Pembangunan Pendidikan

  • Uploaded by: Arwin Zoelfatas
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembangunan Pendidikan as PDF for free.

More details

  • Words: 15,523
  • Pages: 57
PEMBANGUNAN PENDIDIKAN A. UMUM Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 mengamanatkan bahwa salah satu arah kebijakan pembangunan pendidikan adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Arah kebijakan peningkatan perluasan dan pemerataan pendidikan dilaksanakan melalui antara lain penyediaan fasilitas layanan pendidikan berupa pembangunan unit sekolah baru; penambahan ruang kelas dan penyediaan fasilitas pendukungnya; penyediaan berbagai pendidikan alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan perhatian khusus; serta penyediaan berbagai beasiswa dan bantuan dana operasional sekolah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti yang antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun keatas yaitu dari 6,7 tahun pada tahun 2000 menjadi 7,1 tahun pada tahun 2003, dan meningkatnya proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SMP ke atas menjadi 36,2 persen pada tahun 2003. Sejalan dengan itu angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas juga mengalami peningkatan dari 89,5 persen pada tahun 2002 menjadi 89,8 persen pada tahun 2003. Membaiknya tingkat pendidikan penduduk sangat dipengaruhi oleh meningkatnya partisipasi pendidikan untuk semua kelompok usia sekolah dan untuk semua jenjang pendidikan. Pada tahun 2003 data Depdiknas dan Depag menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun mencapai 99,29 persen, penduduk usia 1315 tahun mencapai 80,43 persen, dan penduduk usia 16-18 tahun mencapai 50,65

persen. Pada tahun yang sama angka partisipasi kasar (APK) SD/MI/SDLB mencapai 114,53

persen,

APK

SMP/MTs/SMPLB

mencapai

78,43

persen,

APK

SMA/SMK/MA/MAK mencapai 48,79 persen dan APK PT mencapai 14,25 persen. Upaya memperbaiki tingkat pendidikan penduduk telah dilakukan melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang telah berhasil meningkatkan jumlah lulusan SMP-MTs per tahun secara signifikan dalam lima tahun terakhir yaitu dari 2,78 juta orang pada tahun 1999/00 menjadi 3,04 juta orang pada tahun 2003/04. Hal tersebut lebih lanjut berdampak pada meningkatnya jumlah lulusan SMP-MTs yang melanjutkan ke jenjang menengah. Apabila pada tahun ajaran 1999/2000 jumlah murid baru tingkat SM sebanyak 1,86 juta orang, maka pada tahun 2003/2004 jumlahnya meningkat menjadi 2,2 juta orang. Penambahan tersebut meningkatkan jumlah seluruh siswa SLTA menjadi 6,2 juta orang, sehingga APK SLTA juga meningkat dari 41,26 persen menjadi 48,79 persen. APK tersebut telah melampaui sasaran yang direncanakan dalam Propenas yang akan dicapai pada tahun 2004 yaitu sebesar 42,3 persen. Pada kurun waktu yang sama jumlah mahasiswa meningkat dari 3,2 juta pada tahun ajaran 1999/2000 menjadi 3,55 juta pada tahun ajaran 2003/2004. Penambahan jumlah mahasiswa tersebut berhasil meningkatkan APK pendidikan tinggi dari 12,40 persen menjadi 14,25 persen. Peningkatan yang cukup berarti tersebut juga disertai dengan upaya meningkatkan layanan pendidikan melalui jalur pendidikan nonformal yang terus dikembangkan dalam upaya untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan formal, dan yang putus sekolah. Pendidikan nonformal antara lain diberikan melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, Paket B, dan Paket C serta kursus-kursus. Kejar Paket A dan Paket B dilaksanakan baik bagi kelompok penduduk usia sekolah sebagai pendidikan alternatif terhadap pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun maupun penduduk usia dewasa sebagai bagian dari pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan keaksaraan fungsional diberikan bagi penduduk dewasa untuk meningkatkan kemampuan keaksaraan mereka yang dikaitkan dengan kebutuhan fungsional dalam kehidupan sehari-hari seperti ketrampilan vokasional. Sementara itu kursus-kursus yang dilakukan ditujukan terutama untuk memberi ketrampilan bagi warga belajar sehingga memiliki kemampuan yang memadai untuk bekerja.

GBHN 1999-2004 juga mengamanatkan agar pembangunan pendidikan diarahkan pula untuk mengembangkan kualitas sumberdaya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh. Sangat disadari bahwa usia dini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan bagi perkembangan pada tahap berikutnya. Dengan demikian pembinaan anak sejak dini dapat memperbaiki prestasi belajar dan meningkatkan produktivitas kerja di masa dewasa. Stimulasi dini pada masa golden age sangat diperlukan untuk memberikan rangsangan terhadap seluruh aspek perkembangan anak yang mencakup penanaman nilai-nilai dasar, pembentukan sikap dan pengembangan kemampuan dasar. Di Indonesia, pendidikan usia dini dilakukan melalui antara lain pendidikan di taman kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain, dan Raudhatul Atfhal (RA). Di samping upaya memperluas akses dan pemerataan pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan juga terus mendapat perhatian besar. Kemampuan akademik dan profesional serta jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan terus ditingkatkan. Pendidikan lanjutan serta pendidikan dan latihan jangka pendek terus dilaksanakan baik untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan maupun untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar menurut bidang studi. Berbagai pendidikan dan pelatihan yang dilakukan telah meningkatkan jumlah guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan minimal, sehingga pada tahun 2003 proporsi guru SD yang berpendidikan Diploma-2 ke atas mencapai 48,6 persen dan guru SLTP yang berpendidikan Diploma-3 ke atas menjadi 62,1 persen. Meskipun demikian, kondisi tersebut belum mencukupi untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Bahkan untuk jenjang pendidikan SLTP-MTs dan SLTA-MA yang menggunakan sistem guru mata pelajaran, banyak pula terjadi ketidaksesuaian antara pelajaran yang diajarkan dengan latar belakang pendidikan guru. Untuk itu diperlukan jumlah dan kualitas pendidikan dan latihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya secara lebih memadai sehingga mereka mampu menyelenggarakan proses belajar mengajar yang lebih berkualitas. Untuk menjawab kurangnya jumlah guru pada semua jenjang pendidikan, pada tahun 2003 telah dikaryakan sebanyak 194 ribu guru untuk sekolah umum dan 13,5 ribu guru untuk madrasah dan guru agama pada sekolah umum. Untuk meningkatkan kesejahteraan guru, pada tahun 2002 tunjangan kependidikan bagi guru telah pula ditingkatkan sebesar 50 persen. Selain itu telah disediakan pula berbagai insentif bagi guru sekolah negeri dan swasta seperti tunjangan kelebihan jam mengajar dan

bantuan khusus guru yang secara keseluruhan diharapkan dapat mendorong guru untuk tetap berkarya. Meskipun kualitas pendidikan yang masih belum sepenuhnya baik, pada tahun 2002 Indonesia berhasil menjadi salah satu juara Olimpiade Fisika Internasional yang diikuti oleh 340 peserta dari 72 negara. Pada tahun 2003 Indonesia telah berpartisipasi dalam Olimpiade IPA dan Matematika baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN yang diikuti oleh 10 negara, dan meraih 1 medali emas, 1 perak, dan 2 perunggu. Sementara itu pada tahun 2004 mengikuti Olimpiade Fisika Asia di Thailand, dan kontingen Indonesia berhasil meraih 6 medali emas. Arah kebijakan pembangunan pendidikan untuk melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta didik dan potensi daerah, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional telah pula dilaksanakan. Penambahan jam pelajaran untuk muatan lokal ditujukan untuk mengakomodasi keragaman kebutuhan di setiap wilayah meskipun pelaksanaannya masih belum optimal dan secara umum baru digunakan untuk pendidikan kesenian lokal dan bahasa daerah. Kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan diharapkan dapat menjawab diversifikasi kebutuhan pembangunan. Reposisi pendidikan kejuruan terus dilakukan untuk lebih menjamin kesesuaian atau relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Bidang studi yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan terus direposisi menjadi bidang studi yang memiliki prospek yang baik dalam dunia kerja. Upaya melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen sebagai arahan kebijakan pembangunan tahun 2000-2004 telah menjadi agenda utama dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2003 telah disahkan Undang-Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sebagai pengganti UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 yang diikuti dengan penyiapan 14 buah Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai operasionalisasi UU tersebut. Pembaruan sistem pendidikan nasional sebagaimana amanat Undang Undang Dasar 1945 amandemen ke empat pasal 31, mengatur pemerintah untuk mengaloksikan anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN dan APBD. Mengingat keterbatasan kemampuan keuangan negara, pemenuhan amanat tersebut belum dapat dilakukan. Meskipun demikian

pemerintah telah meningkatkan alokasi anggaran untuk pembiayaan pendidikan dan secara bertahap alokasi anggaran diupayakan mencapai 20 persen dari APBN dan APBD. Dengan dilaksanakannya desentralisasi pendidikan, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membangun pendidikan di masing-masing wilayah sejak dalam penyusunan rencana, penentuan prioritas program serta mobilisasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana yang telah dirumuskan. Sejalan dengan itu, otonomi pendidikan telah pula dilaksanakan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi yang memberikan wewenang yang lebih luas pada satuan pendidikan untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki termasuk mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. Hal ini sebagai langkah yang dilakukan agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Dana dekonsentrasi telah mulai diberikan langsung kepada satuan pendidikan dalam bentuk block grant yang diharapkan dapat dikelola oleh setiap satuan pendidikan dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipatif. Meskipun demikian sampai tahun 2004 sekolah yang melaksanakan manajemen berbasis sekolah masih sangat terbatas jumlahnya karena belum maksimalnya pemahaman dan kemampuan sumberdaya manusia pada satuan pendidikan. Dengan memperhatikan hasil pelaksanaan desentralisasi bidang pendidikan sejak tahun 2001, upaya untuk menyelaraskan kebijakan dan program antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota perlu terus dilakukan. Penetapan peran dan tanggungjawab yang lebih jelas masing-masing tingkat pemerintahan perlu mendapat prioritas. Standar pelayanan minimal (SPM) yang lebih operasional perlu disusun untuk menjadi acuan penyediaan layanan pendidikan pada setiap kabupaten/kota dengan mengacu pada pedoman penyusunan SPM bagi provinsi yang tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada jenjang pendidikan tinggi, otonomi pendidikan dilaksanakan melalui pemberian wewenang yang lebih besar kepada perguruan tingi. Competitive based funding mechanism yang diterapkan dalam program pendidikan tinggi telah mendorong unit-unit di perguruan tinggi untuk terus meningkatkan kapasitas institusinya sehingga mampu bersaing dalam memperoleh berbagai sumber pembiayaan dari pemerintah. Competitive based funding mechanism yang penerapannya diikuti dengan output based funding mechanism mendorong

perguruan tinggi menghasilkan output yang sebanding dengan pembiayaan yang diterimanya. Namun demikian sampai tahun 2003 pendidikan tinggi masih dihadapkan pada belum optimalnya pelaksanaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) karena perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut belum diberi keleluasaan penuh dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki. Oleh karena itu upaya peningkatan mutu dan relevansi dalam proses belajar mengajar serta dalam pelaksanaan penelitian dan pengabdian pada masyarakat sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi belum dapat secara maksimal dilakukan. Dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi pendidikan, peran serta masyarakat terus ditingkatkan. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah dikeluarkan sebagai landasan hukum bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Dengan menggunakan pendekatan sukarela (voluntary basis) kabupaten/kota didorong untuk membentuk dewan pendidikan yang dapat berperan sebagai (a) pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten/kota; (b) pendukung baik secara finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan, (c) pengontrol dalam penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan pengeluaran pendidikan, dan (d) mediator antara lembaga eksekutif, legislatif dan masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Sampai tahun 2002 kabupaten/kota yang telah memiliki dewan pendidikan berjumlah 321 kabupaten/kota. Pada saat yang sama proporsi sekolah yang memiliki komite sekolah juga terus meningkat. Peningkatan partisipasi masyarakat yang dilaksanakan di bidang pendidikan telah meningkatkan keterbukaan, akuntabilitas, dan efisiensi pembiayaan sebagai bagian dari penerapan good governance bidang pendidikan. Oleh karena itu partisipasi masyarakat perlu diperluas cakupannya sehingga masyarakat dapat pula mengawasi pembangunan pendidikan baik dalam proses alokasi, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban sesuai dengan kaidah-kaidah good governance. Hal tersebut perlu diperkuat dengan tersusunnya berbagai kerangka peraturan (regulatory framework) yang mengatur secara jelas dan terukur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Upaya memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan dilaksanakan melalui penerapan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) yang ditujukan untuk memfungsikan

pendidikan dalam mengembangkan potensi manusiawi peserta didik melaksanakan peranannya di masa datang. Kecakapan yang dikembangkan meliputi antara lain mengenal diri, yang juga sering disebut kemampuan personal, berfikir rasional, akademik, dan vokasional serta sosial. Melalui pendidikan tersebut peserta didik diharapkan menjadi lebih beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjadi warga negara dan warga masyarakat yang membangun, memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik, dan memiliki kecakapan komunikasi dan empati sebagai dasar dalam menumbuhkan hubungan yang harmonis dalam lingkungannya. Pada jenjang pendidikan menengah, kecakapan vokasional atau kejuruan peserta didik ditingkatkan sehingga lulusannya memiliki ketrampilan untuk bekerja. Dalam pelaksanaannya masih dijumpai pendidikan kecakapan hidup yang terbatas pada ketrampilan vokasional saja. Pelaksanaan konsep pendidikan kecakapan hidup perlu terus ditingkatkan agar peserta didik benar-benar memperoleh kemampuan yang sesuai dengan masa pertumbuhan dan kebutuhan untuk menjalani hidupnya sehari-hari.

