Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia Upaya Menangani Permasalahan Sosial Kemiskinan Jumat, 23 Maret 2007 H. Bachtiar Chamsyah Menteri Sosial Republik Indonesia Pembangunan sosial di Indonesia, hakekatnya merupakan upaya untuk merealisasikan cita-cita luhur kemerdekaan, yakni untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasca kemerdekaan, kegiatan pembangunan telah dilakukan oleh beberapa rezim pemerintahan Indonesia. Mulai dari rezim Soekarno sampai presiden di era ini yakni Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang terpilih dalam pemilihan umum langsung pertama. Namun demikian, harus diakui setelah beberapa kali rezim pemerintahan berganti, taraf kesejahteraan rakyat Indonesia masih belum maksimal. Pemenuhan taraf kesejahteraan sosial perlu terus diupayakan mengingat sebagian besar rakyat Indonesia masih belum mencapai taraf kesejahteraan sosial yang diinginkannya. Upaya pemenuhan kesejahteraan sosial menyeruak menjadi isu nasional. Asumsinya, kemajuan bangsa ataupun keberhasilan suatu rezim pemerintahan, tidak lagi dilihat dari sekedar meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi. Kemampuan penanganan terhadap para penyandang masalah kesejahteraan sosial pun menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Seperti penanganan masalah; kemiskinan, kecacatan, keterlantaran, ketunaan sosial maupun korban bencana alam dan sosial. Kemajuan pembangunan ekonomi tidak akan ada artinya jika kelompok rentan penyandang masalah sosial di atas, tidak dapat terlayani dengan baik. Bahkan muncul anggapan jika para penyandang masalah sosial tidak terlayani dengan baik, maka bagi mereka “kemerdekaan adalah sekedar lepas dari penjajahan�?. Seharusnya “kemerdekaan adalah lepas dari kemiskinan�?. Untuk itu pembangunan bidang kesejahteraan sosial terus dikembangkan bersama dengan pembangunan ekonomi. Tidak ada dikotomi di antara keduanya. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Nancy Birdsal (1993) yang mengatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah juga pembangunan sosial. Tidak ada yang utama diantara keduanya. Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara, namun pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetap tidak akan mampu menjamin kesejahteraan sosial pada setiap masyarakat. Bahkan pengalaman negara maju dan berkembang seringkali memperlihatkan jika prioritas hanya difokuskan pada kemajuan ekonomi memang dapat memperlihatkan angka pertumbuan ekonomi. Namun sering pula gagal menciptakan pemerataan dan menimbulkan menimbulkan kesenjangan sosial. Akhirnya dapat menimbulkan masalah kemiskinan yang baru. Oleh karenanya penanganan masalah kemiskinan harus didekati dari berbagai sisi baik pembangunan ekonomi maupun kesejahteraan sosial. Kemiskinan Sebagai Isu Global Masalah kemiskinan dewasa ini bukan saja menjadi persoalan bangsa Indonesia. Kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa berkepentingan untuk membahas kemiskinan, terlepas apakah itu negara berkembang maupun sedang berkembang. Tokoh yang dianggap bapak ilmu ekonomi modern, Adam Smith pada saat meluncurkan buku babonnya An Inquiry into The Wealth of Nations tahun 1776 menyebut bahwa, “Tidak ada masyarakat yang benar-benar bisa berkembang dan senang apabila kebanyakan diantaranya miskin dan tidak bahagia�?. Tokoh ekonomi pembangunan Todaro dalam buku Economic Development (2003), menyebutkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan merupakan permasalahan utama pembangunan. Tokoh sosial lainnya Juan Somavia dalam United Nations World Summit for Social Development, tahun 1995 menyatakan bahwa persoalan yang tidak akan pernah selesai di abad 21 ini adalah bagaimana mengurangi kemiskinan. Negara sedang berkembang di sebagian wilayah Asia dan Afrika, sangat berurusan dengan agenda pengentasan kemiskinan. Sebagian besar rakyat di kawasan ini masih menyandang kemiskinan. Sementara bagi negara maju, mereka pun sangat tertarik membahas kemiskinan. Ketertarikan itu karena kemiskinan di negara berkembang berdampak pada