Pendidikan Agama 02.docx

  • Uploaded by: Mulida Widiasari
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pendidikan Agama 02.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,289
  • Pages: 29
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

- MENGINTEGRASIKAN IMAN, IHSAN, ILMU, DAN AMAL KEDALAM ISLAM UNTUK BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN - SEBUTKAN DAN JELASKAN KEWAJIBAN TERHADAP JENAZAH

OLEH LEO WILIAN A1B118051 KELAS A

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS HALUOLEO 2018

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga Saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca/pendengar. Harapan Saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca/pendengar, sehingga Saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini Saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang Saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu Saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu selama proses penyusunan makalah ini.

Kendari, 17 Oktober 2018

Leo Wilian

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 2 DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 4 A. LATAR BELAKANG ........................................................................................... 4 B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................................... 4 BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 5 A. MENGINTEGRASIKAN IMAN, IHSAN, ILMU, DAN AMAL KEDALAM ISLAM UNTUK BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN .............................. 5 B. SEBUTKAN DAN JELASKAN KEWAJIBAN TERHADAP JENAZAH .......................................................................................................... 17 BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 31 A. KESIMPULAN .................................................................................................. 31 B. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 32

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya. Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri. Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah. B. RUMUSAN MASALAH a.

Bagaimana konsep dan urgensi Islam, Iman dan Ihsan dalam Membentuk Insan Kamil (Manusia Sempurna).

b.

Mengapa Iman, Islam, dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil.

c.

Apa Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis tentang Iman, Islam, dan Ihsan sebagai Pilar Agama Islam dalam Membentuk Insan Kamil.

BAB II PEMBAHASAN MENGINTEGRASIKAN IMAN, IHSAN, ILMU, DAN AMAL KEDALAM ISLAM UNTUK BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN 

Hakikat iman Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya: Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orangorang yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4) Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.

Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu: 1) Diyakini dalam hati 2) Diucapkan dengan lisan 3) Diamalkan dengan anggota tubuh. Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun Iman yang enam, yaitu: 1) Iman kepada Alloh 2) Iman kepada malaikatNya 3) Iman kepada kitabNya 4) Iman kepada rosulNya 5) Iman kepada Qodho dan Qodar 6) Iman kepada hari akhir Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas. Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari halhal yang dapat memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat. Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya: “Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim). (Busyra, 2010 : 145) 

Hakikat Islam Islam bersal dari kata, as-salamu, as-salmu, danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang berarti

damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin. Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat. Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka ia seorang kafir yang sombong. Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam surat al-A’rof ayat 172 yang artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)” Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsurunsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:



1)

Membaca dua kalimat Syahadat

2)

Mendirikan sholat lima waktu

3)

Menunaikan zakat

4)

Puasa Romadhon

5)

Haji ke Baitulloh jika mampu.

Hakikat Ihsan Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan

demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah. Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab: ْ َ‫ّللاَ َكأَنَّكَ ت ََراهُ ف‬ … َ‫إن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَإنَّهُ َي َراك‬ ‫…أ َ ْن ت َ ْعبُدَ ه‬ “…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Alloh melihatmu….. Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika belum bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya sehingga akan muncul kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat Ihsan atau berbuat baik. 

KORELASI IMAN, ISLAM, DAN IHSAN Diatas telah dibahas tentang ketiga hal tersebut, disini, akan dibahas hubungan timbal balik antara ketiganya. Iman yang merupakan landasan awal, bila diumpamakan sebagai pondasi dalam keberadaan suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Maka, apabila iman seseorang lemah, maka islamnya pun akan condong, lebih lebih akan rubuh. Dalam realitanya mungkin pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan pada waktunya, atau malah mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan, puasa tak terlaksana, dan lain sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh bila islam seseorang ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang pula menjadi tipis, karena amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan semakin tebal imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya iman. Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata :

‫قال علي كرم هللا وجهه إن اإليمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى يبيض القلب كله‬ ‫وإن النفاق ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله‬ Artinya : Sahabat Ali kw. Berkata : sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang putih, apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut akan tumbuh dan bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat

seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang diharamkan, maka titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna) hati. Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah, terlihat indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja, menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah hakikat dari ihsan. A. Konsep dan urgensi Islam, Iman dan Ihsan dalam Membentuk Insan Kamil (Manusia Sempurna). Rasulullah saw bersabda yang kemudian tertuang dalam sebuah hadis yang cukup panjang. Amati hadis berikut secara cermat. Umar r.a. berkisah bahwa pada suatu ketika saat ia duduk bersama Rasulullah saw. tiba-tiba datang seorang laki-laki berpakaian sangat putih, berambut hitam legam, tidak tampak padanya kelelahan bekas perjalanan, dan di antara para sahabat tidak ada yang pernah mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Rasulullah saw., lalu menyandarkan lututnya pada lutut nabi serta meletakkan tangannya di atas paha nabi saw., kemudian laki-laki berkata, “Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam!” Maka Rasulullah saw. berkata, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan salat, engkau menunaikan zakat, engkau berpuasa pada bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu melaksanakannya.” Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.” Umar dan orang-orang yang berada di situ pun heran karena laki-laki itu bertanya dan ia sendiri membenarkannya. Kemudian laki-laki itu berkata lagi, ”Beri tahu aku tentang iman!” Nabi saw. menjawab, “Engkau beriman kepada Allah dan malaikat-Nya, dan kitab-kitabNya, dan rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, dan engkau beriman pada qadar (takdir) baik dan buruk.” Laki-laki itu kembali membenarkan. Laki-laki itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang ihsan!” Nabi saw. berkata, “Beribadahlah engkau kepada Allah seakanakan engkau melihat-Nya; jika tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Laki-laki itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang kiamat!” Nabi saw. menjawab, “Orang yang bertanya

lebih mengetahui daripada yang ditanya.” Laki-laki itu berkata lagi Beritahukan kepadaku tentang tandatandanya!” Nabi saw. menjawab, “Jika seorang budak melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang kurang hartanya, berbaju compangcamping dan ia penggembala kambing, berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan yang megah.” Laki-laki itu pun pergi. Beberapa saat setelah itu nabi saw. berkata kepada Umar r.a., “Wahai Umar, tahukah engkau siapakah laki-laki yang bertanya tadi?” Umar menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi saw. berkata, “Dia adalah Malaikat Jibril yang datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agamamu.” (HR Muslim).