Namun, walaupun telah terjadi berbagai peningkatan yang cukup berarti, pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu memberi pelayanan secara lebih merata, berkualitas dan terjangkau, yang antara lain ditunjukkan oleh masih tingginya penduduk buta aksara, rendahnya cakupan layanan pendidikan bagi anak usia dini, serta masih rendahnya partisipasi pendidikan terutama untuk jenjang pendidikan menengah pertama sampai dengan pendidikan tinggi, dengan kesenjangan yang masih cukup tinggi antarkelompok masyarakat seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah. Sebagian penduduk tidak dapat menjangkau biaya pendidikan yang dirasakan masih mahal dan pendidikan juga dinilai belum sepenuhnya mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sehingga pendidikan belum dinilai sebagai bentuk investasi. Di samping itu fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan menengah pertama ke atas belum tersedia secara merata khususnya di daerah terpencil termasuk pulau-pulau kecil sehingga menyebabkan sulitnya anakanak terutama anak perempuan untuk mengakses layanan pendidikan, di samping

fasilitas pendidikan khusus dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang juga belum tersedia secara memadai. Sementara itu kualitas pendidikan juga masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan peserta didik dan pembangunan, yang terutama disebabkan oleh kurang dan belum meratanya pendidik dan tenaga kependidikan baik secara kuantitas maupun kualitas, belum memadainya ketersediaan fasilitas belajar terutama buku pelajaran dan peralatan peraga pendidikan, dan belum berjalannya sistem kendali mutu dan jaminan kualitas pendidikan, dan belum tersedianya biaya operasional yang dibutuhkan untuk pelaksanaan proses belajar mengajar secara bermutu. Di samping itu sistem pengelolaan pendidikan juga belum sepenuhnya efektif dan efisien yang antara lain ditunjukkan oleh belum tersedianya informasi pendidikan yang memungkinkan masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih satuan pendidikan secara tepat, belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan, belum mampunya Indonesia meningkatkan daya saing institusi pendidikan dalam menghadapi era global pendidikan, belum berjalannya sistem pengawasan pendidikan, dan belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan termasuk partisipasinya dalam Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah. Sehubungan dengan hal tersebut, langkah langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan kualitas, kompetensi dan profesionalismenya baik pada satuan pendidikan negeri maupun swasta; meningkatkan budaya baca dan mengembangkan perpustakaan untuk menciptakan masyarakat belajar; meningkatkan penelitian dan pengembangan pendidikan sebagai dasar kebijakan, program dan kegiatan pembangunan pendidikan; mengembangkan manajemen pelayanan pendidikan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pendidikan, meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga pengelola pendidikan di pusat dan daerah, mendorong

penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipatif dan demokratisasi; meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan kedinasan dalam rangka meningkatkan kemampuan, keterampilan dan profesionalisme pegawai dan calon pegawai negeri departemen atau lembaga pemerintah non departemen dalam pelaksanaan tugas kedinasan. Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai bagian integral pembangunan nasional ditujukan untuk turut menciptakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Pasal 31 UUD 45 yang telah diamandemen, ayat 5 mengamanatkan bahwa pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kemudian ditekankan lagi dalam Tap MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, bahwa arah kebijakan umum dalam pembangunan iptek adalah untuk meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan iptek termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumberdaya lokal. Amanat ini mencakup pengertian bahwa teknologi harus memiliki kontribusi dalam peningkatan kemandirian dan daya saing bangsa. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan fokus kegiatan penelitian adalah dirumuskannya agenda riset tematik sesuai kompetensi inti lembaga,

dilaksanakannya

mekanisme

seleksi

riset

secara

kompetitif,

disempurnakannya kegiatan riset unggulan dan strategis, dikembangkannya kajian sosial budaya sebagai masukan kebijakan pemerintah, dan pelaksanaan evaluasi riset sains dan teknologi untuk pembangunan. Dalam rangka mendorong penguatan hak atas kekayaan intelektual (HKI) telah dilakukan pemasyarakatan program HKI dan pembentukan Sentra HKI. Dalam rangka penguatan infrastruktur lembaga litbang dilakukan melalui program Standarisasi Laboratorium (STANLAB), yang membantu laboratorium-laboratorium penguji maupun kalibrasi agar memenuhi Standar Nasional dan Standar Internasional, serta penyusunan kriteria akreditasi pranata penelitian dan pengembangan di lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi.

Terselesaikannya

UU

No.

18/2002

tentang

Sistem

Nasional

Penelitian,

Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek) telah memberikan landasan hukum bagi perguruan tinggi, badan usaha, pemerintah dan

masyarakat

untuk

berpartisipasi

membentuk

jaringan

dan

bersinergi

mengembangkan dan memperkuat sistem iptek nasional. Dalam rangka keterpaduan kebijakan iptek nasional terus dikembangkan berbagai model pendekatan terpadu antara lain melalui pembentukan Forum Perencanaan Pembangunan Iptek, pengembangan sistem informasi program riptek (riset, ilmu pengetahuan dan teknologi), peningkatan sinergi pelaksanaan program riset unggulan, penyelarasan perencanaan program terintegrasi antara pusat, daerah, perguruan tinggi dan lembaga masyarakat, dan identifikasi penentuan prioritas program penelitian jangka panjang. Secara umum pembangunan kapasitas iptek nasional dinilai masih belum memadai. Beberapa faktor penghambat adalah masih rendahnya kualitas penelitian nasional diukur dari hasil riset yang dimuat dalam jurnal internasional, belum optimalnya pengembangan riset ilmu-ilmu dasar, rendahnya riset yang berorientasi kepada pemecahan masalah atau kebutuhan pasar, dan minimnya hasil riset yang berhasil diterapkan pada kegiatan produktif masyarakat. Di samping itu belum adanya kebijakan yang terintegrasi mengakibatkan tidak fokusnya kegiatan penelitan dan pengembangan, serta tidak optimalnya pengembangan sumberdaya litbang. Akibatnya masih ditemui inefisiensi dalam bentuk tumpang tindih topik penelitian, inefisiensi pemanfaatan sumberdaya litbang yang ada, serta sulitnya mobilisasi pemanfaatan fasilitas litbang antar lembaga. Selanjutnya belum adanya suatu instrumen yang secara reguler dapat menggambarkan tingkat pencapaian perkembangan iptek nasional secara komprehensif dan kuantitatif, karena berbagai data dan indikator yang ada saat ini masih bersifat parsial dan lebih pada kebutuhan internal lembaga litbang yang bersangkutan. Hambatan lain adalah infleksibilitas dalam pembiayaan kegiatan iptek, khususnya yang bersumber dari dana pemerintah yang bersifat tahunan dan bersifat swakelola. Masalah lain adalah menyangkut insentif peneliti, khususnya terkait dengan unit cost penelitian yang masih dirasa kurang memadai.

Langkah-langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya iptek, meningkatkan dayaguna hasil-hasil penelitian di berbagai bidang pembangunan, memperkuat kompetensi inti lembaga riset, membentuk iklim yang kondusif bagi pengembangan sumberdaya litbang, serta memperkuat landasan dan arah serta prioritas pembangunan iptek dalam bentuk penyusunan rencana jangka menengah pembangunan iptek nasional.

B. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program pendidikan dasar dan prasekolah bertujuan untuk: (1) memperluas

jangkauan dan daya tampung SD dan MI, SMP dan MTs dan lembaga pendidikan prasekolah sehingga menjangkau anak-anak dari seluruh lapisan masyarakat; (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan kumuh perkotaan, daerah bermasalah, masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan; (3) meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan prasekolah dengan kualitas yang memadai; dan (4) meningkatkan pelaksanaan manajemen pendidikan dasar dan prasekolah berbasis pada sekolah dan masyarakat. Dalam Propenas 2000-2004, sasaran yang direncanakan untuk dicapai Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah sampai dengan tahun 2004 adalah: (1) meningkatkan APK SD/MI menjadi 120,7 persen dan APK SMP/MTs menjadi 78,9 persen; (2) terwujudnya organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, terakunkan, dan meningkatnya partisipasi masyarakat, dan (3) terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat dengan mengenalkan

konsep

dan

merintis

pembentukan

Dewan

Sekolah

di

setiap

kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di seluruh SD dan MI serta SMP dan MTs. Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian Umum.

b.

Pelaksanaan i.

Hasil yang Dicapai Berdasarkan tujuan dan sasaran tersebut di atas, berbagai kegiatan yang

dilakukan selama tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 telah berhasil meningkatkan APK SD/MI dari 108,26 persen di tahun ajaran 1999/00 menjadi 114,53 persen pada tahun ajaran 2003/04. Meningkatnya APK tersebut disebabkan oleh meningkatnya jumlah siswa SD/MI hampir 635,8 ribu orang yaitu dari 28,54 juta menjadi 29,17 juta. Pencapaian tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan sasaran Propenas tahun 2004 yaitu sebesar 120,7 persen. Dari hasil analisis situasi terungkap bahwa penetapan target tersebut adalah terlalu tinggi karena sasaran tersebut mendorong meningkatnya jumlah anak usia dibawah 7 tahun dan di atas 12 tahun untuk sekolah pada jenjang SD/MI. Sementara pada jenjang SMP/MTs terjadi peningkatan APK dari 74,43 persen pada tahun 1999/00 menjadi 78,43 persen pada tahun 2003/04 dengan penambahan jumlah siswa sebanyak 759,3 ribu orang dari 9,41 juta orang menjadi 10,16 juta orang pada tahun 2003/04 (termasuk siswa SMLB sebanyak 5.988 orang). Selanjutnya data Susenas tahun 2003 menunjukkan bahwa pada jenjang SD/MI sudah tidak terdapat ketimpangan partisipasi pendidikan yang signifikan antarkelompok masyarakat seperti dilihat dari wilayah tempat tinggal dan pengeluaran keluarga. APK SD/MI di perdesaan (106,15 persen) bahkan sedikit lebih tinggi dibanding di perkotaan (105,31 persen). Berbeda dengan kinerja jenjang SD/MI, pada jenjang SMP/MTs masih ditemukan perbedaan partisipasi pendidikan yang signifikan antarkelompok masyarakat, dimana APK di perkotaan (93,65 persen) jauh lebih tinggi dibanding APK di perdesaan (72,89 persen). Sementara APK penduduk perempuan (82,37 persen) sedikit lebih baik dibandingkan penduduk laki-laki (79,92 persen). Kesenjangan partisipasi pendidikan juga terjadi secara signifikan antarkelompok pengeluaran keluarga. Pencapaian hasil seperti tersebut di atas didukung oleh berbagai kegiatan pokok yang dilakukan pada tahun 2003 antara lain melalui penyediaan layanan pendidikan alternatif seperti SD Kecil, pemberian beasiswa bagi sekitar 5,91 juta orang siswa

SD-MI, 878 orang siswa SDLB, dan 1,83 juta orang untuk siswa SMP-MTs. Selain itu juga diberikan subsidi/block grant untuk 657 taman kanak-kanak (TK), 103,7 ribu SD, 1,53 ribu SLB, 30.147 SMP, serta 501,53 ribu set alat pendidikan. Di samping itu, di beberapa SD/MI dan SMP/MTs telah dibentuk Komite Sekolah/Madrasah yang akan memberikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang lebih demokratis, transparan, efisien dan terakunkan. Di samping itu, juga dilakukan pembangunan 24 unit gedung TK, 15 sekolah TK Percontohan, 30 TK-SD Satu Atap, 42 TK Pembina, dan 250 TK Perdesaan, serta pembangunan 74 unit gedung SD, 103 unit SLB, 765 unit SMP, 3,17 ribu SMP Terbuka, dan 5,35 ribu USB SD daerah tertinggal serta pembangunan dan rehabilitasi ruang belajar MI dan MTs sebanyak 6.650 ruang, rehabilitasi 10,99 ribu ruang SD. Untuk membantu sekolah/madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan secara lebih bermutu pada tahun 2003 telah diberikan dana bantuan operasional (DBO) untuk 104,6 ribu SD-MI dan 18,3 ribu SMP-MTs. Untuk memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk, upaya peningkatan akses dan pemerataan pendidikan ditunjang pula oleh upaya peningkatan mutu pendidikan. Kemampuan akademik dan profesional serta jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan terus ditingkatkan. Pendidikan lanjutan serta pendidikan dan latihan jangka pendek terus dilaksanakan baik untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan maupun untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar menurut bidang studi. Berbagai pendidikan dan pelatihan yang dilakukan telah meningkatkan jumlah guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan minimal, sehingga sampai dengan tahun 2003/04 proporsi guru SD-MI yang berpendidikan Diploma-2 ke atas menjadi 50,10 persen, meningkat dari dari tahun 2001 yang baru mencapai 40,95 persen. Sementara di tingkat SMP-MTs, guru yang berpendidikan Diploma-3 ke atas pada tahun 2003/04 menjadi 66,00 persen, meningkat dari tahun 2001 yang baru mencapai 48,95 persen. Meskipun demikian, kondisi tersebut belum mencukupi untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Jumlah guru juga tidak mengalami peningkatan secara memadai. Hal ini terutama disebabkan oleh kebijakan zero growth pengangkatan guru pegawai negeri sipil serta adanya guru

yang telah mendapatkan gelar sarjana pindah mengajar pada jenjang SLTA serta terjadinya pengisian jabatan non struktural di kantor pemerintah daerah terutama daerah pengembangan. Permasalahan lain yang dihadapi selain kurangnya jumlah guru adalah distribusi guru yang belum merata dan lebih terkonsentrasi pada daerah perkotaan. Untuk menjawab kekurangan jumlah guru, pada tahun 2003 dan 2004 Pemerintah telah mengkaryakan guru bantu sementara sebanyak 136.009 orang guru untuk jenjang SD dan 60.966 orang guru untuk jenjang SMP. Guna mendukung peningkatan mutu, selama tahun 2001 sampai dengan 2002 telah diberikan pula insentif bagi 318,3 ribu guru sekolah umum, penyediaan buku dan alat peraga pendidikan sebanyak 74,4 juta bagi sekolah umum dan 2,6 juta bagi madrasah, pengembangan kurikulum, serta penyediaan bantuan operasional manajemen mutu bagi sekolah negeri maupun swasta yang dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan sekolah. Untuk MI dan MTs pada kurun waktu 2000-2004 diberikan insentif bagi 383.251 guru MI dan 415.131 guru MTs, serta 76.426 guru RA. Dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pada tahun 2003 telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan pemberian subsidi operasional untuk 13.853 SD inti, 1.061 SD terpencil, 1.240 imbal swadaya TK, 2.905 orang guru daerah terpencil, 103 unit TK/SD satu atap, dan 104 SD rujukan. Pada tahun 2004 akan direalisasikan pemberian subsidi bagi guru tidak tetap (negeri dan swasta) sebanyak 608 ribu orang, dan pemberian kelebihan jam hadir mengajar sebanyak 114,4 jam pelajaran. Selain itu telah dilaksanakan pemberian bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) di 276 lokasi MI dan 1.295 lokasi MTs. Pada tahun 2004 telah dikembangkan 2 buah lembaga pendidikan agama bertaraf internasional yang bekerjasama dengan Universitas Al-Azhar Cairo yaitu MI-MTs Al-Azhar Al-Syarif yang berlokasi di Jakarta. Berbagai upaya telah pula dilakukan untuk mencapai sasaran terwujudnya organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, terakunkan, dan meningkatnya partisipasi masyarakat serta terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat dengan mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah di setiap kabupaten/kota serta

pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah/Madrasah di seluruh SD dan MI serta SMP dan MTs. Sejak dirintis penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) yang memberikan wewenang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola institusinya terdapat lebih dari 3.000 sekolah jenjang SMP yang telah menerapkan MBS. Konsep tersebut dinilai memberikan dampak yang baik terhadap peningkatan mutu pendidikan. Pada tahun 2001 telah dimulai penyusunan konsep pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang kemudian diterbitkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Mengingat pembentukan lembaga tersebut bersifat sukarela, maka kegiatan sosialisasi terus digalakkan untuk memberikan pemahaman bagi semua stakeholder baik di tingkat pusat, daerah maupun masyarakat umum mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Sampai dengan semester 2 tahun ajaran 2002/2003 diperkirakan 60 persen sekolah/madrasah telah memiliki Komite Sekolah. ii.

