruk dan efisiensi yang rendah daripada lampu discharge yang lain. Aplikasinya hanya sebatas pencahayaan landscape dan lampu jalan. Lampu metal halide (gbr 3.9) mempunyai color rendering yang baik serta efisiensi yang tinggi. Aplikasinya pun sangat luas dan cocok untuk penggunaan di ruang interior maupun eksterior. Lampu sodium merupakan lampu yang mempunyai efisiensi paling tinggi dari lampu berintensitas tinggi lainnya serta umur lampu yang panjang, namun mempunyai color rendering yang buruk Aplikasinya cocok untuk ruang eksterior seperti pencahayaan jalan raya dan tempat parkir.

Universitas Indonesia 

 

28   

Gambar 3.9 Lampu Metal Halide (sumber: Wikipedia Bahasa Inggris)

4. Lampu LED LED (Light-Emitting Diodes) merupakan lampu solid yang sumber cahayanya berasal dari bahan semi konduktor. Kelemahan dari LED adalah biayanya produksinya yang mahal yang menyebabkan harganya juga mahal kemudian kualitas cahaya yang dihasilkan juga tidak tinggi, silau langsung, lapisan pemantul dan bayangan yang tidak diinginkan merupakan masalah utama. Akan tetapi, biaya perawatannya yang sangat rendah, efisiensi energi yang sangat tinggi dan dapat menghasilkan cahaya yang beranekawarna menjadikan lampu LED sudah mulai banyak diaplikasikan pada bangunan komersial, lampu lalu lintas, lampu tanda, sampai papan nama elektronik.

3.4 Teknik Pencahayaan Alami Matahari merupakan sumber cahaya yang sangat kuat dan sulit untuk dikontrol, tetapi kita bisa mengontrolnya lewat desain bangunan. Oleh karena itu, jika desain bangunan dapat memanfaatkannya dengan baik, maka cahaya matahari bisa menjadi sumber pencahayaan yang efektif dan indah, dan bisa menjadi sumber energi. Namun, jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka akan menyebabkan bangunan terlalu panas, terlalu terang (silau), dan distribusi cahaya yang tidak baik. Ada beberapa strategi untuk memanfaatkan cahaya matahari langsung maupun tidak langsung, antara lain:

Universitas Indonesia 

 

29   

1. Bukaan (Opening) Untuk mendapatkan cahaya matahari masuk ke ruangan sesuai keinginan, kita dapat mengolahnya melalui bukaan. Bukaan dapat berupa bukaan langsung atau bukaan dengan menggunakan penghantar cahaya, seperti kaca, kisi-kisi (louvre/baffle). Bukaan dengan kaca yang bercorak seperti stained glass, akan menghasilkan corak cahaya yang menarik (gbr 3.10). Bukaan dengan kisi-kisi dapat menghasilkan cahaya ambient yang halus.

Gambar 3.10 Variasi material bukaan (sumber: Dokumentasi Pribadi)

Berdasarkan posisinya, bukaan terdiri dari bukaan atas (toplighting) dan bukaan

samping

(sidelighting).

Bukaan

atas

umumnya

untuk

mendapatkan cahaya langsung dari matahari dengan maksimal. Keadaan ini tentunya menyebabkan silau. Namun, dapat diatas dengan membuat naungan di atas bukaan tersebut, sehingga ruangan menerima cahaya matahari secara tidak langsung. Ada beberapa jenis bukaan atas, yaitu skylight, sawtooth, monitor, dan clerestory (gbr 3.11).

Gambar 3.11 Variasi pada bukaan atas (sumber: Heating, Cooling, Lighting)

Dengan bukaan dari samping, kita bisa mendapatkan cahaya matahari langsung maupun tidak langsung. Pengolahan bukaan terutama dari samping, dapat menghasilkan cahaya yang tidak saja tersebar dengan

Universitas Indonesia 

 

30   

baik. Namun dapat menghasilkan efek-efek tertentu yang menghasilkan cahaya ambien. Berdasarkan ketinggiannya, bukaan samping dibagi menjadi 3, yaitu bukaan tinggi, bukaan tengah, dan bukaan rendah (gbr 3.12). Bukaan tinggi memberikan distribusi yang baik dari cahaya matahari langsung. Bukaan rendah memberikan distribusi yang baik dari pantulan cahaya matahari. Sedangkan bukaan tengah dapat memberikan keduanya. Letak bukaan di sebelah timur dan barat memberikan cahaya yang lebih besar, dan kondisi ini kadang memberikan masalah terhadap silau.

Gambar 3.12 Bukaan tinggi, rendah, dan tengah (sumber: Architectural Design)

Untuk dapat mengatur jumlah pemasukan cahaya matahari, kita juga dapat mengolah dimensi bukaan. Bukaan yang ukurannya lebih besar tentunya cahaya yang masuk lebih besar, sedangkan bukaan yang kecil akan menciptakan bayangan yang tajam (kontras). Ketebalan dinding pada bukaan juga mempengaruhi kualitas cahaya yang masuk. Dinding yang tipis akan menyebabkan kontras terhadap ruangan, sementara dinding yang tebal akan mencegah terjadinya silau dari pantulan sinar matahari.

2. Naungan (shading) Naungan berfungsi untuk mencegah silau dan panas yang berlebihan pada bukaan akibat pancaran langsung sinar matahari. Naungan dapat dikategorikan menjadi horizontal, vertikal, dan kombinasi (M. David 115) (gbr 3.13). Naungan horizontal memberikan naungan berdasarkan sudut datang cahaya matahari secara vertikal. Secara umum, naungan

Universitas Indonesia 

 

31   

horizontal sangat efektif untuk bukaan yang terletak di sebelah barat atau timur. Naungan horizontal menghalangi cahaya dari sudut datang yang tinggi dan membiarkannya dari sudut yang rendah. Naungan vertikal memberikan naungan berdasarkan sudut datang cahaya matahari secara horizontal. Naungan vertikal mengatasi datangnya cahaya matahari yang bergerak horizontal akibat perubahan lintasan matahari setiap tahunnya. Naungan kombinasi merupakan gabungan antara naungan horizontal dan naungan vertikal.

