BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradaban Islam dibangun atas peradaban teks. Al-Qur’an menjadi cermin peradaban umat Islam dalam menapaki langkah sejarah. Al-Qur’an telah menginspirasi para intelektual dan cendekiawan Muslim, sehingga dari teks-teks al-Qur’an terlahir bertonton teks yang lainnya. Hal ini menjadi khazanah Islam sebagai salah satu peradaban besar dunia. Sekaligus menunjukkan bahwa upaya penarikan makna teks al-Qur’an tidak mengenal kata final. Menganggap final sebuah penafsiran al-Qur’an, berarti menganggap bahwa makna Tuhan terbatas. Kenyataan bahwa al-Qur’an berasal dari Tuhan yang tidak terbatas, menyebabkan segala bentuk penafsiran menjadi sangat beragam karena keterbatasan manusia. Bahkan penafsiran pada zaman klasik, termasuk Sahabat-sahabat dekat Nabi juga mengalami perbedaan. Upaya rekonstruksi penafsiran terus dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan. Abdullah Saeed merupakan tokoh yang menawarkan sebuah metode panafsiran yang tidak hanya berorientasi pada teks Alqur’an, akan tetapi juga melihat kondisi sosio-historis ayat tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana biografi Abdullah Saeed? 2. Bagaimana pemikiran Abdullah Saeed dan apa yang melatarbelakanginya ? 3. Bagaimana komentar penulis terhadap pemikiran Abdullah Saeed? C. Tujuan 1. Mengetahui biografi Abdullah saeed. 2. Mengetahui bagaimana pemikiran Abdullah saeed dan sesuatu yang melatarbelakanginya. 3. Mengetahui komentar penulis terhadap pemikiran Abdullah Saeed.
1
BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Abdullah Saeed Abdullah Saeed adalah seorang professor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourn, Australia.1 Beliau lahir dari Maldives (Maladewa) pada tanggal 25 September 1964.2dan merupakan keturunan bangsa Arab Oman.3 Kemudian pada tahun 1997, beliau hijrah ke madinah untuk menimba ilmu, di sana beliau mengikuti beberapa lembaga pendidikan Bahasa Arab, diantaranya Institut Bahasa Arab Dasar (1977-1979), Institut Bahasa Arab Menengah (1979-1982), dan Universitas Islam Saudi Arabia (1982-1986) dengan gelar Bachelor’s of Arts (BA) dalam Bahasa Arab dan Studi Islam.4 Kemudian pada tahun berikutnya Abdullah Saeed pindah ke Australia untuk melanjutkan program Magister (MA) dalam bidang Applied Linguistic (Linguistic Terapan) dan Doktoral (Ph. D) dalam bidang Islamic Studies di University of Melbourne.5 Selain Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, Abdullah saeed juga menguasai Bahasa maldivia, Urdu, Jerman bahkan Bahasa Indonesia.6 Tahun 1993, beliau bergabung sebagai dosen di Department of Asian Languages and Anthroplogy pada University of Melbourn, serta menjadi anggota asosiasi profesor pada tahun 2000 dan saat ini ia menjadi direktur National Center of Excelence for Islamic Studies dari University of Melbourn kemudian pada tahun 2003 Abdullah saeed mendapatkan penghargaan dari Sultan Oman sebagai Profesor Bidang Bahasa Arab dan Islamic Studies.7 Diantara karya-karya Abdullah saeed yang dipublikasikan yaitu The Qur’an: An Introduction diterbitkan di London dan New York oleh Routledge tahun 2008, Islamic Thought: An Introduction, diterbitkan di London dan New York oleh Routledge tahun 2006, Kurdi, “Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis” (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hal. 205. MK Ridwan, “Metodologi Penafsiran Kontekstual; Anlisis Gagasan dan Prinsip Kunci Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed”, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 1, No. 1, Edisi 1 Juni 2016, hal. 5. 