Pembahasan_asbabun_nuzul.docx

  • Uploaded by: Ayu Amelia
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembahasan_asbabun_nuzul.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 13,536
  • Pages: 49
PEMBAHASAN ASBABUN NUZUL 2.1 Pengertian Asbabun Nuzul Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti sebab-sebab turunnya ayat-ayat AlQur’an. Kalimat Asbabun Nuzul berasal dari gabungan dua kalimat atau dalam bahasa arab disebutnya kalimat idhafah. Kalimat ‘Asbab’ jamak dari ‘Sababa’ yang artinya sebab-sebab, dan nuzul berarti turun. Yang dimaksud disini adalah ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut istilah (terminologi) asbabun nuzul memiliki banyak pengertian, diantaranya : 1. Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, seorang ahli tafsir, mendefinisikan asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang kemudian turun ayat yang membicarakan atau menjelaskan ketentuan hukum mengenai peristiwa itu, 2. Definisi menurut Dr. Subhi Shaleh ialah asbabun nuzul itu suatu perkara yang menyebabkan turunnya ayat, baik berupa jawaban ataupun sebagai penjelasan yang diturunkan saat peristiwa itu terjadi. 3. Ash-Shabuni mendefinisikan asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya beberapa ayat yang berhubungan dengan kejadian itu, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi SAW ataupun kejadian yang berkaitan dengan urusan agama. 4. Manna’ Al-Qattan mendefinisikan asbabun nuzul adalah suatu hal yang karena hal itu Qur’an diturunkan untuk menjelaskan hukumnya pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa ataupun pertanyaan. 5. Nurcholis Madjid menyatakan bahwa asbabun nuzul adalah konsep, teori, atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-qur’an kepada nabi saw, baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat atau satu surat. Dari semua pengertian atau definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asbabun nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi apa-apa yang turun dalam al-qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan atau memberikan keterangan tentang persoalan ataupun peristiwa. Mengutip pengertian dari Dr. Subhi Shaleh, kita dapat mengetahui ada kalanya asbabun nuzul berupa peristiwa atau juga berupa pertanyaan. Asbabun nuzul berupa peristiwa itu terbagi menjadi 3, yaitu : 1. Peristiwa berupa pertengkaran Kisah turunnya surat Ali-Imran : 100 , yang bermula dari adanya perselisihan antara Suku Aus dan Suku Khazraj, Perselisihan ini timbul dari intrik-intrik yang ditiupkan orang –orang Yahudi, sehingga mereka meneriakkan “Senjata, Senjata”.

2. Peristiwa berupa kesalahan yang serius, contohnya peristiwa seseorang yang mengimami sholat dalam keadaan mabuk, sehingga salah dalam membaca surat Al-Kafirun. Peristiwa ini menyebabkan turunnya surat An-Nisa’: 43. 3. Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan, contohnya keinginan Umar bin Khattab ingin menjadikan makam nabi Ibrahim sebagai tempat sholat yang dikemukakan kepada Nabi SAW dan dijawab dengan turun ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 125 : 4. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Anas ra. Asbabun Nuzul dalam bentuk pertanyaan ada 3 macam, yaitu : 1. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu, seperti : ‫سأَتْلُو َعلَ ْي ُكم ِم ْنهُ ِذ ْكرا‬ َ ‫َو َي ْسأَلُونَكَ َعن ذِي ْالقَ ْرنَي ِْن قُ ْل‬ “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah : Akan kubacakan kepadamu kisahnya.” (QS. Al-Kahfi : 83). 2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang terjadi pada saat itu, contohnya ayat : ‫ح ِم ْن أ َ ْم ِر َربِي َو َما أُوتِيتُم ِمن ْال ِع ْل ِم إِالَّ قَ ِليل‬ ُ ‫الرو‬ ُّ ‫الروحِ قُ ِل‬ ُّ ‫َويَ ْسأَلُونَكَ َع ِن‬ “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah : Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85) 3. Pertanyaan tentang masa yang akan datang Allah menurunkan surah al-Nazi’at (79) ayat 42 yang berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah SAW tentang masa yang akan datang, yaitu hari kiamat 2.2 Macam-Macam Asbabun Nuzul 1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul 2. Sarih (Jelas), maksudnya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbab an-nuzul dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan). ‫…سبب نزول هذه اآلية هذا‬ …sebab turun ayat ini adalah Telah terjadi.. maka turunlah ayat

‫حدث هذا… فنزلت اآلية‬

1. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti), artinya riwayatnya belum dipastikan sebagai asbab an-nuzul karena masih terdapat keraguan. (ayat ini diturunkan berkenan dengan) ‫نزلت هذه اآلية فى كذا‬ 2. Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul. 3. Beberapa sebab yang melatarbelakangi turunnya satu ayat 4. Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat Menurut Al-Zarqoni dan Al-Ja’bari, dilihat dari peristiwa yang terkait dapat dikelompokkan sebagai berikut 1. Ayat yang diturunkan dengan mubtada’an – tanpa ada peristiwa yang terjadi saat ayat itu diturunkan Allah SWT. Turunnya ayat ini semata-mata karena Allah memberikan petunjuk kapada manusia. Kehendak-Nya untuk memberikan petunjuk inilah yang menjadi asbabun nuzul dari ayat atau beberapa ayat tersebut. Ayat-ayat ini lebih banyak jumlahnya terutama mengenai prinsip-prinsip keimanan, keislaman, dan akhlak yang luhur. 2. Ayat yang diturunkan Allah SWT dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu. Ayat ini jumlahnya tidak banyak. Misalnya, Allah SWT menurunkan surah al-anfal (8) yang menjelaskan berbagai persoalan mengenai perang, surah al-tholaq (65) yang membicarakan masalah yang berkaitan dengan talaq. Peristiwa sebelum atau saat ayat turun itu para mussafir menganggapnya sebagai asbabun nuzul. Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul terbagi menjadi Ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu, dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu)  Ta’addud al-nazil wa al-asbab wahid ( ini persoalan yang terkandung dalam satu ayat atau kelompok ayat lebih dari satu, sedangkan sebab turunnya satu)  Redaksi Asbabun nuzul Yang dimaksud dengan ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat. 

Peristiwa atau pertanyaan yang disebut sebagai asbabun nuzul itu terjadi pada masa Rasulullah SAW atau pada masa saat ayat al-qur’an diturunkan. Jadi kita mengetahui asbabun nuzul itu dari penuturan para sahabat Nabi yang menyaksikan peristiwa itu. hal ini berarti asbabun nuzul haruslah berupa riwayat yang dituturkan para sahabat. Para sahabat dalam menuturkan sebab nuzul menggunakan ungkapan (redaksi) yang berbeda dari satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Perbedaan ungkapan itu tentunya mengandung perbedaan makna yang memiliki impikasi pada status sebab nuzulnya.

Macam-macam ungkapan (redaksi) yang digunakan para sahabat untuk menuturkan sebab nuzulnya , antara lain : 1. Kata ‫( سبب‬sebab) , contohnya ‫س َببُ نُ ُز ْو ِل هَـ ِذ ِه االَ َي ِة كــذَا‬ َ (sebab turunnya ayat ini) Ungkapan (redaksi) ini disebut ungkapan (redaksi) yang sharih (jelas/tegas). Maksudnya, sebab nuzul yang menggunakan redaksi ini, menunjukkan betul-betul sebagai latar belakang turunnya ayat tidak mengandung makna yang lain. 2. Kata ‫( فـــ‬maka) , contohnya ُ‫َحدَثَتَ َكذَا َو َكذَا فَـنَزَ لَت اآليَة‬ (telah terjadi peristiwa ini dan itu maka turunlah ayat) Ungkapan (redaksi) ini sama pengertiannya dengan penggunaan kata sababu, yakni sama-sama sharih (jelas/tegas). 3. Kata ‫( في‬mengenai/tentang) , contohnya ْ َ‫نَزَ ل‬ ‫ت َه ِذ ِه اآليَةُ فِ ْي َكذَا و كَـذَا‬ (ayat ini turun mengenai ini dan itu) Ungkapan seperti ini tidak secara tegas (ghairu sharih) menyebutkan sebab turunnya ayat. Masih terdapat kemungkinan terkandung makna lain. 