Ibn Araby, ada dua tingkatan manusia dalam mengimani Tuhan. Pertama, tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian. Artinya, mereka “menyaksikan” Tuhan; mereka menyembah Tuhan yang disaksikannya. Kedua, manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimani Tuhan dengan cara pendefinisian. Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan, tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat-sifat dan nama-nama Tuhan (Asmā`ul Husna). “Selama ini,” kata Imam Ghazali, “saya selalu menyembah Tuhan. Akan tetapi, saya tidak pernah mengenali Zat Tuhan; saya tidak pernah menyaksikan Tuhan. Selama ini saya hanya menyembah Tuhan yang saya persepsikan.” Atau, “Saya hanya menyembah Tuhan yang saya definisikan, tidak menyembah Tuhan yang saya saksikan.” Masalah penyaksian Tuhan ini berkaitan dengan rukun Islam pertama, yakni mengucapkan dua kalimah syahadat: Asyhadu an lām ilāha illā Allāh. Artinya, „Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali (Tuhan yang nama-Nya) Allah‟; wa asyhadu anna Muhammadan Rasulūllūh. Artinya, „Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu Rasulullah (utusan Allah)‟. Teks dua kalimah syahadat ini sudah baku tidak bisa dan tidak boleh diubah-ubah. Tidak boleh diubah dengan teks kalimat berikut, misalnya: Aku “mendengar” bahwa tidak ada Tuhan kecuali (Tuhan yang nama-Nya) Allah; dan aku “mendengar” bahwa Nabi Muhammad itu Rasulullah. Teks kalimah syahadat itu menggunakan kata “bersaksi”, tidak “mendengar”. Apakah Anda setuju dengan pendapat Ibn Araby? Bagaimana pendapat Anda? Abdulkarim Al-Jillī membagi insan kamil atas tiga tingkatan. a.

Tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.

b. Tingkat menengah (at-tawasuth). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (alhaqāiq arraḫmāniyyah). Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya. c. Tingkat terakhir (alkhitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.

B. Alasan Mengapa Iman, Islam, dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil Mari kita telusuri konsep iman, Islam, ihsan, dan insan kamil. Anda tentu mempunyai konsep atau persepsi tentang term-term ini. Dalam perkuliahan PAI hampir semua mahasiswa berpendapat bahwa iman adalah “percaya”. Jadi, seseorang dapat disebut beriman jika orang itu percaya akan adanya Allah, percaya akan adanya malaikatmalaikat- Nya, percaya akan adanya kitab-kitab-Nya, percaya akan adanya rasul-rasul-Nya, percaya akan adanya hari akhir, dan percaya kepada takdir baik dan buruk. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Apakah Anda percaya akan adanya Allah?” Mereka semua memberikan jawaban yang sama, “Kami percaya akan danya Allah; kami percaya akan adanya malaikat-malaikat-Nya, dan seterusnya.” Kemudian jika ditanya lebih lanjut, “Adakah manusia yang tidak percaya akan adanya Tuhan? Adakah manusia yang tidak percaya akan adanya malaikat?” dan seterusnya (pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan rukun iman). Hampir semua mahasiswa menjawab, “Tidak ada seorang manusia pun yang tidak percaya akan adanya Tuhan; tidak ada seorang manusia pun yang tidak percaya akan adanya malaikat”; dan seterusnya. Semua manusia percaya akan adanya Tuhan; semua manusia percaya akan adanya malaikat, dan seterusnya. Jika makna iman itu sekedar “percaya” berarti semua manusia di dunia ini beriman, karena semua manusia percaya akan adanya Tuhan; semua manusia percaya akan adanya malaikat, dan seterusnya. Jadi, tidak ada seorang manusia pun yang kafir. Mungkin di antara Anda ada yang memberikan jawaban berbeda dengan mereka. Bukankah di dunia ini ada orang-orang yang ateis (tidak bertuhan)? Jadi, orang-orang ateis itulah yang kafir! Kemudian orang-orang Islam pun berargumentasi bahwa makna

beriman itu haruslah lengkap, mencakup beriman kepada Nabi Muhammad saw. sebagai Rasulullah. Jika batasannya ini, maka hanya orang-orang Islam-lah yang beriman itu, karena orang-orang di luar Islam tidak mengimani Nabi Muhammad saw. Jika ditanyakan kepada mahasiswa, “Siapakah di antara dua orang ini yang lebih baik di hadapan Allah, apakah si A yang dermawan dan baik budi pekertinya serta selalu memohon pengampunan Tuhan karena dirinya merasa paling besar dosa-dosa dan kesalahannya, tetapi dia beragama Konghucu, ataukah si B sang koruptor jahat dan berbudi pekerti buruk serta sombong dan riya`, tetapi dia beragama Islam?” Para mahasiswa biasanya sangat sulit memberikan jawaban. Bagaimana pendapat Anda? Term ihsan dan insan kamil mungkin merupakan dua term yang relatif asing (kurang diketahui) oleh kaum muslimin.

Ketika ditanyakan kepada mahasiswa, apa itu ihsan? Beberapa mahasiswa memberikan jawaban, “Ihsan adalah menjalankan ibadah seolah-olah kita melihat Allah; kalaupun kita tidak dapat melihat-Nya, Allah melihat kita.” Sampai di sini saja pengetahuan orang Islam kebanyakan tentang ihsan. Bagaimanakah dengan Anda? Apa makna ihsan menurut Anda? Term insan kamil merupakan konsep yang lebih asing lagi bagi kebanyakan kaum muslimin. Term ini mungkin hanya dikenali dikalangan muslim sufi saja. Apakah Anda mengenal apa dan siapa insan kamil itu? Ada orang mengatakan, belum tentu setiap muslim pasti beriman (mukmin) karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini dengan keimanan yang sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya. Status orang seperti ini hanyalah muslim saja dan tidak tergolong mukmin dengan iman yang sempurna. Setiap mukmin pasti muslim karena orang yang telah beriman secara benar pasti akan merealisasikan iman dengan melaksanakan amal-amal Islam secara benar pula, sebagaimana Allah Swt. Telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan, “Kami telah beriman”. Katakanlah, “Kalian belumlah beriman, tetapi hendaklah kalian mengatakan, „Kami telah berislam‟.” (QS Al-Hujuraat/49:14).

C. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis tentang Iman, Islam, dan Ihsan sebagai Pilar Agama Islam dalam Membentuk Insan Kamil.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar bin Khattab r.a. di atas kaum muslimin menetapkan adanya tiga unsur penting dalam agama Islam, yakni iman, Islam, dan ihsan sebagai satu kesatuan yang utuh. Pada periode berikutnya, para ulama mengembangkan imu-ilmu Islam untuk memahami ketiga unsur tersebut. Kaum muslimin Indonesia lebih familier dengan istilah akidah, syariat, dan akhlak sebagai tiga unsur atau komponen pokok ajaran Islam. Akidah merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar iman; syariat merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar Islam; dan akhlak merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar ihsan. Masalah keimanan adalah masalah fundamental dalam Islam. Jangan sampai manusia merasa sudah beriman, padahal imannya keliru karena tidak sejalan dengan kehendak Allah. QS Saba`/34: 51-54 menggambarkan penyesalan manusia setelah kematiannya karena ketika di dunia ia memiliki keimanan yang keliru. Yang artinya : Dan (alangkah hebatnya) jikalau kamu melihat ketika mereka (orangorang kafir) terperanjat ketakutan (pada hari Kiamat); maka mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (untuk dibawa ke neraka). Dan (di waktu itu) mereka berkata, "Kami beriman kepada Allah." Bagaimanakah mereka dapat mencapai (keimanan) dari tempat yang jauh itu? Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka menduga-duga tentang yang gaib dari tempat yang jauh. Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam. Kembali kepada pertanyaan fundamental tadi, dengan instrumen apakah orang-orang beriman dapat mencapai ma’rifat bidzātillāh dengan cara penyaksian? Atau lebih khusus lagi, apakah di dunia ini ada orang yang telah mencapai ma’rifat bi dzātillāh dengan cara penyaksian? Mari kita baca Al-Quran. Ternyata dalam Al-Quran, Dzātullâh (Zat Allah) itu Mahagaib (Al-Ghaib). Namun, ada makhluk yang dipercaya untuk mengenali Diri Ilahi Yang Al- Ghaib itu, yakni rasul-Nya. dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib. Akan tetapi, Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu, berimanlah kepada Allah dan

rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS Ali Imran/3:179) (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS Al-Jin/72: 26-27) Maksud kedua ayat di atas adalah bahwa Allah sekali-kali tidak mengajarkan manusia tentang semua perihal wujud diri-Nya yang gaib. Akan tetapi, Allah memilih para rasul-Nya yang ikehendaki oleh-Nya untuk menyampaikan Wujud Allah. Perlu diketahui bahwa hal ini dilakukan Allah karena Dia sama sekali tidak akan pernah menampakkan Diri-Nya di muka bumi milik-Nya. Supaya keimanan kita mencapai ma’rifat billāh, maka satu-satunya cara menurut Al-Quran adalah bertanya kepada ahli zikir, sebagaimana firman-Nya, “Fas`alū ahladz-dzikri in kuntum lā ta’lamūn (QS An-Nahl/16: 43, dan QS Al-Anbiya/21:7). Mari kita pahami secara benar makna-makna rukun iman. Rukun iman pertama yaitu beriman kepada Allah. Beriman kepada Allah sudah dijelaskan secara panjang lebar di atas. Adapun rukun iman kedua yaitu beriman kepada malaikat-malaikat-Nya. Rukun iman lainnya perlu dijelaskan kembali walau secara sepintas.Beriman kepada malaikatmalaikat-Nya tidak sekedar mengimani adanya malaikat Allah. Alasannya, kalau sekedar mengimani ”ada”-nya malaikat, maka iblis dan orang kafir pun dapat disebut beriman. Iblis dan kebanyakan orang kafir tidak pernah menyatakan bahwa tidak ada malaikat. Beriman kepada malaikat-Nya adalah dengan mengikuti jejak para malaikat yang dengan rela sujud kepada khalīfah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Keimanan model inilah yang ditolak oleh iblis. Iblis tidak mau bersujud (dalam arti taat) kepada khalīfah fil ardhi sehingga iblis divonis kafir oleh Allah. Makna khalīfah fil ardhi dalam konteks ini adalah Rasulullah. Maksudnya, kita perlu meneladani para malaikat yang selalu taat kepada Rasulullah, tidak pernah menuruti kehendak nafsunya. Telah terjadi konvensi tentang adanya perbedaan dalam penafsiran dan pemahaman terhadap isi kandungan Al-Quran. Artinya, adanya perbedaan-perbedaan dalam penafsiran Al-Quran sudah dimaklumi dan ditoleransi oleh seluruh kaum muslimin. Adanya mazhab-mazhab dalam Islam mengindikasikan adanya keragaman dalam memahami “Al-Islām”, terutama dalam memahami Al-Quran. Berdasarkan QS AlWaqi`ah/56: 79, yang berwenang menjelaskan Al-Quran kepada umat hanyalah orang yang disucikankan oleh Allah. Di luar orang itu haruslah menjelaskan Al-Quran atas

dasar penjelasan dari orang yang isucikan itu. Orang yang bisa menjelaskan Al-Quran itu tidak lain adalah Rasulullah saw.