3 M. Solahuddin, “Membincang Pendekatan Kontekstualis Abdullah Saeed Dalam Memahami Al-Qur’an” Jurnal QOF, Vol 2, No. 1, hal. 50. 4 M. Solahuddin, “Membincang Pendekatan Kontekstualis Abdullah Saeed Dalam Memahami Al-Qur’an”, hal. 5. 5 Hatib Rachmawan, “Hermeneutika Al-Qur’an Kontekstual: Metode Menafsirkan Al-Qur’an Abdullah Saeed”, Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman Afkaruna, Vol 9, No. 2, Juli-Desember 2013, hal. 150. 6 Imron Mustofa, “Kritik Metode Kontekstualisasi Penafsiran Al-Qur’an Abdullah Saeed” Islamica: Jurnal Studi KeIslaman, Vol. 10, No. 2, Maret 2016, hal. 467. 7 Hatib Rachmawan, “Hermeneutika Al-Qur’an Kontekstual: Metode Menafsirkan Al-Qur’an Abdullah Saeed”, hal. 150. 1 2
2
Interpreting The Qur’an: Towards a Contemporary Approach diterbitkan di London dan New York oleh Routledge tahun 2006, dan masih banyak lagi.8 B. Pemikiran tafsir Abdullah Saeed 1.
Landasan Teoritis Penafsiran Kontekstual. a) Konsep Wahyu . Bangunan argumentasi tentang wahyu Abdullah Saeed, didasarkan pada penekanannya dalam aspek historis-psikologis pewahyuan. Yaitu mencoba melihat keterkaitan antara wahyu, Nabi, dan misi dakwahnya dengan konteks sosio-historis di mana al-Qur’an diwahyukan. Sebuah kenyataan bahwa alQur’an diturunkan bukan dalam ruang hampa budaya. Memperlihatkan adanya peran aktif Nabi sebagai seorang manusia dalam proses pewahyuan. Hal ini sekaligus menolak pandangan dominan kaum Muslim bahwa Nabi adalah penerima pasif, dan bahwa pewahyuan berlangsung pada level meta-historis yang tidak menerima pengaruh langsung dari konteks aktualnya. Pemahaman ini menurut Saeed, justru akan menyempitkan dimensi wahyu karena cenderung mengabaikan hubungan organik antara pewahyuan dan konteksnya.9 Menurut Saeed, secara global wahyu mengalami empat level proses, yakni: level pertama, wahyu berada di alam ‘gaib’ (ghayb) dan dipastikan tidak dapat diketahui (di luar domain pemahaman manusia).10 Proses ini dimulai ketika Tuhan pertama kali mewahyukan al-Qur’an ke al-lauh al-mahfuzh, dan kemudian ke langit bumi dan dihafal oleh Ruh (dipahami sebagai malaikat penyampai wahyu) yang akan membawa pewahyuan kepada sang Nabi. (Allah– al-Lauh al-MahfuzhLangit Dunia–Ruh). Sehingga dalam level ini apapun “kode” dan “bahasa” yang digunakan untuk proses pewahyuan tidak bisa diakses oleh manusia atau hanya dengan memahami secara spekulatif mengenai mode atau kodenya.11 Level kedua, pewahyuan mencapai Nabi, dan ia diwahyukan ke dalam “hatinya”. Masuknya wahyu ke dunia fisik berarti bahwa wahyu terjadi dalam bentuk yang bisa dipahami oleh manusia.12 Oleh karena itu, kemudian Nabi mengucapkannya dalam bentuk bahasa Arab (bahasa yang dipahami oleh Nabi dan masyarakat), dan untuk