Satu Ayat dengan Sebab Banyak Jika ditemukan dua riwayat atau lebih mengenai sebab turunnya ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis. Permasalahannya ada empat bentuk, yakni : 

Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan yang lainnya tidak.  Kedua, kedua riwayatnya shahih akan tetapi salah satunya memiliki penguat (Murajjih) dan yang lainnya tidak  Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak memiliki penguat (Murajjih). Akan tetapi keduanya dapat diambil sekaligus.  Keempat, keduanya shahih dan keduanya tidak memiliki penguat (Murajjih),akan tetapi keduanya tidak mungkin diambil sekaligus.  Banyaknya Nuzul dengan Satu Sebab Terkadang banyak ayat yang turun sedangkan sebabnya hanya satu. Karena itu banyak ayat yang turun dalam berbagai surat mengenai satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Said bin Manshur, Abdurrazaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abu Hatim, AthTharbani, dan Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah, ia berkata :

“Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebut kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah Menurunkan QS. Ali-Imran :195 untuk menjawabnya.” Begitu pula dengan hadist yag diriwayatkan Ahmad, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah, ia berkata : “Aku telah bertanya, Wahai Rasulullah, mengapakah kami tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki? ‘Maka pada suatu hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan: “Sungguh, laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah Menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35) Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata: “Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Di samping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian dibanding laki-laki. Maka Allah menurunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah Dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisaa’ : 32) Ketiga ayat di atas diturunkan karena satu sebab. 

Beberapa Ayat yang Turun Mengenai Satu Orang Terkadang seorang sahabat mengenai peristiwa lebih dari satu kali dan Al-Qur’an turun mengenai satu peristiwa,maka dari itu kebanyakan al-quran turun sesuai dengan peristiwa yang terjadi, misalnya seperti apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al-adahi mufiat tentang berbakti kepada orang tua, dari Saad bin Abi Waqos ada empat ayat al-quran turun berkenaan dengan aku : Pertama, ketika ibuku bersumpah dia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad lalu Allah menurunkan ayat, ” Dan jika memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergilah keduanya di dunia dengan baik.”(luqman:15) Kedua, ketika aku mengambil sebuah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rasulullah, ”berikan aku pedang ini” maka turunlah ayat. Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang (al-anfal:01).

Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah mengunjungiku dan aku bertanya kepada beliau: ”Rasulullah aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuh nya?” Beliau menjawab: ”tidak” aku bertanya: ”bagaimana jika sepertiganya?” Rasulullah diam. maka wasiat dengan sepertiga harta itu diperbolehkan. Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khomr) bersama kaum ansor, seorang memukul hidungku dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada Rasulullah , maka Allah swt melarang minum khomr. Dalam hal ini telah turun wahyu yang sesuai dengan banyak ayat. 2.7 Turunnya Surat Al-Qur’an Yang Pertama Sampai Yang Terakhir A.Para ulama berbeda pendapat tentang surah yang pertama kali turun: 1. Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara terib sebagaimana terib ayat-ayat nya, seperti yang ada di tangan kita saat ini, yaitu mushaf Usman yang tidak ada seorang sahabat pun menentangnya, ini telah menunjukan terjadi kesepakatan( ijma) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apapun. Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasululloh telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam shalat nya, Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah mufassal (surah-surah pendek) dalam satu rokaat shalat. Telah di riwayatkan melalui Ibn Wahab berkata : “aku mendengar Rabi’ah di tanya orang, ‘mengapa surah al-baqarah dan ali-imran didahulukan , padahal sebelum kedua surah itu telah diturunkan delapan puluh sekian surah makkiyah, sedang keduanya di turunkan di madinah” ia menjawab: kedua surah itu memang didahulukan dan Al-Qur’an di kumpulkan menurut pengetahuan dari oraang yang mengumpulkannya. ‘kemudian katanya: ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu di pertanyakan. 2. Dikatakan bahwa tertib surah berdasarkan para ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka, misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul yakni dimulai dengan iqra’, kemuin mudatsir lalu nun , Qalam kemudian muzammil, dan seterus nya hingga akhir surah makkiyah dan madaniyah. 3. Dikatakan bahwa sebagaian surah itu terbitnya tauqifi dan sebagian lain nya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukan tertib sebagian surah pada masa nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukan tertib as-sab’ut tiwal dan almufassol pada masa hidup Rasulullah.

Di riwayatkaan, Bahwa Rasulullah berkata: bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, al-baqarah dan ali-imran Di riwayatkan lagi: Bahwa jika hendak pergi ke tempat tidur, Rasulullah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniup lalu membaca Qul huwallahhua ahad dan mu’awwidzatain. Dengan demikian, tetaplah tertib bahwa surah-surah itu bersifat taufiqqi, seperti halnya tertib ayat-ayat Abu Bakar Ibnu Hambali menyebutan: “Allah telah menurunkan Al-Qur’an seluruhnya ke langit dunia, kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selam dua puluh sekian tahun. Sebuah surat turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan jibril senantiasa memberitahukan kepada nabi dimana surah dan ayat tersebut harus di tempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah, seperti halnya susunan ayat-ayat dan gaya bahasa al-qur’an, seluruhnya berasal dari nabi, oleh karena itu barang siapa mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirkannya, ia telah merusak tatanan alqur’an. 1. Ayat yang terakhir turunnya Ayat yang pengabisan turunnya menurut pendapat jumhur ialah: Surah al-ma’idah yang artinya;pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku telah cukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Aku pilih islam menjadi agamamu. Apa yang kami terangkan ini adalah pendapat yang masyhur dalam masyarakat. Pendapat ini memberi pengertian bahwa akhir turun al-Quran, ialah pada hari arafah. Menurut sebagian ahli, bahwa ayat yang tersebut di atas ini turun di arafah. Diantara hari arafah dengan wafat Rasul masih lama lagi yaitu 81 malam. Al-kirmani dalam al-burhan mengatakan: tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada lauh mahfudz, Qur’an sudah meniru tertib ini , dan menurut tertib ini pula nabi membacakan di hadapan jibril setiap tahun apa yang di kumpulkannya dari jibril itu, nabi membacakan di hadapan jibril menurut tertib ini pada tahun kewafatanya sebanyak dua kali. Ayat yang terakhir kali turun ialah surah al-baqarah ayat 281: dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi) hari yang pada waktu itu semua dikembalikan pada Allah. Lalu jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakan ayat ini di antara ayat riba dan ayat tentang utangpiutang. Surah-surah Al-Qur’an itu ada empat bagian:

1) At-tiwal ( lebih panjang dari yg lain,diturunkan dtmpt yg berbeda,sedikit demi sedikit) yunus 2) Al-mi’un ( surah2 Alqur’an yg ayatnya seratusan karena surah ini melalui pengamatan khalifah) 3) Al-masani (dibaca berulang ulang)Alfatehah 4) Al-mufass ( Jumlah surah al-Qur’an ada 114 surah. Dan di katakan pula 113, karena surah anfal dan bara’ah dianggap satu surah, adapun jumlah ayat nyasebanyak 6.200.ayat terpanjang adalah ayat tentang utang-piuang, sedang surah terpanjang adalah surah al-baqarah. 2.8 Definisi Ilmu Makiyah dan Madaniyah Ilmu Makiyy wal Madany adalah ilmu yang membahas tentang surat-surat dan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan yang diturunkan di Madinah. Di kalangan ulama terdapat beberapa pendapat tentang dasar untuk menentukan Makiyyah atau Madaniyah suatu surat atau ayat. 1. Ciri-ciri khas Surat Makkiyah Sesuai dengan dhabit qiasi yang telah ditetapkan,maka cirri-ciri khas untuk surat Makkiyah ada 2 macam: a.Ciri-ciri khas yang bersifat qath’I bagi surat Makkiyah ada 6, Sebagai berikut : 1. Setiap surat yang terdapat ayat sadjah di dalamnya,adalah surat Makkiyah. Sebagian ulama mengatakan,bahwa jumlah ayat sajdah ada 16 ayat. 2. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kata “kalla”adalah Makkiyah. 3. Setiap surat yang terdapat di dalamnya lafal: dan tidak ada, adalah makkiyah, kecuali surat al-Hajj. Surat al-Hajj ini sekalipun pada ayat 77 terdapat, tetapi surat ini tetap dipandang Makkiyah. 4. Setiap surat yang terdapat kisah-kisah Nabi dan umat manusia yang terdahulu, adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah. 5. Setiap surat yang terdapat di dalamnya kisah Nabi Adam dan iblis adalah makkiyah, kecuali surat al-Baqarah. 6. Setiap surat yang di dahului dengan hurup Tahajji (hurup abjad), adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali-Imran. Tentang surat al-Ra’du masih dipermasalahkan, tetapi menurut pendapat yang lebih kuat, bahwa surat al-Ra’du itu Makkiyah, karena melihat gaya bahasa dan kandungannya. Karena ciri diatas