SEBUTKAN DAN JELASKAN KEWAJIBAN TERHADAP JENAZAH 

Kewajiban Terhadap Jenazah Adapun soal-soal yang bersangkutan dengan jenazah ada empat. Jenazah tersebut hendaklah dimandikan,dikafankan,disolatkan dan dikuburkan . Keempat- empat perkara ini ‘ Fardu Kifayah’ hukumnya bagi umat Islam, apabila yang mati itu orang yang beragama Islam. Bila pekerjaan itu ditinggalkan berdosalah semua orang Islam di negeri itu tetapi bila ada di antara mereka yang mengerjakannya, maka sekalian umat Islam di negara itu lepaslah dari dosa. 1.

Memandikan Mayat Syarat sah-nya mandi : -

Mayat itu orang Islam (muslim)

-

Belum dimandikan

-

Didapati tubuhnya walaupun sedikit

-

Mayat itu bukan mati syahid/ syuhada (mati dalam peperangan untuk membela agama Allah). Rukunnya adalah menyeluruhkan air suci kepada segenap tubuhnya. Tata

caranya secara sunnah adalah memulai dengan mewudhukannya, lalu memulai dengan bagian kanan dari tubuhnya, dan kemudian kiri tubuhnya, air untuk memandikan dicampur dengan daun sidir (bidara), setelah selesai maka diulang demikian hingga 3X, atau 5X atau 7X, dan pada kali yg terakhir dicampur dengan kafur. (shahih Bukhari haditsno.1196) Para fuqaha menambahkan, adalah mengurut dada dan perutnya kebawah, untuk berusaha pelahan-lahan mengeluarkan kotoran yg masih tersimpan di perutnya, lalu membersihkan tubuhnya dan Qubul dan Dubur dengan kain basah, lalu membersihkan giginya, menyiwakinya, lalu mebersihkan hidungnya dan telinganya, lalu baru mewudhukannya, lalu memandikannya. Sunnah menggunakan wewangian pada mayyit bila selesai dimandikan sebelum dikafani. Bagi yg memandikan, tak ada syarat tertentu, boleh bahkan dimandikan oleh anak anak dibawah umur dewasa, bahkan dijelaskan oleh Imam Arramly

diperbolehkan dimandikan oleh Jin pun sah, namun disunnahkan adalah keluarga terdekat, dan hukum memandikan jenazah muslim adalah fardhu kifayah Sekurang-kurangnya

mandi

untuk

melepaskan

kewajiban

itu

adalah

sekali,merata ke seluruh badannya, setelah dihilangkan najis yang ada pada badannya. Sebaiknya mayat itu diletakkan di tempat yang tinggi,seperti balai, di tempat yang sunyi, berserta tidak ada orang yang masuk ke tempat itu melainkan orang yang memandikan dan orang yang menolong mengurus keperluan yang bersangkutan dengan mandi itu. Pakaiannya diganti dengan kain basahan (kain mandi), untuk kain mandi itu sebaiknya kain sarung, supaya auratnya tidak mudah terbuka. Sesudah diletakkan di atas tempatnya, kemudian didudukkan dan disandarkan punggungnya kepada sesuatu, lantas disapu perutnya dengan tangan dan ditekankan sedikit, supaya keluar kotorannya. Perbuatan itu hendaklah diikuti dengan air dan harum-haruman agar menghilangkan bau kotoran yang keluar. Sesudah itu, mayat dilentangkan lantas dicebokkan dengan tangan kiri yang memakai sarung tangan sesudah cebok, sarung tangan hendaklah diganti dengan yang bersih, lantas dimasukkan anak jari kiri ke mulutnya,digosak giginya dan dibersihkan mulutnya, dan diwu’dhukan. Kemudian dibasuhkan kepala, janggut dan disisir rambut dan janggutnya perlahan-lahan. Rambut yang tercabut hendaklah dicampur kembali ketika mengkafankannya. Lantas dibasuh sebelah kanannya, kemudian dibaringkan ke sebelah kirinya dan dibasuh badannya sebelah kanannya kemudian dibaringkan lagi sebelah kanannya dan dibasuh sebelah kiri. Peraturan sekalian yang tersebut dihitung satu kali. Disunatkan tiga atau lima kali . Air pemandian mayat ini sebaliknya air dingin, terkecuali jika berhajat kepada air panas karena sangat dingin atau karena susah menghilangkan kotoran. Baik juga pakai sabun atau sebagainya, dan membasuhnya. Adapun air pembasuh penghabisan (pembilasan) itu, baik dicampur dengan kapur barus sedikit atau harum-haruman yang lain. Dari Ummi Athiyah : Nabi SAW telah masuk kepada kami sewaktu kami memandikan anak beliau yang perempuan, lalu beliau berkata: Mandikanlah dia tiga kali atau lima kali atau lebih kalau kamu pandang baik lebih dari itu dengan air serta daun bidara, dan basuh yang penghabisan hendaklah dicampur dengan kapur barus,

mulailah oleh kamu dengan bagian badan sebelah kanan dan anggota wudhu-nya. (Riwayat Bukhari dan Muslim) Yang berhak memandikan mayat. Kalau mayat itu lelaki hendaklah yang memandikannya lelaki, tidak boleh perempuan memandikan mayat lelaki, terkecuali isteri dan mahramnya. Sebaliknya jika mayat itu perempuan hendaklah dimandikan oleh perempuan pula; tidak boleh lelaki memandikan mayat perempuan terkecuali suami atau mahramnya. Jika suami dan mahramnya sama-sama ada suami lebih berhak memandikan isterinya. Begitu juga jika isteri dan mahramnya sama-sama ada, maka isteri lebih berhak untuk memandikan suaminya. Bila meninggal seseorang perempuan, dan tempat itu tidak ada perempuan, suami atau mahramnya, maka mayat itu hendaklah ditayammumkan saja, tidak dimandikan oleh lelaki lain. Begitu juga sebaliknya jika lelaki yang meninggal. Kalau mayat anak-anak lelaki atau perempuan maka boleh dimandikan oleh lelaki dan perempuan. Jika ada beberapa orang yang berhak memandikan, maka yang lebih berhak ialah keluarga yang terdekat kepada mayat. Kalau ia mengetahui akan kewajiban mandi serta dipercayai, kalau tidak berpindahlah hak tersebut kepada yang lebih jauh yang berpengetahuan serta amanah (dipercayai). Dari Aisyah berkata Rasulullah SAW “Barang siapa memandikan mayat dan dijaga kepercayaan, tidak dibukakannya kepada orang lain apa-apa yang dilihat pada mayat itu, bersihlah ia dari segala dosanya seperti keadaannya sewaktu dilahirkan oleh ibunya. Kata beliau lagi,hendaklah yang mengimaminya adalah keluarga yang terdekat dari mayat jika pandai memandikan mayat, jika ia tidak pandai maka siapa saja yang dipandang berhak karena amanahnya.” (Riwayat Ahmad) 2.