Kurdi, “Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis”, hal. 207. Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; TafsirKontekstual, terj. ErvanNurtawab (Bandung: Mizan, 2016), hal. 97. 10 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an (New York: Routledge, 2006) hal. 39. 11 Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, terj. ErvanNurtawab hal. 97. 12 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hal. 40 8 9
3
pertama kalinya dalam konteks kemanusiaan. Begitu pewahyuan diekspresikan dalam bahasa Arab, saat itulah wahyu mulai berperan dalam sejarah.13 Secara spesifik berkaitan dengan keadaan-keadaan, kebutuhan-kebutuhan, dan persoalan-persoalan Nabi dan masyarakatnya dengan berbagai bentuk norma-norma, adat-istiadat, sistemsistem dan institusiinstitusi masyarakat tersebut. (Ruh–Hati Nabi–Eksternalisasi– Konteks SosioHistoris). Level ketiga, pada level ini pewahyuan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat umat Islam. Wahyu menjadi sebuah teks (oral atau tertulis), yang dinarasikan, dikomunikasikan, diajarkan, dijelaskan, dan diaplikasikan14. Melalui cara ini, wahyu telah menjadi bagian vital yang hidup dalam sebuah komunitas membentuk realitas akibat dari aktualisasi pewahyuan.15 (Teks–Konteks–Teks yang Meluas). Level keempat, pada level ini melibatkan dua dimensi pewahyuan: (1) praktik yang dipandu oleh wahyu yang berawal dari Nabi dan komunitasnya dan terus ditransmisikan kepada generasi-generasi berikutnya16 (2) petunjuk ilahiah dalam bentuk ilham atau inspirasi untuk memberikan panduan kepada mereka yang sadar akan kehadiran-Nya dan yang berusaha mempraktikkan firman-Nya di dalam kehidupan mereka.17 b) Perhatian terhadap Konteks Sosio-Historis . Menurut Saeed, banyak ayat al-Qur’an, khususnya ayat-ayat ethico-legal, sulit dipahami secara baik, tanpa memperhatikan konteks sosio-historis masa pewahyuan. Konteks sosio-historis bertujuan untuk menjadikan ayat-ayat ethicolegal bermakna dan relevan untuk kehidupan Muslim kontemporer. Perlunya pemahaman konteks sosiohistoris adalah untuk bisa mengakrabi konteks, agar bisa menghasilkan pemahaman alQur’an yang peka konteks pada tingkat yang lebih luas.18 Untuk memahami konteks sosio-historis, mufasir membutuhkan pengetahuan akan kehidupan Nabi secara mendetail baik di Makkah maupun di Madinah, seperti; iklim sosial, ekonomi, politik, hukum, kultural dan intelektual; institusi dan nilai yang Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21, hal. 98. Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; TafsirKontekstual, terj. ErvanNurtawab, hal. 40. 15 ibid., hal. 98. 16 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hal. 41 17 Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; TafsirKontekstual, terj. Ervan Nurtawab, hal. 99 18 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hal. 125 13 14
4
berlaku di wilayah Hijaz dan sekitarnya. Termasuk tempat tinggal, pakaian dan minuman; relasi sosial, termasuk di dalamnya struktur keluarga, hierarki sosial, larangan (pantangan) dan ritus (upacara). Bahkan dalam konteks yang lebih luas; konteks budaya yang membentang di wilayah Mediterania, mulai dari Yahudi, Kristen, Arab Selatan, Ethiopia hingga Mesir. Perhatian ini akan membantu dalam mencari relasi antara al-Qur’an dan lingkungan tempat pewahyuan.19 2.
