Gereja Katolik Indonesia

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gereja Katolik Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 2,208
  • Pages: 6
Sebuah penafsiran yang menarik ttg Gereja katolik Indonesia From: "J. Van Paassen msc" <[email protected]> Sent: Wednesday, November 16, 2005 6:08 PM Subject: [Pineleng] Re: Komentar pada tema SAGKI 2005 Dear all, Sudah 41 tahun saya bekerja di Indonesia, sebagai moralist di Seminari Tinggi Pineleng, Manado dan sekarang di Fajar Timur Jayapura. Sudah lama saya ikut berpikir tentang latar belakang kemerosotan moral di Indonesia baik sebagai dosen teologi moral maupun sebagai imam dan bapa pengakuan. Sebagai dosen moral saya membedakan 5 lapisan kewajiban sbb.: 1.Kewajiban terhadap diri sendiri, mis. jangan membunuh diri, tetapi juga jangan minum sampai mabuk, jangan menelan drugs dst. 2.Kewajiban terhadap Allah secara langsung: berdoa, menerima sakramen, ikut ibadat dst.; jangan Nama-Nya disalahgunakan , jangan murtad dst. 3.Kewajiban terhadap keluarga, terhadap lingkungan hidup seperti teman-teman sekerja,sekolah, komunitas.Singkatnya "komunitas basis" dekat. 4.Kewajiban terhadap masyarakat dan negara, bahkan terhadap bangsa manusia seluruhnya,mis bayar pajak, iuran TV, ikut aturan lalulintas. 5.Kewajiban terhadap alam semesta sekitar kita, milieu, ekologi dst, jadi dunia binatang , tetumbuhan sekitar kita, air, udara dst. Sebagai bapa pengakuan saya yakin saya tidak membuka rahasia sakramen pengakuan jika saya di bawah ini memberi kesaksian sbb.: Sebagai bapa pengakuan selama lebih dari 40 tahun di Indonesia saya BELUM PERNAH mendengarkan seorang penitent mengaku bahwa ia berdosa di lapisan 4 dan 5. Segala dosa yang biasanya diakui, ya kita sama-sama tahu: kemabukan, coba membunuh diri (1), lantas tidak masuk gereja, pikiran melayang-layang sementara berdoa dan meditasi, tidak sambut Paska (2) dan paling banyak dosa di lapisan (3): pukul teman, isteri, melawan orangtua dan guru, iri terhadap kolega. Bdk. daftar dosa yang anda sendiri siapkan untuk pesta Natal nanti. Sebagai moralist saya menarik kesimpulan dari gejala sosiologis ini bahwa atau orang katolik Indonesia tidak berbuat dosa di lapisan (4) dan (5) atau kebanyakan orang Indonesia belum menyadari bahwa mereka menyakiti hati Allah dengan tindakan a-sosial di lapisan (4) dan (5).Di lapisan (4) dan (5) ini belum disadari bahwa apa yang a-sosial sekaligus a-religius. Sebagai orang yang bukan buta dan tuli, saya membatasi diri pada "atau" yang kedua tadi. Syukurlah bahwa connection antara a-religius dan a-sosial, antara cinta akan Allah dan cinta akan sesama manusia(Mat 22,390, sudah disadari di lapisan (3), artinya: bahwa suatu tindakan asosial terhadap isteri serentak melukai hati Tuhan Dengan kata lain