dengan beberapa pengecualian merupakan cirri-ciri yang qath’i bagi surat Makkiyah, yang tepat benar penerapannya. b.Ciri-ciri Khas yang bersifat Aghlabi bagi Surat Makkiyah Ada beberapa ciri khas lagi bagi surat Makkiyah,tetapi hanya bersifat Aghlabi, artinya pada umumnya ciri tersebut menunjukan Makkiyah,yaitu: 1. Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek-pendek (ijaz),nada perkataannya keras dan agak bersajak. 2. Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah dan hari Kiamat dan menggambarkan keadaan Surga dan Neraka. 3. Mengajak manusia untuk berakhlak yang mulia dan berjalan diatas jalan yang baik. 4. Membantah orang-orang yang Musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan kepercayaan dan perbuatannya. 5. Terdapat banyak lafal sumpah. 6. Ciri-ciri khas bagi surat Madaniyah Ciri-ciri khas yang membedakan antara surat Madaniyah dan Makkiyah ada yang bersifat Qath’I dan ada yang bersifat Aghlabi. a.Ciri-ciri surat Madaniyah yang bersifat qath’I adalah sebagai berikut : 1. Setiap surat yang mengandung izin berjihad atau menyebut hal perang dan menjelaskan hukum-hukumnya,adalah Madaniyah. 2. Setiap surat yang memuat penjelasan secara rinci tentang hukum pidana,faraid,hak-hak perdata,peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata,kemasyarakatan dan kenegaraan adalah Madaniyah. 3. Setiap surat yang menyinggung hal ikhwal orang-orang munafik,adalah Madaniyah, kecuali surat al-Ankabut yang diturunkan di Mekkah, hanya sebelas ayat yang pertama dari surat al-Ankabut ini adalah Madaniyah, dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik. 4. Setiap surat yang membantah kepercayaan/pendirian/tata cara keagamaan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) yang dipandang salah, dan mengajak mereka agar tidak berlebihlebihan dalam menjalankan agamanya,adalah Madaniyah. Seperti surat al-Baqarah,AliImran,an-Ni’sa,al-Maidah dan Taubat. 5. Adapun ciri-ciri khas yang bersifat Aghlabi untuk Madaniyah antara lain: 6. Sebagaian surat-suratnya panjang-panjang,sebagian ayat-ayatnya pun panjang-panjang dan gaya bahasanya pun cukup jelas di dalam menerangkan hukum-hukum agama.

Menerangkan secara rinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukkan hakikat-hakikat keagamaan. 2.9 Cara Mengetahui periwayatan dalam Asbab an-Nuzul Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat al-Qur’an. Al-wahidi berkata : “Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”. Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat alQur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini. Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan hadits mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya. Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”. Contoh : “beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat Yaa ayuhal ladzina amanu la yaskhar qouman” 2.10 Kaidah Penetapan Hukum dikaitkan dengan Asbabun Nuzul Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Contohnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 115 yang artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. Firman Allah itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat

menurut perasaan masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara untuk mengenal kiblat. Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut mungkin masih ada orang yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat alBaqarah ayat 115. 2.11 Urgensi dan Faedah (Manfaat) dari mempelajari Asbabun Nuzul Urgensi Asbabun Nuzul 1. Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT 2. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada rasulullah saw dalam menjalankan misi risalahnya. 3. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka 4. Sarana memahami ayat secara tepat. 5. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum 6. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an 7. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an 8. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu di hati orang yang mendengarnya. 9. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an. 10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan Faedah Asbabun Nuzul 1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an. 2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya. 3. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal. 4. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. 5. Diketahui ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah. 6. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.

Bab III Penutup 3.1 Kesimpulan Ilmu sebab turunnya al-Qur’an adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kajian ‘ulumul Qur’an. Kajian tentang asbabunnuzul adalah bentuk dari analisis sejarah al-Qur’an, sebagai upaya untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dari kontek kesejarahan, yakni peristiwa yang menjadi latar belakang turunnya ayat, dengan berbagai macam ragamnya. Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan peristiwa tertentu, harus difahami dengan mengaitkan latar belakang peristiwanya, hal ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Meskipun yang lebih banyak adalah ayat-ayat al-Qur’an yang turun tanpa didahului oleh sebab tertentu. Asbabunnuzul berpengaruh besar terhadap pemahaman makna ayat-ayat al-Qur’an. Pengertian Asbabun Nuzul Asbabun nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi apa-apa yang turun dalam al-qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan atau memberikan keterangan tentang persoalan ataupun peristiwa. Macam-macam Asbabun Nuzul Menurut Al-Zarqoni dan Al-Ja’bari, dilihat dari peristiwa yang terkait dapat dikelompokkan sebagai berikut : 3. Ayat yang diturunkan dengan mubtada’an – tanpa ada peristiwa yang terjadi saat ayat itu diturunkan Allah SWT. Turunnya ayat ini semata-mata karena Allah memberikan petunjuk kapada manusia. Kehendak-Nya untuk memberikan petunjuk inilah yang menjadi asbabun nuzul dari ayat atau beberapa ayat tersebut. Ayat-ayat ini lebih banyak jumlahnya terutama mengenai prinsip-prinsip keimanan, keislaman, dan akhlak yang luhur. 4. Ayat yang diturunkan Allah SWT dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu. Ayat ini jumlahnya tidak banyak. Misalnya, Allah SWT menurunkan surah al-anfal (8) yang menjelaskan berbagai persoalan mengenai perang, surah al-tholaq (65) yang membicarakan masalah yang berkaitan dengan talaq. Peristiwa sebelum atau saat ayat turun itu para mussafir menganggapnya sebagai asbabun nuzul. Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul terbagi menjadi  

Ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu, dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu) Ta’addud al-nazil wa al-asbab wahid ( ini persoalan yang terkandung dalam satu ayat atau kelompok ayat lebih dari satu, sedangkan sebab turunnya satu)

Macam-macam ungkapan (redaksi) yang digunakan para sahabat untuk menuturkan sebab nuzulnya , antara lain : 4. Kata ‫( سبب‬sebab) , contohnya ‫س َببُ نُ ُز ْو ِل هَـ ِذ ِه االَ َي ِة كــذَا‬ َ (sebab turunnya ayat ini) Ungkapan (redaksi) ini disebut ungkapan (redaksi) yang sharih (jelas/tegas). Maksudnya, sebab nuzul yang menggunakan redaksi ini, menunjukkan betul-betul sebagai latar belakang turunnya ayat tidak mengandung makna yang lain. 5. Kata ‫( فـــ‬maka) , contohnya ُ‫َحدَثَتَ َكذَا َو َكذَا فَـنَزَ لَت اآليَة‬ (telah terjadi peristiwa ini dan itu maka turunlah ayat) Ungkapan (redaksi) ini sama pengertiannya dengan penggunaan kata sababu, yakni sama-sama sharih (jelas/tegas). 6. Kata ‫( في‬mengenai/tentang) , contohnya ْ َ‫نَزَ ل‬ ‫ت َه ِذ ِه اآليَةُ فِ ْي َكذَا و كَـذَا‬ (ayat ini turun mengenai ini dan itu) Ungkapan seperti ini tidak secara tegas (ghairu sharih) menyebutkan sebab turunnya ayat. Masih terdapat kemungkinan terkandung makna lain. Jika ditemukan dua riwayat atau lebih mengenai sebab turunnya ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis. Permasalahannya ada empat bentuk, yakni :     

Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan yang lainnya tidak. Kedua, kedua riwayatnya shahih akan tetapi salah satunya memiliki penguat (Murajjih) dan yang lainnya tidak Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak memiliki penguat (Murajjih). Akan tetapi keduanya dapat diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih dan keduanya tidak memiliki penguat (Murajjih),akan tetapi keduanya tidak mungkin diambil sekaligus. Terkadang banyak ayat yang turun sedangkan sebabnya hanya satu. Karena itu banyak ayat yang turun dalam berbagai surat mengenai satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Said bin Manshur, Abdurrazaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abu Hatim, Ath-Tharbani, dan Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah, ia berkata :

“Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebut kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah Menurunkan QS. Ali-Imran :195 untuk menjawabnya.” Beberapa ayat al-qur’an ada yang turun mengenai satu orang, contohnya ayat-ayat al-qur’an yang turun mengenai Saad Bin Abi Waqas. 