Prinsip-prinsip Epistemologis Interpretasi Kontekstual. a) Fleksibilitas Pembacaan Teks. Menurut Saeed, pemahaman terhadap fleksibilitas al-Qur’an, dapat ditelusuri ke dalam dua aspek, yakni; (1) perbedaan cara baca (qira’at); dan (2) ‘penghapusan’ atau ‘penggantian’ redaksi suatu ayat dengan ayat lain (naskh). Dalam konteks ini, menurut Saeed, Nabi Muhammad sangat fleksibel dalam hal model pembacaan terhadap alQur’an. Kenyataan bahwa, al-Qur’an diturunkan menggunakan ‘tujuh dialek’ generasi Sahabat diperbolehkan membaca al-Qur’an sesuai dengan dialek pilihan atau yang mereka kuasai. Selanjutnya, adalah fenomena naskh, di mana fleksibilitas tentang perubahan ketetapan hukum ketika pewahyuannya masih berlangsung yang lebih banyak disesuaikan dengan kondisi saat itu. Bagi Saeed, fleksibilitas dalam bidang cara baca al-Qur’an dan perubahan ketetapan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi umat Islam dalam aktualisasi ajaran Islam. Sehingga, yang menjadi inti fleksibilitas al-Qur’an menurut Saeed, adalah bagaimana pelajaran dari
fakta
tersebut,
dipahami
sebagai
upaya
Nabi
dalam
mengakomodir
kebutuhankebutuhan zaman pada masa itu, untuk kemudian ditarik ke dalam pengalaman saat ini. Nabi telah memungkinkan fleksibilitas demi menyesuaikan alQur’an dengan kebutuhan umat pada masa itu. Sehingga, konsep terhadap fleksibilitas al-Qur’an bisa digunakan dan menjadi argumen serta justifikasi bagi praktek penafsiran baru atas al-Qur’an, demi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan umat saat ini (abad 21).20 b) Pengakuan atas Kompleksitas Makna.
19
Ibid, hal. 117. Lien Iffah Naf’atuFina, “Interpretasi Kontekstual; Sebuah Penyempurnaan terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman, Hermeneutik (Vol. 9, No. 1, Juni 2015), hal. 75. 20
5
Adanya kompleksitas makna yang berlapis di dalam al-Qur’an, Saeed mengusulkan pengakuan akan adanya tingkat ketidakpastian dan kompleksitas makna, pentingnya konteks (linguistik, sosio-historis, dan budaya), dan legitimasi multipemahaman.21 Oleh karena itu, Saeed mengajukan beberapa prinsip dalam memahami kompleksitas makna, yakni Pertama, pengakuan akan ketidakpastian dan kompleksitas (kerumitan) makna. Para kontekstualis memandang bahwa objektivitas penafsiran merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Karena mufasir tidak dapat mendekati teks tanpa terlebih dahulu terpengaruh oleh pengalaman, nilai, keyakian, dan prasangka tetentu.22 Kedua, mengakui adanya perubahan dalam makna. Para kontekstualis memandang bahwa makna sebuah kata tidaklah statis; makna akan berubah seiring perkembangan ilmu bahasa (linguistik) dan lingkungan budaya sebuah masyarakat. Bagi Saeed, apa yang dianggap sebagai makna ‘inti’ sebuah kata tidaklah statis.23 Makna bukanlah objek konkret, yang bisa dibongkar begitu saja, karena makna adalah entitas mental.24 Ketiga, mempertimbangkan ayatayat ethico-legal sebagai diskursus. Menurut para kontekstualis, bahasa adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan wacana lebih konkret. Al-Qur’an tidak cukup dipahami sebagai sebuah teks bahasa. Karena pembentukkan teks sebagai wahyu dalam konteks sosio-historis tertentu menunjukkan bahwa al-Qur’an pada