lagi: perbuatan anti-sesama YANG DEKAT di Indonesia sudah disadari sebagai perbuatan anti Tuhan, sebagai dosa yang perlu diakui dan diampuni. Menurut keyakinanku (bukan hanya hematku) kemerosotan moral yang sudah lama disinyalir dalam pelbagai surat KWI dan karangan, punya AKARNYA dalam kenyataan bahwa di lapisan (4) dan (5) perbuatan negatif /buruk BELUM dihayati, belum terasa sebagai DOSA tetapi hanya dihayati, terasa sebagai PELANGGARAN SIPIL , HORISONTAL saja. Justru menjadi sumbangsih terbesar dari Musa bahwa ribuan tahun lalu ia sudah menyadari bahwa perbuatan anti-sosial pada loh ke-II berasal dari Allah yang sama yang memberi loh pertama.Orang Yahudi terkenal karena pelaksanaan kewajiban sosial dihayati dalam dimensi religius.Sumbangsih Musa itu belum mendarat di Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia hanya akan berusaha di lapisan (4) dan (5) agar mereka tidak ditangkap polisi/aparat pemerintahan tanpa mereka sadari bahwa sebenarnya mereka sudah dilihat dan dinilai Allah sendiri Yang ikut terlukai hati-Nya karena perbuatan asosial itu.Kalau penghayatan ini belum ada, maka sangat masuk di akal bahwa perbuatan a-sosial tadi memang tidak disebut dalam pengakuan dosa,sangkanya: "Tuhan tidak tahu akan hal itu dan tidak perduli.,sehingga Dia tidak usah diminta ampun". Memang, sangat logis untuk tidak mengakui perbuatan asosial itu. Tetapi apakah yang sangat logis itu juga sangat kristiani?? Sebaiknya saya memberi beberapa contoh konkrit dari perbuatan anti-masyarakat yang belum pernah saya dengar sebagai bapa pengakuan: * bahwa ia tidak membayar pajak (Yesus sendiri sudah menegaskan bahwa perintah ini berlaku pun di hadapan Tuhan: Mat 22,17) * bahwa ia tidak membayar iuran televisi * bahwa ia tidak menuruti aturan lalulintas * bahwa ia melawan Pancasila * bahwa ia sebagai majikan tidak membayar upah minimum kepada karyawannya * bahwa ia mencuri listrik dari PLN atau air dari PAM * bahwa ia mencuri uang dari kas negara dengan pelbagai "kebijaksanaan" * bahwa ia ber-KKN dan merugikan kepentingan dari Ibu Pertiwi(atau; Ibu Tiri??) * bahwa ia sebagai bawahan menuruti ajaran Nazi Hitler:"Perintah adalah Perintah" serta melawan perintah dari Atasannya tertinggi ialah Allah * bahwa ia bertindak kasar pada saat ia masuk kendaraan umum, mau naik kapal/pesawat, asal ia masuk lebih dulu. * bahwa ia berlaku egois kalau ia mau parkir tanpa kendaraan lain diperhatikan * bahwa ia merusak / mengotori lingkungan hidupnya/pantai/laut /pinggir jalan umum dengan membuang sampah, membuat ribut dsb. * bahwa berlaku kasar bila ia berusaha dilayani lebih dahulu di kantor pos atau di warung, biar orang lain sudah tunggu lebih dulu disana

* bahwa ia sebagai anggota kuasa legislatif / eksekutif / yudikatif mendahulukan kepentingan kelompoknya sendiri di atas kepentingan umum * bahwa ia terlambat atau malah samasekali tidak /membayar nota PLN, PAM, telpon * bahwa ia tidak mengembalikan barang / uang yang dipinjam atau marah jika si pemiliknya minta agar barang/uangnya dikembalikan * bahwa ia di tempat umum (bis, kamar tunggu, banku di gedung gereja) senantiasa mau duduk di tempat paling baik * bahwa ia memasang rokok tanpa minta ijin kepada hadirin lain di kamar / kendaraan * bahwa ia menuntut pungli * bahwa ia sebagai guru menuntut "uang banku", menjual / mengatrol nilai siswa, menuntut "pendaftaran kembali" siswa pada kelas II dan III, menjual pakaian seragam dan buku cetak oleh sekolah dan marking-up yang tak proporsional * bahwa ia membiarkan batu besar di jalan, pun sesudah upacara pelepasan jenazah di depan rumah sudah lama selesai *bahwa ia sebagai pengusaha membuat dan menjual barang tiruan *bahwa ia mempergunakan subsidi/bantuan pemerintah / dermawan, *bahwa ia sebagai calon pimpro menyambut dengan gembira setiap masalah sosial (gempa bumi, banjir, aids, WP, kerusuhan, narkoba) sebagai sumber pendapatan *bahwa ia sebagai pemilik kendaraan roda dua di pompa bensin selalu mendahului para pemilik mobil yang sebenarnya sudah tiba disana lebih dahulu *bahwa ia telah bersumpah palsu(kira-kira 50.000 kali per hari antara Sabang dan Merauke) *bahwa ia membuat atau mempergunakan ijazah palsu *bahwa ia menjual bensin oplosan *bahwa ia mencuri inventaris kapal laut/ pesawat terbang (yang diperhalus dengan dusta: "membawa kenang-kenangan") *bahwa ia memboroskan waktu di kantor atau di tempat kerja majikannya *bahwa ia sebagai guru dibuat rapat.Di antara Belanda dan di Italia. belajar sendiri,karena

merugikan siswa di sekolah karena justru pada jam sekolah kurung, saya duduk di banku sekolah persis 25 tahun, di Selama 25 tahun itu BELUM PERNAH saya disuruh pulang atau rapat guru .