Gambar 3.13 Variasi pada naungan horizontal (sumber: Architectural Design)

3. Redirect-Device Pada dasarnya, redirect-device merupakan perpaduan dari naungan dan bukaan. Pola geometrinya sama seperti naungan. Prinsip redirectdevice adalah untuk mendapatkan pencahayaan yang maksimal dan meneruskan cahaya ke dalam ruang-ruang di dalam sebuah ruangan (gbr 3.14). Redirect-device dapat berupa elemen-elemen dasar, elemenelemen

interior,

atau

elemen-elemen

transparan

seperti

kaca.

Penerapannya sangat efektif untuk berbagai iklim, seperti iklim panas, iklim dingin, dan iklim sedang.

Universitas Indonesia 

 

32   

Gambar 3.14 Penerapan elemen dasar (sumber: Architectural Design)

3.5 Teknik Pencahayaan Buatan 3.5.1 Strategi Pencahayaan Sistem pencahayaan adalah bagaimana pencahayan buatan tersebut diaplikasikan di dalam sebuah ruangan atau area. Sistem pencahayaan dapat dibagi menjadi 5 (lima) tipe, antara lain:

1. Pencahayaan Umum Pencahayaan umum terdiri dari lampu dan perangkatnya yang sejenis, yang disusun secara teratur pada plafon, sehingga setiap area tertentu di dalam ruangan menerima cahaya yang sama besarnya. Sistem pencahayaan ini terkenal dengan fleksibilitasnya dalam mengatur dan mengatur ulang area kerja, sekaligus menjadi rendah efisiensi energinya, karena iluminasi di manapun sama besar bahkan area nonkerja yang tidak perlu menerima cahaya yang besar pun mendapatkan iluminasi yang sama besarnya dengan area kerja.

2. Pencahayaan Dilokalisasi Sistem pencahayaan ini merupakan pengaturan pencahayaan yang difokuskan kepada area kerja saja, sehingga efesiensi energi bisa ditingkatkan. Area nonkerja mendapatkan pencahayaan dengan derajat Universitas Indonesia 

 

33   

yang berbeda dengan area kerja. Hal ini meminimalisasi pengaturan area kerja pada ruangan secara leluasa.

3. Pencahayaan Ambien dan Setempat Kedua sistem pencahayaan ini saling berhubungan, di mana pencahayaan ambien adalah pencahayaan tidak langsung yang dipantulkan plafon dan dinding (Lechner 477), demikian juga pencahayaan setempat yang dilekatkan pada suatu perabot pada area kerja. Pencahayaan setempat digunakan untuk menghindari silau karena permasalahan lapisan memantul, sedangkan pemakaian pencahayaan ambien untuk memberikan sedikit cahaya pada area yang gelap. Kombinasi demikian dapat meningkatkan efisiensi energi, kualitas, dan fleksibilitas, karena hanya area kerja tertentu saja yang diberi iluminasi, kemudian penempatan pencahayaan yang dapat diatur sesuai kebutuhan dan kenyamanan.

4. Pencahayaan Aksen Pencahayaan ini digunakan jika ada sebuah objek atau bagian dari bangunan yang perlu dijadikan aksen atau ditonjolkan. Besarnya cahaya untuk menerangkan aksen ini paling tidak harus sepuluh kali lebih besar dari pencahayaan disekitarnya.

5. Pencahayaan Dekoratif Pencahayaan dekoratif menjadikan lampu dan perangkat lampu menjadi objek untuk dilihat dan dipanjang, sehingga dapat memberikan tampilan yang lebih indah terhadap lingkungan di sekitarnya.

3.5.2 Teknik Pemasangan Lampu Pada

prakteknya,

terdapat

beberapa

teknik

untuk

meletakkan

pencahayaan atau lampu ke dalam ruangan secara arsitektural. Teknik-teknik itu antara lain:

Universitas Indonesia 

 

34   

1. Teknik Cove Lighting Cove lighting adalah sistem pencahayaan tidak langsung dengan lampu yang diletakan di dalam cornice dimana arah cahaya terpantul ke atas plafon (Barret 22). Pencahayaan cove merupakan pencahayaan tidak langsung dimana pengamat hanya melihat pantulan cahaya di plafon dan dirancang agar cahaya tidak mengarah langsung ke pandangan pengamat, dengan jarak tertentu terhadap plafon untuk menhindari dari cahaya yang berlebihan. Jenis lampu yang biasa digunakan adalah lampu flourescent, lampu xenon-low voltage, lampu LED, dan lampu pijar.

2. Teknik Coffer Lighting Coffer lighting adalah sistem pencahayaan dimana lampu diletakan di kantung-kantung plafon. Kadang sistem pencahayaan coffer digunakan bersamaan dengan pencahayaan cove.

3. Teknik Luminous-Ceiling Teknik ini meletakkan elemen penyebar lampu di bawah sumber cahaya seragam dengan jarak tertentu. Teknik ini umumnya digunakan untuk menghilangkan silau berlebihan akibat cahaya langsung dari sumber cahaya di atas plafon. Penggunaan luminous ceiling yang seragam, dengan jarak yang sesuai dapat menghasilkan cahaya yang lembut dan nyaman. Beberapa interior bangunan menggunakan elemen penyebar yang dekoratif dan variatif untuk menghasilkan cahaya yang lebih indah.

4. Teknik Valance (Bracket) Teknik ini digunakan jika sumber cahaya diletakan di dinding, maka diberi papan valance dengan jarak tertentu dari sumber cahaya. Teknik ini serupa dengan pencahayaan luminous ceiling, berfungsi untuk mengurangi terang berlebihan. Valance harus diletakan setidaknya 12

Universitas Indonesia 

 

35   

inci di bawah plafon (Lechner 484) agar cahaya pantulan dari plafon tidak terlalu terang dan menyilaukan.

5. Teknik Cornice (Soffit) Teknik cornice digunakan untuk mengatasi masalah pada teknik valance apabila sumber cahaya terlalu dekat dengan plafon. Prinsipnya sama dengan valance, hanya saja papan valance diletakan menerus sampai menyentuh plafon. Apabila bagian bawahnya terlihat dari sudut padang mata pengamat, sebaiknya diberi kisi-kisi atau louvre untuk menghalau cahaya berlebihan.