dasarnya adalah wacana (bahasa yang berada dalam konteks).25 Keempat, mengakui aspek-aspek yang membatasi makna teks. Saeed menegaskan, meskipun dia berpandangan akan kemustahilan objektivitas total dalam penafsiran, namun tidak berarti mengimani subjektivitas dan relativitas total.26 Menolak obyektivitas total bukan berarti penafsiran menjadi arena bebas bagi subyektivis dan relativis, dalam artian penafsir bisa mendekati teks sesuka dan Sahiron Syamsuddin, “Argumentasi Abdullah Saeed dalam Mengusung Pendekatan Kontekstualis dalam Penafsiran al-Qur’an” kata pengantar dalam Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an, terj. Lien Iffah Naf’atu Finadan Ari Henri (Yogyakarta: Ladang Kata dan Baitul Hikmah Press, 2016), hal. viii-ix. 22 Sheyla NichlatusSovia, “Interpretasi Kontekstual; Studi Pemikiran Hermeneutika alQur’an Abdullah Saeed”, Dialogia (Vol. 13, No. 1, 2013), hal. 42. 23 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hal. 76. 24 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, h. 102. 25 Ibid, hal. 103 26 Ibid, hal. 106 21
6
sekehendanya.27 Menurut Saeed, penafsiran bagaimanapun memiliki aturan yang melahirkan batasan-batasan dalam menentukan makna, yakni: (1) Penafsiran Nabi; (2) konteks kelahiran teks; (3) peran pembaca (reader); (4) hakikat teks; (5) konteks kultural. Kelima, makna literal sebagai titik berangkat penafsiran. Menurut Saeed, setiap orang yang hendak menafsirkan al-Qur’an harus menguasai bahasa Arab, bisa membaca, menulis, dan memahaminya, tidak hanya pada level fungsi tapi juga pada level linguistik, sastra dan stilistika. Cara ini memberikan beberapa manfaat dan keuntungan, di antaranya: (1) menghindari dan membatasi terhadap lompatan imajinatif tak terbatas dalam memproduksi makna; (2) membantu membangun doktrin dan sistem teologis di atas pondasi yang lebih kokoh dan mendasar.28 c) Makna Teks sebagai sebuah Taksiran. Menurut Saeed, banyak sisi-sisi dari al-Qur’an yang memberikan kemungkinan terhadap keberagaman penafsiran dan hanya bersifat perkiraan semata. Selain kompleksitas kandungan al-Qur’an atas berbagai macam tema, ide-ide, gagasan, nilai, dan genre teks, al-Qur’an juga mengakui adanya ayat-ayat mutasyabihat. Saeed kemudian, membagi ayat-ayat al-Qur’an ke dalam empat jenis yang sulit untuk dipahami sehingga sifatnya hanya sebagai sebuah taksiran (approximation), yakni: (1) ayat-ayat teologis; (2) ayat-ayat kisah; (3) ayat-ayat perumpamaan; dan (4) ayat-ayat yang berorientasi praktis, yaitu ayat yang bermuatan ethico-legal.29 Klasifikasi yang dibuat oleh Saeed, berimplikasi pada pemahaman bahwa setiap ayat al-Qur’an pada dasarnya tidak bisa diperlakukan secara general atau sama. Masing-masing
ayat
memiliki
karakteristik
unik
tersendiri
sehingga
membutuhkan cara dan pendekatan yang berbeda pula. Hal ini akan memberikan penafsiran yang relatif adil, ketimbang hanya mengandalkan pemahaman literalisme terhadap setiap ayat. Pandangan ini juga memberikan justifikasi bahwasanya setiap bentuk penafsiran seseorang hanyalah bersifat taksiran, bahkan suatu kemustahilan bagi seorang mufasir dapat memahami secara keseluruhan dari al-Qur’an.
27
Ibid, hal. 104 Ibid, hal. 107 29 Ibid, hal. 107-108 28
7
3.
