DOKTRIN NIAT BAIK Ditulis pada Juli 14, 2007 oleh myartikel DOKTRIN NIAT BAIK Oleh: Supa Atha’na Doktrin niat baik adalah ungkapan Noam Chomsky (2006) dalam: Imperial Ambitions. Menurut Chomsky ada dua kecenderungan besar yang mewarnai konflik wacana pada ranah intelektual dan media di Amerika Serikat (AS) berkenaan dengan kebijakan politik luar negeri George Walker Bush untuk menginvasi Irak. Pertama, wacana yang beraliran ‘Idealisme Wilson (IW)’. Wacana ini mengandalkan aliran yang berbasis pada maksud baik. Kedua, wacana aliran ‘Realisme Sederhana (RS)’. RS ini bertumpu pada kesadaran adanya keterbatasan manusia untuk memahami secara utuh sebuah realitas. Seteliti dan secerdas apapun manusia dalam menelaah sebuah obyek realitas selalu tersedia ruang sisa yang tak dijamah oleh indra dan tak ternalar oleh otak manusia. Meski diwarnai perdebatan alot, pada akhirnya, kebijakan aliran IW yang kemudian memonopoli kebijakan Bush. Sebagaimana umumnya masyarakat AS, Chomsky pun tampak dingin menanggapi kenyataan ini. Ia menganggap bahwa sebuah kebijakan yang menyandarkan penuh pada niat baik belaka seringkali gagap dan gugup mengantisipasi kompleksitas masalah yang tersimpan dalam realitas nyata. Niat baik cenderung bombastis sekaligus fatalis. Nonsens! Kita seringkali dibuat tercengang oleh Barat dan orang yang dianggap cerdas. Sangat mendewakan rasio tapi seringkali ditemukan sikap dan tindakannya sangat tidak rasional. Oleh karena itu penting untuk dengan rendah hati mau belajar untuk memetik buah kesahajaan dan kesederhanaan dari kecerdikan realisme agar mampu meredam gejolak nafsu yang acapkali dipersembahkan pada altar suci atas nama demokrasi, Hak Azasi manusia (HAM), kebebasan, dan agama. Sikap dingin Chomsky ini tidak lain sebuah pesan penting yang menuntun kita untuk memahami dan mengenal demokrasi secara substansial. Tuntunan pemahaman itu, diantaranya; pertama, demokrasi secara semantik mewakili jenis kata benda (noun). Noun menemukan makna sejatinya pada sebuah artefak. Oleh karena itu, demokrasi akan menuai maknanya jika ia berhasil melahirkan sebuah produk demokrasi berupa institusi lengkap dengan pengamalan secara total dari sistem mekanisme yang melingkupinya dalam setiap waktu. Jika sebuah produk artefak institusi demokrasi tidak menjalankan fungsinya sebagaimana nilai demokrasi itu maka sebuah artefak institusi itu tidak bisa dimaknai sebagai sebuah artefak institusi demokrasi, tetapi artefak institusi lain; apakah itu tiran, otoriter, kerajaan atau apalah namanya. Kedua, sebuah artefak selalu akan menyediakan unsur-unsur pembentukan dari aura zaman, lingkungan, dan tradisi dari suatu tempat tertentu. Demokrasi pun demikian halnya. Demokrasi sejati ketika mampu memuat semangat zaman, situasi lingkunga, serta nilai tradisi yang ada dalam suatu wilayah tertentu. Demokrasi tidak bisa begitu saja diadopsi dari luar. Tidak bisa di copy paste. Kalau pun kita harus merujuk tetap saja dibutuhkan install ulang. Menyesuaikan alpabet dan cara pengucapan dimana suatu masyarakat berada. Sehingga ketika diafazkan demokrasi menjadi pas dengan rasa lidah kita. Tidak dibuat-buat dan terkesan dipaksakan. Hal penting lainnya, kita menjadi nyaman,enjoy, sekaligus bisa menghayati sesuai dengan kultur dan kepribadian kita masing-masing. Katakanlah Bush dan Tony Blair dimotivasi oleh visi dan keyakinan terhadap demokrasi dan Hak-hak Azasi Manusia (HAM) pada saat ingin menginvasi Irak. Tetapi mereka pun harus sadar