Gambar 3.15 Teknik Cove, Coffer, Luminous-Ceiling, dan Valance (sumber: http://inspirelighting.com)

3.5.3 Teknik Pencahayaan Interior Saat ini teknik pencahayaan Interior dibagi menjadi 7 kategori, antara lain: 1. Highlighting Teknik ini menciptakan cahaya 5 kali lebih terang terhadap objek yang kita terangi dibandingkan latar belakang (gbr 3.16), sehingga menyebabkan terjadinya kontras. Teknik ini umum digunakan

Universitas Indonesia 

 

36   

pada ruang pameran, toko, atau museum untuk menyinari hasil karya seni atau artwork tertentu.

Gambar 3.16 Efek Highlighting (sumber: www.lightingdesigner.com)

Untuk perangkatnya, highlighting sering digunakan lampu halogen yang rendah voltase (low voltage halogen), karena lampu itu menghasilkan sinar yang tajam. Namun, selain menggunakan lampu halogen, lampu fiber optik juga sering digunakan (gbr 3.17).

Gambar 3.17 Jenis Lampu pada highlighting (sumber: Diktat Kuliah Pencahayaan)

2. Wall washing Teknik menghasilkan cahaya pada dinding, di mana ada bagian yang terang dengan tujuan menciptakan ruang, menonjolkan objek pada dinding, dan menonjolkan tekstur dari dinding (gbr 3.18). Teknik ini dapat menggunakan pencahayaan setempat dan menerus.

Universitas Indonesia 

 

37   

Gambar 3.18 Efek pada wall washing (sumber: www.djsunlimited.com)

Sebagai perangkatnya, untuk menghasilkan efek cahaya menerus tidak terputus (linear), maka menggunakan lampu jenis selang atau fluorescent (TL balok). Jika menggunakan TL balok, sebaiknya posisi pemasangan lampu overlap untuk menghindari adanya bagian gelap. Sedangkan untuk mendapatkan pencahayaan setempat (spot), dapat menggunakan lampu halogen rendah voltase.

3. Background lighting Teknik pencahayaan yang cahayanya berasal dari belakang objek. Ciri utamanya adalah penempatan cahaya yang tidak langsung (indirect light). Background lighting umum digunakan di dinding, lemari, rak, plafon dan furniture-furniture lainnya (gbr 3.19). Perangkat yang sering digunakan adalah lampu tabung flourescent atau lampu TL.

Gambar 3.19 Background lighting (sumber: Diktat Kuliah Pencahayaan)

Universitas Indonesia 

 

38   

4. Down lighting Teknik pencahayaan yang cahayanya berasal dari atas dengan arah cahayanya mengarah ke bawah. Teknik pencahayaan ini dapat berupa recessed downlight, surface mounted downlight, dan directional atau fixed. Recessed downlight adalah downlight yang letaknya tertanam di dalam plafon. Umumnya digunakan pada pencahayaan interior umum seperti lobby (gbr 3.20). Surface mounted dwonlight adalah downlight yang letaknya dipermukaan plafon. Pencahayaan jenis ini sering diaplikasi untuk menerangi atau menonjolkan permukaan suatu objek yang besar seperti dinding, lemari dan lain-lain. Directional atau fixed adalah downlight yang cahayanya dapat diarahkan. Umumnya digunakan untuk pencahayaan aksen.

Gambar 3.20 Downlighting

Gambar 3.21 Uplighting

(sumber: www.construction.com)

(sumber: www.theblogoflists.com)

5. Up lighting Teknik pencahayaan yang cahayanya berasal dari arah bawah, dengan arah cahayanya mengarah ke atas. Bisa berupa spot up light, untuk pencahayaan setempat atau linear uplight, untuk pencahayaan menerus. Teknik pencahayaan ini dapat membuat ruang tampak lebih tinggi dan juga dapat menghilangkan efek silau (glare) cahaya. Untuk perangkat spot up light dapat menggunakan lampu halogen yang letaknya biasanya didalam permukaan lantai. Sedangkan untuk perangkat linear light dapat menggunakan tabung flourescent (TL). Pada pencahayaan interior, uplight sering digunakan untuk mempertegas kolom sehingga ruangan terasa lebih tinggi. Selain itu, juga sering digunakan pada floyer atau jalan di dalam ruang, untuk

Universitas Indonesia 

 

39   

mendapatkan fungsi sebagai penerangan umum dan penerangan ambien (gbr 3.21). 6. Task lighting Teknik pencahayaan yang dibuat khusus untuk melakukan kegiatan tertentu. Penerapan pencahayaannya ada yang sudah dinteregasikan pada interior ruangan atau dengan perangkat tambahan. Sebagai contoh, pada dapur digunakan taks light yang letaknya dibawah lemari atas, untuk menerangi kegiatan memasak (gbr 3.22). Pada meja belajar, biasanya terdapat task light berupa lampu meja untuk membaca.

Gambar 3.22 Tasklighting pada dapur (sumber: http://yaleappliance.com)

7. Decorative/art lighting Teknik pencahayaan yang menggunakan lamp fixtures berupa decorative fixture (gbr 3.23). Dalam memilih decorative lighting fixtures harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu: •

Intensitas cahaya yang dibutuhkan.



Gaya & finishing, yang harus sesuai dengan interior ruang.



Dimensi fixture, yang harus sesuai dengan besaran ruang.