Latar belakang pemikiran Abdullah Saeed Abdullah Saeed merupakan tokoh yang memiliki latar belakang pendidikan Bahasa dan Sastra Arab serta Studi Timur Tengah yang baik dan professional. Selain itu ia juga seorang yang mampu melihat secara kritis dialektis setiap problem keagamaan yang sedang dihadapi pada zamannya.30 Berawal dari sebuah realitas dimana tradisi umat islam yang selalu didominasi oleh kaum tekstualis, yaitu kelompok yang mengadopsi pendekatan literalistic terhadap teks, sehingga Abdullah Saeed berkeinginan untuk mengimbangi pendekatan yang tidak hanya terhadap teks dengan sebuah metodologi tafsir yang dia sebut sebagai “tafsir kontekstual” yaitu sebuah pendekatan yang bukan hanya melihat aspek linguistic teks, akan tetapi juga konteks sosio-historis masa pewahyuan dan konteks penafsiran.31 Abdullah Saeed juga menyebutkan beberapa tokoh dalam karyanya Interpreting the Qur’an yaitu Fazlur Rahman, Muhammad Arkun, farid Esack, Ghulam Ahmad Parvez, dan Khalid Abou El Fadl32 yang memberikan kontribusi terhadap penafsiran kontekstual yang ingin diaktualisasikan olehnya. Namun meskipun demikian, tampaknya Saeed lebih terpengaruh pada Fazlur Rahman, hal ini dilihat dari beberapa karyanya yang menyinggung bahwa pada dasanya proyek tafsir yang digagasnya banyak dipengaruhi oleh Fazlur Rahman, bahkan Abdullah Saeed mengakui kontribusi orisinil rahman dalam memberikan metodologi alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat ethico-legal, yaitu menghubungkan teks dengan konteks baik pada masa pewahyuan maupun masa kini. Karena keterpengaruhan inilah Abdullah Saeed dianggap Rahmanian, juga dianggap meneruskan dan menyempurnakan metodologi tafsir Fazlur Rahman.33 Abdullah Saeed mengutip pendapat Fazlur Rahman bahwa dalam membebaskan pesan abadi Al-Qur’an, sebuah pergerakan ganda perlu dilakukan, yang pertama, seseorang harus memahami makna dari pernyataan yang diberikan dengan mengkaji situasi historis atau masalah yang telah diberi jawaban, Kedua seseorang harus melakukan generalisasi atas jawaban spesifik dan mengartikulasikannya sebagai pernyataan mengenai tujuan moralsosial umum yang bisa ‘disaring’ dari teks-teks
MK Ridwan, “Metodologi Penafsiran Kontekstual; Anlisis Gagasan dan Prinsip Kunci Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed”, hal 6 31 Interpreting the qur’an hal 1 32 Ibid. hal 33 Kurdi, “Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis”, hal. 209. 30
8
spesifik dengan mempertimbangkan latar belakang sosio-historisnya”, kemudian, hal yang umum harus diwujudkan dalam konteks sosio-historis yang konkret saat ini.34 C. Komentar Penulis Terhadap Pemikiran Abdullah Saeed Penulis pada dasarnya setuju dengan gagasan pendekatan kontekstualis yang digagas oleh Saeed. Karena, langkah-langkah penafsiran yang disampaikan Saeed bisa menjadi jembatan antara celah ulama klasik dan para pemikir modern. Dengan kata lain, Saeed menghargai pemikiran klasik yang menyimpan banyak informasi. Pemikiran-pemikiran yang terkadang terkesan agak kuno tersebut terkadang memang perlu ditambahi dengan ide-ide segar yang diberikan oleh para cendekiawan kontemporer, termasuk para ilmuwan ilmu sosial dan humaniora serta ilmu eksakta yang sebagian (besar) tokohnya adalah non muslim. Gagasan yang disampaikan Saeed dapat disebut sebagai usaha pembaharuan terhadap ajaran Islam, khususnya hukum Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan Saeed maupun para pemikir Islam kontemporer lainnya melihat ajaran-ajaran Islam yang terkadang terlihat “kadaluarsa” di wilayah-wilayah tertentu, misalnya di Barat dimana kesetaraan