Ilmu Makiyy wal Madany adalah ilmu yang membahas tentang surat-surat dan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan yang diturunkan di Madinah

BAB II TAFSIR TAKWILTARJAMAH PEMBAHASAN A. Tafsir 1. Pengertian Tafsir Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan ilmu yang membahas tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-petunjuknya, hukumhukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya. 2. Kedudukan Tafsir Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah ilmu yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan ialah kalaam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah yang kuat dan menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenamya. Sesungguhnya makin terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama dan dunia, haruslah sesuai dengan ketentuan syara’. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang terdapat dalam Kitab Allah SWT. 3. Pembagian Tafsir Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi al-riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y. 1) Tafsir bi al-ma’tsur

Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Semua ayat-ayat al Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw., sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al Qur`an setelah al Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw. yang dapat menafsirkan sebuah ayat al Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw. Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu: a. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah). b. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits. c. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur yang secara khusus dan berdiri sendiri. Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin

menyelewengkan

dalam

kitabullah.

Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul

Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim. 2) Tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y Cara penafsiran Al Qur’an berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu) dan pengetahuan empiris. Tafsir ini menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip

bahasa

Arab dan

adat-istiadat

orang Arab

dalam

mempergunakan bahasanya. Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya. Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam penafsiran ini. Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al - Ro’yi. Sebagian ulama’ melarang penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batasbatas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi. Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab batil

dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-ayat al Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya. Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: a.

Tafsir

dengan

pikiran

yang

tercela

(madzum

/

mardud).

Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi. b. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul) a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia. Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Ro’yi ada dua: 1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti AlKitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan. 2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami AlQur’an,

dan

menjauhi

segala

bentuk

bid’ah”.

Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwiil. B. Ta’wil 1. Pengertian Ta’wil

Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal. Adapun mengenai arti takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya. Kata sebahagian ulama : “Ta‘wil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya,

yakni

menerangkan

apa

yang

dimaksud

daripadanya.”

Sebahagian yang lain berkata : “Ta‘wil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafadh” Contoh : “Bahwasanya rabb mu sungguh memperhatikanmu” Tafsirnya : “Bahwasanya Alloh senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan keadaan hambanya” Ta`wil : Menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempesiapkan persiapan yang perlu. 2. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil Para mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna Tafsir dan Ta’wil. Kata Ar Raghib Al Asfahany : “Tafsir lebih umum dari ta’ wil. Dia lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.” Kata Abu Thalib Ats Tsa’laby : “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan “Bahwasanya

hakikat

yang

Tuhanmu

dikehendaki. itu

sungguh

Umpamanya selalu

firman

Allah

memperhatikan

s.w.t. kamu.”

(Q.A. 14. S. 89 . AlFajr). Tafsirnya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun ta’wilnya, ialah menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu. Kata segolongan pula : “Tafsir berpaut dengan Riwayat. sedang ta’wil berpaut dengan Dirayat. Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan

dari Sahabat, sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undangundang

‘Arab.

bahasa

Umpamanya firman Allah: “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.” (Q.A. 95.S. 6: Al An’am). Maka jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki, mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir, dinamailah ta’wil. C. Terjemah 1. Pengertian Terjemah Secara lafazh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam

kitab

Lisa

al-’Arab:

Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan

fathah)

adalah

yang

menterjemahkan

kalam

(pembicaraan),

yaitu

memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut: Tarjamah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya. Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti: 1) Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafazlafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. 2) Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau

memperhatikan

susunan

kalimatnya.

Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya

tetap dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya. 2. Syarat-syarat terjemah Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah: 1) Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya 2) Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut 3) Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama; 4) Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolaholah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.

Persamaan Tafsir, Takwil dan Terjemah:  Ketiganya menerangkan makna ayat-ayat Al Qur’an  Ketiganya sebagai sarana untuk memahami Al Qur’an

Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah:  Tafsir Pemakaiannya Jelas

banyak

diterangkan

dalam

dalam

lafazh-lafazh

Al-Qur’an

dan

dan hadits-hadits

mufradat sahih

Banyak berh ubungan dengan riwayat. Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas) Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.  Takwil Pemakaiannya

lebih

banyak

pada

makna-makna

dan

susunan

kalimat

Kebanyakan diistinbath oleh para ulama. Banyak berhubungan dengan dirayat. Digunakan

dalam

ayat-ayat

Menerangkan hakikat yang dikehendaki.  Terjemah

mutasyabihat

(tidak

jelas)

Hanya mengubah kata-kata dari bahasa Arab kedalam bahasa lain tanpa memberikan penjelasan arti kandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan dari isi kandungannya.

BAB III PENUTUP  Kesimpulan Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup seharihari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat alQur`an tersebut tepat sasarannya. Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat alQur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.

BAB II IJAZUL QUR’AN PEMBAHASAN

A. Pengertian I’jazul Qur’an I’jaz jika dilihat dari segi bahasa berasal dari kata (‫ يَ ْع ِج ُز‬- َ‫ ) َع ِجز‬yang artinya menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari (‫( )قدرة‬potensi, power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan). Jadi, yang dimaksud I’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. 1[1] Sedangkan mukjizat adalah perkara luar biasa yang disertai dengan tantangan yang tidak mungkin dapat ditandingi oleh siapapun dan kapanpun.2[2] Muhammad Bakar Ismail menegaskan: “perkara luar biasa yang disertai dan diikuti dengan tantangan yang diberikan oleh Alloh SWT. kepada nabi-nabi-Nya sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran terhadap apa yang diembanya, yang bersumber dari Alloh SWT”.3[3] Unsure-unsur yang terdapat pada mu’jizat,sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah sebagai berikut: 1. Hal atau peristiwa yang luar biasa Peristiwa-peristiwa alam, misalnya yang terlihat sehari-hari walaupun menakjubkan, tidak dapat dinamakan mu’jizat, karena hal itu merupakan suatu hal yang biasa. Yang dimaksud dengan luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab akibat yang diketahui secara umum dan hukum-hukumnya. Dengan demikian, hipnotisme atau sihir, misalnya walaupun terlihat ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, sihir itu tidak termasuk dalam pengertian luar biasa dalam definisi di atas. 2. Terjadi atau di paparkan oleh seorang yang mengaku Nabi Tidak mustahil terjadi hal-hal diluar kebiasaan pada diri siapa pun. Namun, apabila bukan dari seseorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dikatakan mu’jizat. Sesuatu yang luar biasa yang tampak pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi nabi pun tidak dinamakan mu’jizat, tetapi irhash. 1[1] Manna’ khalil al-Qathan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, h. 285. 2[2] ibid., h. 289 3[3] Muhammad Bakar Isma’il, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, h. 395.