Gambar 3.23 Decorative lighting (sumber: www.jmwentertainment.com)

Universitas Indonesia 

 

   

BAB IV STUDI KASUS I GEREJA KATOLIK SANTO THOMAS KELAPADUA

4.1 Profil Gereja 4.1.1 Sejarah Gereja Berawal dari didirikannya gereja pada tahun 1978, gereja stasi Santo Thomas dibawah Paroki Keluarga Kudus Cibinong. Pada tanggal 23 Maret 1991, gereja dinaikan status dari stasi menjadi paroki dengan nama resmi Paroki Santo Thomas Kelapadua. Semakin bertambahnya umat Katolik di daerah Kelapadua, membuat gereja harus direnovasi. Pada tanggal 20 Juni 1993, gereja yang telah selesai direnovasi, diresmikan. Gereja yang baru tersebut mempunyai luas 1200 meter persegi di atas tanah seluas 1500 meter persegi dan dapat menampung 1000 umat. Beberapa tahun kemudian, Paroki Santo Thomas mengalami beberapa kali pemekaran, hingga pada tahun 2002, jumlah umat sudah mencapai sekitar 6000 umat. Atas prakarsa Pastor Paroki, gereja kembali dipugar dengan memindahkan posisi altar di ujung, dan memperbaiki sirkulasi udara dan lainnya. Renovasi yang memakan biaya yang tidak sedikit itu akhirnya selesai, dan pada tanggal 12 Desember 2004 diresmikan oleh Bapa Uskup. Setelah mendapat ijin untuk merenovasi aula di sebelah gereja, akhirnya tahun 2005 dibangunlah aula dan pastoran Santo Thomas. Pada tanggal 23 September 2006, aula tersebut diresmikan dengan nama Aula dan Pastoran Santo Thomas (gbr 4.1).

Gambar 4.1 Gereja Santo Thomas (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

40   

Universitas Indonesia

41   

4.1.2 Arsitektur Gereja Pada awalnya gereja ini dibangun dengan bentuk yang sederhana, namun pada tahun 1992 dilakukan renovasi yaitu memperluas gereja, mengubah rancangan atap gereja dan penyusunan kembali interior gereja dimana mengganti bangku untuk umat dan merenovasi altar. Perubahan letak altar di sisi panjang gereje membuat orientasi pada altar berubah, yang semula memanjang menjadi melebar. Setelah renovasi, gereja dapat menampung banyaknya umat untuk mengikuti misa. Pada tahun 2002 gereja kembali mengalami renovasi secara besar-besaran, meliputi perubahan desain atap dan langit-langit gereja, perubahan altar, yang kembali seperti dulu, perubahan dinding-dinding gereja.

(a)

(b)

(d)

(c)

Gambar 4.2 Ruang Dalam Gereja Santo Thomas (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Universitas Indonesia 

 

42   

Gereja yang sekarang ini mengikuti gereja-gereja besar seperti gereja katedral, yang ditandai dengan adanya kolom-kolom bulat dan langit-langit yang tinggi serta ruangan yang terlihat memanjang (gbr 4.2a). Kolom-kolom tinggi yang ada di dalam gereja berjumlah 12 buah, masing-masing 6 kolom di kanan dan 6 kolom di kiri, ini mengikuti jumlah murid Yesus yang berjumlah 12 orang (gbr 4.2b). Begitu pula jumlah jendela yang ada di samping gereja juga berjumlah 12 buah ditambah dengan 4 jendela di belakang. Pada setiap kaca jendela dilukis kisah jalan salib Yesus yang berjumlah 14 peristiwa dan 2 jendela dilukis peristiwa terbentuknya dunia. Perubahan pada altar cukup signifikan yaitu pada langit-langit altar terdapat menara dengan atap kaca (gbr 4.2d). Kemudian, salib besar Yesus dari kayu dikemas dengan dinding kayu dan pinggirannya dari keramik (gbr 4.2c).

8 9

10 11

12

13 14

4

15 16

3 2

1

6

7 5 5

5 Gambar 4.3 Denah Gereja Santo Thomas (Sumber: Kesekretariatan Gereja)

Keterangan: 1. Altar utama. 2. Tempat duduk umat. 3. Tempat Koor 4. Sakristi 5. Teras. 6. Sekretariat. 7. Aula Gereja. 8. Toilet.

Universitas Indonesia 

 

43    9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

Garasi. Gudang. R. Ganti Ruang Makan Pastoran Ruang Kolekte Kamar Frater Ruang Komputer & Serbaguna Dapur

4.2 Analisis Pencahayaan Buatan 4.2.1 Altar Gereja Selama misa minggu biasa berlangsung, maka kita akan menjumpai 2 buah lampu lilin di meja altar untuk prasyarat melangsungkan kegiatan liturgi. Bentuk lilinnya umumnya yang digunakan untuk misa biasa. Pada saat mengikuti misa Malam Paskah, maka di atas meja altar akan terdapat 2 lebih lilin misa. Pada kasus ini, penulis melihat 3 pasang lilin dengan diameter yang sama. Selain itu, di samping meja altar terdapat lilin paschal yang berdiameter besar dan tinggi, yang menandakan hari raya Paskah (gbr 4.4).

Gambar 4.4 Pencahayaan pada meja altar (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Universitas Indonesia 

 

44   

Pada dinding altar terdapat tarbenakel dengan lampu elektrik. Pada gereja ini terdapat 3 jenis lampu yang menerangi altar, antara lain: Lampu kecil di dinding altar yang bentuknya menyerupai api lilin. Lampu elektrik ini terdapat 4 rangkaian dan memiliki fixture seperti ranting bunga berwarna keemasan dengan hiasan pita (gbr 4.5). Melihat dari bentuk yang menyerupai lilin, penulis beranggapan bahwa lampu ini merupakan cahaya simbol supernatural. Namun, bila dilihat dari bentuk pegangan lampu serta ornamenornamen yang ada, maka lampu ini hanya berfungsi sebagai lampu dekoratif saja. Selain itu, bentuk seperti lilin tidak dapat menggantikan fungsi cahaya lilin sebagai simbol supernatural.

Gambar 4.5 Pencahayaan pada dinding altar (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Sebagai penerangan utama pada altar digunakan lampu halogen bewarna putih yang digantung di atas altar. Lampu ini berfungsi untuk menerangi altar sehingga kegiatan liturgi dapat berjalan dengan baik. Cahayanya berwarna putih dan menerangi seluruh area altar dengan baik. Lampu ini sangat diandalkan karena besarnya intensitas cahaya memudahkan pemimpin misa membaca buku misa dan liturgi. Walaupun di atas terdapat skylight di mana pada siang hari cahaya alami akan masuk ke dalam, lampu ini tetap dinyalakan. Fungsi lampu ini semata-mata hanya sebagai penerangan saja, sehingga pada saat misa selesai, lampu dimatikan sedangkan lampulampu altar (kecuali lilin altar) tetap dinyalakan sampai umat selesai berdoa dan keluar dari ruang gereja.