Mengkafankan Mayat. Hukum mengkafankan(membungkus) mayat itu adalah “Fardu Kifayah” atas orang yang hidup. Kafan itu diambil dari harta si mayat sendiri, jika ia meninggalkan harta, kalau ia tidak meninggalkan harta, maka kafan atas orang yang wajib memberi belanjanya ketika ia hidup. Kalau yang wajib memberikan belanja itu tidak pula mampu, hendaklah diambil dari Baitulmal, bila ada Baitulmal dan diatur menurut hukum agama Islam. Jika Baitulmal tidak ada atau tidak teratur, maka wajib atas orang Muslim yang mampu. Demikian pula belanja yang lain-lain yang bersangkutan dengan keperluan mayat.

-

Untuk lelaki Kafan sekurang-kurangnya selapis kain yang menutupi sekalian badan mayat, baik mayat lelaki maupun perempuan. Sebaiknya untuk lelaki tiga lapis kain, tiap-tiap lapis daripadanya menutupi seluruh badannya. Sebagian ulama berpendapat , satu daripada tiga lapis itu, hendaklah izar (kain mandi) ,dua lapis menutupi sekalian badannya. Cara Memakainya : Dihamparkan sehelai-sehelai dan ditaburkan di atas tiap-tiap lapis itu harumharuman seperti kapur barus dan sebagainya. Kedua tangannya diletakkan di atas dadanya. Tangan kanan di atas tangan kiri, dan boleh juga kedua tangan itu diluruskan menurut lambungnya(rusuknya). Dari Aisyah :” Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang dibuat dari kapas tidak ada dalamnya baju dan tiada pula serban.” (Muttafaqun alaih)

-

Untuk Perempuan Adapun mayat perempuan maka sebaiknya dikafani dengan lima lembar, yaitu basahan (kain basah), baju, kepala, mukena dan kain yang menutupi seluruh badannya.

Cara Memakainya : Dipakai kain basahan, baju, tutup kepala, lalu kekudung, kemudian dimasukkan dalam kain yang menutupi seluruh badannya. Di antara beberapa lapisan kain tadi sebaiknya diberi harum-haruman seperti kapur barus. Dari Laila binti Qanif, katanya:”Saya salah seorang yang turut memandikan Ummi Kalsum binti Rasulullah SAW ketika wafatnya. Yang mula-mula diberikan olah Rasulullah SAW kepada kami ialah kain basahan, kemudian baju. Kemudian tutup kepala, lalu kekudung dan sesudah itu dimasukkan dalam kain yang lain (yang menutupi sekalian badannya).” Kata Laila,”Sedang Nabi berdiri di tengah pintu membawa kepadanya dan memberikannya kepada kami sehelai demi sehelai.”( Riwayat Ahmad dan Abu Daud). Terkecuali dari itu, orang yang mati sedang dalam ihram haji atau umrah, tidak boleh diberi harum-haruman dan jangan pula ditutupkan kepalanya. Dari Ibnu Abbas, katanya -“Ketika seorang lelaki sedang wukuf mengerjakan haji bersama-sama Rasulullah SAW di padang Arafah tiba-tiba laki-laki itu

terjatuh dari kendaraannya lalu meninggal. Maka dikabarkan orang kejadian itu kepada Nabi SAW. Beliau berkata: Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara dan kafankanlah ia dengan dua kain ihramnya. Jangan kamu beri dia harumharuman dan jangan ditutup kepalanya, maka sesungguhnya Allah akan membangkitkan dia nanti pada akhirat seperti keadaannya sewaktu berihram”. Rosulullah saw bersabda: “Pakailah olehmu kain kamu yang putih ,karena sesungguhnya kain putih itu adalah sebaik-baiknya kain, dan kafanlah mayat kamu dengan kain putih itu” .(Riwayat Tirmidzi). -

Membaikkan Pemakaian Kafan . Dari jabir berkata Rasulullah SAW,” Apabila salah seorang kamu mengkafankan

saudaranya,

hendaklah

dibaikkan

kafannya

itu.”(Riwayat Muslim) Kafan yang baik, maksudnya,baik sifatnya dan baik cara memakainya,serta terjadi dari bahan yang baik. Sifat-sifatnya telah diterangkan yaitu kain yang putih. Begitu pula cara memakainya yang baik. Adapun baik yang bersangkut dengan dasar kain, ialah jangan sampai berlebih-lebihan memiliki dasar kain yang mahal-mahal harganya. Dari Ali Abi Talib berkata Rasulullah SAW, janganlah kamu berlebih-lebihan memilih kain yang mahal-mahal untuk kafan,karena sesungguhnya kafan itu akan hancur dengan segera.”(Riwayat Abu Daud). 3.