stabilitas ekonomi dan politik mereka. Pada akhirnya kemiskinan menjadi “urusan�? semua bangsa dan menjadi “musuh utama�? (common enemy) umat manusia di dunia. Konsekuensinya kemiskinan dibahas semakin meluas intensif dan berkesinambungan dimanapun dan oleh siapapun. Menurut laporan Human Development Report tahun 2005, jumlah penduduk miskin terbesar di Asia Tenggara adalah di Indonesia, yaitu sebesar 38,7 juta orang diikuti oleh Vietnam (17,38), Kamboja (13,01), dan Myanmar (10,84). Tingginya tingkat kemiskinan Indonesia, membuat negara ini memiliki kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah. Dari data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI), Indonesia menempati urutan 110, lebih rendah dibanding negara di Asia Tenggara lainnya seperti Singapura (25), Brunei
(33), Malaysia (61), Thailand (73), dan Filipina (84). Komitmen Global Komitmen dunia untuk mengurangi kemiskinan telah diungkapkan. Terutama oleh Kofi Anand yang pada waktu itu masih memimpin PBB dalam kesempatan sebuah sidang umum. Laporannya yang berjudul “untuk kebebasan yang lebih besar�? kemudian ditindaklanjuti dengan Gerakan Panggilan Global untuk Memerangi Kemiskinan atau dikenal dengan “Global Call to Action Against Poverty�? Selanjutnya ketika kemiskinan sudah dianggap sebagai musuh utama, PBB berkepentingan membuat agenda melawan kemiskinan. Di milenium kedua PBB mempelopori pertemuan tingkat tinggi yang menghasilkan “Tujuan Pembangunan Milenium (TPM)�? atau dikenal dengan “Millenium Development Goals (MDGs)�?. TPM/MDGs telah disepakati oleh para pemimpin dunia dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Milenium pada September 2000. Tujuan Pembangunan Milenium (TPM) antara lain memuat komitmen komunitas internasional terhadap pengembangan visi pembangunan. TPM terdiri dari 8 (delapan) butir kesepakatan. Antara lain (1) Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan; (2) Mencapai pendidikan dasar secara universal; (3) Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; (4) Mengurangi tingkat kematian anak; (5) Meningkatkan Kesehatan Ibu; (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; (7) Menjamin keberkelanjutan lingkungan; dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. TPM/MDGs mendorong pemerintah, lembaga donor dan organisasi masyarakat sipil di manapun untuk mengorientasikan kembali kerja-kerja mereka untuk mencapai target-target pembangunan yang spesifik, beserta tenggat waktunya yang terukur guna mencapai 8 tujuan pembangunan milenium dimaksud. Dari kedelapan butir TPM atau MDGs ini, isu kemiskinan menempati butir paling pertama. Dalam hal ini, pemberantasan kemiskinan di dunia mentargetkan pada tahun 2015 untuk mengurangi setengah dari penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 US$ sehari dan mengalami kelaparan. Hal ini membuktikan masalah kemiskinan sebagai masalah utama dunia. Namun demikian bukan berarti ke tujuh butir lainnya tidak berhubungan dengan kemiskinan. Justru kemiskinan diasumsikan menjadi fokus utama yang harus ditanggulangi sebagai prasyarat tercapainya butir tujuan pembangunan milenium yang lain. Indonesia berkepentingan dengan keberhasilan MDGs. Selain karena tujuh nilai dasar dari MDGs sudah menjadi amanat konstitusi negara (Pembukaan UUD 1945). Nilai dasar 1-2 MDGs tersebut masing-masing berbunyi menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar bagi semua, sesuai dengan Pembukaan UUD 45 yang berbunyi ; mewujudkan kesejahteraan umum dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan nilai dasar ke 3-5 mendorong kesetaraan gender, menurunkan angka kematian dan meningkatkan kesehatan ibu dan anak, memerangi penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, sesuai dengan pembukaan UUD 45 yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia. Sementara nilai dasar ke 6-7 melestarikan lingkungan, mengembangkan kemitraan global, sesuai dengan Pembukaan UUD 45 berbunyi “menjaga dan melaksanakan ketertiban dunia�?. Juga karena triple track program Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu sejalan dengan tujuh nilai dasar MDGs tadi yakni pengurangan pengangguran dari 10 % menjadi 6 %, pengurangan jumlah penduduk miskin dari 16 % menjadi 8 %, dan meningkatkan pertumbuhan dari 4 % menjadi 8 % pada tahun 2009. Tanggung Jawab Siapa Penanggulangan Kemiskinan ? Berkaitan dengan penanganan kemiskinan di era global, maka sering timbul pertanyaan mengenai tanggung jawab dalam penanggulangan kemiskinan. Pertanyaan ini sering menyeruak ke permukaan karena memang format penanganan masalah kemiskinan di berbagai dunia sangat bervariasi. Jika dikaitkan dengan model sistem kesejahteraan sosial di berbagai negara, sedikitnya kita mengenal empat model sistem (yang didasarkan pada alokasi anggaran) untuk kesejahteraan sosial yakni: Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara. Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta�?. Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali,
Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilangka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Dengan catatan, kecilnya anggaran kesejahteraan sosial untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan nampaknya terkait erat dengan keterbatasan anggaran negara secara keseluruhan. Dalam pembangunan kesejahteraan sosial, Indonesia jelas tidak sepenuhnya menganut negara kesejahteraan. Meskipun Indonesia menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial, namun letak tanggung jawab pemenuhan kebutuhan kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Prinsip keadilan sosial di Indonesia terletak pada usaha secara bersama seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Sehingga tidak ada yang paling utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan sosial adalah tanggung jawab pemerintah, juga masyarakat, dunia usaha dan komponen lainnya. Konsekuensinya harus terjadi saling sinergi dalam penanganan masalah sosial antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha bahkan khususnya perguruan tinggi sebagai pencetak kader bangsa. Demikian halnya dalam penanganan kemiskinan. Jika kita merujuk kembali pada persoalan penanggulangan kemiskinan, maka dalam kesempatan ini saya ingin mengemukakan bahwa “penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab bersama�?. Adalah keliru jika meletakkan tanggung jawab itu hanya pada pundak pemerintah atau hanya pada masyarakat. Pemerintah membuka tangan lebar-lebar bagi siapapun komponen bangsa untuk terlibat dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Melakukan usaha kesejahteraan sosial khususnya untuk menangani masalah sosial kemiskinan. Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Seiring dengan kesepakatan berbagai bangsa untuk “mengusir�? kemiskinan maka Indonesia tidak ketinggalan ikut serta mengagendakan pengurangan kemiskinan. Terdapat berbagai program pemerintah yang ditujukan untuk mengentaskan penyandang masalah kemiskinan. Departemen Sosial semenjak berdirinya republik ini, tidak pernah absen dalam upaya pengurangan kemiskinan.  Bahkan sejak saya menjabat sebagai Menteri Sosial, saya pun telah mengemukakan lima permasalahan sosial pokok yang harus ditangani Pemerintah (Depsos) antara lain masalah kemiskinan, kecacatan, ketunaan, keterlantaran dan korban bencana baik alam dan sosial. Tanpa meremehkan masalah lainnya, saya melihat masalah kemiskinan adalah masalah yang paling “urgent�?. Kemiskinan merupakan akar dari semua masalah sosial. Akar dari masalah pembangunan bangsa. Oleh karena itu selaras dengan prioritas dan kesepakatan dunia. Maka program Departemen Sosial juga menempatkan kemiskinan sebagai prioritas utama yang harus ditangani. Alokasi Anggaran Departemen Sosial tahun 2006 lebih dari 2,2 triliun rupiah, telah dialokasikan pada 5 kelompok sasaran dimana alokasi terbesar untuk kemiskinan, lebih dari Rp. 566 milyar. Keterlantaran Rp 207 milyar. Kecacatan Rp 54 milyar. Ketunaan sosial 41 milyar dan bencana alam dan sosial Rp. 500 milyar. Dalam pengurangan kemiskinan, kepercayaan pemerintah juga makin diberikan kepada Departemen Sosial sebagai