3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian Tentu saja tantangan ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelum dan sesudahnya. Di sisi lain, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang sejalan dengan ucapan sang nabi. 4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani Bila orang-orang yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digaris bawahi disini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh orang-orang yang ditantang. Bahkan, intuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemu’jizatan masing-masing nabi sesuai dengan bidang kehlian umatnya. Al-Qur’an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menantang orang-orang pada masa beliau dan generasi sesudahnya yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah dan tidak percaya akan risalah Nabi SAW ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka sungguh pun mereka memiliki tingkat fashahah dan balaghah sedemikian tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi mereka minta untuk menandingi Al-Qur’an namun tidak seorangpun yang mampu menjawab dan menandingi, apalagi mengungguli tantangan itu. Ini semua menujukan bahwa al-Qur’an bukanlah perkataan manusia melainkan sumber dari Alloh SWT. sekaligus sebagai mukjizat terbesar bagi RosulNya, Muhammad s.a.w. tantangan yang dimaksud ialah mencangkup baik dari segi sususnan, retorika, ataupun redaksi bahasa dan lain-lainya. Hal ini dikemukakan oleh al-Qur’an sendiri melalui tiga tahap dalam formulasi yang berbeda-beda, yaitu: 1. Menantang mereka dengan seluruh Al-Qur’an dalam uslub (metode) umum yang meliputi orang arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya: َ ‫ض‬ ‫ظ ِهيرا‬ ِ َ‫قُل لَّئِ ِن اجْ ت َ َمع‬ ُ ‫آن الَ يَأْتُونَ بِ ِمثْ ِل ِه َولَ ْو َكانَ بَ ْع‬ ٍ ‫ض ُه ْم ِل َب ْع‬ ُ ‫اإل‬ ِ ‫نس َو ْال ِج ُّن َعلَى أَن يَأْتُواْ بِ ِمثْ ِل هَـذَا ْالقُ ْر‬ ِ ‫ت‬

Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS Al-Israa':88). 2. Menantang mereka dengan sepuluh surat saja dari Al-Quran sebagaimana dalam firmanNya: َ َ ‫ت َوادْعُواْ َم ِن ا ْست‬ ٍ ‫س َو ٍر ِمثْ ِل ِه ُم ْفت ََريَا‬ ‫ فَإِن لَّ ْم‬.‫صا ِدقِين‬ ُ ‫أَ ْم يَقُولُونَ ا ْفت ََراهُ قُ ْل فَأْتُواْ بِعَ ْش ِر‬ َ ‫ُون ّللاِ إِن ُكنت ُ ْم‬ ِ ‫ط ْعتُم ِمن د‬ َ‫نز َل بِ ِع ْلم هللاِ َوأَن الَّ إِلَـهَ إِالَّ ه َُو فَ َه ْل أَنتُم ُّم ْس ِل ُمون‬ ِ ُ ‫يَ ْست َِجيبُواْ لَ ُك ْم فَا ْعلَ ُمواْ أَنَّ َما أ‬.

“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Qur’an itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?” (QS. Hud :13-14) 3. Menantang mereka dengan satu surat saja dari Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya: َ َ ‫ورةٍ ِمثْ ِل ِه َوادْعُواْ َم ِن ا ْست‬ َ‫صا ِدقِين‬ ُ ِ‫أ َ ْم يَقُولُونَ ا ْفت ََراهُ قُ ْل فَأْتُواْ ب‬ َ ‫ُون ّللاِ إِن ُكنت ُ ْم‬ َ ‫س‬ ِ ‫ط ْعتُم ِمن د‬ “Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar.”(QS. Yunus : 38). Tantangan ini diulang lagi dalam firman-Nya: ‫ورةٍ ِمن ِمثْ ِل ِه‬ ُ ‫ب ِم َّما ن ََّز ْلنَا َعلَى َع ْب ِدنَا فَأْتُواْ ِب‬ ٍ ‫َو ِإن ُكنت ُ ْم فِي َر ْي‬ َ ‫س‬ “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu….”(QS. Al-Baqarah : 23). Dengan tantangan ini berarti kapasitas kemukjizatan Al-Qur’an itu hanya satu surah saja, artinya kadar yang menjadi mukjizat dari Al-Qur’an adalah walaupun hanya satu surah sudah mu’jiz, sudah tidak ada yang sanggup melawan dengan membuat tandingan dari dulu sampai sekarang. Karena tantangan minim inipun tidak ada yang mampu melawan, maka surat AlBaqarah ayat 24 itu menegaskan : “tidak ada seorang pun yang sanggup melawan Al-Qur’an, karena itu bagi orang yang inkar diharuskan waspada terhadap ancaman neraka.”

B. Segi-Segi I’jazul Qur’an Dalam kitab Tafsir al-Mizan, menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada tujuh I’jaz AlQur’an: 1. I’jazul ‘ilmi. Al-Qur’an mempunyai suatu ilmu pengetahuan didalamnya. 2. I’jaz kepribadian Nabi SAW.

3.

4. 5.

6.

Kenapa kepribadian nabi dikatakan I’jaz? Pertama, Nabi SAW didefinisikan oleh AlQur’an bahwa Nabi itu manusia yang tidak bisa membaca dan menulis. Allah SWT ingin tunjukkan kepada setiap manusia bahwa Al-Qur’an adalah suatu I’jaz dari nabi yang ummi ini, agar tidak menuduh nabi sebagai sihir,dan sebagainya. I’jaz Ghaib, Al-Qur’an membawa berita ghaib. Ghaib di sini ada 4 yaitu: 1). Ghaib berita-berita zaman dahulu yang menceritakan tetang waktu terdahulu. 2). Ghaib tetang masa datang, ghaib adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat atau diketahui oleh manusia. 3). Ghaib tetang kenyataan-kenyataan ilmiah yang baru diketahui kebenarannya ribuan tahun setelah al-Qur’an diturunkan 4). Ghaib tetang kejadian-kejadian besar yang akan menimpa kaum muslim sepeninggal Rosululloh SAW. I’jaz Tasyrii, I’jaz tetang perundang-undangan (hukum Al-Qur’an) I’jaz Al-Qur’an dari segala perubahan, segala sesuatu yang ada di dunia ini mesti mengalami perubahan, harus tunduk pada hukum dunia, mengalami usia usang, tetapi AlQur’an tidak pernah tunduk pada hukum dunia, Al-Qur’an tidak pernah usang. I’jazun balaghi. Al-Qur’an mempunyai kefasihan. Al-Qur’an adalah suatu kitab yang sangat piawai dalam ilmu Balaghah. Sebab setiap kalimat yang ada dalam Al-Qur’an mengungkapkan suatu makna yang sebenarnya dari suatu makna sebenarnya dari pada kalimat tersebut, jadi yang dimaksud balaghah yaitu suatu ilmu yang bukan hanya kalimatnya baligh (tinngi) tetai kalimatnya juga mewakili suatu makna yang daripada maksud kalimat tersebut. Diantara kalimat yang baik yang ada di dalam Al-Qur’an yang akan kita jadikan contoh misalkan dalam surat Al-Hadiid ayat 23 ketika Allah SWT berfirman, َّ ‫س ْوا َعلَى َما فَات َ ُك ْم َوالَ ت َ ْف َر ُحوا ِب َما آت َا ُك ْم َو‬ ‫ور‬ َ ْ ‫ِل َك ْيلَ ت َأ‬ ٍ ‫ّللاُ الَ ي ُِحبُّ ُك َّل ُم ْختَا ٍل فَ ُخ‬