Permasalahan dan Tantangan Permasalahan yang cukup mengemuka pada jenjang SD/MI adalah masih

tingginya jumlah putus sekolah dan jumlah mengulang kelas. Angka putus sekolah per tahun meningkat terus-menerus selama tiga tahun yaitu sebesar 2,58 persen dengan jumlah absolut siswa yang putus sekolah sebanyak 736,5 ribu pada tahun 2000/01, 2,67 persen pada tahun 2001/02 dengan jumlah absolut siswa yang putus sekolah sebanyak 766,7 ribu, dan pada tahun 2002/03 sebesar 2,94 persen dengan jumlah absolut siswa yang putus sekolah sebanyak 851,2 ribu. Dari data Susenas 2003 mengungkapkan bahwa sekitar 75% anak usia 7-18 tahun yang putus sekolah disebabkan oleh alasan ekonomi baik karena mereka tidak mampu membayar biaya sekolah maupun harus bekerja. Angka mengulang yang cukup tinggi menyebabkan berkurangnya kapasitas sekolah/madrasah untuk menambah jumlah siswa baru. Angka putus sekolah yang masih tinggi khususnya untuk kelas I s/d III SD/MI dapat berpengaruh terhadap bertambahnya penduduk buta aksara karena mereka belum sepenuhnya mampu mempertahankan kemampuan keaksaraannya. Namun, angka

mengulang kelas terus-menerus turun, pada tahun 2000/01 mencapai 5,91 persen atau sebanyak 1,68 juta siswa, kemudian menjadi 5,41 persen atau sebanyak 1,55 juta siswa pada tahun 2001/02, dan kemudian turun menjadi 3,79 persen atau sebanyak 1,10 juta siswa pada tahun 2002/03. Pada jenjang SMP/MTs meskipun angka mengulang kelas sudah sangat rendah yaitu 0,47 persen pada tahun ajaran 2000/01, 0,44 persen pada tahun ajaran 2001/02, dan 0,46 persen pada tahun ajaran 2002/03, namun angka putus sekolah masih sangat tinggi yaitu sebesar 3,53 persen dengan jumlah absolut sebanyak 332,0 ribu pada tahun 2000/01, 3,20 persen dengan jumlah absolut sebanyak 306,1 ribu pada tahun 2001/02, dan menjadi 2,84 persen dengan jumlah absolut sebanyak 277,1 ribu anak putus sekolah pada tahun 2002/03. Banyaknya siswa putus sekolah pada jenjang ini akan sangat menghambat penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Permasalahan lain yang masih dihadapi dalam program ini adalah masih belum maksimalnya angka melanjutkan dari SD/MI atau yang sederajat ke SMP/MTs atau yang sederajat. Apabila tidak seluruh lulusan SD/MI atau yang sederajat melanjutkan ke SMP/MTs atau yang sederajat, maka penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun akan lebih sulit untuk dicapai. Namun demikian masih terdapat pula tantangan yang dihadapi dalam pencapaian sasaran peningkatan akses dan pemerataan pendidikan. Faktor pertama adalah kemampuan ekonomi masyarakat. Data Susenas 2003 secara jelas mengungkapkan bahwa partisipasi pendidikan khususnya jenjang SMP/MTs diantara penduduk yang miskin masih jauh lebih rendah dibanding penduduk kaya. Opportunity cost keluarga miskin untuk menyekolahkan anak relatif jauh lebih besar dibanding keluarga kaya karena membantu orangtua bekerja dinilai memberikan manfaat yang lebih besar dibanding belajar di sekolah. Pada beberapa kelompok masyarakat faktor sosial budaya juga masih menjadi penghambat. Faktor ketiga adalah geografi yang menyebabkan wilayah-wilayah terpencil, pegunungan dan kepulauan menjadi wilayah tersulit untuk dijangkau pelayanan pendidikan. Dari sisi penduduk yang perlu dilayani pendidikannya, geografi yang sulit menyebabkan keengganan bagi mereka untuk bersekolah. Di sisi lain pembangunan fasilitas

pendidikan di wilayah tersebut menjadi lebih mahal dengan tidak ada jaminan pemanfaatannya. Faktor lain yang berpengaruh adalah keamanan. Berbagai konflik yang terjadi di Indonesia telah menurunkan kinerja pembangunan pendidikan dasar dan prasekolah. Konflik yang terjadi tidak hanya menyebabkan rusaknya berbagai fasilitas pendidikan tetapi juga menyebabkan ketakutan pada anak untuk pergi ke sekolah serta berkurangnya guru dan tenaga kependidikan lainnya di wilayah tersebut. Sulitnya pemenuhan jumlah guru terutama guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang disebabkan oleh zero growth policy merupakan faktor penghambat upaya peningkatan mutu pendidikan. Di samping itu sistem remunerasi guru yang dinilai masih belum cukup baik menjadikan profesi guru menjadi tidak cukup menarik bagi lulusan-lulusan terbaik perguruan tinggi untuk berkarir sebagai guru. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam usaha menyelesaikan permasalahan dan tantangan Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah akan dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti antara lain (1) menyusun sistem pembiayaan pendidikan yang berkeadilan pada jenjang pendidikan dasar dan prasekolah dengan berbasis pada jumlah siswa dengan mempertimbangkan antara lain kinerja pendidikan dasar dan prasekolah, kemampuan ekonomi masyarakat, kemampuan fiskal daerah, dan tingkat kesulitan geografi daerah; (2) menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi peserta didik di daerah terpencil dan/atau mengalami bencana alam dan bencana sosial seperti melalui SD Kecil, SD Satu Guru, SD Multi-kelas, SD-SMP satu atap SMP-MTs Terbuka, SMP-MTs Kelas Jauh/Guru Kunjung sesuai dengan kondisi dan situasi daerah serta penyediaan trauma konseling bagi siswa-siswa di daerah konflik; (3) menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak yang memiliki keunggulan dan yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran khususnya yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau intelektual; (4) melaksanakan penjaringan anak usia sekolah baik yang belum pernah sekolah maupun yang putus sekolah untuk masuk ke dalam sistem pendidikan; (5) menambah ruang kelas baru dan unit sekolah/madrasah baru

(termasuk melalui dana imbal swadaya) baik negeri maupun swasta termasuk penyediaan guru secara selektif terutama di daerah-daerah dengan jumlah penduduk usia jenjang pendidikan dasar dan prasekolah yang masih banyak belum tertampung; (6) melanjutkan program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu termasuk beasiswa untuk menarik anak usia jenjang pendidikan dasar yang berada di luar sistem sekolah baik yang belum bersekolah maupun yang putus sekolah dengan tetap memberi perhatian pada keadilan dan kesetaraan gender; (7) menata pelaksanaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan prasekolah yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional; (8) meningkatkan pelaksanaan manajemen pendidikan dasar dan prasekolah berbasis pada sekolah dan masyarakat, (9) meningkatkan jumlah, mutu dan kualifikasi guru melalui rekruitmen, pendidikan dan latihan sesuai kebutuhan dalam rangka meningkatkan kualitas proses belajar mengajar; (10) melakukan advokasi dan sosialisasi untuk meningkatkan

pemahaman

masyarakat

tentang

pentingnya

menyelesaikan

pendidikan sampai jenjang SMP/MTs; dan (11) meningkatkan peran serta masyarakat dalam membangun pendidikan dasar dan prasekolah. 2. Program Pendidikan Menengah a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan program pendidikan menengah adalah: (1) memperluas jangkauan dan daya

tampung sekolah menengah umum (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah (MA) bagi seluruh masyarakat; (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan kumuh perkotaan, daerah bermasalah dan masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan; (3) meningkatkan kualitas pendidikan menengah sebagai landasan bagi peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan kebutuhan dunia kerja; (4) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia, (5) meningkatkan keadilan dalam pembiayaan dengan dana publik, (6) meningkatkan efektivitas pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, (7) meningkatkan kinerja personel dan lembaga pendidikan, (8) meningkatkan partisipasi masyarakat untuk

mendukung program pendidikan, dan (9) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Sasaran yang akan dicapai program pembinaan pendidikan menengah adalah (1) meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA, SMK, dan MA; (2) meningkatnya daya tampung termasuk untuk lulusan SMP dan MTs sebagai hasil penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebanyak 5,6 juta siswa; (3) mewujudkan organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, terakunkan (accountable), serta mendorong partisipasi masyarakat; dan (4) terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat (school/community based management) dengan mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah di setiap kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di setiap sekolah. Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian Umum. b.

Pelaksanaan Program i.

Hasil yang Dicapai Berdasarkan berbagai tujuan dan sasaran tersebut di atas, kegiatan-kegiatan

yang dilakukan selama tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 telah berhasil meningkatkan APK SLTA dari 41,26 persen di tahun ajaran 1999/00 menjadi 42,78 persen di tahun ajaran 2000/01, 44,73 persen di tahun ajaran 2001/02, 44,73 persen pada tahun ajaran 2002/03, dan meningkat menjadi 48,79 persen pada tahun ajaran 2003/04. Pencapaian tersebut lebih tinggi dari sasaran Propenas tahun 2004 yaitu sebesar 42,30 persen. Peningkatan APK terjadi pada semua jalur pendidikan. APK SMA meningkat dari 22,55 persen pada tahun 1999/00 menjadi 22,94 persen pada tahun 2000/01, 23,67 persen pada tahun 2001/02, 24,68 persen pada tahun 2002/03, dan meningkat menjadi 25,93 persen pada tahun 2003/04. Sementara APK SMK meningkat dari 14.65 persen pada tahun 1999/00 menjadi 15,10 persen pada tahun 2000/01, 15,87 persen pada tahun 2001/02, 16,48 persen pada tahun 2002/03, dan meningkat menjadi 17,31 persen pada tahun 2003/04. Sedangkan APK MA mengalami peningkatan yang relatif kecil, yaitu meningkat dari 4,04 persen pada

tahun 1999/00 menjadi 4,73 persen pada tahun 2000/01, 5,17 persen pada tahun 2001/02, serta menjadi 5,48 persen pada tahun 2002/03, dan meningkat menjadi 5,52 persen pada tahun 2003/04. Pencapaian hasil seperti tersebut di atas didukung oleh berbagai kegiatan pokok seperti antara lain penyediaan akses memperoleh pendidikan menengah khususnya untuk menampung luapan lulusan SMP-MTs sebagai hasil percepatan dari Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Kegiatan pokok lainnya adalah pemantapan sistem pengelolaan pendidikan serta mutu dan relevansi pendidikan. Secara absolut jumlah siswa SLTA meningkat dari 5,30 juta pada tahun 1999/00 menjadi 5,48 juta pada tahun 2000/01, 5,72 juta pada tahun 2001/02, 5,94 juta pada tahun 2002/03, dan menjadi 6,195 juta pada tahun 2003/04. Upaya peningkatan akses dan pemerataan pendidikan pada jenjang SMA sampai dengan tahun 2004 dilakukan melalui antara lain pembangunan 1.369 unit gedung, rehabilitasi dan pembangunan 2.012 ruang MA, imbal swadaya pembangunan 4.487 UGB, pembangunan 786 RKB, 872 ruang teori, 612 ruang praktek, 235 ruang perpustakaan dan 124 ruang laboratorium. Selain itu juga dilakukan rehabilitasi 8.135 ruang kelas SMA Negeri, pembangunan 802 ruang perpustakaan SMAN, pengadaan 2.064 unit alat pendidikan, serta pengadaan 6.498.720 eksemplar buku SMA dan 4.305.218 eksemplar buku MA. Pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), peningkatan daya tampung dilakukan melalui pembangunan 94 unit gedung SMK, pembangunan 3.582 RKB SMK, rehabilitasi 125 ruang kelas SMK Negeri, pengadaan 957.600 eksemplar buku SMK, pengadaan guru bantu sementara untuk jenjang SMA dan SMK sebanyak 24.418 orang guru dan pemberian subsidi untuk 41.234 sekolah SMK. Upaya meningkatkan akses juga dilakukan dengan pemberian beasiswa melalui program bakat prestasi bagi 384.014 siswa SMA dan 183.000 siswa MA dan partisipasi lembaga swasta bagi 3.000 siswa. Melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) juga telah dilakukan pemberian beasiswa dan dana bantuan operasional (DBO) untuk SMA, SMK, MA dan sekolah menengah luar biasa (SMLB) negeri dan swasta.

Meskipun demikian, berdasarkan data Susenas tahun 2003 terungkap bahwa pada jenjang SLTA masih terdapat ketimpangan partisipasi pendidikan yang signifikan antarkelompok masyarakat seperti dilihat dari wilayah tempat tinggal (perdesaan vs. perkotaan), kondisi ekonomi keluarga, dan jenis kelamin. APK SLTA di perkotaan (70,63 persen) dua kali lipat lebih tinggi dibanding perdesaan (35,82 persen). Selanjutnya, partisipasi pendidikan penduduk laki-laki dan perempuan juga menunjukkan perbedaan. Pada tahun 2003 APK penduduk laki-laki mencapai 51,32 persen dan APK penduduk perempuan adalah sebesar 50,43 persen. Meskipun perbedaan persentase tersebut tampak tidak terlalu besar, apabila dianalisis lebih lanjut terungkap bahwa pada jenjang pendidikan menengah terutama pendidikan kejuruan terlihat adanya gejala pemisahan gender (gender segregation) dalam jurusan atau program studi sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender secara sukarela (voluntarily discrimination) ke dalam bidang keahlian. Pemisahan jurusan bagi

anak

perempuan

lebih

dikaitkan

dengan

fungsi

domestik

atau

kerumahtanggaan, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperan dalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih keahliankeahlian ilmu keras, teknologi dan industri. Sebagai contoh pada tahun 2001 siswa perempuan yang bersekolah di SMK program studi teknologi industri baru mencapai 18,46 persen dan program studi pertanian dan kehutanan 29,74 persen. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan menengah telah dilakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi guru dan pengelola sekolah serta pemberian block grant. Pemberian bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) bagi 870 SMA pada tahun 2001 dan 610 SMA pada tahun 2002 serta pada tahun 2003 telah dilaksanakan BOMM untuk MA di 382 lokasi, pemberian subsidi bagi 142 SMK (untuk

bangunan,

perabot,

dan

peralatan),

pengembangan

SMK

model,

pengembangan sistem informasi manajemen (SIM) dan melakukan rekayasa ulang (reengineering) SMK, pembinaan dan pengembangan 500 SMK standar nasional dan 100 SMK standar internasional pada tahun 2001 yang dilanjutkan dengan pemberian subsidi fasilitas bagi 327 SMK nasional dan internasional pada tahun 2002. Tahun 2003 telah dibangun SMK berstandar internasional 100 sekolah, peningkatan pengelolaan manajemen pendidikan 40 sekolah, Diklat teknis

fungsional untuk guru 30.985 orang. Pada tahun yang sama telah disubsidi SMK 41.234 sekolah, uji kompetisi Test of English for International Communication (TOEIC) 1500 siswa, SMK berstandar nasional 500 sekolah. Pada tahun 2004 akan diberikan BOMM untuk MA di 392 lokasi. Penanggulangan pendidikan di daerah kerusuhan dan bencana alam; pengadaan peralatan pendidikan dan buku pelajaran; serta penyelenggaraan Olimpiade Fisika. Melalui program PKPS-BBM sebagai akibat karena kesulitan ekonomi telah dilakukan pemberian Bantuan Khusus Murid (BKM) yang diprogramkan dengan tujuan utama agar siswa SLTA tidak mengalami putus sekolah. Selain itu, telah dilakukan pula pemberian insentif bagi 18.000 guru tidak tetap SLTA negeri, dan 164.084 guru SLTA Swasta disamping pemberian insentif kelebihan jam mengajar bagi guru. Dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dilakukan kegiatankegiatan penyusunan pedoman umum standar operasional prosedur pengembangan silabus dan pedoman teknis untuk 8 mata pelajaran, penyusunan pola induk sistem pengujian/penilaian KBM dan sistem evaluasi penilaian 8 mata pelajaran, penyusunan model-model penyelenggaraan pendidikan di SMA/MA, studi akreditasi kelembagaan dan kinerja sekolah. Selain itu dilaksanakan studi standarisasi peralatan dan bahan ajar SMA, model pengembangan sekolah termasuk kerjasama SMA/MA dengan SMK dalam hal pelaksanaan pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (MPMBS), pengkajian tentang pelaksanaan akreditasi guru, sekolah, dan standar mutu sarana pendidikan, pelaksanaan needs assessment (kebutuhan pelatihan) bagi guru, serta pengadaan buku dan peralatan pendidikan. Berbagai upaya telah pula dilakukan untuk mencapai sasaran terwujudnya organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, terakunkan, dan meningkatnya partisipasi masyarakat serta terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat dengan memberdayakan atau membentuk Komite Sekolah di seluruh SMA, SMK dan MA. Sampai dengan semester 2 tahun ajaran 2002/2003 diperkirakan 41,7 persen sekolah/madrasah aliyah telah memiliki komite sekolah. Di samping itu, walaupun jumlah siswa SMK meningkat, jenis dan mutu pendidikan kejuruan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pembangunan.