bahwa Irak itu dimana, juga sejarah dan budaya Irak bagaimana. Pada sisi lain AS dan Inggris juga dimana. Mereka satu sama lain merupakan entitas yang saling berjauhan dari berbagai aspek; budaya, geografis, dan sejarah tradisinya. Artinya, secara konsep dan norma demokrasi, Bush seharusnya tidak bisa memaksakan niat baik dan idealitasnya pada warga Irak. Sebab demokrasi dan nilai idealitas Bush pasti tidak cocok untuk rakyat dan negara Irak. Apatah lagi kalau dikawal dengan senjata; sesuatu yang sangat bertolak dengan prinsp-prinsip demokrasi itu sendiri. Salah satu prinsip demokrasi adalah adanya jaminan keamanan kepada individu untuk menyatakan menerima dan menolak sesuatu. Walhasil kebijakan idealisme Wilson tidak menghasilkan apa-apa bagi masyarakat Irak kecuali hanya semakin menambah parah sakit dan penderitaan rakyat Irak, memperlebar pertentangan antara kubu sunni-syiah, hingga memicu tumbuhnya perpecahan antar negara di wilayah Timur Tengah, dan kondisi ini terus berlanjut sampai sekarang meski telah dilakukan perundingan antara AS dengan Iran, 27 mei lalu di Irak. Segera setelah kesepakatan perundingan yang pertama 27 mei itu, ia disambut dengan peristiwa tragis secara beruntun. Ini sekaligus membuktikan bahwa demokrasi dan doktrin maksud baik memang tidak cukup hanya sekadar perbincangan di meja perundingan dan sekali jadi. Apatah lagi kalau maksud baik dan demokrasi itu hanya sekadar lipstick belaka, tentu tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan peradabannya. Demokrasi dan maksud baik bukan sekadar barang propaganda para politisi untuk menarik simpatik dan dukungan dari masyarakat. Lantas, kita pun harus bertanya demokrasi dan doktrin maksud baik itu untuk siapa? Apakah untuk kepentingan politik, ekonomi, dan sosial para kampium demokrasi itu saja? Pertanyaan ini wajar diajukan. Sebab pada kenyataannya episode demokrasi dan doktrin niat baik Bush untuk bangsa dan rakyat Irak sudah memasuki tahun keempat tetapi belum juga ada tanda-tanda menghasilkan buah yang bisa menentramkan dan mensejahterakan kehidupan rakyat Irak, malah sebaliknya yang terjadi, masyarakat Irak terus di hujani cerita 1001 bom. Tampaknya demokrasi dan doktrin niat baik memang tidak bisa dibiarkan begitu saja diklaim lewat bibir, opini, dan argumentasi belaka. Juga tidak bisa diwakilkan dan dinisbahkan atas nama kelompok, aliran, dan umat agama tertentu. Ia juga tidak bisa disamarkan dengan polesan ayatayat suci keagamaan. Bush, yang katanya telah dibaptis sebagai juru selamat, tidak juga bisa menyematkan keselamatan di negeri hikayat 1001 malam itu. Lebih penting dari semua itu adalah adanya manifestasi dan wujud kongkret dari sebuah gagasan dan doktrin. Sehingga demokrasi dan niat baik pun butuh legitimasi pada jalur yang bernama proses, perangkat, kebijakan, sikap dan perilaku untuk mewujudkannya. Kisah Bush ini juga mengisyaratkan bahwa konsep demokrasi dan doktrin niat baik pada ranah negara dan bangsa tidak bisa didiktekan dari atas (trickle down effect). Dengan kata lain, insiatif demokrasi dan doktrin niat baik tidak bisa di monopoli dari atas. Sebab gaya trickle down effect adalah mekanisme dan sistem yang akrab pada sebuah sistem monarchy, sekaligus style dan pola pikir pemimpin yang otoriter dan tiran. Mekanisme dan sistem demokrasi adalah, sebagaimana pengertiannya; pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, bergaya bottom up; rakyatlah yang harus proaktif mengajukan ide dan gagasan. Rakyat harus didengar dan dibiarkan untuk mengungkapkan gagasan dan keinginannya atas mekanisme dan sistem yang harus berlaku. Prinsip lain dari demokrasi adalah tidak memaksakan kehendak kepada orang lain meski meyakini sesuatu itu benar. Ada toleransi sekaligus penyesuaian (berkoresponden) dengan kondisi ril yang berkembang. Inilah adalah cara
berpikir dan perilaku pemimpin yang demokrat. Dalam perspektif kepemimpinan bugismakassar, To Manurung, ia memiliki arajang, paggaukang sehingga layak menjadi pemimpin. Bukan memaksakan kehendak idealnya semata sebagaimana yang dilakukan Bush. Cara Bush memaksakan ‘Idealisme Wistonnya’ walaupun berteriak bahwa motivasi dan niat baiknya berbasis pada keinginan untuk menyebarkan demokrasi dan menegakkan HAM, pada hakekatnya ia melanggar HAM dan demokrasi. Pada akhirnya episode demokrasi dan doktrin niat baik Bush di Irak walau sedikit terjadi perubahan bentuk skenario dengan setting perundingan tetapi tetap saja meminta peran adanya cucuran darah dan korban jiwa sebagai ciri khas dari episode demokrasi dan doktrin niat baik ala Bush. Penulis, Director of Center for Middle Eastern Studies, dan Pengurus IJABI Sulsel