gender telah berlangsung lama. Maka, teks kitab suci dimana ajaran Islam berasal yang secara tekstual terkesan “kurang” mengangkat tema emansipasi wanita ditafsirkan ulang agar sesuai dengan tradisi di Barat. Hal ini sebenarnya tidak menjadi persoalan karena memang ruh dari ajaran Islam sebenarnya adalah kesetaraan gender atau emansipasi wanita. Contoh lainnya adalah soal perbudakan di mana banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung masalah budak. Akan tetapi, ruh dari ajaran Islam sebe-narnya adalah menghapus perbudakan, bukan mengamini adanya perbudakan. Buktinya, sekarang sudah tidak ada lagi yang disebut budak di dunia Islam meski ada kata “budak” dalam kitab suci mereka. Ini dapat dibandingkan dengan kondisi Amerika Serikat yang masih mengimpor budak-budak dari Afrika pada abad ke-19 M, sementara semangat ajaran Islam sejak satu milenium yang lalu sudah berusaha menghapus perbudakan. Menurut penulis, pemikiran Saeed hanya perlu diterapkan di wilayah-wilayah umat Islam dimana memang mengharuskan adanya penafsiran ulang terhadap ajarannya. Artinya, jika ada umat Islam di wilayah tertentu yang menerapkan ajaran Islam secara tekstual dan itu tidak menjadi persoalan bagi mereka, maka gagasan Saeed tidak perlu diterapkan. Misalnya, jika ada masyarakat Muslim yang menerapkan pembagian harta warisan 1:2 untuk wanita dan 34
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab (Bandung: Mizan, 2016), hal. 44.
9
pria, dan mereka merasa santai aja dan menerimanya dengan lapangdada, maka itu tidak perlu diotak-atik. Karena, menurut penulis, kehadiran al-Qur’an dan tafsir-nya yang ditulis para ulama adalah untuk menyelesaikan masalah, bukan malah menimbulkan masalah baru. Maka, idealnya, penafsiran yang ada berusaha memberikan solusi atas persoalan tersebut. Di sini, pendekatan yang ditawarkan cendekiawan Muslim maupun orientalis dapat digunakan untuk menafsirkan dalam rangka mencari solusi atas persoalan yang ada, bukan malah membawa isu di Barat yang belum tentu menjadi persoalan di negeri ini. Menurut penulis, kita sebaiknya mencari solusi melalui penafsiran al-Qur’an terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi Indonesia tercinta. Jadi, penafsirkan al-Qur’an seharusnya dapat menawarkan solusi atas persoalan yang sedang dihadapi masyarakat di mana sang mufassir hidup.
10
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Abdullah Saeed adalah seorang professor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourn, Australia. Beliau lahir dari Maldives (Maladewa) pada tanggal 25 September 1964. dan merupakan keturunan bangsa Arab Oman. Kemudian pada tahun 1997, beliau hijrah ke madinah untuk menimba ilmu, di sana beliau mengikuti beberapa lembaga pendidikan Bahasa Arab, diantaranya Institut Bahasa Arab Dasar (1977-1979), Institut Bahasa Arab Menengah (1979-1982), dan Universitas Islam Saudi Arabia (1982-1986) dengan gelar Bachelor’s of Arts (BA) dalam Bahasa Arab dan Studi Islam. Kemudian pada tahun berikutnya Abdullah Saeed pindah ke Australia untuk melanjutkan program Magister (MA) dalam bidang Applied Linguistic (Linguistic Terapan) dan Doktoral (Ph. D) dalam bidang Islamic Studies di University of Melbourne. Selain Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, Abdullah saeed juga menguasai Bahasa maldivia, Urdu, Jerman bahkan Bahasa Indonesia. Tahun 1993, beliau bergabung sebagai dosen di Department of Asian Languages and Anthroplogy pada University of Melbourn, serta menjadi anggota asosiasi profesor pada tahun 2000 dan saat ini ia menjadi direktur National Center of Excelence for Islamic Studies dari University of Melbourn kemudian pada tahun 2003 Abdullah saeed mendapatkan penghargaan dari Sultan Oman sebagai Profesor Bidang Bahasa Arab dan Islamic Studies. 