Sehubungan dengan masalah tersebut, sejak tahun 2000 dilakukan reposisi pendidikan kejuruan dengan kegiatan antara lain sosialisasi kebijakan dan reposisi pendidikan kejuruan menjelang 2020 dalam kerangka otonomi daerah, pemberian subsidi jaringan internet bagi 300 SMK dan pengembangan unit produksi sekolah pada 150 SMK negeri dan swasta. Selain itu ditingkatkan upaya pemanfaatan potensi lingkungan (out sourcing) untuk kemandirian sekolah, penerapan model pembelajaran berbasis kompetensi (competency based training), dan pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi (competency based curriculum). Kegiatan tersebut didukung dengan penambahan ruang teori, praktik, dan penunjang, pengadaan buku pelajaran dan bacaan, penyediaan peralatan pendidikan yang sesuai, peningkatan kualitas tenaga kependidikan, dan peningkatan sistem evaluasi hasil belajar siswa. Dalam rangka pengembangan madrasah berbasis iptek telah dilakukan pembinaan terhadap 32 madrasah (MA Insan Cendekia Serpong, MA Insan Cendekia Gorontalo dan 30 MA yang ada di Pondok Pesantren). ii.

Permasalahan dan Tantangan Kemampuan ekonomi penduduk merupakan permasalahan yang sangat

dominan dalam peningkatan kinerja pendidikan menengah. Mengingat penduduk usia 15 tahun secara hukum sudah diperkenankan untuk bekerja, maka pertentangan antara bekerja dan bersekolah pada jenjang SLTA bagi penduduk miskin menjadi lebih besar. Masih rendahnya animo masyarakat untuk memperoleh pendidikan menengah sebagai akibat belum adanya kejelasan masa depan lulusannya untuk dapat bekerja dengan renumerasi yang sesuai juga merupakan faktor yang menghambat kinerja pendidikan menengah. Di samping itu faktor sosial budaya juga sangat menghambat kinerja pendidikan menengah terutama dalam upaya menurunkan kesenjangan gender. Stereotipi antara laki-laki dan perempuan sangat menyulitkan upaya menghilangkan terjadinya pemisahan gender secara sukarela. Faktor lainnya adalah belum optimalnya kerjasama antara dunia pendidikan dan dunia usaha dan industri yang menyebabkan relevansi pendidikan belum dapat dicapai sepenuhnya atau dengan kata lain demand dan supply belum sepenuhnya bertemu.

Seperti halnya pada jenjang pendidikan dasar dan prasekolah, sulitnya pemenuhan jumlah guru terutama guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang disebabkan oleh zero growth policy merupakan faktor penghambat upaya peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah. Di samping itu sistem remunerasi guru yang dinilai masih belum cukup baik menjadikan profesi guru menjadi tidak cukup menarik bagi lulusan-lulusan terbaik perguruan tinggi untuk berkarir sebagai guru. Masalah tersebut lebih mengemuka pada jenjang pendidikan menengah khususnya pendidikan kejuruan karena dibutuhkan guru yang memiliki keterampilan praktis. Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, maka tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan angka partisipasi agar sejajar dengan negara Asia lainnya, menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa sains dan teknologi, memberdayakan lembaga pendidikan menengah sebagai pusat pembudayaan nilai sikap dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam usaha menyelesaikan permasalahan dan tantangan Program Pendidikan Menengah akan dilakukan berbagai kegiatan seperti antara lain (1) menyusun sistem pembiayaan pendidikan yang berkeadilan pada jenjang pendidikan menengah dengan berbasis pada jumlah siswa dan mempertimbangkan antara lain kinerja pendidikan menengah, kemampuan ekonomi masyarakat, kemampuan fiskal daerah, dan tingkat kesulitan geografi daerah; (2) menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi peserta didik di daerah terpencil dan/atau mengalami bencana alam dan bencana sosial sesuai dengan kondisi dan situasi daerah serta penyediaan trauma konseling bagi siswa-siswa di daerah konflik; (3) menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak yang memiliki keunggulan dan yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran khususnya yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau intelektual; (4) menambah ruang kelas baru dan unit sekolah/madrasah baru (termasuk melalui dana imbal swadaya) baik negeri maupun swasta termasuk

penyediaan guru secara selektif terutama di daerah-daerah dengan jumlah penduduk usia jenjang pendidikan menengah yang masih banyak belum tertampung; (5) melanjutkan program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu termasuk beasiswa dengan tetap memberi perhatian pada keadilan dan kesetaraan gender; (6) menata pelaksanaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan menengah yang disesuaikan

dengan

kebutuhan

pembangunan

nasional;

(7)

melaksanakan

reengineering dan menyelenggarakan program studi khusus untuk pendidikan kejuruan yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah setempat; (8) memfasilitasi sekolah/madrasah untuk melaksanakan pendidikan kecakapan hidup termasuk keterampilan vokasional bagi siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi; (9) meningkatkan kerjasama dengan dunia usaha dan industri dalam rangka meningkatkan relevansi pendidikan; (10) meningkatkan pelaksanaan manajemen pendidikan menengah berbasis pada sekolah dan masyarakat, (11) meningkatkan jumlah, mutu dan kualifikasi guru melalui rekruitmen, pendidikan dan latihan sesuai kebutuhan dalam rangka meningkatkan kualitas proses belajar mengajar; (12) meningkatkan peran serta masyarakat dalam membangun pendidikan menengah. 3. Program Pendidikan Tinggi a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan program pendidikan tinggi adalah: (1) melakukan penataan sistem

pendidikan tinggi; (2) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi dengan dunia kerja; dan (3) meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi, khususnya bagi siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu. Sasaran yang akan dicapai adalah: (1) mewujudkan otonomi pengelolaan enam perguruan tinggi negeri Badan Hukum Milik Negara (BHMN) – yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Sumatera Utara (USU), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan merintis penerapannya di beberapa perguruan tinggi negeri lainnya; (2) meningkatkan jumlah lulusan menjadi 912.912 mahasiswa, (3) meningkatkan angka

partisipasi kasar (APK) menjadi 14,25 persen dan (4) pada tahun 2004 jumlah mahasiswa diproyeksikan menjadi 3,55 juta orang. Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian Umum.

b.

Pelaksanaan i.

Hasil yang Dicapai

Berdasarkan sasaran Propenas 2000-2004, pada tahun 2000 telah ditetapkan 4 Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN ) melalui PP No. 152/2000 untuk Universitas Indonesia, PP No. 153/2000 untuk Universitas Gadjah Mada, PP 154/2000 untuk Institut Pertanian Bogor dan PP 155/2000 untuk Institut Teknologi Bandung. Sedangkan pada tahun 2003, Universitas Sumatera Utara (USU) ditetapkan sebagai BHMN melalui PP No. 56 dan pada tahun 2004 melalui PP No. 6, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ditetapkan sebagai BHMN. Secara bertahap masing-masing perguruan tinggi BHMN telah melaksanakan ketentuan dalam PP tersebut, seperti dalam pemilihan rektor, pembentukan Majelis Wali Amanat, serta dalam pengaturan organisasi dan penataan administrasi akademik. Dalam kurun waktu lima tahun yaitu 2000 sampai dengan 2004, angka partisipasi pendidikan (APK) meningkat dari 12,40 persen pada tahun 1999/2000 menjadi 14,25 persen pada tahun 2003/2004 atau masih dibawah sasaran propenas yaitu 15,00 persen. Meskipun demikian kapasitas tampung mahasiswa baru dan pemberian beasiswa semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam program ini selama kurun waktu tahun 2000-2004 untuk perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan melalui antara lain: pemberian beasiswa yang secara keseluruhan berjumlah 1.460.000 beasiswa meliputi 333.997 beasiswa PPA (peningkatan prestasi akademik), 647.233 beasiswa BBM (bantuan belajar mahasiswa), 478.770 beasiswa akibat dampak kerusuhan dan

131.219 beasiswa lainnya. Sedangkan untuk mahasiswa PTA jumlah penerima beasiswa sebanyak 33.521 orang. Di samping itu juga dilakukan penerapan SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) secara proporsional terutama pada perguruan tinggi dengan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Jumlah perguruan tinggi secara keseluruhan mengalami peningkatan sejalan dengan kenaikan jumlah mahasiswa. Kalau pada tahun 2000 jumlah PTN sebanyak 77 unit dan jumlah PTS sebanyak 1.748 unit dengan jumlah mahasiswa sebanyak 3.199.174 orang. Jumlah mahasiswa tersebut termasuk mahasiswa PTA baik yang ada di IAIN maupun STAIN. Pada tahun 2004 jumlah PTN menjadi sebanyak 81 unit dan PTS sebanyak 2.399 unit dengan jumlah mahasiswa sebanyak 3.671.759 orang. Sementara itu jumlah IAIN dan STAIN pada tahun 2000 berjumlah masingmasing sebanyak 14 unit dan 32 unit. Pada tahun 2002 jumlah tersebut mengalami perubahan yaitu menjadi 13 IAIN, 32 STAIN dan 1 UIN, dan pada tahun 2004 menjadi 12 IAIN, 31 STAIN dan 3 UIN.

Pembangunan sarana dan prasarana juga dilakukan dalam kurun waktu yang sama, antara lain melalui pembangunan ruang kuliah 180.735 m2, ruang laboratorium 267.120 m2, ruang perpustakaan 334.941 m2, ruang kantor/administrasi 15.507 m2 dan ruang penunjang 866.682 m2. Di samping itu

juga

dilakukan

pengadaan

peralatan

lab/pendidikan

13.582

unit/paket/buah, pengadaan buku 964.396 buah dan 19.727 judul/ paket, pengadaan jurnal 181.869 buah dan 1.305 judul/paket, pengadaan bahan kuliah/praktek kerja 327 lembaga serta perbaikan peralatan laboratorium pendidikan sebanyak 219.800 unit/paket. Peningkatan mutu dosen dilakukan antara lain melalui pendidikan lanjutan yang berorientasi pada bidang keahlian dan pengembangan profesi. Sedangkan untuk peningkatan kualifikasi dosen dilakukan melalui perluasan kesempatan mengikuti pendidikan pascasarjana, baik di dalam maupun di luar negeri. Jumlah dosen yang mengikuti pendidikan pasca sarjana S2 dalam negeri untuk PT umum sebanyak 30.434 orang dan 393 orang di PTA, dosen yang mengikuti pendidikan S3 dalam negeri sebanyak 11.500 orang di PT

umum dan 32 orang dosen di PTAI, S2 luar negeri sebanyak 1.004 orang, dan S3 luar negeri sebanyak 1.344 orang. Untuk pendidikan lanjutan yang berorientasi pada bidang keahlian dilakukan melalui pendidikan D-IV sebanyak

818

orang

dosen.

Di

samping

itu

juga

dilakukan

pelatihan/penataran/magang tenaga dosen sebanyak 7.685 orang, serta workshop/seminar/lokakarya tenaga dosen sebanyak 6.242 orang. Peningkatan kualifikasi dosen tersebut membawa dampak pada proporsi jumlah dosen yang berkualifikasi S2 dan S3 terhadap jumlah dosen secara keseluruhan. Pada tahun 2001 proporsi jumlah dosen yang berkualifikasi S2 dan S3 adalah sebesar 50,13 persen di PTN dan 32,76 persen di PTS. Proporsi ini mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2002 proporsi dosen yang berkualifikasi S2/S3 di PTN menjadi 52,58 persen dan di PTS mencapai 34,87persen dan tahun 2003 mencapai 54,96 persen pada PTN dan 36,99 persen pada PTS. Jumlah dan mutu penelitian ditingkatkan melalui peningkatan kualitas tenaga peneliti, pemantapan sistem kompetitif berjenjang, seleksi proposal penelitian, peningkatan penguasaan pengembangan dan pemanfaatan iptek untuk meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal, serta mengupayakan hasil penelitian yang memenuhi stándar agar dapat memperoleh hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Terkait dengan upaya peningkatan kesesuaian program studi di PT terhadap tuntutan kerja dan kebutuhan pembangunan nasional, pada tahun 2001 dilakukan antara lain perubahan status 10 IKIP Negeri menjadi universitas negeri dan menambah proporsi program studi sains (basic sciences) dan teknologi (engineering sciences). Pada tahun 2002 telah dilakukan perubahan 1 IAIN menjadi Universitas Islam Negeri yaitu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta sedangkan pada tahun 2004 telah dilakukan perubahan STAIN Malang menjadi Universitas Islam Negeri Malang dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penataan program studi dilakukan agar terjadi keselarasan antara program studi sains dan keteknikan dengan