Universitas Indonesia 

 

45   

Di atas alltar, tepatnyya di sisi kiri dan kanan, k terdaapat peneraangan ambienn. Lampu yaang digunakkan adalah lampu l flourescent (TL)) berwarna putih. p Peneranngan ini menggunakan m n perpaduaan antara teeknik cove lighting deengan teknik valance. Lampu L dilettakan di dallam cove pada dindingg menara di d atas altar. Arah A cahayaanya terarahh ke dinding g dan atas, jarak langit diatasnya teerlalu jauh seehingga silau atau glare dapat terhindari t ( (gbr 4.6a). Namun, sangat disayanngkan pennulis mengganggap baahwa kebeeradaan laampu ini tidak berpenggaruh terhaadap ruanggan, pada saat s misa berlangsung b g. Cahaya yang dikeluaarkan berwaarna putih sama dengan n warna cahhaya pada laampu halog gen di atasnyaa. Selain, fuungsinya hannya sebagaii penerangaan ambien. O Oleh karenaa, kita tidak dapat d melihaat efek ambbien yang dihasilkan d p pada saat m misa berlang gsung. Fungsi penerangan ambien ini i akan beekerja setelaah misa selesai dan lampu utama altar a dimatikan (gbr 4.66b).

(b) skylight

altar Gambaar 4.6 Pencahhayaan ambiien pada altaar (Sumber: Dookumentasi Prribadi)

T Um mat (Nave) dan d Floyer 4.2.2 Tempat Berdasarkaan bentuk langit-langit l t dan keberradaan koloom, tempat umat terbagi menjadi 3 bagian, antara a lain: Bagian teengah, sam mping kanan n dan sampinng kiri (gbrr 4.7). Padaa bagian ten ngah terdappat pencahaayaan alamii dari atas beerupa cleresstory, di maana langit-laangit di tenngah lebih ttinggi. Ruaang di

Unive ersitas Indo onesia 

 

46   

samping kiri mempunyai bukaan berupa jendela kaca di dinding luar, sedangkan ruang di samping kanan tidak terdapat bukaan pada dindingnya. Pencahayaan pada tempat umat menggunakan 1 jenis lampu saja. Lampu ini merupakan lampu flourescent dengan menggunakan fixture bola putih. Berdasarkan fixture yang dipakai, lampu ini termasuk lampu dekoratif indirect. Kemudian perannya selain sebagai penerangan utama juga memberikan unsur dekorasi kepada ruang gereja (gbr 4.9).

clerestory

clerestory

Tempat umat Gambar 4.7 Pencahayaan tempat umat (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada bagian tengah terdapat 3 deret lampu, dengan satu deret lampu terletak di tengah dan 2 lainnya di sisi. Deret lampu tengah di gantung pada pembatas ruang plafon, dan menggunakan satu bola lampu setiap gantungannya. Lampu ini digantung sangat tinggi dan jarak lampu terhadap plafon juga cukup jauh yang membuat pantul terhadap plafon tidak maksimal (gbr 4.8a), sehingga daya penerangan terhadap ruang ini juga kurang maksimal. Lampu ini dianggap kurang fungsional dari segi peletakannya. Lampu yang ada di sisinya, menggunakan 3 bola lampu setiap gantungnya. Lampu ini digantung tidak terlalu tinggi sehingga umat yang berada di bawah mendapatkan penerangan yang baik, ditambah dengan 3 bola lampu yang dapat memaksimalkan penerangan. Selain itu, jarak lampu terhadap plafon yang berwarna putih itu cukup dekat sehingga pemantulan cahaya ke seluruh ruangan dapat terjadi (gbr 4.8b). Dari segi peletakan dan bentuk lampu, lampu ini sangat fungsional sebagai penerangan maupun lampu dekoratif. Pada bagian samping kanan/kiri ruang terdapat 1 deret lampu dengan 1 bola lampu setiap gantungannya. Penggunaan lampu dekoratif model bola yang

Universitas Indonesia 

 

47   

digantuung di bawaah plafon inni berfungssi untuk meemberikan ppenerangan pada umat di d bawahnyaa dan penerrangan lukissan jalan saalib di dindiing. Jarak lampu dengann umat di bawah mauppun dengan n plafon di atas cukup dekat, sehingga peneranngan langsuung maupunn dari pantu ulan terhaddap plafon ddan dinding g bisa maksim mal (gbr 4.8c). Berdasaarkan peletakannya dann fungsinya lampu ini sangat s fungsioonal sebagaii penerangaan dan lampu dekoratif. f.

(a)

(b) Gambbar 4.8 Pemaantulan cahayya lampu

(c)

(Sumber: Doku umentasi Pribbadi)

Gambar 4.9 Penncahayaan teempat umat

Gam mbar 4.10 Pencahayaaan pada floy yer

(Sum mber: Dokumentasi Pribadi)

( (Sumber: Dokkumentasi Prib badi)

Pencahayaan di ruangg floyer meenggunakann lampu yanng sama, deengan bentuk plafon yanng meruncinng ke atas. Warna plaffon yang biiru seperti langit l mal dan ruaangan membuuat pemantuulan cahayaa terhadap plafon kuraang maksim tersebuut terlihat aggak kurangg terang (gb br 4.10). Naamun, lamppu ini fungssional sebagaii penerangaan pada floyyer.