2. Landasan Teoritis Penafsiran Kontekstual. a) Konsep Wahyu b) Perhatian terhadap Konteks Sosio-Historis. Prinsip-prinsip Epistemologis Interpretasi Kontekstual. a) Fleksibilitas Pembacaan Teks. b) Pengakuan atas Kompleksitas Makna. c) Makna Teks sebagai sebuah Taksiran. Sedangkan latar belakang pemikirannya berawal dari sebuah realitas dimana tradisi umat islam yang selalu didominasi oleh kaum tekstualis, yaitu kelompok yang mengadopsi pendekatan literalistic terhadap teks, sehingga Abdullah Saeed berkeinginan untuk mengimbangi pendekatan yang tidak hanya terhadap teks dengan sebuah metodologi tafsir 11
yang dia sebut sebagai “tafsir kontekstual” yaitu sebuah pendekatan yang bukan hanya melihat aspek linguistic teks, akan tetapi juga konteks sosio-historis masa pewahyuan dan konteks penafsiran. 3. Menurut penulis, pemikiran Saeed hanya perlu diterapkan di wilayah-wilayah umat Islam dimana memang mengharuskan adanya penafsiran ulang terhadap ajarannya. Artinya, jika ada umat Islam di wilayah tertentu yang menerapkan ajaran Islam secara tekstual dan itu tidak menjadi persoalan bagi mereka, maka gagasan Saeed tidak perlu diterapkan. Misalnya, jika ada masyarakat Muslim yang menerapkan pembagian harta warisan 1:2 untuk wanita dan pria, dan mereka merasa santai aja dan menerimanya dengan lapang dada, maka itu tidak perlu diotak-atik. Karena, menurut penulis, kehadiran al-Qur’an dan tafsir-nya yang ditulis para ulama adalah untuk menyelesaikan masalah, bukan malah menimbulkan masalah baru. B. Saran Demikianlah penyusunan makalah ini. Harapan kami dengan adanya tulisan ini bisa menjadikan kita untuk lebih baik lagi, serta dapat bermanfaat dan bisa difahami oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca, khususnya dari Dosen yang telah membimbing kami.
12
DAFTAR PUSTAKA
Kurdi. “Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis”. Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010. Ridwan, MK. “Metodologi Penafsiran Kontekstual; Anlisis Gagasan dan Prinsip Kunci Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed”. Journal of Islamic Studies and Humanities. Vol. 1, No. 1, Edisi 1 Juni 2016. Solahuddin .M., “Membincang Pendekatan Kontekstualis Abdullah Saeed Dalam Memahami Al-Qur’an” Jurnal QOF. Vol 2. No. 1. Rachmawan. Hatib “Hermeneutika Al-Qur’an Kontekstual: Metode Menafsirkan Al-Qur’an Abdullah Saeed”, Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman Afkaruna. Vol 9. No. 2, Juli-Desember 2013. Mustofa. Imron “Kritik Metode Kontekstualisasi Penafsiran Al-Qur’an Abdullah Saeed” Islamica: Jurnal Studi KeIslaman. Vol. 10, No. 2. Maret 2016. Saeed. Abdullah. Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual. terj. Ervan Nurtawab Bandung: Mizan. 2016. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, New York: Routledge, 2006. Fina. Lien Iffah Naf’atu. “Interpretasi Kontekstual; Sebuah Penyempurnaan terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman. Hermeneutik. Vol. 9, No. 1, Juni 2015. Syamsuddin.
Sahiron.
“Argumentasi
Abdullah
Saeed dalam
Mengusung
Pendekatan
Kontekstualis dalam Penafsiran al-Qur’an” kata pengantar dalam Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an, terj. Lien IffahNaf’atuFinadan Ari Henri. Yogyakarta: Ladang Kata dan Baitul Hikmah Press. 2016. Sovia. Sheyla Nichlatus. “Interpretasi Kontekstual; Studi Pemikiran Hermeneutika AlQur’an Abdullah Saeed”. Dialogia Vol. 13, No. 1. 2013.
13