program studi sosial dan humaniora. Sehubungan dengan hal tersebut dilakukan penataan dan pengembangan program studi, peningkatan daya tampung bidang sains dan teknologi, pengembangan kerja sama dengan industri, pemantapan kurikulum, pembukaan dan perluasan bidang studi unggulan, serta pemantapan pengelolaan program program studi baru. Pada tahun 2000 proporsi program studi dan keteknikan di PTN mencapai 47,9 persen atau 1.116 program studi dari 2.330 program studi yang ada, pada tahun 2004 telah meningkat menjadi 55,15 persen atau 1.623 program studi dari 2.943 program studi yang ada. Proporsi ini berbeda untuk PTS. Untuk PTS, pada tahun 2001 proporsi program studi sains dan keteknikan adalah 29,67 persen atau 2.246 program studi dari 7.571 program studi yang ada, sedangkan pada tahun 2004 proporsi ini tidak mengalami perubahan yaitu 29,67 persen dengan jumlah program studi sebanyak 3.437 dari 9.248 program studi yang ada. Sulitnya meningkatkan proporsi bidang studi sains dan teknologi di PTS adalah karena relatif tingginya biaya investasi dibandingkan bidang studi sosial dan humaniora. Biaya investasi yang tinggi tersebut akan berpengaruh pada meningkatnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa. Penataan sistem dan kelembagaan akreditasi menjadi suatu lembaga yang independen dilakukan dengan meningkatkan kualitas pengelolaan akreditasi program studi yang dilaksanakan secara teratur, efisien dan efektif melalui peningkatan kinerja proses akreditasi dan perluasan jangkauan pelaksanaan program studi, peningkatan kesiapan PT yang membutuhkan akreditasi dan tindak lanjut hasil akreditasi. Pada tahun 2000, BAN-PT melakukan akreditasi sebanyak 1.539 program studi S-1, 70 program studi Diploma dan 275 program studi Pasca Sarjana. Sedangkan pada tahun 2003 akan dilakukan akreditasi bagi 1.746 program studi S-1, 61 program studi Diploma dan 348 program studi Pasca Sarjana. Upaya memantapkan penerapan paradigma baru pendidikan tinggi dilakukan antara lain melalui pemberian kewenangan yang lebih luas kepada perguruan tinggi dalam merencanakan dan mengelola sumber daya yang dimiliki secara bertanggung jawab dan terkendali (accountability). Hal tersebut dilaksanakan dengan melakukan penerapan mekanisme perencanaan program dan penganggaran terpadu melalui mekanisme block grant berdasarkan kompetisi berjenjang yang mengacu pada

kualitas (merit based tiered competition) yang didahului dengan evaluasi diri secara berkelanjutan dengan melibatkan seluruh komponen perguruan tinggi terutama unit akademik dasar dalam proses perencanaan. Dalam kurun waktu 2000-2004, dilaksanakan pemberian block grant untuk 1.376 program studi S1 dan 457 program studi politeknik/diploma. Di samping itu juga diberikan bantuan untuk University Wide Program (UWP)/ Institutional Support System (ISS) sebanyak 234 unit. Dalam rangka memanfaatkan sumber daya pendidikan secara terpadu dan efisien untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dilakukan kerjasama antar perguruan tinggi; antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah; dan antara perguruan tinggi dengan dengan lembaga lain. Pada tahun 2000 telah dilakukan 139 kerja sama antar perguruan tinggi, 76 kerjasama antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah dan 76 kerjasama antara perguruan tinggi dengan lembaga lain. Sedangkan pada tahun 2003 dilakukan 140 kerjasama antar perguruan tinggi, 82 kerjasama antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah dan 85 kerjasama antara perguruan tinggi dengan lembaga lain. Sementara itu, untuk perguruan tinggi agama telah dilakukan 146 kerjasama, baik dengan perguruan tinggi, pemerintah daerah maupun dengan lembaga lain. Berbagai upaya tersebut, berhasil meningkatkan efisiensi internal perguruan tinggi yang antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya proporsi mahasiswa yang menyelesaikan program S-1 dalam waktu 5 tahun, pada tahun 2001 sebesar 57,6 persen dan mahasiswa yang menyelesaikan program Diploma dalam waktu 3 tahun mencapai 49,7 persen; pada tahun 2002 meningkat menjadi 68,75 persen untuk program S1 dan 63,39 persen untuk program diploma dan pada tahun 2003 menjadi 72,50 persen untuk program S1 dan 68,50 persen untuk program diploma termasuk politeknik. Selain itu terjadi pula peningkatan produktivitas perguruan tinggi yang ditunjukkan melalui angka efisiensi edukasi atau perbandingan jumlah lulusan dengan jumlah mahasiswa terdaftar (graduates to enrollment ratio). Pada tahun 2001, angka efisiensi untuk program S1 mencapai 57,6 persen dan program diploma mencapai 49,70 persen. Pada tahun 2002, angka efisiensi ini mengalami peningkatan

sebesar 11,15 persen yaitu menjadi 68,75 persen. Angka efisiensi edukasi untuk program diploma/politeknik sebesar 63,39 persn. Sedangkan pada tahun 2003 menjadi 72,50 persen untuk program S1 dan 68,50 persen untuk program diploma. ii.

Permasalahan dan Tantangan Pembangunan pendidikan tinggi dituntut untuk meningkatkan mutu pendidikan

dan tetap mempertahankan terlaksananya proses belajar mengajar dan kinerja yang sesuai dengan tuntutan pembangunan. Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Salah satu kendala yang dihadapi adalah masih lemahnya manajemen pendidikan tinggi, belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni di kalangan akademisi dan belum optimalnya pelaksanaan otonomi perguruan tinggi termasuk pengelolaan PT BHMN (UGM, UI, ITB, IPB, USU dan UPI) yang masih dalam tahap transisi karena PT tersebut belum diberi keleluasaan penuh dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Di samping itu kemampuan tenaga pengelola pendidikan belum bisa mengikuti peningkatan kemampuan tenaga akademik sehingga kualitas pelayanan pendidikan belum dapat dilakukan secara optimal. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi juga telah dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisis terungkap bahwa mutu lulusan perguruan tinggi masih rendah sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dengan masa tunggu untuk bekerja (job seeking period) yang masih cukup lama. Terbatasnya ketersediaan lapangan kerja berpengaruh pada masih rendahnya penyerapan lulusan perguruan tinggi. Praktik-praktik rekruitmen tenaga kerja yang memprioritaskan tenaga kerja berpengalaman menyebabkan lulusan baru (fresh graduate) memiliki peluang yang lebih rendah dalam memperoleh pekerjaan.

Faktor kemampuan ekonomi masyarakat merupakan faktor yang sangat dominan terhadap rendahnya partisipasi pendidikan tinggi. Biaya pendidikan tinggi yang mahal menghambat penduduk ekonomi menengah ke bawah untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Selanjutnya faktor sosial budaya sangat menghambat kinerja pendidikan tinggi terutama dalam upaya

menurunkan kesenjangan gender. Stereotipi antara laki-laki dan perempuan sangat menyulitkan upaya menghilangkan terjadinya pemisahan gender secara sukarela. Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, maka tantangan yang masih

dihadapi

dalam

penyelenggaraaan

pendidikan

tinggi

adalah

kesenjangan mutu sumber daya manusia antarperguruan tinggi yang diakibatkan oleh perbedaan kebijakan para pimpinan PT, arus globalisasi terutama dalam perkembangan teknologi informasi, dan penataan sistem manajemen perguruan tinggi. iii.

Tindak Lanjut Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam usaha menyelesaikan permasalahan

dan tantangan Program Pendidikan Tinggi akan dilakukan berbagai kegiatan antara lain: (1) menyiapkan naskah akademik dalam rangka penyusunan RUU perguruan tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan; (2) memantapkan penerapan paradigma baru pendidikan tinggi melalui aktualisasi asas otonomi, akreditasi, akuntabilitas, evaluasi diri dan kualitas; (3) melakukan penataan organisasi dan pengembangan sistem informasi manajemen, serta pengkajian perundang-undangan perguruan tinggi; (4) meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem akreditasi program studi untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi; (5) menerapkan mekanisme perencanaan program dan penganggaran terpadu melalui mekanisme block grant berdasarkan kompetisi berjenjang; (6) melakukan penyempurnaan mekanisme dan sistem evaluasi diri dan sosialisasi pentingnya evaluasi diri sebagai dasar (“entry point”) dalam perencanaan pengembangan perguruan tinggi; dan (7) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pendidikan secara terpadu dan efisien untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sementara itu untuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi telah dilakukan beberapa kegiatan pokok antara lain: (1) meningkatkan proporsi dosen yang berpendidikan pasca sarjana; (2) meningkatkan penyelenggaraan program pasca

sarjana dalam hal pengelolaan dan daya tampung; (3) meningkatkan mutu dan kapasitas program S-1 dan diploma; (4) mengadakan sarana dan prasarana penunjang pendidikan; (5) meningkatkan jumlah dan mutu penelitian melalui peningkatan kualitas tenaga peneliti dan pemantapan sistem kompetitif berjenjang; (6) mendorong

kerjasama

penelitian dan pengembangan hasil

penelitian

antarperguruan tinggi, antarperguruan tinggi dan lembaga penelitian/dunia usaha baik nasional maupun internasional, khususnya untuk mendukung sumber daya lokal; (7) memberdayakan stakeholder pendidikan tinggi dalam mendukung penyelenggaraan dan evaluasi kualitas pendidikan tinggi; (8) meningkatkan kegiatan pengabdian pada masyarakat melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna untuk kemaslahatan masyarakat; (9) meningkatkan kualitas kegiatan kemahasiswaan dan meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam kegiatan ekstra kurikuler; dan (10) meningkatkan kerja antara lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), sekolah dan instansi terkait lainnya sebagai upaya penyegaran pengalaman mengajar dan peningkatan kualitas proses pembelajaran. Dalam rangka meningkatkan perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan tinggi telah dilakukan upaya antara lain: (1) meningkatkan daya tampung terutama untuk program studi yang menunjang kemajuan ekonomi, penguasaan sains dan teknologi, peningkatan kualitas hidup serta mendorong peran PT swasta; (2) meningkatkan pelaksanaan sistem belajar jarak jauh; (3) melaksanakan pembukaan program studi baru program S-1 dan program diploma secara terkendali, terutama bidang sains dan teknologi, dan peningkatan penyebaran program studi prioritas, sehingga mencerminkan keseimbangan geografis dan kawasan pertumbuhan ekonomi terpadu; (4) meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan proses pembelajaran agar mahasiswa dapat menyelesaikan studi tepat waktu dengan tidak mengurangi kualitas lulusan PT; (5) melanjutkan pemberian beasiswa prestasi dan beasiswa bantuan belajar kepada mahasiswa yang kurang mampu, serta bantuan lainnya bagi mahasiswa yang terkena dampak kerusuhan dan bencana alam; dan (6) meningkatkan pemerataan kapasitas pendidikan tinggi secara geografis untuk mendukung pembangunan daerah dan memberikan kesempatan bagi kelompok

masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk kelompok masyarakat dari daerah yang bermasalah. 4. Program Pendidikan Luar Sekolah a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program pendidikan luar sekolah (PLS) ditujukan untuk menyediakan pelayanan

pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal dan putus sekolah untuk dapat mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan ketrampilan, potensi pribadi dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Selain itu program PLS diarahkan pula untuk memberikan pengetahuan dasar dan keterampilan berusaha secara profesional sehingga warga belajar mampu mewujudkan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan anggota keluarganya.

Sasaran yang direncanakan untuk dicapai Program Pendidikan Luar Sekolah adalah (1) menurunkan angka buta aksara latin, angka buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar pada penduduk usia 10-44 tahun, (2) menyediakan pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal termasuk anak usia dini, serta (3) pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan keterampilan dan kemampuan kewirausahaan. Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian Umum. b.

Pelaksanaan i.

Hasil yang Dicapai Peningkatan partisipasi pendidikan melalui pendidikan luar sekolah telah

meningkatkan proporsi penduduk melek aksara. Data Susenas tahun 2003 menunjukkan bahwa penduduk usia 15 tahun keatas yang melek aksara sudah mencapai 89,79 persen. Lebih lanjut terungkap bahwa angka melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas terjadi keragaman antarperdesaan dan perkotaan, dan antarkelompok laki dan perempuan. Angka melek aksara di perdesaan mencapai

86,20 persen atau masih jauh lebih rendah dari perkotaan yang sudah mencapai 94,51 persen. Berbagai kegiatan dilakukan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang tidak atau belum sempat mengikuti pendidikan persekolahan. Selama kurun waktu 2000 sampai dengan 2004 telah dilakukan pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang tidak atau belum sempat mengikuti pendidikan formal melalui keaksaraan fungsional, Kejar Paket A Setara SD, Paket B Setara SMP dan Paket C Setara SMA serta pemberian beasiswa bagi peserta magang/kursus. Pada tahun 2000 jumlah warga belajar yang mengikuti Keaksaraan Fungsional sebanyak 12.900 orang, Kejar Paket A sebanyak 50.128 orang, dan Paket B sebanyak 190.276 orang. Jumlah warga belajar yang dijangkau setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 kegiatan Keaksaraan Fungsional menjangkau 150.000 orang, Kejar paket A sebanyak 64.900 orang, Paket B sebanyak 290.800 orang, dan Paket C sebanyak 14.800 orang. Sementara itu kegiatan kelompok belajar usaha (KBU) bagi warga belajar juga memberikan dampak positif dalam upaya penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Kegiatan tersebut pada tahun 2003 akan menjangkau 23.200 orang di Kelompok Belajar Usaha. Selain itu juga dilakukan pembinaan 30 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan taman bacaan masyarakat (TBM) 200 lokasi. Untuk menunjang kegiatan tersebut dilakukan pemberdayaan tenaga kependidikan melalui diklat teknis/fungsional dan peningkatan kompetensi bagi 15.948 orang serta pembinaan tenaga lapangan dikmas (TLD) 5.163 orang, Upaya untuk meningkatkan mutu tenaga pengelola pendidikan luar sekolah juga telah dilakukan. Hal ini mengingat bahwa berdasarkan hasil identifikasi hampir 70 persen tenaga pengelola PLS di tingkat kabupaten/kota dan provinsi adalah pegawai baru yang sebagian besar belum memahami tentang substansi PLS. Untuk menunjang keberhasilan program PLS dan untuk menyatukan persepsi tentang pentingnya PLS dalam mencerdaskan bangsa, para pengelola tersebut akan diberikan orientasi yang berkaitan dengan substansi program PLS yakni dalam hal merencanakan, memprogramkan dan mengevaluasi program-program PLS di wilayah kerjanya.

Untuk mendukung kegiatan tersebut, pada tahun 2001, 2002 dan 2003 telah dilakukan peningkatkan kemampuan fungsional bagi pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) masing-masing sebanyak 1.157 orang, 2.298 orang dan 2.148 orang. Pada tahun 2004 kegiatan serupa dilakukan melalui 30 lembaga PKBM. Sementara itu untuk kelancaran pelaksanaan berbagai kegiatan pendidikan masyarakat juga dilakukan rekruitmen Tenaga Lapangan Dikmas (TLD). Pada tahun 2001 telah direkrut sebanyak 2.874 orang, tahun 2002 sebanyak 2.379 orang, dan tahun 2003 sebanyak 4.725 orang. Di samping itu dilakukan pula pembinaan tutor dan pelatihan bagi penilik PLS Melalui Program Pendidikan Luar Sekolah dilakukan pula pengembangan anak usia dini (PAUD) dan telah berhasil merumuskan berbagai kebijakan awal serta mensosialisasikannya kepada pihak-pihak yang terkait. Program ini telah menjangkau 12 kabupaten/kota pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 16 kabupaten/kota pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 telah diperluas menjadi 85 kabupaten/kota. Pendidikan bagi anak dini usia telah mendapat perhatian besar karena peranannya dalam mempersiapkan anak untuk memasuki bangku sekolah yang lebih lanjut berdampak pada meningkatkan kinerja pembangunan pendidikan secara keseluruhan. Untuk mendukung kegiatan tersebut, dilakukan pembangunan fasilitas PAUD 681 unit, sertifikasi lokasi pembangunan fasilitas PAUD 135 dokumen, pengadaan bahan belajar 681 set, guru TK kontrak 1.122 orang, bantuan kerja sama peningkatan kelembagaan 5.462 lembaga, peningkatan tenaga kependidikan PAUD 19.806 kegiatan, mutu petugas dan pembina 4.200 orang, sosialisasi dan pemasyarakatan PAUD 893 kegiatan. ii.