penanggung jawab anggaran program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang disalurkan langsung kepada penduduk miskin beberapa waktu lalu. Program itu kini berganti menjadi Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) dengan nama: Program Keluarga Harapan (PKH). Ketika itu, program SLT banyak menimbulkan pro dan kontra. Namun harus pula diakui bahwa program itu telah berhasil dilihat dari sisi ; Pertama ; berhasil menjaga si miskin tidak “goncang/panik�? menghadapi kenaikan harga BBM. Bahkan ia menjadi tenang ketika ia mendapatkan “sedikit harapan�? dari bantuan SLT. Jika diasumsikan hanya untuk pengganti konsumsi BBM saja (bukan untuk konsumsi lainnya), uang rp 100/bulan cukup memadai bagi mereka. Kedua ; behasil memberikan pertolongan secara cepat, tanpa prosedur berbelit. Ketiga ; membuktikan kepercayaan Pemerintah kepada rakyat untuk menerima secara langsung dan menggunakan dananya sesuai kebutuhan. Kita berharap Program BTB PKH sekarang ini mampu menjadi koreksi terhadap SLT sehingga pertolongan darurat kepada si miskin semakin mengena pada tujuan yang diharapkan. Pemberdayaan Dalam Pengentasan Kemiskinan Di balik kegiatan rutin sebagai penanggung jawab penanganan permasalahan kemiskinan di Indonesia, Departemen Sosial juga berupaya mengemas penanganannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan dan profesinalisme. Disadari betapa kompleksnya permasalahan sosial baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga dalam penanganannya, tidak hanya mengandalkan “rasa belas kasihan semata�? namun perlu diarahkan secara sistematis, profesional dan berkesinambungan. Sebagai konsekuensinya, pendekatan Departemen Sosial dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat dipengaruhi oleh perspektif ilmu dan profesi pekerjaan sosial. Pekerjaan sosial oleh Brenda Dubois dan Karl Krogsrud Miley (1997) disebutkan termasuk sebagai profesi pemberdayaan. Terdapat delapan domain yang menjadi lingkup garapan profesi pekerjaan sosial sebagai profesi pemberdayaan, yaitu: (1) Street-level services; (2) The Great society programs; (3) The poor; (4) the Homeless; (5) The unemployed; (6) Criminal offenders; (7) Crime
and Funishment; (8) The criminal justice system.  Adapun domain “the poor�?, “the homeless�? dan “the unemployed�? sangat berhubungan dengan karakteristik kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu, tidak cukup hanya “charity�? maka selanjutnya harus diikuti dengan langkah “pemberdayaan�? dalam penanganan kemiskinan guna memperkuat keberfungsian sosial seseorang. Pendekatan pemberdayaan sosial adalah salah satu pendekatan dari sekian banyak pendekatan profesi pekerjaan sosial dalam menangani permasalahan sosial. Pemberdayaan sosial lebih ditonjolkan karena didalamnya terkandung dua aspek yakni (1) penentuan nasib sendiri dimana si miskin bebas menentukan solusi pemecahan masalahnya. Dan (2) pekerja sosial hanya menjadi fasilitator sedangkan pelakunya tetap kelayan/masyarakat pelaku pembangunan. Hal ini sesuai dengan prinsip pekerjaan sosial yang “bekerja dengan kelayan�? (work with client) bukan “untuk kelayan�? (work for client). Pekerja sosial memandang masalah dari titik pandang kelayan sehingga pekerja sosial tidak memaksakan kehendaknya dalam memberikan pertolongan. Dalam terminologi lain, kelayan juga dikenal sebagai fasilitator, dinamisator, motivator, tenaga penyuluh. Istilah yang akhir-akhir ini digunakan adalah konsultan pendamping. Pemberdayaan (empowerment) mempunyai beberapa pengertian. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary kata empower mengandung dua arti. Pertama adalah pengertian “to give ability to�? or “to enable�? yaitu memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas pada fihak lain. Sedangkan dalam pengertian kedua diartikan sebagai upaya memberi kemampuan dan keberdayaan. Memberi daya dimana daya ini dimaksimalkan sebagai “daya hidup mandiri�?. Selanjutnya A.M.W. Pranarka dan Vidhyadika Moelyarto menempatkan konsep pemberdayaan atau empowerment sebagai bagian dari “upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat bangsa, pemerintah, negara dan tata dunia dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga konsep pemberdayaan pada dasarnya, upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab�?. Dengan demikian konsep keberdayaan pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab yang semakin efektif secara struktural dalam bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional maupun internasional. Hulme dan Turner (1990) berpendapat bahwa pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional. Oleh karena itu pemberdayaan sifatnya individual sekaligus kolektif. Pemberdayaan juga merupakan suatu proses yang mengangkat hubungan kekuasaan/kekuatan yang berubah antara individu, kelompok dan lembaga-lembaga sosial. Adapun konteks keterberdayaan itu dapat mencakup (1) Perubahan sikap ; masyarakat miskin didorong, dibimbing dan dibantu kearah perilaku prososial yang normatif. (2) Peningkatan partisipasi sosial; Masyarakat yang merupakan sasaran kebijakan kesempatan turut berpartisipasi, bukan saja dalam hal mengambil keputusankeputusan khusus, tetapi juga dalam hal merumuskan definisi situasi yang merupakan dasar dalam pengambilan keputusan. Sehingga arah pembangunan menjadi berpihak pada masyarakat khususnya masyarakat miskin. (3) Solidaritas sosial ; pemberdayaan sosial mampu menciptakan suatu kondisi atau keadaan hubungan antara individu/kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.(4) Peningkatan kondisi ekonomi warga masyarakat ; melalui pemberdayaan sosial diharapkan terjadi peningkatan kondisi ekonomi dan peningkatan pendapatan warga,  khususnya warga miskin. (5) Peningkatan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga miskin ; lembaga keluarga miskin adalah juga sasaran pokok dalam pengentasan kemiskinan yang tujuannya untuk mengembalikan fungsi keluarga yang diharapkan, dimana fungsi ini semakin memudar seiring dengan ketidakmampuan menampilkan fungsi sosial warga miskin (6) Perubahan orientasi nilai budaya ; dari keseluruhan aspek pemberdayaan dalam rangka pengentasan kemiskinan, maka perubahan orientasi nilai budaya menjadi muaranya yang tentunya memerlukan proses yang tidak mudah. Perubahan dari sifat warga miskin seperti, apatis, malas, masa bodoh, menghalalkan segala cara, menuju pada orientasi nilai budaya yang prososial menjadi tujuan utama pada pengentasan kemiskinan. Implementasi Pemberdayaan Melalui KUBE dan LKM Di atas telah dikemukakan secara teoritis tentang pentingnya pemberdayaan dalam mengatasi kemiskinan. Selanjutnya secara praktis, Departemen Sosial melakukan penanganan kemiskinan melalui program reguler pemberdayaan masyarakat miskin seperti bantuan kelompok usaha bersama (KUBE) serta program terobosan melalui kerjasama yang melibatkan orsos dan LSM serta dunia usaha. Bahkan KUBE sudah lama dikenal dan menjadi trade mark Departemen Sosial. Mengapa melalui kegiatan kelompok? karena Departemen Sosial melihat penyandang masalah kemiskinan sebagai orang yang mengalami disfungsi sosial (social disfunctions). Artinya ia harus dirubah menjadi berfungsi sosial yakni mampu menampilkan peran dan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Si miskin tidak semata-mata ditingkatkan ekonominya tetapi yang lebih penting ia dilatih diberdayakan dalam wadah kelompok untuk mampu berperan dalam lingkungan sosialnya. Oleh karena itu dalam kelompok KUBE paling tidak dua unsur yang selalu ditekankan yaitu: Pertama keuntungan ekonomis dan kedua, keuntungan sosial. Unsur pertama lebih menekankan pada keuntungan ekonomis dari