Sholat Jenazah Sholat Jenazah merupakan salah satu di antara perkara yang wajib yang dilakukan atas orang-orang yang hidup sebagai fardu kifayah dan disunatkan sholat berjamaah sebagaimana sabda Rasullullah SAW : “Tidaklah ada di antara seorang muslim yang mati kemudian sholat ke atasnya 40 orang lelaki yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun melainkan disyafaatkan Allah padanya” (HR. Muslim) Jika yang shalat dengan imam hanya satu orang, maka orang itu tidak berdiri pas di samping imam sejajar seperti halnya dalam shalat-shalat lain, tapi ia berdiri di belakang imam. (Dari sini anda mengetahui kesalahan banyak orang bahkan orangorang terpelajar yaitu dalam shalat-shalat biasa lainnya jika hanya berdua maka yang ma’mum mundur sedikit dari posisi yang sejajar imam). Yang tidak wajib hukumnya dishalati (tapi boleh) :

-

Anak yang belum baligh [Boleh dishalati meskipun lahir karena keguguran, yaitu yang gugur dari kandungan ibunya sebelum sempurna umur kandungan. Inijika umurnya dalam kandungan ibunya sampai empat bulan. Jika gugur sebelum empat bulan maka ia tidak dishalati].

-

Orang yang mati syahid

Disyariatkan menshalati : -

Orang yang meninggal karena dibunuh dalam pelaksaanaan huhud hukum Allah

-

Orang yang berbuat dosa dan melakukan hal-hal yang haram. Orang ahlul ilmi dan ahlul diin tidak menshalati supaya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang seperti itu

-

Orang yang berutang yang tidak meninggalkan harta yang bisa menutupi utangutangnya, maka orang yang seperti ini dishalati

-

Orang yang dikuburkan sebelum dishalati (atau sebagian orang sudah menshalati sementara yang lainnya belum menshalati) maka mereka boleh menshalati di kuburnya.

-

Orang yang mati di suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang menshalati di sana, maka sekelompok kaum muslimin menshalatinya dengan shalat gaib. [Karena tidak semua yang meninggal dishalati dengan shalat gaib]

Adab-adab sholat Jenazah: -

Lebih afdhal jika shalat jenazah di luar masjid, yaitu di suatu tempat yang disiapkan untuk shalat jenazah, dan boleh juga di masjid karena semuanya ini pernah diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

-

Jika kebetulkan banyak sekali jenazah terdiri dari jenazah laki-laki dan jenazah wanita, maka mereka dishalati sekali shalat. Jenazah laki-laki (meskipun masih anak-anak) diletakkan lebih dekat dengan imam, sedangkan jenazah wanita di arah kiblat atau boleh juga dishalati satu persatu, karena ini adalah hukum asalnya.

-

Pemimpin umat atau wakilnya lebih berhak menjadi imam dalam shalat, jika keduanya tidak ada maka yang lebih pantas mengimami adalah yang lebih baik bacaan/hafalan Qur’an-nya, kemudian yang selanjutnya tersebutkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

-

Imam berdiri di posisi kepala mayat laki-laki dan di posisi pertengahan mayat wanita.

-

Jika yang shalat dengan imam hanya satu orang, maka orang itu tidak berdiri pas di samping imam sejajar seperti halnya dalam shalat-shalat lain, tapi ia berdiri di belakang imam. [Dari sini anda mengetahui kesalahan banyak orang bahkan orang-orang terpelajar yaitu dalam shalat-shalat biasa lainnya jika hanya berdua maka yang ma’mum mundur sedikit dari posisi yang sejajar imam]

-

Disukai membuat shaf/baris di belakang imam tiga shaf ke atas dan Jumlah minimal jemaah yang tersebutkan dalam pelaksanaan shalat jenazah adalah tiga orang dan juga lebih banyak jumlah jemaah lebih afdhal bagi mayyit.

-

Bacaan dalam shalat jenazah sifatnya sir [pelan].

-

Orang yang berutang yang tidak meninggalkan harta yang bisa menutupi utangutangnya, maka orang yang seperti ini dishalati

-

Orang yang dikuburkan sebelum dishalati (atau sebagian orang sudah menshalati sementara yang lainnya belum menshalati) maka mereka boleh menshalati di kuburnya.

-

Orang yang mati di suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang menshalati di sana, maka sekelompok kaum muslimin menshalatinya dengan shalat gaib. [Karena tidak semua yang meninggal dishalati dengan shalat gaib]

-

Tidak boleh shalat pada waktu-waktu terlarang, kecuali karena darurat. [waktuwaktu terlarang; saat terbitnya matahari, tatkala matahari pas dipertengahan dan tatkala terbenam]

-

Shalat jenazah tidak dilakukan dengan ruku’, sujud maupun iqamah, melainkan dalam posisi berdiri sejak takbiratul ihram hingga salam. Berikut adalah urutannya: -

Berniat, niat shalat ini, sebagaimana juga shalat-shalat yang lain cukup diucapkan didalam hati dan tidak perlu dilafalkan, tidak terdapat riwayatyang menyatakan keharusan untuk melafalkan niat.

-

Takbiratul Ihram pertama kemudian membaca surat Al Fatihah

-

Takbiratul

Ihram

kedua

kemudian

membaca shalawat atas Rasulullah

SAWminimal :“Allahumma Shalli ‘alaa Muhammadin” artinya : “Yaa Allah berilah shalawat atas nabi Muhammad”

-

Takbiratul

Ihram

ketiga

kemudian

membaca

do’a

untuk

jenazah

minimal:“Allahhummaghfir lahu warhamhu wa’aafihi wa’fu anhu” yang artinya : “Yaa Allah ampunilah dia, berilah rahmat, kesejahteraan dan ma’afkanlah dia”.Apabila jenazah yang dishalati itu perempuan, maka bacaan Lahuu diganti

dengan Lahaa.