*bahwa ia sebagai murid/siswa/mahasiswa menyontek atau membuat plagiat *bahwa ia telah merusak milik umum di taman atau di jalan(telpon umum, lampu hias dsb) Cukup panjang litani ini tetapi benar bahwa saya belum pernah melihat indikasi bahwa kebanyakan orang Indonesia menyadari dimensi anti-Tuhan dari

Perbuatan nanti-sosial itu. Syukurlah, sudah cukup banyak orang Indonesia terkemuka yang mulai melihat bahwa memang di lapisan (4) situasi Indonesia amat parah. Lihatlah sekian banyak surat KWI. Pula dalam kata sambutan pada peringatan Katedral Randusari Semarang,Uskup Mgr I Suharyo mengedepankan isu atrofi sosial. Terkenal pula kata tajam dari seorang pengamat katolik dari situasi aktuil, katanya Gereja memang benar garam dunia tetapi di Indonesia "garamnya terbungkus plastik ". Dan pula evaluasi tajam dari almarhum Pendeta Eka Darmaputra PhD pada Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2000, Caringin-Bogor 1-5 November 2000. Pada kesempatan tsb. Pendeta Eka Darmaputra berbicara tentang dua pokok, ialah 1.Insignifikansi internal dari hidup beragama di Indonesia, artinya agama dan Gereja kian tidak terasakan fungsionalnya dalam kehidupan nyata warganya sendiri. Memang, terasa makna dan signifikansi Agama dan Gereja dalam kehidupan lk. pribadi dari anggotanya, mis. selama mereka beribadat dalam gedung gereja atau dalam ibadat kelompoknya. Tetapi makna atau fungsionalnya agama dalam kehidupan nyata, publik mereka sebagai warga masyarakat, kian tidak terasakan.Jadi, agama hanya mempunyai dampak terbatas dalam kehidupan pribadi anggotanya sendiri dan belum/tidak lagi mempengaruhi atau menyuburkan kehidupan mereka sebagai warga masyarakat.(Si penulis YvP, menekankan titik pertama ini). 2. Irelevansi eksternal dari hidup beragama bagi dinamika masyarakat dan negara. Agama dan Gereja tidak mempunyai sangkut-paut sedikit pun dengan dinamika sosial di lingkungan dimana mereka berada.Agama belum/tidak lagi menyuburkan negara dan masyarakat pada umumnya. Irelevansi eksternal ini bisa disebut pula insignifikansi sosial oleh karena kehidupan serta dinamika internal Gereja terisolasi, teralienasi, atau seolah-olah tidak mengkhamiri kehidupan sosial lingkungannya. Lantas, sesudah saya mensinyalir gejala sosiologis bahwa dimensi religius dari kewajiban sosial sebagai anggota masyarakat belum disadari, saya ingin menghadap pertanyaan tentang SEBAB dan LATAR BELAKANG gejala sosiologis ini. Maaf jika saya barangkali menyinggung suatu masalah yang terlalu sensitif tetapi harap para pembaca yakin bahwa saya samasekali tidak bermaksud menghina anggota Gereja katolik di Indonesia. Saya mulai dengan realita historis bahwa nenek moyang percaya akan roh-roh, "opoopo" menurut bahasa Manado. Sila I belum dimimpikan mereka.Saya bukan ahli antropologi budaya tetapi apa yang saya sendiri dengar dan lihat tentang kepercayaan itu, roh-roh itu sangat terikat pada lokasi tertentu dan pada waktu tertentu. Nenek moyang kita tidak percaya bahwa roh-roh itu hadir DIMANA-MANA atau SENANTIASA. Kehadiran roh-roh itu TERBATAS. Sebaliknya, dalam agama Kristiani sangat ditekankan omni- presence dan eternity dari Allah: Dia senantiasa dan dimana-mana hadir.Tiada tempat kramat atau angker dimana Allah kita tidak hadir dan tiada satupun detik antara 1 Jan. dan 31 Des. dimana Allah minta permisi dan usw tidak hadir. Menurut tafsiran saya, kebanyakan orang katolik Indonesia BELUM punya visi kristiani itu, tetapi Allah yang mereka imani, ialah Allah menurut ukuran dari roh-roh dulu. Dalam kehadiran Allah ada lobang ,lokal atau temporal, di mana atau bilamana Allah tidak hadir.Mereka percaya akan seorang Allah yang berlobang. Justru karena kehadiran Allah masih disangka terbatas pada tempat dan waktu TERTENTU, maka jumlah gedung gereja -sekurang-kurangnya di Minahasa - memang berlimpah-limpah. Dan jumlah ibadat paroki,kring,wilayah rohani dsb.sungguh-sungguh LUARBIASA, jika dibandingkan dengan mis. Eropa. Dan rupanya visi terbatas dan kurang kristiani tentang Allah berlobang itu,