perguliran hasil usaha yang diterima melalui paket bantuan “usaha ekonomis produktif (USEP)�? sedangkan unsur kedua lebih menekankan pada terjadinya interaksi sosial, kesetiakawanan sosial, kohesi sosial dan adhesi sosial antar anggota kelompok KUBE maupun dalam lingkungan sosialnya. Keuntungan ekonomis dengan mudah dapat dihitung tetapi keuntungan sosial memerlukan proses waktu untuk melihat keberhasilannya. Sementara itu, KUBE terus diberdayakan secara berkelanjutan. Asumsinya adalah: jika KUBE telah berhasil dari sisi ekonomi dan sosial, diharapkan KUBE tersebut berkembang menjadi sebuah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang menjangkau pelayanan kepada penyandang miskin lainnya untuk berkembang. LKM berfungsi membantu masyarakat miskin dalam melaksanakan usaha ekonomis produktif. LKM juga menjadi sarana menanggulangi kemiskinan. Melalui KUBE dan LKM maka hal ini berarti mendidik memberi “pancing�? dan tidak sekedar memberi “ikan�? pada si miskin. Pengalaman menunjukkan, bila bantuan yang kita berikan salah, justru akan mematikan kemandirian, inisiatif dan menimbulkan ketergantungan bagi si miskin. Bantuan yang diberikan harus mampu merangsang pengembangan potensi si miskin untuk mampu berfungsi sosial. Modal ke arah itu sudah ada. Pada dasarnya mereka penyandang kemiskinan adalah “the have little�?, mereka memiliki sesuatu meski sedikit. Entah tenaga, tradisi gotong royong, tanah, famili dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja (keras), namun produktivitasnya sangat rendah. Acapkali jam kerjanya tak terbatas, namun penghasilannya tetap minim, usahanya kurang berkembang dan hanya bertahan pada tingkat subsistensi. Mereka umumnya sekedar untuk dapat hidup/untuk makan. Dalam terminologi World Bank orang miskin demikian disebut economically active poor atau pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebanyak 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002 dalam Bambang Ismawan, Jurnal Ekonomi Rakyat, 2006). Terminologi economically active poor dalam pembahasan BPS disebut dengan kelompok miskin produktif (15-55 tahun). Untuk lebih meningkatkan efektivitas program penanggulangan kemiskinan maka penduduk miskin dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu (a) Usia lebih dari 55 tahun, yaitu kelompok masyarakat yang tidak lagi produktif (usia sudah lanjut, miskin dan tidak produktif), untuk kelompok ini program pemerintah yang dilaksanakan bersifat pelayanan sosial; (b) usia di bawah 15 tahun, yaitu kelompok masyarakat yang belum produktif (usia sekolah, belum bisa bekerja), program yang dilaksanakan bersifat penyiapan sosial; dan (c) Usia antara 15-55 tahun, yaitu usia sedang tidak produktif (usia kerja tetapi tidak mendapat pekerjaan, menganggur), program yang dilaksanakan bersifat investasi ekonomi, kelompok inilah yang seharusnya menjadi sasaran utama penanggulangan kemiskinan. Kiranya formula KUBE dan LKM sangatlah tepat. Melalui KUBE dan LKM si Miskin diharapkan dapat berdikari. Kemandirian itu tercipta karena 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda. Dengan makin banyaknya masyarakat miskin yang tertampung dalam program penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan KUBE, maka semakin banyak pula penyandang miskin yang mempunyai harapan untuk terentas dari kubangan kemiskinan. Pada akhirnya dengan makin banyaknya KUBE-KUBE dan LKM yang berhasil, maka hal itu berarti membantu memulihkan kondisi masyarakat dari kondisi miskin menjadi masyarakat yang berkesejahteraan sosial. Penutup Penanganan kemiskinan memerlukan keterlibatan semua fihak. Lintas fungsi maupun lintas sektor. Oleh karena itu, upaya sinergi perlu terus dilakukan agar tidak terjadi saling tumpang tindih dalam penanganannya. Tentunya langkah awal ke arah itu dapat dilakukan dengan mendasarkan pada data penyandang miskin yang riil dan valid. Dalam hal ini Departemen Sosial telah merintis data penyandang miskin lengkap tercantum nama dan alamatnya “by name - by address�?, Data ini merupakan hasil olah sahih data SLT terdahulu. Kita berharap data ini menjadi acuan semua pihak yang berkepentingan dalam penanganan masalah kemiskinan sehinga penanganannya lebih terpadu, terarah dan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Dengan tersedianya data yang jelas dan akurat diharapkan mampu merangsang keterlibatan seluruh komponen bangsa untuk terlibat aktif dalam penanganan kemiskinan. Semoga segala upaya kita menangani kemiskinan semakin hari semakin mampu membawa pada kejayaan bangsa.