Jika

mayatnya

banyak

maka

bacaanLahuu diganti dengan Lahum. -

Takbir keempat kemudian membaca do’a minimal:“Allahumma laa tahrimnaa ajrahu walaa taftinna ba’dahu waghfirlanaa walahu.”yang artinya : “Yaa Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai kepadanya atau janganlah Engkau meluputkan kami akan pahalanya, dan janganlah Engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, serta ampunilah kami dan dia.” Atau Berdoa dengan doa yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti : “Alahumma ‘abduka wabna amatika ahyaaja ilaa rahmatika wa anta ghaniyyi an ‘adzabihi in kana muhsinan farid fii hasanaatihi, saayyian fatajawaja ‘an sayyiatihi” Artinya : “Ya Allah, ini adalah hambaMu, anak hamba-Mu, ia memerlukan rahmat-Mu, Engkau berkuasa untuk tidak menyiksanya, jika ia baik maka tambahlah kebaikannya, jika ia jahat maka maafkanlah kejahatannya”

-

Mengucapkan salam

Bila terdapat keluarga atau muslim lain yang meninggal di tempat yang jauh sehingga jenazahnya tidak bisa dihadirkan maka dapat dilakukan shalat ghaib atas jenazah tersebut. Pelaksanaannya serupa dengan sholat jenazah, perbedaan hanya pada niat sholatnya. Niat shalat ghaib :“Ushalli ‘alaa mayyiti (Fulanin) al ghaaibi arba’a takbiraatin fardlal kifaayati lillahi ta’alaa” Artinya : “aku niat shalat gaib atas mayat (fulanin) empat takbir fardu kifayah sebagai (makmum/imam) karena Allah”” kata fulanin diganti dengan nama mayat yang dishalati.

4.

Menguburkan Mayat Adab-adab menguburkan mayat: -

Wajib menguburkan mayyit, meskipun kafir.

-

Tidak boleh menguburkan seorang muslim dengan seorang kafir, begitu pula sebaliknya, harus dipekuburan masing-masing.

-

Menurut sunnah Rasul, menguburkan di tempat penguburan, kecuali orangorang yang mati syahid mereka dikuburkan di lokasi mereka gugur tidak dipindahkan ke penguburan. [Hal ini memuat bantahan terhadap sebagian orang yang mewasiatkan supaya dikuburkan di masjid atau di makam khusus atau di tempat lainnya yang sebenarnya tidak boleh di dalam syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala]

-

Tidak boleh menguburkan pada waktu-waktu terlarang [Lihat Bagian XII No 27] atau pada waktu malam, kecuali karena dalam keadaan darurat, meskipun dengan cara memakai lampu dan turun di lubang kubur untuk memudahkan pelaksanaan penguburan.

-

Wajib memperdalam lubang kubur, memperluas serta memperbaiki.

-

Penataan kubur tempat mayat ada dua cara yang dibolehkan : [a] Lahad : yaitu melubangi liang kubur ke arah kiblat (ini yang afdhal). [b] Syaq : Melubangi ke bawah di pertengahan liang kubur.

-

Dalam kondisi darurat boleh menguburkan dalam satu lubang dua mayat atau lebih,dan yang lebih didahulukan adalah yang lebih afdhal di antara mereka.

-

Yang menurunkan mayat adalah kaum laki-laki (mekipun mayatnya perempuan).

-

Para wali-wali si mayyit lebih berhak menurunkannya.

-

Boleh seorang suami mengerjakan sendiri penguburan istrinya.

-

Dipersyaratkan bagi yang menguburkan wanita ; yang semalam itu tidak menyetubuhi isterinya.

-

Menurut sunnah : memasukkan mayat dari arah belakang liang kubur.

-

Meletakkan mayat di atas sebelah kanannya, wajahnya menghadap kiblat, kepala dan kedua kakinya melentang ke kanan dan kekiri kiblat.

-

Orang yang meletakkan mayat di kubur membaca : “bismillahi wa’alaa sunnati rasuulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallama” -Artinya : ‘(Aku meletakkannya) dengan nama Allah dan menurut sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” atau : “bismillahi wa ‘alaa millati rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallama” – Artinya : “(Aku meletakkan) dengan nama Allah dan menurut millah (agama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

-

Setelah menimbun kubur disunahkan hal-hal sebagai berikut:

 Meninggikan kubur sekitar sejengkal dari permukaan tanah, tidak diratakan, supaya Dapat dikenal dan dipelihara serta tidak dihinakan.  Meninggikan hanya dengan batas yang tersebut tadi.  Memberi tanda dengan batu atau selain batu supaya dikenali.  Berdiri di kubur sambil mendoakan dan memerintahkan kepada yang hadir supaya mendoakan dan memohonkan ampunan juga. (Inilah yang tersebutkan di dalam sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun talqin yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam pada zaman ini maka hal itu tidak ada dalil landasannya di dalam sunnah). -

Boleh duduk saat pemakaman dengan maksud memberi peringatan orang-orang yang hadir akan kematian serta alam setelah kematian. [Hadits Al-Barra bin ‘Aazib]

-

Menggali kuburan sebagai persiapan sebelum mati, yang dilakukan oleh sebagian orang adalah perbuatan yang tidak dianjurkan dalam syari’at, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hal itu, para sahabat beliaupun tidak melakukannya. Seorang hamba tidak mengetahui di mana ia akan mati. Jika ia melakukan hal itu dengan dalih supaya bersiap-siap mati atau untuk

mengingat

kematian

maka

itu

dapat

dilakukan

dengan

cara

memperbanyak amalan shaleh, berziarah ke kubur, bukan dengan cara melakukan hal-hal yang hanya dibikin-bikin oleh orang [Disalin dari kitab Muhtasar Kitab Ahkaamul Janaaiz wa Bid’auha, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, diringkas oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan diterjemahkan oleh Muhammad Dahri Komaruddin] Tambahan: Sebagian ulama berpendapat bahwa mengebumikan mayat pada waktu malam itu sama saja dengan menguburkan mayat pada waktu siang. Rasulullah s.a.w pernah menguburkan seorang lelaki yang selalu berzikir dengannya pada waktu malam. Syaidina Ali juga menguburkan Syaidatina Fatimah pada malam hari. Saidina Abu Bakar, Usman, Syaidatina Aishah dan Ibn Masud juga dikebumikan pada waktu malam. Walaupun demikian menguburkan mayat pada waktu malam itu dibolehkan sekiranya hak-hak yang berkaitan dengan mayat itu telah sempurna dilakukan. Sekiranya hal seperti ini tidak dipenuhi maka perbuatan itu dilarang.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim menyatakan bahwa nabi pada satu hari telah memberi penerangan kepada orang ramai dan menyebut tentang seorang lelaki sahabatnya yang meninggal lalu dikafankan dengan kain kafan yang tidak mencukupi dan dikebumikan pada waktu malam. Nabi telah mencela amalan menguburkan mayat