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(QS. Al-Hadiid:23) 7. I’jaz bilangan dalam Al-Qur’an. I’jaz ini baru ditemukan. Orang menghitung ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan kemudian mencocokan dengan hukum-hukum Allah SWT. Yang diwajibkan kepada manusia. Misalnya begini, dalam islam, sholat wajib adalah sholat yang lima waktu. Ada seorang yang meneliti bilangan kalimat tersebut dalam Al-Qur’an. Kalimat shalawat (jamak dari sholat) misalnya, akan di jumpai bilangannya ada lima kalimat. Dan kalimat ini kaitannya dengan sholatul wajib. Suatu mukjizat Al-Qur’an dalam segi bilangan di mana sangat sesuai antara bilangan sholatul wajib dengan kalimat shalawat. Kemudian mengenai kalimat fardhu dalam Al-Qur’an. Sholat lima waktu ini ada 17

rekaat, kemudian Abu Jahra meneliti kalimat fardhu ini di dalam Al-Qur’an, dan semua kalimat fardhu dengan berbagai derajatnya berjunlah 17 kalimat. Lalu kalimat qasr (memendekkan bilangan rekaat dalam sholat ketika dalam perjalanan). Kalau kita hitung jumlah rekaat dalam sholat qasr, kita akan dapati sampai 11 rekaat, Zuhur 2, Ashar2, Magrib 3, Isya’ 2, dan Subuh2. kemudian kalau kita teliti kalimat qasr dalam Al-Qur’an, ternyata ada 11 kalimat. Kalimat tawaf. Kita diwajibkan dalam tawaf yang tercatat daam Al-Qur’an ada tujuh kalimat. Itu adalah sebagian dari mukjizat bilangan dala Al-Qur’an. Sementara itu Syeikh Muhammad Ali al-Syabuniy menandaskan bahwa di antara segi-segi kemukjizatan al-Qur’an yang Nampak adalah: 1. Keindahan satranya yang sama sekali berbeda dengan keindahan sastra yang dimiliki oleh orang-orang Arab. 2. Gaya bahasanya yang unik yang sama sekali berbeda dengan semua gaya bahasa yang dimiliki bangsa Arab. 3. Kefasihan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi dan dilakukan dengan semua mahluk termasuk jenis manusia. 4. Kesempurnaan syari’at yang dibawanya yang mengungguli semua syari’at dan aturanaturan lainnya. 5. Menampilkan berita-berita yang eskatalogis yang tidak dapat mungkin dijangkau oleh otak manusia kecuali oleh wahyu al-Qur’an itu sendiri. 6. Tidak adanya pertentangan antara konsep-konsep yang dibawakannya dengan kenyataan kebenaran hasil penemuan dan penyelidikan ilmu pengetahuan. 7. Terpenuhinya setiap janji dan ancaman yang diberitakan al-Qur’an. 8. Ilmu pengetahuan yang disampaikannya mencangkup ilmu pengetahuan syari’at dan pengetahuan alam. 9. Dapat memenuhi kebutuhan manusia. 10. Dapat member pengaruh yang mendalam dan besar pada hati para pengikut dan musuhmusuhnya. 11. Sususnan gaya bahasa dan kalimat terpelihara dari paradoksi dan keraguan. Selain itu, ada banyak bukti-bukti kemukjizatan al-Qur’an, diantaranya: 1. Gaya Bahasa Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang Arab pada saat itu kagum dan terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak diantara mereka masuk islam. Bahkan, Umar bin Abu Thalib pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, memutuskan untuk masuk islam dan beriman pada kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al-Qur’an. Susunan Al-Qur’an tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apapun.

2. Susunan Kalimat Kendati pun Al-Qur’an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut nabi, tetapi uslub atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur’an jauh lebih tinggi kualitasnya bila di bandingkan dengan lainnya. Al-Qur’an muncul dengan uslub yang begitu indah.di dalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akan pernah ada ucapan manusia. Dalam Al-Qur’an, misalnya banyak ayat yang mengandung tasybih yang disusun kedalam bentuk yang sangat indah lagi mempesona, jauh lebih indah dari apa yang dibuat oleh para penyair atau sastrawan. Dapat dilihat dari satu contoh dalam surat Al-Qariah ayat 5, Allah berfirman : Artinya : “Dan gunung-gunung seperti bulu yang di hambur-hamburkan” 3. Hukum Illahi yang sempurna Al-Qur’an menjelaskan pokok-pokok akidah, norma-norma keutamaan, sopan santun, undang-undang ekonomi, politik, social dan kemasyarakatan,serta hokum-hukum ibadah. Apabila memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah amaliyah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah badaniyah, seperti berjuang di jalan Allah. Al-Qur’an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hokum, yakni : a. Secara global Persoalan ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan perinciannya diserahkan kepada ulama melalui ijtihad. b. Secara terperinci Hukum yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan utang piutang, makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan. 4. Ketelitian Redaksinya Ketelitian redaksi bergantung pada hal berikut : a. keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya, beberapa contoh diantaranya :

1. Al-Hayah {hidup} dan Al-Maut {mati}, masing-masing serbanyak 145 kali 2. An-Naf {manfaat} dan Al-Madharah {mudarat}, masing-masing sebanyak 50 kali

3. Al-Har {panas} dan Al-Bard {dingin} sebanyak 4 kali 4. As-Shalihat{kebajikan}danAs-Syyiat {keburukan} sebanyak masing-masing 167 kali 5. Ath-thuma’ninah {kelapangan/ketenangan} dan Adh-dhiq {kesempitan/kekesalan} sebanyak masing-msing 13 kali b. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya 1. Al-harts dan Az-zira’ah {membajak/bertani}masing-masing 14 kali 2. Al-‘ushb dan Adh-dhurur {membanggakan diri/angkuh} masing-masing 27 kali 3. Adh-dhaulun dan Al-mawta {orang sesat/mati jiwanya} masing-masing 17 kali c. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya 1. Al-infaq {infaq} dengan Ar-ridha {kerelaan}masing-masing 73 kali 2. Al-bukhl {kekikiran} dengan Al-hasarah {penyesalan} masing-masing 12 kali 3. Al-kafirun {orang-orang kafir} dengan An-nar/Al-ihraq {neraka/pembakaran} masing-masing 154 kali d. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya 1. Al-israf {pemborosan} dengan As-sur’ah {ketergesaan} masing-masing 23 kali 2. Al-maw’izhah {nasihat/petuah} dengan Al-lisan {lidah} masing-masing 25 kali 3. Al-asra {tawanan} dengan Al-harb {perang} masing-masing 6 kali e. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, di temukan juga keseimbangan khusus 1. Kata yawm {hari} dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari dalam bentuk plural {ayyam} atau dua {yawmayni}, berjumlah tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti bulan {syahr} hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun. 2. Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra ayat 44, surat Al-Mu’minun ayat 86, surat Fushilat ayat 12, surat Ath-thalaq 12, surat AlMulk ayat 3, surat Nuh ayat 15, selain itu, penjelasan tentang terciptanta langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.

3. Kata-kata yang menunjukkan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir {pembawa berita gembira} atau nadzir }pemberi peringatan}, kesemuanya berjumlah 5189 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut yakni 518. 5.

Berita tentang hal-hal yang gaib Sebagaian ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur’an itu adalah berita-berita gaib. Firaun yang mengejar-ngejar Nabi Musa, diceritakan dalam surat Yunus ayat 92 : Artinya ; “Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang dating sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami” Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan firaun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut karena telah terjadi sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19 tepatnya. 6. Isyarat-isyarat ilmiah Banyak sekali isyarat ilmiah yang di temukan dalam Al-Qur’an, misalnya : a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Sebagaiman yang dijelaskan dalam firman Allah surat Yunus ayat 5 yang artinya : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah {tempat-tempat} bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan {waktu}. Allah tidak menciptakan yang demikian itu, melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda {kebesaran-Nya} kepada orang-orang yang mengetahui}” b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan napas.Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 25 c.

Perbedaan sidik jari manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 4

d.

Aroma atau bau manusia berbeda-beda. Al-Qur’an surat Yusuf ayat 94

e. Masa penyusunan yang tepat dan masa kehamilan minimal, Al-Qur’an surat AlBaqarah ayat 233 f. Adanya nurani {superego} dan bawah sadar manusia. Al-Qur’an surat AlQiyamah ayat 14 g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Al-Qur’an surat An-nisa ayat 56 yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka kedalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”