Unive ersitas Indo onesia 

 

BAB BV STUDI KASUS K I GEREJA KATOLIK K REGINA A CAELI

5.1 Proofil Gereja 5.1.1 Sejarah Gerreja M Sejarahh Gereja Reegina Caeli tidak dapaat dipisahkaan dari Parooki Stella Maris, Jakartaa Utara. Parroki Stella Maris yang g telah berddiri sejak taahun 1977, telah mengallami perkeembangan yang y pesatt dari segii jumlah uumatnya. Gereja G semakiin lama sem makin terasa penuh dan d begitu banyaknyaa kegiatan yang diadakaan. Kawasaan Pantai Indah I Kapu uk yang teermasuk W Wilayah VIII dari Paroki Stella Marris, juga meengalami peeningkatan jumlah j um mat Katolik. Pada tahun 2000, pem mbangunan gereja baaru di Paantai Indahh Kapuk mulai m diperbiincangkan hingga h menjjadi suatu perencanaan yang matanng. Perjalanan dalam pem mbangunan n gereja inii dapat dikkatakan berrjalan lancar, karena di samping s tannah yang selluas 6.868 M2 M ini dihibbahkan lang gsung oleh Developer D P Mandaara Permai kepada umat PT u Parokki Stella Maris, M penguruusan surat IMB (Iziin Mendiriikan Banguunan) pun berjalan tanpa hambattan. Pada taanggal 15 Februari F 20 004, peletakkan batu peertama dan tiang pancanng dilakukann, dan pembbangunan gereja g berjaalan hingga pada tangg gal 20 Januarii 2006, Gereeja Katolik Regina Caeeli diresmikkan (gbr 5.1)).

G 5.1 Gerej Gbr eja Regina Caaeli (sumber: Doku umentasi pribaadi)

48 8   

Unive ersitas Indo onesia

49   

5.1.2 Arsitektur Gereja Gereja Regina Caeli yang dirancang oleh Ir. Sardjono Sani, M. Arch, terlihat seperti sebuah kapal yang sedang berlayar dengan nahkodanya adalah salib Yesus. Konsep arsitekturnya sesuai dengan filsafat gereja yaitu sebagai bahtera atau kapal bagi umatnya. Menurut perancangnya, arsitektur gereja ini didesain menyatu dengan alam di belakangnya yaitu hutan bakau, dan tentu saja ramah lingkungan. Hal ini diwujudkan dengan pemberian dinding kaca transparan di belakang altar yang menghadap hutan bakau. Konsep interior pada prinsipnya sederhana yaitu supaya umat dapat fokus mengikuti misa yakni dengan menjadikan altar sebagai sentral. Bentuk ruang gereja secara horizontal maupun vertikal yang melebar/meninggi ke arah altar memberikan pandangan yang luas dan lega ke altar, sehingga membuat altar menjadi tempat yang megah dan penuh perhatian. Ornamen-ornamen gereja ditampilkan tidak menonjol, seperti relief Jalan Salib dari tembaga yang diletakan menjorok keluar, dan patung Kristus serta Bunda Maria yang terletak dibelakang tidak diberi pencahayaan setempat atau pencahayaan efek. Pemakaian elemen ruangan seperti lantai dan plafon yang gelap, serta warna dinding yang tidak terang, membuat umat tetap nyaman memandang area sanctuarium.

6

5

2

7 1

2

3

8 4 Gbr 5.2 Peta Pencahayaan Gereja Regina Caeli (sumber: Dokumentasi pribadi)

Universitas Indonesia  

 

50    Keteranngan pada denah: 1. Floyer (berbbentuk tabunng ruang) – gerbang g utam ma gereja 2. Tempat dudduk umat 3. Altar 4. Tempat padduan suara 5. Bilik pengakkuan dosa 6. Gua Bunda Maria. 7. Sakristi 8. Ruang Mainntenance

5.2 Analisis Pencaahayaan Bu uatan A Gerejaa 5.2.1 Altar Pada mejaa altar terdaapat 2 buah h lampu lilin sebagai prasyarat utama u diadakaannya kegiaatan liturgi, dan juga terdapat tabernakel besserta lampu yang terletakk di sebelahh kiri mejaa altar (gbrr 5.3a). Lam mpu tabernnakel merup pakan kampu elektrik. Meja M altar sendiri meemancarkann cahaya, ffungsi utam manya sendiri adalah unntuk penerrangan pad da altar (gbbr 5.3b). Pencahayaaannya mengguunakan tekknik background lightiing, meja altar a berukuuran 3m x 1.2m terbuat dari batu onix setebaal 3cm itu,, di baliknyya dipasangg lampu. Lampu yang diigunakan addalah lampuu tabung flo ourescent (T TL) bercahaaya kuning. Pada meja altar a itu terrdapat 18 buah lampu yang lettaknya beraaturan, sehingga cahayannya terpanccar merata (gbr ( 5.3c). Pancaran P caahaya yang m merata dan tidak terlalu menyilaukkan memberrikan kesan n cahaya ambien. a Penncahayaan meja altar merupakan m peencahayaann utama pad da altar gerejja.

(b)

(a)

(c)

Gbbr 5.3 Pencah hayaan Mejaa Altar ( (sumber: Dok kumentasi pribbadi) Unive ersitas Indo onesia  

 

51   

Pada gerejaa ini, tempaat duduk baagi para pem mbantu Imam m terletak di d sisi kiri dann kanan alttar, dengann menggunaakan tempatt duduk permanen. Diibalik tempat duduk permanen ituu terdapat lampu. Lam mpu ini beerfungsi seebagai peneranngan ambieen melengkkapi pencaahayaan paada meja aaltar. Tekniknya mengguunakan tekknik backgground lighting, denngan menggunakan lampu flourescent (TL) bercahaya b kuuning dan dilengkapi d d dengan fixtuure kotak bu uram, sehinggga menghassilkan cahayya ambien (g gbr 5.4) .

G 5.4 Peneempatan flou Gbr urescent padaa tempat duduuk (ssumber: Doku umentasi pribaadi)

Di atas altar terdaapat lampu yang berfungsi b sebagai siimbol supernaatural. Teppat di atas altar terdaapat plafonn gantung yang beruk kuran P:10m,, L:4.4m, T:3.2m, T denngan lubang g-lubang beerbentuk sim mbol alfa omega o dan loggo Regina Caeli C (gbr 5.5). 5 Dalam ajaran Krissten, alfa daan omega adalah a kekuasaan Tuhann yang tidaak terbatas tempatnyaa. Lampu yyang digun nakan mpu sorot yang diletaakkan di teengah adalah lampu up//down lightt berupa lam k bawah. Lampu sorrot tersebut berfungsi untuk u plafon menggantuung ±1.5m ke menyinnari altar di d bawahnya dan men nyinari palffon bersimbbol itu sehingga membeerikan bayaangan alfa omega yan ng besar menghiasi m laangit-langit altar gereja.