Permasalahan dan Tantangan Faktor-faktor yang paling mempengaruhi kinerja Program Pendidikan Luar

Sekolah adalah faktor sosial budaya, kemampuan ekonomi masyarakat, demografi dan geografi, ketersediaan pelayanan pendidikan keaksaraan, dan jenis pendidikan luar sekolah lainnya. Selain itu jumlah dan mutu tenaga kependidikan luar sekolah

merupakan faktor yang cukup berpengaruh jika dibandingkan dengan jumlah sasaran dan modul pembelajaran yang akan dikembangkan. Faktor sosial budaya menyebabkan rendahnya laju penurunan angka buta aksara khususnya pada penduduk usia tua dan penduduk perempuan. Penurunan jumlah penduduk buta aksara lebih cepat pada kelompok usia muda dibandingkan kelompok usia tua. Keadaan tersebut terjadi mengingat kelompok usia tua atau yang sudah tidak produktif kemampuan keaksaraan kurang berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan hidupnya. Berbeda dengan kelompok usia produktif yang lebih mampu melihat manfaat dari kemampuan keaksaraan sebagai nilai tambah terutama dalam meningkatkan pendapatan mereka. Pada saat yang sama laju penurunan angka buta aksara lebih cepat terjadi pada penduduk laki-laki dibanding penduduk perempuan. Hal ini diduga terjadi karena faktor sosial budaya juga masih dominan yang meletakkan perempuan untuk lebih banyak berperan dalam urusan domestik atau yang berkaitan dengan rumah tangga. Oleh karena itu mereka menjadi tidak dapat melihat manfaat kemampuan keaksaraan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan keharusan mereka untuk keluar rumah untuk mengikuti pendidikan keaksaraan yang lokasinya tidak selalu dekat dengan tempat tinggalnya dan waktu yang juga tidak selalu sesuai dengan pekerjaan mereka di rumah. Faktor tersebut berpengaruh juga pada kinerja pendidikan berkelanjutan karena keengganan penduduk perempuan untuk mengikuti pendidikan luar sekolah. Faktor internal lain yang berpengaruh adalah kondisi ekonomi penduduk. Meskipun sebagian besar pendidikan luar sekolah diberikan secara cuma-cuma, tetapi dalam pelaksanaannya peserta mungkin perlu mengeluarkan biaya yang bukan hanya biaya tidak langsung misalnya untuk transportasi tetapi juga forgone earning atau pendapatan yang hilang karena mereka harus meninggalkan pekerjaannya. Sementara itu faktor eksternal adalah hal-hal yang berasal dari luar individu antara lain adalah (a) efisiensi pendidikan persekolahan terutama angka putus sekolah yang masih tinggi khususnya pada kelas I – III SD/MI yang menyebabkan anak menjadi buta aksara kembali dan (b) efisiensi pendidikan keaksaraan yang

dipengaruhi secara langsung oleh terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana belajar termasuk tenaga kependidikan baik jumlah maupun kualitasnya. Dengan jumlah sasaran PLS sebesar 75 juta orang dengan berbagai program dan kegiatan yang tersebar di lokasi pembelajaran yang sangat bervariasi, termasuk di daerah terpencil, daerah tertinggal/miskin, pada saat ini hanya didukung oleh 20 ribu tenaga kependidikan luar sekolah. Selain itu, mutu tenaga kependidikan PLS yang juga dituntut untuk mampu mengembangkan model pembelajaran secara kualitatif. Dengan semakin kecilnya presentase penduduk buta aksara, sebaran tempat tinggal penduduk buta aksara sangat besar. Hal ini menyebabkan sulitnya pencarian sasaran untuk pelaksanaan program serta evaluasi dan monitoring hasil pendidikan keaksaraan fungsional. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam mengatasi berbagai permasalahan pada Program Pendidikan Luar Sekolah akan dilakukan berbagai kegiatan seperti antara lain (1) memperluas jangkauan layanan PAUD bekerjasama dengan instansi terkait dan masyarakat; (2) melaksanakan penghapusan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional untuk mengurangi buta aksara latin dan angka, buta bahasa Indonesia dan pengetahuan dasar, serta keterampilan; (3) menyelenggarakan program Paket A setara SD dan Paket B setara SMP dalam rangka mendukung Wajar Dikdas 9 Tahun dan pendidikan dasar untuk orang dewasa serta Paket C setara SMA secara berkualitas; (4) meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS (penilik, tenaga lapangan dikmas, pamong belajar, tutor dan penyelenggara kelompok belajar, PAUD dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat; (5) melanjutkan pembinaan dan perluasan pendidikan masyarakat yang diarahkan pada perluasan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan melalui Kelompok Belajar Usaha (KBU), pemberian beasiswa/magang dan pelatihan keterampilan dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender; (6) memberikan dukungan terhadap lembaga PAUD melalui sosialisasi dan pelaksanaan program, (7) meningkatkan perhatian dan dukungan terhadap program dan lembaga UPT PLS seperti Balai Pengembangan Kegiatan

Belajar (BPKB), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Taman Bacaan Masyarakat, kursus-kursus dan lembaga PLS lainnya, (8) melaksanakan kerjasama dengan berbagai instansi/lembaga terkait dalam pelaksanaan program PLS; dan (9) melaksanakan supervisi, evaluasi, monitoring dan pelaporan pelaksanaan program serta pemetaan sasaran dan potensi PLS secara akurat, tepat waktu dan terkini untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan program PLS. 5. Program Sinkronisasi dan Koordinasi Pembangunan Pendidikan Nasional a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program Sinkronisasi dan Koordinasi Pembangunan Pendidikan Nasional

adalah untuk meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan program-program pendidikan baik antarjenjang, jalur, dan jenis maupun antardaerah.

Sasaran yang akan dicapai melalui program sinkronisasi dan koordinasi adalah mewujudkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan program-program pembangunan pendidikan, antarjenjang, jalur dan jenis maupun antardaerah. Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian Umum. b.

Pelaksanaan i.

Hasil yang Dicapai

Program Sinkronisasi dan Koordinasi yang baru mulai dilaksanakan pada tahun 2001 telah memberikan dampak yang positif dalam menyelaraskan pembangunan pendidikan antarjalur, jenis dan jejang pendidikan serta antardaerah. Melalui program ini salah satu hasil yang dicapai sampai dengan tahun 2003 adalah tersusunnya Undang-Undang No: 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sebagai pengganti UUSPN No. 2 Tahun 1989. Selanjutnya dalam upaya pembangunan pendidikan telah pula

dilaksanakan penyiapan kerangka dasar pembangunan pendidikan yang memuat antara lain arah kebijakan, strategi, dan sasaran berdasarkan pentahapan pada setiap tahunnya. Pada tahun 2004 akan dilakukan penyelesaian 14 Peraturan Pemerintah sebagai operasionalisasi UUSPN tersebut, yaitu (1) Pendidikan Anak Usia Dini, (2) Pendidikan Dasar dan Menengah, (3) Pendidikan Tinggi, (4) Pendidikan Nonformal dan Informal, (5) Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus, (6) Pendidikan Kedinasan, (7) Pendidikan Agama dan Keagamaan, (8) Pendidikan Jarak Jauh, (9) Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, (10) Pendidikan Kejuruan, Vokasi, dan Profesi, (11) Wajib Belajar, (12) Standar Nasional Pendidikan, (13) Pendidikan Berbasis Masyarakat, (14) Pengelolaan dan Dana Pendidikan. Sejalan dengan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, berbagai kegiatan telah dilakukan untuk mempercepat dan memperlancar pelaksanaan otonomi daerah. Pada tahun 2001, upaya yang dilakukan adalah melakukan pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian khusus untuk tenaga kependidikan dalam rangka otonomi daerah. Berkaitan dengan hal tersebut antara lain telah disusun pedoman pembinaan karir jabatan struktural pengelola pendidikan, pedoman pemberian penghargaan di bidang pendidikan, dan pedoman penilaian pengangkatan Kepala Sekolah di era otonomi daerah, serta penyusunan dan pengembangan sistem dan prosedur kerja aparatur di lingkungan Depdiknas. Sedangkan pada tahun 2002 kegiatan yang dilakukan meliputi antara lain pendayagunaan dan realokasi PNS akibat restrukturisasi; pengkajian mengenai pendayagunaan dan pengalihan status pegawai pada PT BHMN; dan pengkajian kebutuhan widyaiswara pada Pusdiklat, Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG), dan Balai Penataran Guru (BPG) yang ditingkatkan fungsinya menjadi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP). Pada tahun 2003 telah dilaksanakan penataan pegawai akibat restrukturisasi dan

kebijakan rasionalisasi, pembinaan PNS yang menjadi pengurus/anggota parpol/pejabat negara yang diperbantukan/dipekerjakan di departemen lain, pengkajian

dan

penyempurnaan

sistem

pembinaan

karier

guru,

pengkajian/evaluasi pelaksanaan pemberian penghargaan dan tunjangan pendidikan bagi guru, pamong, dan penilik. Di samping itu, dengan dilaksanakannya desentralisasi pendidikan sebagai pelaksanaan PP No. 25 Tahun 2000, untuk mempercepat dan memperlancar pelaksanaan desentralisasi tersebut berbagai upaya telah dilakukan antara lain: pengkajian dan penataan perangkat organisasi Depdiknas,

pengkajian

kewenangan

bidang

pendidikan

yang

akan

didekonsentrasikan dan pembantuan, pengkajian dan pengembangan sistem serta prosedur kerja unit instansi pengelola pendidikan, pengkajian dan pengembangan kriteria penyusunan organisasi PTN berdasarkan beban kerja. Selain itu, melalui program sinkronisasi dan koordinasi ini, pada tahun 2001 telah dilakukan kegiatan antara lain konsolidasi rencana program dan anggaran pembangunan pendidikan; penyusunan Rencana Strategis (Renstra) dan REPETA bidang Pembangunan Pendidikan; serta melakukan sosialisasi dan advokasi kebijakan Renstra dan REPETA bidang Pembangunan Pendidikan. Sedangkan pada tahun 2002, telah dilakukan kegiatan antara lain: sosialiasi program otonomi daerah bagi Dinas Pendidikan di tingkat provinsi dan Kab/Kota; pengkajian pelaksanaan kebijakan manajemen berbasis sekolah; penerapan strategi kebijakan lintas sektoral; serta inventarisasi dan analisis masalah pendidikan di daerah konflik dan bencana alam. Pada tahun 2003 mulai disosialisasikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan implikasinya pada perencanaan dan pengelolaan keuangan negara pada bidang pendidikan. Selain itu, mulai tahun 2004 dilakukan penataan proses perencanaan dan penganggaran yang berbasis pada kinerja instansi pendidikan.

Kegiatan

penelitian

dan

pengembangan

pendidikan

telah

pula

dilaksanakan dengan menitikberatkan pada upaya peningkatan mutu pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, dan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini difokuskan pada upaya pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi pendidikan (education reform) di bidang kurikulum dan sistem pengujian serta penilaian kinerja pembangunan pendidikan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi, telah dilakukan pemberdayaan kemampuan perekayasaan kurikulum di tingkat daerah, serta diikuti dengan penyusunan kurikulum berbasis kompetensi yang berlaku secara nasional namun diversifikasinya dilakukan di masing-masing daerah yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, keberagaman dan minat peserta didik. Di samping itu pada tahun 2001 telah dilakukan penelitian tentang kebijakan pengembangan kurikulum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah dan dilakukan pula pengkajian, analisis dan evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum 1994 untuk penyempurnaan materi yang lebih akomodatif terhadap perkembangan jaman dan metode pembelajaran. Selanjutnya pada tahun 2002 dilakukan pengkajian proses belajar mengajar dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan kurikulum dan pada tahun 2003 tentang peningkatan mutu pendidikan, pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Sejalan dengan itu dilakukan penyempurnaan kurikulum yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan baik tingkat lokal, nasional, dan global. Dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan, pada tahun 2001 telah disusun berbagai model pelayanan antara lain: (a) model sistem pelayanan pendidikan bagi warga masyarakat yang kurang beruntung untuk

memperoleh pendidikan dasar, (b) pengembangan model sekolah berasrama untuk daerah yang kurang efisien dengan sistem pendidikan konvensional dan (c) model kurikulum dan model pelayanan pendidikan sebagai penjabaran dari UUSPN mengenai pemberian pelayanan khusus bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Selanjutnya pada tahun 2002 dilakukan penyusunan model alat test psikologi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain untuk alat diagnosis kesulitan belajar siswa, penjurusan, penerimaan pegawai dan promosi karyawan. Pada tahun 2003 dilakukan pengembangan model pendidikan bagi penyandang masalah sosial pada pendidikan dasar dan menengah, pengembangan model layanan pendidikan bagi anak jalanan, masyarakat miskin, berkelainan, terisolir, terasing, termasuk daerah bermasalah. Pada Tahun 2004 dirintis alternatif pembelajaran melalui Televisi Pendidikan Nasional dengan menyusun program tayangannya. Untuk mendukung sinkronisasi dan koordinasi pembangunan pendidikan maka pengembangan sistem dan informasi manajemen mendapat perhatian yang besar. Selain disediakan peralatan pendataan, pelatihan intensif juga diberikan bagi sumberdaya manusia di provinsi dan kabupaten/kota untuk memberikan kemampuan yang memadai dalam mengelola data dan informasi. Sejalan dengan itu jaringan dan kapasitas sistem informasi perencanaan pendidikan juga diperluas dan dilakukan penyusunan program aplikasi serta optimalisasi pemanfaatan baseline data bagi staf perencana pendidikan di kabupaten/kota. Di samping itu dilakukan pula pendidikan dan pelatihan teknis bagi tenaga perencana pendidikan 500 orang dan tenaga pengelola program sampai tingkat kabupaten/kota. Berbagai advokasi dan sosialisasi kebijakan pendidikan nasional terus dilakukan seperti antara lain sosialisasi Rencana Aksi Nasional (RAN) Hak Asasi Manusia dalam bidang pendidikan, sosialisasi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan

Komite Sekolah, sosialisasi pedoman penilaian pelaksanaan pembinaan karier jabatan struktur pengelola pendidikan tingkat provinsi; sosialisasi pedoman pelaksanaan pemberian penghargaan pada PNS di bidang pendidikan; dan pelaksanaan berbagai temu konsultasi antarlembaga yang bertanggungjawab dalam pembangunan pendidikan nasional. Kerjasama di bidang pendidikan dengan berbagai lembaga baik di dalam maupun di luar negeri terus pula dilaksanakan seperti antara lain melalui pengembangan perpustakaan elektronik dan pengembangan situs regional Asia Tenggara Global Distance Education Network serta pengembangan SEAMEO Regional Open Learning Center (SEAMOLEC) di Indonesia. Selain itu juga dilakukan penyusunan desain pendidikan jarak jauh yang antara lain meliputi penyusunan silabi, garis-garis besar isi program media (GBIPM) program audio, GBIPM program video, penulisan naskah program audio dan program video, serta perintisan pendidikan terbuka jarak jauh tingkat SMA. Guna mendukung tercapainya pelaksanaan yang efektif, efisien, transparansi, dan terakunkan juga telah dilakukan pembinaan sistem kelembagaan, pengendalian, pengawasan, dan penyerasian hasil-hasil pendidikan. Pembangunan pendidikan selama lima tahun terakhir (2000-2004) mendapat prioritas tertinggi dalam pembangunan nasional yang ditunjukkan oleh penyediaan anggaran pembangunan dengan porsi terbesar dibandingkan dengan bidang-bidang pembangunan lainnya. Dengan adanya amandemen UUD 1945 dan ditetapkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan agar dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD, anggaran pendidikan pada tahun 2004 mendapat porsi yang lebih besar lagi. Anggaran pendidikan pada tahun 2004 mencapai 21,5 persen dari anggaran pembangunan keseluruhan atau 6,6 persen dari APBN yang dibelanjakan oleh

pemerintah pusat. Anggaran pendidikan tersebut terdiri dari Pengeluaran Rutin di luar gaji pendidik dan Pengeluaran Pembangunan diluar anggaran untuk pendidikan kedinasan. Karena anggaran yang dialokasikan untuk daerah masuk sebagai penerimaan APBD maka dana perimbangan yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan dana bagi hasil serta dana otonomi khusus tidak diperhitungkan dalam menghitung 20 persen dari APBN. Proporsi tersebut masih jauh dari 20 persen tetapi dengan adanya komitmen yang lebih besar dari pemerintah dan legislatif untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut maka proporsi anggaran pendidikan terhadap APBN akan terus ditingkatkan secara bertahap. Pada saat yang sama pemerintah daerah juga didorong untuk secara bertahap melaksanakan amanat undang-undang tersebut. ii.

Permasalahan dan Tantangan Faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan Program Sinkronisasi dan

Koordinasi Pembangunan Pendidikan Nasional antara lain adalah belum meratanya kapasitas pengelola pembangunan pendidikan dan belum meratanya kesamaan pandangan mengenai pentingnya pendidikan diantara stakeholders termasuk pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pelaksanaan mutasi pegawai yang cukup sering terutama di kabupaten/kota sangat berpengaruh kurang baik pada efisiensi dan kesinambungan pelaksanaan pembangunan pendidikan. Perubahan sistem peraturan perundang-undangan yang tidak lagi menempatkan Keputusan Menteri sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat bagi daerah menjadi faktor lain yang turut menghambat pelaksanaan sinkronisasi dan koordinasi pembangunan pendidikan nasional. Salah satu dampak negatifnya adalah kurang baiknya pelaksanaan sistem pelaporan, serta arus data dan informasi dari tingkat kabupaten/kota sampai tingkat nasional. iii. Tindak Lanjut Beberapa tindak lanjut yang diperlukan untuk pencapaian sasaran-sasaran yang telah ditetapkan antara lain: (1) mengembangkan kerangka peraturan (regulatory framework) yang memungkinkan pelaksanaan pembangunan pendidikan sesuai

prosedur dan tata cara yang memenuhi kaidah-kaidah good governance (transparan, terakunkan, dan partisipatif); (2) mengembangkan sistem penghargaan (reward) dan dorongan (incentive) bagi pemerintah provinsi

dan kabupaten/kota

yang

memberikan prioritas tinggi pada pembangunan pendidikan serta penghargaan bagi pelaku dan pemerhati pendidikan yang berjasa dalam pembangunan pendidikan; (3) mengintensifkan pelaksanaan sistem informasi dan pendataan untuk semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan, serta daerah; (4) melakukan advokasi dan sosialisasi UU Sistem Pendidikan Nasional dan kebijakan pendidikan nasional; (5) meningkatkan mutu sumber daya dan standardisasi sarana dan prasarana pendidikan untuk mendukung pelayanan pendidikan dan proses belajar-mengajar yang bermutu; (6) mengembangkan model manajemen pendidikan dalam era otonomi; (7) melanjutkan pengembangan jaringan kerja sama penelitian kebijakan antara pusat dan daerah; (8) melakukan pengkajian kebijakan antarjenis, jenjang dan jalur pendidikan sebagai bahan masukan pengambilan kebijakan

pembangunan

pendidikan; (9) menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan UU Sistem Pendidikan Nasional termasuk peraturan pemerintah yang mengatur pembiayaan pendidikan, dan penuntasan penyusunan kebijakan pembangunan pendidikan nasional yang mendukung sinkronisasi dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaannya; (10) mengembangkan kemitraan secara kelembagaan pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang mendukung sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan pendidikan antarjenjang, antarjalur, antarjenis dan antardaerah; dan (11) meningkatkan efektivitas pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pembangunan pendidikan. 6. Program Penelitian, Peningkatan Kapasitas, dan Pengembangan Kemampuan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu hasil penelitian; (2)

meningkatkan kualitas peneliti; (3) meningkatkan kompetensi lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan publik searah dengan tuntutan masyarakat dan percepatan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (4) membentuk iklim yang kondusif bagi terbentuknya sumber daya litbang. Sasaran yang akan dicapai adalah terdayagunakannya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa untuk memecahkan berbagai masalah pembangunan. Arah kebijakan dari program ini adalah (1) Pengembangan berbagai tema dan model riset unggulan yang berdampak strategis; (2) Sinergisme program litbang dengan industri yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat; (3) Perluasan kerjasama riset secara efektif baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional; (4) Peningkatan peran dan pelayanan HKI; (5) pemberdayaan dan pembinaan organisasi profesi ilmiah; serta (6) pengembangan pranata dan infrastruktur iptek di daerah. b.

Pelaksanaan i.

Hasil yang Dicapai Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan fokus kegiatan

penelitian adalah dirumuskannya agenda riset sesuai kompetensi inti lembaga dalam bentuk program-program tematis, dilaksanakannya mekanisme seleksi secara kompetitif

dalam

penetapan

kegiatan

riset

lembaga,

dikembangkan

dan

disempurnakannya kegiatan riset unggulan dan strategis, seperti Riset Unggulan Terpadu (RUT), Riset Unggulan Terpadu Internasional (RUTI), Riset Unggulan Kemanusiaan (RUKK), ditetapkannya paten sebagai salah satu indikator keluaran, dikembangkannya kajian sosial budaya sebagai masukan kebijakan pemerintah. RUT dirancang sebagai instrumen untuk meningkatkan dan menyelaraskan penguasaan iptek dengan memadukan SDM, dana dan prasarana riset yang tersedia dalam rangka pembangunan sistem nasional inovasi yang lebih terpadu. Pelaksanaannya mencakup sepuluh bidang riset, yaitu i) pengembangan sistem nasional, sektoral dan daerah, ii) pertanian dan pangan, iii) kesehatan, iv) lingkungan, v) kelautan, kebumian dan kedirgantaraan, vi) transportasi dan logistik, vii) energi, viii) manufaktur, ix) teknologi informasi dan mikroelektronika, serta x) penemuan material baru. Selain itu telah dihasilkan Penawaran Teknologi yang merupakan kumpulan dari kegiatan RUT yang siap untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kebutuhan

industri. Hasil-hasil yang dicapai dari program RUT masih merupakan hasil antara dan memerlukan penindaklanjutan oleh para peneliti yang bersangkutan. Untuk itu telah dirancang program lanjutan yang bisa mengoptimalkan hasil-hasil RUT untuk ditindaklanjuti menjadi suatu produk komersial dalam bentuk program katalis. RUTI merupakan progran kerjasama Riptek Indonesia dengan lembaga penelitian/universitas internasional berdasarkan cost-sharing basis. Program ini ditujukan untuk mendorong peningkatan peran Riptek nasional dalam dunia internasional, peningkatan kolaborasi antara lembaga penelitian/universitas di Indonesia dengan mitra internasional serta melakukan penelitian yang berkualitas dengan tujuan publikasi internasional dan atau penemuan yang mengarah pada pemanfaatan teknologi industri (patent). Kegiatan lain yang dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas dan kompetensi lembaga litbang adalah dilaksanakannya studi agenda riset nasional, pelaksanan evaluasi riset sains dan teknologi untuk pembangunan (Periskop), dan kajian kebijakan Bioprospecting untuk menunjang bidang kedokteran dan kesehatan. Hasil studi agenda riset nasional merekomendasikan agenda kerja lembaga litbang, struktur industri terpadu, peran teknologi dalam pembangunan, pengembangan risetriset murni dibidang ekonomi serta manajemen akuntasi kegiatan riset. Studi Periskop telah menemukan ketidakcocokan (mismatched) antara kebutuhan industri dan produk lembaga riset. Namun demikian dari studi itu juga ditekankan bahwa lembaga riset adalah faktor utama dalam diseminasi dan transfer teknologi pada dunia usaha. Dalam bidang kesehatan dan obat-obatan selain kebijakan bioprospecting, telah berhasil dilakukan karakterisasi virus Hepatitis non-A dan non-C untuk mencegah penyebarannya. Penelitian lain yang cukup berperan adalah mengenai tingkat resistensi terhadap obat malaria di daerah endemi malaria yang hasilnya menunjukkan bahwa tingkat resistensi tersebut sudah memprihatinkan. Selain itu juga dilakukan penelitian untuk menghambat laju pertambahan penderita Thalassemia dalam hal peningkatan efisiensi penetapan cacat molekul pada penyakit Thalassemia. Juga telah dilakukan pengembangan antibody spesifik, diagnosis kelainan hemoglobin di Indonesia.

Program RUKK ditujukan sebagai upaya untuk pengembangan ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kemanusiaan. Topik riset diprioritaskan pada pengembangan ideide baru dalam bidang kemasyarakatan, verifikasi teori dan konsep-konsep baru untuk mengkritisi fenomena kemasyarakatan dan kemanusiaan di Indonesia. Cakupan topik RUKK meliputi bidang ekonomi, demografi, ketenagakerjaan, filsafat, sastra dan budaya, politik, hukum, pemerintahan dan komunikasi, sosiologi, antropologi dan sejarah, serta bidang agama. Hasil yang didapat mengidentifikasikan kurangnya minat peneliti dalam bidang sosial, khususnya dalam pengembangan teori, konsep dan metodologi. Program insentif lainnya dalam rangka penguatan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah pengembangan Sentra HKI. Melalui program Sentra HKI para intelektual difasilitasi dalam mengurus hak eksklusifnya mulai dari awal hingga akhir proses. Kegiatan lain adalah insentif Oleh Paten yang merupakan program insentif untuk membantu peneliti, perekayasa, dan peneliti dan rekayasa (litkayasa) yang temuannya mempunyai nilai potensial dan kekayaan intelektualnya dapat dilindungi. Pemasyarakatan HKI juga dilakukan melalui pembentukan tiga kelompok kerja HKI yaitu Pokja I membidangi Disain Industri, Indikasi Geografis dan Rahasia Dagang; Pokja II membidangi Paten, Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Merek; serta Pokja III membidangi Pengetahuan Tradisional dan Hak Cipta. Untuk memberikan peluang bagi penemu dalam negeri dan membantu para pemilik HKI khususnya hak paten juga telah dikembangkan insentif Asuransi Teknologi. Sementara itu dalam rangka penguatan kompetensi lembaga litbang telah disusun pedoman sistem dan prosedur penyusunan program, diterbitkannya buku keahlian dan sistem informasi interaktif SDM dan penambahan porsi pakar eksternal dalam penetapan kegiatan riset. Dalam rangka memperoleh informasi yang rasional dan obyektif tentang data SDM Iptek Daerah dilakukan studi potensi SDM daerah untuk pemberdayaan iptek. Hasil studi mengidentifikasikan kecilnya pergeseran tenga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri yang disebabkan kurangnya keterampilan angkatan kerja pertanian yang dapat dimanfaatkan langsung oleh sektor industri dan jasa. Dengan demikian hasil temuan dan produknya akan memenuhi keinginan intelektual dan pasar. Selain itu juga telah dialakukan penyusunan kriteria akreditasi

pranata penelitian dan pengembangan di lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi. Dari program ini telah dihasilkan perangkat kriteria pengukuran untuk menentukan klasifikasi dan tingkat akreditasi lembaga, melakukan penilaian mutu dan efisisensi lembaga sebagai dasar penentuan akreditasi dan langkah-langkah pembinaannya. Dalam upaya meningkatkan peran kajian iptek dalam pembangunan telah dilakukan kajian-kajian unggulan sesuai kebutuhan masyarakat. Kajian tersebut mencakup berbagai bidang ilmu termasuk bidang pangan dan energi serta sosial budaya dan ekonomi. Dalam bidang energi telah dilakukan pengembangan teknologi energi alternatif dan daur bahan nuklir serta pengembangan iptek produksi isotop, radiofarmaka dan bahan baru untuk mendukung pengembangan teknologi nuklir di industri, serta diperolehnya paket teknologi proses pengelolaan limbah nuklir. Hal lain yang telah dicapai dalam program ini adalah tersedianya laporan ilmiah penelitian bidang mitigasi bencana, meningkatnya kemampuan rancang bangun prototipe wahana dirgantara. Sedangkan dalam rangka penguatan budaya iptek masyarakat telah dilakukan kajian tentang kebijakan local content, peningkatan kapabilitas industri daerah untuk adopsi iptek, pengembangan kemitraan dalam adopsi iptek dan pembudayaan teknologi. Penelitian dan pengembangan teknologi dirgantara meliputi i) rancang bangun prototipe sistem wahana dirgantara dan pemanfaatannya untuk keperluan ilmiah dan pertahanan, ii) rancang bangun teknologi satelit mikro Indonesia, iii) pengembangan sistem konversi energi angin. Di bidang sains, pengkajian dan informasi dirgantara dilakukan pengkajian media dirgantara (atmosfer sampai matahari); pemodelan dan prediksi iklim; serta penelitian ionosfer untuk keperluan komunikasi radio, navigasi maupun penentuan posisi berbasis satelit. Dibidang standarisasi telah dilakukan beragam riset terkait, penguatan kapasitas, serta peningkatan kompetensi lembaga inspeksi dan laboratorium melalui program Standarisasi Laboratorium (stanlab). Sementara itu kegiatan penelitian di bidang survei dan pemetaan terus dilakukan melalui penelitian astrogeodesi, geodetik, geodinamik, termasuk penelitian survei dan pemetaan yang terkait dengan upaya pencegahan dan penaggulangan bencana alam.

Dalam bidang pengembangan dan aplikasi riset nuklir, fokus kegiatan dilakukan untuk bidang pangan melalui penemuan lima varietas unggul padi; bidang kesehatan melalui pengembangan beberapa jenis radiofarmaka untuk diagnosis dan terapi penyakit jantung, kanker tulang, penyakit hati, kanker thyroid, dan ginjal, serta pembuatan Bank Jaringan.