C. TUJUAN I’JAZUL QUR’AN DAN SEJARAHNYA Setelah diketahui pengertian I’jaz Qur’an, perlu dijelaskan tujuannya, agar tidak menimbulkan segala sangka. Sebab, bukanlah menjadi tujuan Al-Qur’an untuk melemahkan, tetapi ada tujuan khusus, dan perlu pula dikaji sejarahnya. 1. Tujuan I’jazul Qur’an Dari I’jaz diatas, dapatlah diketahui bahwa tujuan I’jazul Qur’an itu banyak diantaranya yaitu: a) Membuktikan bahwa nabi Muhammad SAW yang membawa mu’jizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi/Rosul Allah SWT. Beliau diutus menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT kepada umat manusia untuk mencanangkan tantangan supaya menandingi Al-Qur’an kepada yang ingkar. b) Membuktikan bahwa Al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWt, bukan buatan Malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad SAW tidak mungkan karena sudah kita ketahui bersama bahwa Nabi Muhannad SAWseorang yang ummi (tidak pandai menulis dan membaca), dan sudah barang tentu pujangga-pujangga arab profesional, dimana mereka tidak hanya pandai menulis dan membaca tetapi juga ahli dalam sastra, grametika bahasa arab, dan Balaghahnya akan bisa membuat seperti AlQur’an itu bukan buatan manusia. c) Menunjukkan kelemahan daya apaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya. Mereka ingkar tidak mau beriman mempercayai kewahyuan Al-Qur’an dan sombong tidak mau menerima kitab itu. Mereka menuduh bahwa kitab itu hasil lamunan atau buatan Nabi Muhammad SAW sendiri, kenyataannya para pujangga sastra arab tidak mampu membuat tandingan yang seperti Al-Qur’an itu, walaupun hanya satu ayat. d) Menunjukan kelemahan mutu sastra dan Balaghah manusia, karena terbukti pakarpakar pujangga sastra dan seni bahasa arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab tandingan yang seperti Al-Qur’an yang telah ditantangkan kepada mereka dalam berbagai tingkatan. 2. Sejarah Ilmu I’jazul Qur’an Ada ulama yang berpendapat, bahwa orang yang pertama kali menulis I’jazul Qur’an

ialah Abu Ubaidah (wafat 208H) dalam kitabnya “Majazul Qur’an”, lalu disusun oleh AlFarra (wafat 207 H) yang menulis kitab “Ma’anil Qur’an”, kemudian disusul lagi oleh Ibnu Quthaibah yang mengarang kitab Ta’wil Musyakil Qur’an”. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh Abdul Qohir Al-Jurjany dalam kitabnya “Dalailul I’jaz”, bahwa semua kitab tersebut diatas bukanlah Ilmu I’jazul Qur’an, melainkan sesuai dengan nama judul-judulnya itu. Menurut Dr. Shubhi Ash-Sholeh dalam kitabnya “Makahis Fi Ulumil Qur’an”, bahwa orang pertama kali yang membicarakan I’jazul Qur’an adalah Iman Al-Jahili (wafat 225 H), ditulis dalam kitab “Nuzhumul Qur’an”.hal ini seperti diisyaratkan dalam kitabnya yang lain, Al-Hayawan, lalu disusul Muhammad bin Zaid Al-Wasithy (wafat 306 H), dalam kitab I’jazul Qur’an, yang banyak mengutip isi kitab Al-Jahidh tersebut diatas. Kemudian dilanjutkan Iman Ar-Rumany (wafat 384 H). lalu disusul oleh Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillny (wafat 403 H) dalam kitabnya I’jazul Qur’an, yang isinya mengupas segi-segi kemu’jizatan, kitab ini sangat populer. Kemudian disusul oleh Abdul Qohir AlJumany (wafat 471 H) dalam kitab Dala’ilul I’jaz dan Asarul Balagha BAB III KESIMPULAN I’jazul Qur’an ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka dan mukjizat adalah sesuatu hal luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan. Dan Al-Qur’an al-Karim digunakan Nabi untuk menantang orang-orang Arab tetapi mereka tidak sanggup menghadapinya, padahal mereka sedemikian tinggi tingkat fasahah dan balaghahnya. Hal ini tiada lain karena Al-Qur’an adalah mukjizat.

BAB II PEMBAHASAN QIRAATUL QURAN A. Pengertian Qira’at Al-Qur’an Qira’at adalah bentuk jamak dari kata ‫ قِ َرا َءة‬, dan berasal dari kata ‫ قِ َراءة – يَ ْقرء – قَر َء‬. menurut istilah, qira’ah adalah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur’an yang di pakai oleh salah seorang imam qura’ yang berbeda dengan lainnya. Dalam hal ucapan Al-Qur’anul karim, Qira’ah ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasul SAW.1 Di bawah ini adalah beberapa pengertian qira’at menurut para Ulama’: a. Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu aliran yang dianut oleh seorang imam dalam membaca al-Qur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafalnya. b. Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan ayatayat al-Qur’an dengan menyandarkan pada penukilannya. c. Menurut Al-Qastalani, qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan. d. Menurut Az-Zarkasyi, qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh alQur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut secara takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya. e. Menurut Ash-Shabuni, qira’at adalah suatu madzab cara pelafalan

al-Qur’an yang

dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah. f. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dalam madzhab lainnya.

1

Prof. DR. Muhammad Ali ash-Shaabuuniy, STUDI ILMU AL- QURAN, Bandung: Pustaka Setia, 1998

B. Sejarah Munculnya Qira’at Al-Qur’an Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at, dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad 2 H. Saat itu para qari’ sudah tersebar di berbagai pelosok negeri, mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lain. Qira’at tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas. Kebijakan Abu bakar As-Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaid bin tsabit seperti mushaf yang dimiliki Ibnu mas’ud, Abu al-asy’ary, Miqdad bin Amr, Ubai bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qira’at yang beragam. Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran qari’ ke berbagai penjuru ini menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan yakni munculnya qira’at yang semakin beragam. Apalagi setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsabangsa bukan arab sehingga perbedaan qira’at itu semakin terlihat jelas dan menimbulkan berbagai penyimpangan. Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin Salam yang mengumpulkan qira’at kurang lebih sebanyak 25 macam kemudian barulah imamimam lainnya mulai menyusun qira’at. Persoalan qira’at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid yang dikenal dengan nama Ibnu Mujahid dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh imam qari’2. Inisiatif Ibnu Mujahid itu sempat memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama. Ibnu Amr mencela keras Ibnu Mujahid dan mengatakannya telah berbuat sesuatu yang tidak layak. Ia dituduh telah mengaburkan persoalan dengan mengatakan bahwa qira’at yang tujuh itu adalah yang disebut dalam hadist nabi yang berbunyi :

2

Anwar, Rosihan. 2008. “Ulum Al-Qur’an”. Bandung: Penerbit Pustaka

( ٍ‫ت أَحْ رف‬ ِ ‫س ْب َع‬ َ ‫) ا ِِن َهذَا ْالق ْرآنَ ا ْن ِز َل َعلَى‬. Namun berkat jasa Ibnu Mujahid, kita dapat mengetahui mana qira’at yang dapat diterima dan yang ditolak. Ibnu Mujahid memilih ketujuh tokoh qira’at tersebut karena menurut pertimbangan, merekalah yang paling terkemuka, mashur, paling bagus bacaanya, dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang dan mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat mereka masing-masing. Dengan demikian, seseorang tidak harus terpaku pada ketujuh imam qira’at (seperti Abu Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, Al-Kisai’, Ibnu Amir, dan Ibnu Katsir), tapi ia pun harus menerima setiap qira’at yang sudah memenuhi tiga persyaratan yaitu sesuai dengan salah satu Rasm Utsmani, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan sanadnya shahih. C. Macam-Macam Qira’at Al-Qur’an Dilihat dari segi kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga macam yaitu: 1. Qira’at sab’ah (qira’at tujuh) adalah imam-imam qira’at yang tujuh yakni Abdullah bin Katsir Ad-Dari, Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im, Abdullah Al-Yahshibi, Abu ‘Amar, Ya’qub (nama lengkapnya Ibn Ishak Al-Hadhrami), Hamzah, dan Ashim. 2. Qira’at ‘Asyarah (qira’at sepuluh) adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan tiga imam qira’at berikut yakni Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin ‘Abdullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Basri, dan Khallaf bin Hisam. 3. Qira’at Arba’at Asyarah (qira’at empat belas) adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan diatas di tambah dengan empat imam qira’at berikut yakni Al-Hasan AlBashri, Muhammad bin ‘Abdirrahman (dikenal dengan Ibn Mahishan), Yahya’ bin AlMubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi, dan Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz. Dilihat dari segi kualitasnya, qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu: 1. Qira’ah Mutawatir yakni qiraa’at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisan yakni sampai kepada Rasululllah saw. inilah yang umum dalam hal qira’at.