mengakibatkan bahwa Dia belum diimani hadir pula pada lampu lalulintas, pada tangga naik kapal, di jalan umum dan khususnya dekat pada kas negara.Orang merasa: saya harus hati-hati agar tidak ditangkap aparat, tetapi belum muncul dalam lubuk hatinya keyakinan bahwa Allah senantiasa dan dimana-mana melihat makhluk-Nya. Justru kekurangan ini dalam iman menyebabkan kebanyakan orang katolik Indonesia menganggap segala perbuatan asosial tadi tidak dilihat Allah, tidak melukai hatiNya, jadi tidak perlu diakui dalam sakramen Tobat. Dengan amat benar kekurangan iman ini disinyalir dalam sajak tajam dari Landung Simatupang: "Begitu keluar dari gereja kita saling berpelotot dari dalam mobil dengan muka marah.Dengan memaki dan mengumpat berebut ke jalan raya tidak apa-apa ini kan barusan kita bersalam damai Tapi itukan dalam gereja dan Ibadat Ho.sekarang kehidupan nyata Bung! Kita mesti tegas membedakan keduany a. ". (dari majalah Hidup, tgl.7 Juli 2002). Sekali lagi, belum ada kepercayaan sungguh-sungguh akan seorang Allah yang hadir DIMANA-MANA (dan bukan hanya di dalam gedung gereja) dan SENANTIASA (dan bukan hanya selama ada ibadat) melainkan hanya akan seorang Allah terbatas pada tempat dan waktu tertentu, kira-kira seperti nenek moyang kita percaya akan roh-roh halus / opo-opo yang tampil pada tempat kramat dan angker, dan situasi tertentu. Secara singkat:: kebanyakan orang katolik Indonesia belum ambil alih visi Yesus tentang Allah BapaNya Yang hadir dimana-mana dan senantiasa. Bdk.Mat. 6,4.6.18. Kata terakhir: apakah Gereja Katolik di Belanda lebih baik daripada Gereja Katolik di Indonesia? Pun di Belanda setiap pertemuan rohani dimulai dengan minta ampun atas dosa. Jadi, bukan Gereja Belanda tanpa dosa dan hanya Gereja Indonesia berdosa. Bukan begitu. Tetapi bedanya dengan Gereja di Belanda dan dengan banyak Gereja nasional lain , ialah bahwa orang Kristen disana sudah insyaf bahwa mereka berdosa jika mereka lakukan perbuatan-perbuatan anti-sosial tersebut di atas tadi. Jadi, keadaan Gereja di Belanda berbeda dengan keadaan Gereja Katolik di Indonesia dalam dua arti: 1)Buat kuantita , jumlah dosa itu ,Belanda lebih baik. Persentase orang katolik Belanda asli yang melakukan perbuatan anti-sosial tadi lebih kecil daripada di Indonesia. Alasannya: lebih banyak orang katolik disana enggan untuk melalukannya, dengan motif: tidak mau/tidak berani menyakiti hati Tuhan dengan melakukan mis. korupsi. 2)Buat kualita, beratnya dosa, Indonesia lebih baik. Kenapa? Orang Indonesia yang melakukan perbuatan anti-sosial itu, tidak insyaf bahwa Allah ikut dihina dan dirugikan. Tetapi bila orang Belanda melakukan perbuatan antisosial ,mereka sudah insyaf bahwa Allah sendiri ikut dihina dan toh mereka berani melakukannya! Dengan akibatnya: bila mereka mengaku dosa, pun perbuatan a-sosial itu diakui., seperti di Indonesia sudah menjadi kebiasaan bahwa dosa anti-sesama YANG DEKAT diakui.(lapisan 3) . Sayang bahwa iman yang seluas itu belum ditemukan dalam perbuatan anti saudara YANG JAUH /anggota masyarakat. Bkd. lagi Ibu Teresa dari Kalkuta. Kesimpulan praktis ada dua. 1)Pedoman kafir yang berlaku di Indonesia ialah "Yang penting ialah penampilan (di mata manusia)" harus "dibaptis" menjadi pedoman

Kristiani: "Yang penting ialah penampilan di mata Tuhan dan di mata orang". 2)Lewat katekese,khotbah kita coba memperluas visi umat katolik Indonesia bahwa sungguh Allah kita hadir dimana-mana dan senantiasa. Allah kita bukan berlobang Yang absens pada tempat dan waktu tertentu. Menurut keyakinanku hanya iman benar dan kristiani ini akan Allah yang hadir dimana-mana dan senantiasa bisa membantu Indonesia dalam proses keluar dari kemerosotan moral yang membahayakan eksistensi tanah air tercinta kita. By the way, Iman seluas ini sekaligus menjadi obat paling effektif lawan kepercayaan siasia akan tempat angker dengan roh-roh halusnya, seolah-olah Allah yang Mahakuasa disana kalah pengaruhNya jika dibandingkan dengan pengaruh dan kuasa roh-roh halus atau iblis itu. Tetapi yang lebih penting lagi ialah kehidupan sosial dan publik di Indonesia, akan lebih manusiawi dan berangsur-angsur akan diciptakan "masyarakat adil dan sejahtera" yang kita sama-sama dambakan. Semoga. Jan van Paassen msc Abepura 16 November 2005

Related Documents