Unive ersitas Indo onesia  

 

52   

Gbbr 5.5 Pencah hayaan di ataas Altar (sumber: Dok kumentasi pribbadi)

5.2.2 Tempat T Um mat (Nave) Pencahayaan tempat umat di gereja g ini dapat dibaagi menjadii tiga bagian,, yaitu penccahayaan paada dinding g-dindingnyaa, pencahayyaan pada plafon p gantungg, dan pencahayaan paada langit-laangit. Pencahayaan pada diinding adallah bagian yang pentting dari gereja, g karena pada dindiing kiri dann kanan terrdapat lukissan timbul atau relief Jalan Salib Yesus, Y masing-masingg terdapat 7 buah di kiri k dan kaanan. Pada relief tersebuut terdapat lampu yangg berfungsii sebagai penerangan p ambien. Teknik yang diigunakan adda 2 yaitu background b d lighting daan directionnal downligh hting. Pada background b lighting, laampu yang g digunakann adalah laampu floureescent (TL) beercahaya kuuning dan diletakan d dii belakang relief (gbr 5.6a), tepatt di 4 sisi reliief, sehinggga efek yanng terlihat adalah a cahayya keluar ddari 4 sisi bidang relief (gbr ( 5.6c). Pada P directtional down nlighting, dii atas relieff terdapat lampu recesseed downlighht (gbr 5.6b)), dimana arrah cahayannya diarahkaan pada reliief itu sehinggga lekukan-lekukan pada p relief dapat terlihhat (gbr 5.6d). Pada misa biasanyya lampu downlight d tiidak dinyallakan sedanngkan lamppu backlightt saja yang dinyalakan, d kecuali paada ibadat Jalan alib,, lampu-lam mpu pada relief tersebuut dinyalakaan.

Unive ersitas Indo onesia  

 

53   

(b)

(a) Lampu TL

relief

(c)

(d)

Gbr 5.6 Pencahayaan pada Relief Jalan Salib (sumber: Dokumentasi pribadi)

Di atas tempat umat terdapat plafon gantung, plafon ini berupa saluran pendingin ruangan dan saluran listrik untuk lampu. Plafon ini bebentuk salib dan terlihat jelas sekali dari mana pun (gbr 5.7). Pada plafon ini terdapat lampu yang bercahaya mengikuti bentuk plafon salib itu. Lampu yang digunakan adalah lampu flourescent (TL) bercahaya kuning, dipasang di sisi palfon dan ditutupi plastik/kaca buram sehingga cahaya yang keluar tampak merata. Lampu ini berfungsi sebagai penerangan ambien untuk tempat umat. Di tengah plafon terdapat downlighting sebagai penerangan umum untuk tempat umat.

Universitas Indonesia  

 

54   

Gbbr 5.7 Pencaahayaan padaa plafon berbbentuk Salib (sum mber: Dokumentasi pribadi)

Pencahayaan pada lanngit-langit tempat umat merupakkan pencahaayaan yang beerfungsi sebbagai penerrangan umu um. Teknik pencahayaa p annya terdirri dari downlighting dann decorativve lighting.. Pencahayyaan downllighting terrletak pinggirr dan beradda sejajar dengan d kolo om-kolom (gbr ( 5.8a). Selain itu, pada dindingg atasnya juga j terdappat lampu-llampu keciil dan terleetak di selaa-sela plafon yang berggelombang. Penerangan n utamanyaa menggunnakan decorrative lightingg, lampu doownlight deengan fixturre berbentukk ‘+’ dan diigantung dii atas. Peletakkan lampu inni meyebar di atas temp pat umat (ggbr 5.8 b).

(aa)

(b)

Gbr 5.8 Pencahaayaan pada laangit-langit (sumber: Do okumentasi prribadi)

5.2.3 Ruang R Tabu ung dan Flooyer Salah satu keistimewaaan dari gerreja ini adallah adanya ruang berbentuk tabung.. Ruang inii pada dasaarnya merup pakan floyeer yang menngantarkan umat masuk ke dalam gereja. Di D tengah ruang r tabunng terdapatt bejana baptis, b

Unive ersitas Indo onesia  

 

55   

prasyarrat utama pada p gereja--gereja Kato olik. Pada gambar g 5.99, terlihat caahaya yang bersinar b pada bejana. Teknik baackground lighting inni menggun nakan lampu halogen beercahaya kuuning yang dipasang di d balik bejaana yang teerbuat dalah sebaggai peneranggan ambien. dari battu onix. Funngsi pencahhayaan ini ad

Gbr 5.9 5 Pencahay yaan pada Beejana baptis (sumber: Do okumentasi prribadi)

Pada ruanng tabung terdapat pencahayaaan umum dengan teknik uplightting dan dow wnlighting. Pada lantaai, terdapat 4 buah lam mpu uplight yang diletakkkan melinggkar (sudutnnya 90 deraajat) di sisii dinding. T Tepat di ataasnya kira-kirra 2,5 meteer, terdapat spot upligh ht (gbr 5.10). Setelah melewati ruang r tabung terdapat laampu downllight di sisi kiri dan kaanan dan sej ejajar kolom m, dan terdapaat lampu floourescent di atasnya.

Gbr 5.10 Lampu penerangan pada floyer (sumber: Do okumentasi prribadi)

Unive ersitas Indo onesia  

 

   