pada waktu malam kecuali seseorang itu terpaksa

melakukannya. Begitu juga keterangan daripada sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh ibnu Majah daripada Jabir. Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan assahibus Sunan daripada Uqbah katanya, ada tiga waktu di mana nabi mencegah kami mensholatkan mayat, yaitu ketika tepat waktu terbitnya matahari, ketika tepat tengah hari dan ketika hampir terbenam matahari hingga terbenam. Meskipun begitu, sekiranya keadaan memaksa, seperti dikhawatirkan mayat menjadi busuk, maka mengebumikan mayat pada waktu itu boleh dilakukan dengan sengaja tanpa sebab darurat seperti yang dijelaskan, hukumnya adalah makruh. Perlu dijelaskan bahwa dalam pengebumian ini, setiap orang perlu memastikan bahwa mayat yang dikubur itu tidak dapat digali oleh binatang buas. Kerana itu kubur perlu digali dalam sekira-kira bau mayat itu tidak dapat dicium oleh manusia juga binatang termasuk burung-burung. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Nasai daripada Hisyam bin Amir, juga oleh Tirmidzi katanya: Kami telah mengadu kepada Rasulullah s.a.w ketika perang Uhud. “Ya Rasulullah, adalah sukar bagi kami untuk menggali kubur untuk setiap mayat.’’ Mendengar kata itu, Rasulullah bersabda: Galilah kamu semua, dalamkan dan perelokkan, kuburlah dua atau tiga mayat dalam satu kubur. Mereka bertanya: Siapakah yang kami hendak dahulukan ya Rasulullah? Baginda menjawab: Dulukan yang banyak hafal al-Quran. Bapakku adalah termasuk dalam salah seorang yang dikuburkan dalam sebuah kubur yang memuat tiga jenazah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Munzir daripada Umar ra bahwa ia berpesan: Galilah kubur itu setinggi ketika mayat tegak dan selebar badan. Satu perkara lain yang perlu juga kita fahami adalah tentang bentuk lubang kubur itu sendiri. Ada kubur yang digali yang diberi liang di sisi kubur pada arah kiblat. Di atasnya diletakkan papan-papan menjadikan bentuknya seakan-akan

rumah yang beratap. Satu bentuk lain dinamakan syaq, yaitu liang yang dibuat di tengah-tengah kubur. Mengenai cara memasukkan mayat dalam kubur, hendaklah dilakukan pada bagian belakangnya, yaitu sekiranya ia tidak mengalami masalah. Sekiranya menghadapi masalah untuk berbuat demikian, maka ia boleh dimasukkan bagian mana saja. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah dan Bayhaqi daripada keterangan Abdullah bin Aid, bahawa ia memasukkan mayat dalam kubur dari arah kedua-dua kakinya, katanya: Ini adalah sunnah. Menurut Ibnu Hazim, memasukkan mayat dalam kubur itu boleh dilakukan dari bagian mana saja, sama dengan bagian arah kiblat atau sebaliknya atau dari arah kepala, ataupun dari arah kaki, karena tidak ada satu keterangan yang tegas mengenainya. Menurut sunnah, mayat hendaklah dibaringkan dalam kuburnya pada sisinya yang kanan dengan mukanya ke arah kiblat. Orang yang berbuat demikian hendaklah membaca Bismillah wa’ala millati rasulillah (dengan nama Allah dan menurut agama (sunnah) Rasulullah. Tali yang mengikat mayat hendaklah diuraikan. Menurut sebuah hadis yang diterima daripada Ibnu Umar ia berkata: Bahwa nabi apabila meletakkan mayat dalam kubur, baginda mengucapkan: Bismillah wa’ala millati rasulullah atau wa’ala sunnati rasulillah. Sebagian periwayat menganggap makruh meletakkan kain, selimut dan sebagainya untuk mayat dalam kubur. Manurut Ibnu Hazim tidak salah meletakkan kain hamparan di bawah mayat, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, daripada Ibnu Abbas, katanya: Pada makam Rasulullah telah dihamparkan permaidani merah. Ia berkata: Dan Allah telah membiarkan perbuatan ini dalam upacara pengebumian Rasulullah seorang manusia yang maksum dan tidak mencegahnya. Dilakukan oleh manusia pilihan di muka bumi secara ijmak, tanpa seorang pun yang menentangnya. Ada ulama menganggap sunat meletakkan kepala mayat di atas bantal yang diperbuat daripada tanah liat, batu atau tanah biasa dalam keadaan pipi kanannya dicecahkan pada bantal tanah dan sebagainya setelah kain kapan dibuka daripada pipinya. Syaidina Umar ra pernah berkata: Andainya kamu menurunkan mayatku ke liang lahad nanti, tempelkan pipiku ke tanah.

Memang benar bahwa amalan akan mengendalikan mayat dan akan memberi kemudahan, yaitu bagi mereka yang dapat mengambil ikhtibarnya. Wallahu ‘alam bishowab

BAB III PENUTUP KESIMPULAN Iman, islam dan ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama islam yang sesuai dengan dalil , Iman, Islam dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan Iman. Sebaliknya, Iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari Iman dan Islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar Iman dan Islam itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Busyra, Zainuddin Ahmad, Buku Pintar Aqidah Akhlaq dan Qur’an Hadis, (Yogyakarta: Azna Books, 2010) At-Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah, Ensiklopedia Islam Al-Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010) Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 2001) Thanthawi, Ali, Aqidah Islam; Doktrin dan Filosofis, (Pajang:Era Intermedia,2004). Daradjat, Zakiah, dkk., Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996). Wahhab,

Muhammad

bin

Abdul, Tiga

Prinsip

Dasar

dalam

Darussalam,2004). https://krisnanto79.wordpress.com/2008/06/12/kewajiban-terhadap-jenazah/

Islam,(Riyadh:

Related Documents


More Documents from "Ngoprek Yudhis"