Selanjutnya di bidang industri manufaktur melalui

komisioning mesin berkas elektron, aplikasi radiotracer, teknologi isotop alam, pembuatan renograph dan Distributed Control System untuk sistem produksi. Dibidang penelitian sumberdaya alam dan energi, telah dilakukan Comprehensive Assessment of Difference Energy Resources yang menyimpulkan bahwa PLTN secara ekonomi dan teknologi layak dioperasikan pada tahun 2016. Disamping itu aplikasi nuklir juga dilakukan untuk turut menjaga keselamatan lingkungan. Disamping itu juga telah dilakukan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) dan penyelenggaraan Widya Karya Pangan dan Gizi sebagai salah satu kegiatan utama dalam mendukung program Landmark iptek bidang pangan. Kegiatan ini berupaya memformulasikan model kebijakan pangan di era otonomi daerah. Berbagai program penelitian, pengembangan dan rekayasa iptek telah dihasilkan antara lain pengembangan teknologi telemetri pengelolaan sumberdaya air; pengembangan program kompetitif tematik; pengembangan potensi sumberdaya mineral, otomotif, telekomunikasi dan informatika; konsep bioregional dan optimalisasi sumberdaya hayati savana; eksplorasi mikroba endofitik; pengembangan neuro science; dan prototype mobil listrik ramah lingkungan (marlip). ii.

Permasalahan dan Tantangan Permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan program ini adalah belum

adanya kebijakan yang terintegrasi antara kebijakan iptek dengan sektor produksi sehingga mengakibatkan tidak fokusnya kegiatan penelitan dan pengembangan yang dilakukan oleh lembaga litbang serta tidak optimalnya pengembangan sumberdaya litbang. Akibatnya masih ditemui inefisiensi dalam pelaksanaan penelitian dalam bentuk tumpang tindih topik penelitian serta inefisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya litbang yang ada serta kedaluarsaan fasilitas litbang. Permasalahan lain

adalah ketidaktersediaan mekanisme intermediasi yang baik yang mampu menjembatani antara riset dan inovasi. Tantangan yang dihadapi adalah cepatnya laju perkembangan iptek yang mengakibatkan ketergantungan dalam sistem inovasi. Hal ini mendorong perlunya arah yang jelas terhadap fokus dan kualitas litbang, sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki Hal lain yang menjadi tantangan adalah adanya keterbatasan anggaran kegiatan iptek. Keterbatasan anggaran ini dinilai dapat mengurangi terwujudnya peningkatan kompetensi dan kapasitas sumberdaya iptek itu sendiri. Tantangan selanjutnya adalah rendahnya perhatian masyarakat dan pemerintah daerah dalam memacu perkembangan, penerapan dan kualitas kegiatan riset iptek di daerah maupun adopsinya didalam kebijakan pembangunan daerah. iii. Tindak Lanjut Langkah-langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan kedepan adalah membentuk iklim yang kondusif bagi pengembangan sumberdaya litbang melalui (1) pengembangan kelembagaan iptek untuk mengoptimalkan transaksi produk iptek; (2) peningkatan sistem manajemen teknologi terpadu; (3) penyempurnaan sistem insentif iptek; (4) peningkatan keterlibatan organisasi profesi ilmiah dalam perumusan kebijakan iptek; (5) melindungi hak atas kekayaan intelektual (HKI) atas produk litbang; (6) memberikan penghargaan inovasi ilmiah; (7) pengembangan pranata iptek daerah; (8) reorientasi kebijakan makro dan koordinasi dengan mempertimbangkan tingkat dari unsur-unsur teknologi, modal, informasi dan birokrasi. Selain itu juga dlakukan upaya peningkatan dayaguna hasil-hasil penelitian diberbagai bidang pembangunan, dilakukan berbagai penelitian sebagai masukan untuk penyusunan kebijakan pemerintah di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, hukum dan lainlain. Dalam rangka pemfokusan program penelitian dan pengembangan akan dilakukan (1) penelitian dan pengembangan yang ditekankan pada enam bidang fokus, yakni bidang pertanian dan pangan, energi, kelautan, kebumian dan dirgantara, bioteknologi, manufaktur, dan informatika; (2) penelitian dan pengembangan program tematis unggulan dan strategis dengan mekanisme kompetitif; (3) pengembangan teknologi proses untuk mendukung peningkatan produksi. Sedangkan untuk

meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya iptek dilakukan melalui: (1) optimalisasi dan mobilisai potensi SDM iptek dalam melaksanakan kegiatan litbang; (2) peningkatan kualitas dan kuantitas penelitian; dan (3) Melakukan pelatihan bagi para peneliti. Dalam rangka memperkuat kompetensi inti lembaga riset, ilmu pengetahuan dan teknologi (riptek), dilakukan kegiatan pokok: (1) penyusunan peta potensi dan kemampuan pusat-pusat penelitian dan pengembangan; (2) peningkatan jumlah kerjasama lembaga riptek dengan departemen teknis, dunia usaha, dan lembaga riset luar negeri; serta (3) mendorong kegiatan yang memanfaatkan sarana dan prasarana iptek secara optimal. 7.

Program Peningkatan Kemandirian dan Keunggulan Iptek a.

Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pelayanan teknologi lembaga-

lembaga litbang, Metrology, Standardization, Testing and Quality (MSTQ), yang ditekankan untuk mendukung daya saing dunia usaha dan mendorong pelaksanaan litbang di dan oleh dunia usaha. Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya kemandirian pelayanan teknologi dan keunggulan inovasi teknologi bangsa sendiri agar dapat meningkatkan daya saing dunia usaha dan masyarakat. Arah kebijakan yang telah dilakukan untuk mencapai indikator kinerja yang telah ditetapkan adalah mengembangkan pranata iptek untuk mendukung sistem manajemen pelayanan iptek melalui strategi pelayanan iptek yang efektif serta pengembangan sarana dan prasarana iptek untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya iptek. b.

Pelaksanaan i.

Hasil yang Dicapai Hasil kegiatan yang telah dicapai adalah ditetapkannya UU No 18/2002 tentang

Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek). Undang-undang ini sangat fundamental untuk mendorong keterlibatan semua unsur masyarakat dalam pengembangan kemampuan iptek

serta

memberikan

landasan

bagi

pemerintah

untuk

menstimulasi

perkembangannya. Pengembangan kemampuan iptek tidak hanya dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah dan lembaga pendidikan, tetapi juga oleh pihak swasta juga masyarakat, dimana pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator. Peraturan tersebut tertuang dalam bentuk pasal khusus (lex spesialis) dimana saat ini konsep Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjabarkan undang-undang tersebut sedang dalam tahap perumusan akhir. Dengan adanya peraturan tersebut dimungkinkan setiap lembaga litbang dan perguruan tinggi dapat mengelola pendapatan dari hasil layanan jasa (alih teknologi) serta membentuk unit kerja yang berfungsi untuk melakukan proses alih teknologi dengan pola manajemen yang lebih fleksibel. Hasil lain yang telah dicapai adalah mulai ditetapkannya indikator kegiatan riptek secara jelas, serta tersusunnya peraturan teknis dan standar mutu lembaga riptek sebagai basis untuk lebih meningkatkan keberadaan dan kemampuan lembaga litbang dalam mendorong peningkatan daya saing produk nasional. Dalam rangka meningkatkan kemitraan dan jaringan kelembagaan iptek dengan dunia usaha dan masyarakat serta mampu memperkuat proses technology chain dalam pembentukan keunggulan dan daya saing dilakukan berbagai kegiatan antara lain pengembangan kerjasama riptek, reposisi Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), pengembangan Dewan Riset Daerah (DRD), dan penyusunan informasi kapabilitas lembaga iptek untuk Agenda Riset Nasional. Pengembangan kerjasama riptek dilakukan dalam upaya meningkatkan koordinasi dan saling pemahaman untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas pengembangan dan pendayagunaan riptek nasional. Pengembangan kerjasama riptek ini dilakukan oleh lembaga iptek melalui kerjasama dalam negeri dan luar negeri yaitu dengan berbagai lembaga pemerintah pusat dan daerah, perguruan tinggi dan dunia usaha. Sedangkan kerjasama luar negeri dalam bentuk kerjasama bilateral maupun multilateral diantaranya dengan Gerakan Non Blok, Asean COST (Commitee on Science and Technology), China, India, Rusia, Italia, Australia dan Jerman. Rencana reposisi Puspiptek merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan teknologi yang dimiliki oleh pusat-pusat penelitian dan teknologi di lingkungan Puspiptek sehingga dapat menumbuhkan daya dukung bagi sektor produksi. Melalui

reposisi ini diharapkan Puspiptek memiliki fungsi kelembagaan yang dapat mengkaji prospek ekonomi dari hasil-hasil penelitian dan membentuknya ke dalam paket-paket teknologi produksi yang siap diadopsi oleh pelaku bisnis. Dalam kaitan itu telah dibentuk Kerangka Kebijakan Reposisi Puspiptek yang mencakup tiga strategi pokok yaitu: memperkuat keterkaitan dengan sektor produksi, memperkuat kemitraan dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi, optimalisasi fungsi serta pemanfaatan kawasan dan prasarana yang ada di Puspiptek untuk memfasilitasi kedua strategi di atas. Penyusunan Informasi Kapabilitas Lembaga Iptek untuk Agenda Riset Nasional (ARN) merupakan analitis dan pemetaan kelembagaan iptek untuk mendukung proses perumusan ARN. Kegiatan ini diterapkan dalam bentuk program-program kegiatan yang mendukung tercapainya pemberdayaan SDM yang unggul dan mandiri, pengembangan kelembagaan Ripteknas, dan pengembangan jaringan kemitraan antar lembaga dalam pelaksanaan penelitian nasional. Dalam rangka keterpaduan kebijakan Iptek Nasional telah dikembangkan berbagai model pendekatan terpadu antara lain pembentukan Forum Perencanaan Pembangunan Iptek, pengembangan sistem informasi program riptek, peningkatan sinergi pelaksanaan program riset unggulan, penyelarasan perencanaan program terintegrasi antara pusat, daerah, perguruan tinggi dan lembaga masyarakat, dan identifikasi penentuan prioritas program penelitian. Selain itu dalam rangka kemandirian pelayanan teknologi telah dibentuk Forum Tekno Bisnis yang diselenggarakan oleh lembaga ristek bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Juga telah dilakukan pemasyarakatan HKI dalam membangun jaringan antara penemu dan industri, tersedianya rekomendasi serta konsep pengembangan Pusat-pusat Bisnis dan Teknologi (Business Technology Centre), terselesaikannya konsep pengembangan SDM Iptek di pedesaan serta kajian relevansi kurikulum sekolah umum terhadap kebutuhan pengembangan Iptek masa depan serta terlaksananya program insentif yang ditujukan untuk melakukan pendirian penguatan sentra promosi dan pemasaran iptek di lembaga-lembaga litbangyasa dalam rangka pembentukan manajemen promosi dan pemasaran hasil riptek.

Untuk pembinaan kelembagaan iptek yang mendukung kebijakan dan pembangunan kedirgantaraan yang berkelanjutan, telah dilakukan pengembangan kebijakan kedirgantaraan nasional, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam pembangunan kedirgantaraan nasional dan melindungi kepentingan nasional dalam forum internasional. Dikembangkannya bisnis dirgantara yang arahnya dapat meningkatkan pertumbuhan industri dan komersialisasi sebagai dampak dari produk dan jasa kedirgantaraan. Dalam bidang aplikasi iptek untuk kegiatan survei dan pemetaan telah dilakukan penentuan jaring kontrol horizontal nasional, jaring kontrol vertikal nasional, jaring kontrol gaya berat, jaring stasiun pasang surut dan jaring stasiun tetap Global Positioning System (GPS), pengadaan Citra Landsat dan foto udara untuk seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu terkait dengan kelembagaan iptek berbasis nuklir telah dihasilkan 5 Peraturan Pemerintah, 6 Keppres yang mengatur pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia. ii.

Permasalahan dan Tantangan Permasalahan dalam pelaksanaan program ini adalah belum adanya kebijakan

yang terintegrasi yang mengkaitkan antar berbagai sektor pembangunan sehingga memungkinkan pelaksanaan program dapat secara simultan dilakukan, dan belum adanya suatu instrumen yang secara reguler dapat menggambarkan capaian serta perkembangan iptek nasional dalam bentuk yang komprehensif dan kuantitatif. Berbagai data dan indikator yang ada saat ini masih bersifat parsial dan lebih pada kebutuhan internal lembaga litbang yang bersangkutan. Permasalahan lainnya adalah terkait dengan masalah in-fleksibilitas dalam pembiayaan kegiatan iptek, khususnya yang bersumber dari dana pemerintah yang bersifat tahunan dan bersifat swakelola. Penghargaan pemerintah terhadap ara peneliti yang berprestasi dinilai masih belum memadai. Tantangan yang dihadapi berupa pesatnya permintaan standarisasi produk-produk perdagangan, terutama komoditas ekspor. Pada saat ini umumnya usaha kecil menengah di Indonesia belum memiliki kemampuan teknologi dan manejemen yang memadai sehingga kesulitan untuk memenuhi persyaratan QCD (Quality, Cost and

Delivery), untuk itu aktifitas riset dibidang standarisasi produk, penyediaan fasilitas uji, peningkatan asistensi teknis menjadi tantangan yang perlu terus diantisipasi. Selain itu tantangan lainnya adalah perlunya pengembangan sistem pranata iptek yang kondusif dan terpadu, sistem kelembagaan yang efektif dan efisien dalam memacu peningkatan kualitas kegiatan iptek dan pemanfaatannya bagi masyarakat. iii. Tindak Lanjut Langkah-langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah memperkuat landasan dan arah serta prioritas pembangunan iptek dalam bentuk penyusunan rencana jangka menengah pembangunan nasional iptek. Langkah lebih lanjut yang dilakukan dalam program ini adalah penyempurnaan sistem dan pengelolaan riset dalam bentuk (1) penetapan program prioritas (priority setting), (2) penggunaan mekanisme kompetitif dalam penetapan kegiatan riset, (3) penentuan satuan target (deliverable) dalam kegiatan riset sebagai alat ukur pencapaian, (4) pengembangan instrumen analisis perkembangan teknologi dalam bentuk statistik iptek dan indikator iptek, dan (5) menyusun peraturan teknis dan standar mutu lembaga (struktur, personil, dan manajemen) riptek. Hal lain yang akan dilaksanakan adalah penerapan konsep pembiayaan riset berupa (1) pola pembiayaan riset sistem paket, dengan model specific block grant, (2) penyempurnaan standar unit cost penelitian, dan (3) perumusan skema pembiayaan riset multiyears commitment fund.

Related Documents


More Documents from ""

Islam Dan Pancasila
December 2019 52
Pembangunan Pendidikan
December 2019 36
Fungsu Puisi
December 2019 49
Belajar Dan Pembelajaran
December 2019 49
Demokrasi Dan Kepemipinan
December 2019 45