BAB VI KESIMPULAN

Lampu lilin pada meja altar dan lampu elektrik pada tabernakel berperan sebagai Pencahayaan Liturgis. Pada gereja Santo Thomas dan Regina Caeli, lampu lilin yang terletak di atas meja altar digunakan untuk prosesi ibadat. Dalam hal ini keberadaannya wajib diadakan selama kegiatan ibadat berlangsung. Selain itu, keberadaan lampu lilin saja di atas meja altar pada kedua gereja menguatkan bahwa lampu lilin tidak dapat digantikan dengan lampu elektrik. Lampu tabernakel pada kedua gereja menggunakan lampu elektrik. Walaupun tradisi umat Kristen lampu tabernakel menggunakan lampu minyak, tetapi lampu tersebut dapat digantikan dengan lampu elektrik yang lebih efisien. Penggunaan teknik pencahayaan interior tertentu pada lampu di ruang dalam gereja dapat menghasilkan cahaya simbol gereja dan supernatural. Pada gereja Regina Caeli yang berperan seperti itu adalah lampu sorot yang berada di atas (plafon) altar. Hal ini dikarenakan lampu ini menghasilkan bayangan yang membentuk lambang alfa dan omega dan lambang Gereja Regina Caeli. Selain itu, lampu ini yang menggunakan teknik spot (up) lighting ini, juga dapat berperan sebagai lampu ambien yang dapat mempercantik ruang gereja dan memperkuat suasana kusyuk. Pada gereja Santo Thomas, lampu yang berperan sebagai lampu simbol supernatural tidak eksis. Hal ini menjadikan keberadaan lampu tersebut tidak diwajibkan dalam suatu ruang gereja. Namun, keberadaan lampu simbol supernatural dapat menjadi pilihan yang baik selain fungsinya

sebagai

simbol,

pencahayaan

ini

dapat

berperan

sebagai

pencahayaan ambien, dan dapat menjadi ciri khas sebuah gereja. Lampu penerangan di dalam ruang gereja dapat juga berperan sebagai Pencahayaan Dekoratif dan Ambien. Pada gereja Santo Thomas dan Regina Caeli, lampu penerangan pada altar, tempat umat dan floyer adalah lampu yang berperan sebagai pencahayaan dekoratif. Hal ini dikarenakan lampu-lampu tersebut menggunakan teknik pencahayaan decorative lighting, dengan

56   

Universitas Indonesia

57   

penggunaan fixture tertentu. Pada ruang gereja Santo Thomas, lampu in-direct untuk penerangan tempat umat menggunakan fixture bola putih. Pada ruang gereja Regina Caeli, lampu downlight dirangkai dengan fixture berbentuk ‘+’. Lampu pada lukisan jalan salib di gereja Regina Caeli menggunakan teknik back lighting dan down lighting untuk menghasilkan cahaya ambien. Pada gereja Santo Thomas, cahaya ambien yang terdapat di atas altar, menggunakan teknik cove lighting dan valance. Walaupun ruang gereja tidak diharuskan menggunakan pencahayaan dekoratif dan pencahayaan ambien, akan tetapi keberadaan lampu tersebut dapat membuat ruangan menjadi lebih indah, dan dapat memperkuat suasana kusyuk dalam ruangan sesuai dengan fungsi cahaya ambien dan dekoratif pada ruang gereja.

Universitas Indonesia 

 

   

DAFTAR REFERENSI

Anson, Peter F. Churches - Their Plan and Furnishing. Read Books, 2007. Barrett, Neal. Ultimate Guide to Architectural Ceiling Treatments. New Jersey: Creative Homeowner, 2009. Burnie, David. Jendela Iptek Seri 2: Cahaya. Jakarta: PT Balai Pustaka, 2000. “Church Architecture.” Wikipedia Free Encyclopedia. 2008 Cooper, Jean C. Dictionary of Christianity. London: Taylor & Francis, 1996. Crosbie, Michael. Architecture For The Gods. New York: Watson-Guptill Publications, 2000. David, M; Olgya, Victor. Architectural Design, Second Edition. New York, 2002. Dewan Pastoral Paroki Regina Caeli. Misa Syukur & Pemberkatan Gereja Regina Caeli, 11 Juni 2006. Jakarta: Paroki Regina Caeli Press, 2006. Diktat Kuliah Pencahayaan. Jakarta: Arsitektur, Universitas Indonesia, 2007. Diktat Kuliah Pencahayaan. Philips Goes To EveryWhere, Basic Lighting. Jakarta: Philips, 2007. Dolphin, Lambert. What is Light?. Koinonia House Online, 2008. “Gereja.” Wikipedia Ensiklopedia Bebas. 2008. “Gereja Katolik Roma.” Wikipedia Ensiklopedia Bebas. 2008. Flafin, Christopher; Nicholas Lenssen. Gelombang Revolusi Energi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. “Fluorescent Lamp.” Wikipedia Free Encyclopedia. 2008 Foster, Bob. Terpadu Fisika SMU Kelas 3 Jilid 3B. Jakarta: Erlangga, 2003. “Incandescent Llight Bulb.” Wikipedia Free Encyclopedia. 2008. Kanginan, Marthen. Seribu Pena Fisika SMU Kelas 2. Jakarta: Erlangga, 1999. Karlen, Mark; James Benya. Lighting Design Basics. New York: John Wiley & Sons, 2004.

58 

Universitas Indonesia

 

59   

Gereja Katolik Roma. Konsili Vatikan I: Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja (Lumen Gentium). Gereja Katolik Roma, 1964. Bab I:6. Kurniawati, Anni. Pengaruh Sistem Pencahayaan Terhadap Suasana Dalam Ruang. Depok: Universitas Indonesia, 2002. Lechner, Norbert. Heating, Cooling, Lighting: Design Methods for Architects. New

York: John Willey and Sons, 1991. Lighting AtoZ, Product Knowledge. Philips, 2007. Mangunwijaya, YB. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995. Mariyanto, Ernest. Kamus Liturgi Sederhana. Jakarta: Kanisius, 2004. “Metal Halide Lamp.” Wikipedia Free Encyclopedia. 2008. Miller, Mary. Color for Interior Architecture. New York: John Wiley and Sons, 1997. Mugi Raharja, Gede. “Notre Dame du Haut: Gereja Abadi yang Berdenah tak Beraturan.” Bali Post Online 25 Desember 2004. 26 Desember 2004 <  http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/12/26/ars2.html >. Richstatter O.F.M, Thomas. “Dalam Sebuah Gereja Katolik: apa yang ada di sana dan mengapa?.” Catholic Indonesian News 13 Mei 2008. 13 Mei 2008 Richardson, Phyllis. New Sacred Architecture. London: Laurence King Publishing, 2004. Stravinskas, Peter M. J.; Sean O'Malley. Catholic Dictionary. Our Sunday Visitor Publishing, 2002.

Universitas Indonesia 

 

Related Documents


More Documents from ""