2. Qira’ah Masyhur yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Utsmani, masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan AlJazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya. 3. Qira’ah Ahad yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi menyalahi tulisan mushaf Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak masyhur dikalangan qurra’ sebagaimana qira’at mutawatir dan qira’at masyhur. Qira’at macam ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib meyakininya. 4. Qira’ah Syadz (menyimpang) yakni qira’at yang sanadnya tidak shohih. Diantara macam qira’at ini adalah: ‫الدي ِْن‬ ِ ‫ َملَكَ يَ ْو َم‬. 5. Qira’at Maudhu’ (palsu atau dibuat-buat) yakni qira’at yang tidak ada as asalnya. 6. Qira’at Mudraj (sisipan) yakni qira’at yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at yang sah. Menurut jumhur ulama, qira’at yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti masyhur tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat. Menurut An-Nawawi qira’at syadz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar sholat karena ia bukan al-Qur’an. Al-qur’an hanya ditetapkan dengan sanad mutawatir, sedangkan qira’at syadz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah. Apabila seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira’at yang syadz, maka tidak boleh dibenarkan baik di dalam maupun diluar sholat. Para ulama Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca al-qur’an dengan qira’at yang syadz harus disuruh bertaubat. Ibnu Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin tentang al-Qur’an yang tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syadz, tidak sah shalat dibelakang orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at-qira’at yang syadz itu. Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at shohih adalah sebagai berikut:

1. Sesuai dengan kaidah bahasa arab, baik yang fasih atau paling fasih.

2. Sesuai dengan salah satu kaidah penulisan mushaf utsmani walaupun hanya kemungkinan. 3. Memiliki sanad yang shahih. D. Al-Qur’an Diturunkan dengan Tujuh Huruf Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya sebagai berikut Rasulullah bersabda : sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.” Dalam hadits yang yang dikemukakan diatas tampak dengan jelas bahwa dispensasi yang diberikan rasulullah dalam membaca Al-Qur’an lebih dari satu huruf (bacaan) dimaksudkan untuk memudahkan umat islam dalam membaca Al-Qur’an sehingga mereka tidak merasa dibebani oleh bacaan-bacaan yang sulit untuk dilafalkan, sebab sebagaimana dinyatakan Rasulullah dan memang cocok dengan mereka yang ummi (buta aksara) di kalangan mereka. Dengan kemudahan yang diberikan Rasulullah dalam membaca Al-Qur’an mereka makin tertarik kepada Islam, sehingga mereka merasakan Islam itu benar-benar diturunkan untuk mereka demi membimbing kehidupan mereka di muka bumi ini agar memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Dari uraian diatas, yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah tujuh macam bacaan yang diajarkan Rasulullah terjadi dimasa kenabian tersebut karena Al-Qur’an memang diturunkan dalam tujuh bacaan. Tetapi tidak berarti bahwa setiap kata dalam Al-Qur’an dapat dibaca sebanyak tujuh bacaan yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf ialah memberi isyarat kepada ummat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca Al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka.

Sebagian ulama ada yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf disini adalah tujuh segi yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu; amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d

(ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahy, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Segolongan ulama juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ini adalah tujuh hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yakni: 1. Ikhtilaf asma’ (perbedaan kata benda) dalam bentuk mufrad, mudzakkar, jamak, dan lain sebagainya. Contoh dalam Surat Al Mu’minun : 8

      ٍ ‫ ا َ َمانَا‬dan ifrad ‫ا َ َمانَ ِة‬ ‫ ا َ َمانَتِ ِه ْم‬dibaca dalam bentuk jamak ‫ت‬ 2. Perbedaan tashrif (perubahan) kata kerja dari masa lampau menjadi masa sekarang dan masa yang akan datang. Contoh dalam Surat Saba’ : 19

                     Pada lafal ‫ع ْد‬ ِ ‫ َربَّنَا بَا‬kadang dibaca َ‫ َربُّنَـا بَـعَّد‬dengan me rafa kan lafal “rabbu” karena menjadi mubtada dan “ba’-‘ada" dengan mentasydidkan huruf ‘ain sebagai fi’il madhi yang kedudukannya menjadi khabar (sebutan). 3. Perbedaan jabatan kata. 4. Perbedaan taqdim (mendahului) dan ta’khir (mengakhirkan) dalam penempatan suatu kata. 5. Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan. 6. Perbedaan dalam segi ibdal (pergantian), baik pergantian huruf dengan huruf.

7. Perbedaan dialek dalam pembacaan tafkhim (tebal), dan tarqiq (tipis), fathah dan imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tas-hil, dan lain-lain. Ada juga ulama yang berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qira’at sab’ah. Pendapat yang paling kuat ialah pendapat yang menyatakan bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama. Ketujuh bahasa tersebut yaitu Quraysy, Huzayl, Saqif, Hawazin, Kinanat, Tamim, dan Yaman.

E. Fungsi Qira’at dalam Penetapan Hukum Islam Meskipun qira’at bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum), namun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qira’at berpengaruh besar dalam penetapan hukum Islam. Berikut ini beberapa contoh perbedaan qira’at yang ditafsirkan oleh imam qira’at: a. Surah Al-Baqarah [2]: 222                                Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” Berkaitan dengan ayat diatas, diantara tujuh imam qira’at yaitu Abu Bakar Syu’bah, Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca

“yathhuma” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih. Sehubungan dengan hal tersebut, batas keharaman seorang suami untuk mencampuri istrinya yang haid adalah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti darah haidnya, dan telah mandi dari hadas besarnya. Contoh lainnya yaitu pada surah Al-Ma’idah ayat 6 yang berbunyi:

                  Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ...” Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulakum”, sementara imam-imam yang lainnya membacanya dengan “arjulikum”. Dengan membaca “arjulikum”, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Qira’at dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki. Sementara qira’at versi lainnya dipahami oleh sebagian ulama dengan mengahasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya (dengan air).

BAB III PENUTUP KESIMPULAN 1.

Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz alQur’an sebagaimana yang diucapkan Nabiuh huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.”

2.

Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah AlQasim bin Salam kemudian imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at. Persoalan qira’at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid yang dikenal dengan nama Ibnu Mujahid dialah imam yang pertama yag menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab. Ia juga membatasi hanya pada ketujuh imam qira’at saja karena menurut pertimbangan, merekalah yang paling terkemuka, mashur, paling bagus bacaanya, dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang dan mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat mereka masing-masing.

3.

Dari segi kuantitasnya qira’at terbagi menjadi tiga yaitu Qira’ah Sab’ah (Qira’at Tujuh), Qira’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh), dan Qira’at ‘Arba’at Asyarah (Qira’at Empat Belas). Dan dari segi kualitasnya Qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz (menyimpang), Qira’ah Maudhu (palsu) dan Qira’at Mudraj.

4.

Yang dimaksud dengan al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah memberi kelonggaran kepada umat manusia dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka. Namun, bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh dibaca sesuka hati si pembacanya karena sudah ada aturan yang sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah.

5.

Dalam penetapan hukum, qira’at dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama; dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama; dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda; dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula; dan dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang sulit dipahami maknanya.

1.PENGERTIAN MAKIYAH DAN MADANIYYAH Ada beberapa defenisi tentang Makkiyah dan Madaniyah yang dikemukakan oleh ulama yang masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan kriteria yang mereka gunakan dalam menetapkan Makkiyah atau Madaniyahnya sebuah ayat atau surat. Maka dalam hal ini ada tiga pendapat yang dikemukan oleh ulama, yaitu : 1).Pertama: Dari segi waktu turunnya. Makiah adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan dimekkah. Madani adalah yang turun sesudah hijrah meskipun bukan di madinah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun dimekkah atau Arafah adalah madani. 2). Kedua : Dari segi tempat turunnya. Makki adalah yang turun di mekkah dan sekitarnya. Seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di madinah dan sekitarnya. Seperti Uhud, Quba` dan Sil`. Pendapat ini mengakibatkn tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua. Sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabukh atau di Baitul Maqdis tidak termasuk kedalam salah satu bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan makki ataupun madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan dimakkah sesudah hijrah disebut makki. 3) Ketiga : Dari segi sasaran pembicaraan. Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk mekkah dan madani ditujukan kepada penduduk madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Qur`an yang mengandung seruan yaa ayyuhannas ( wahai manusia ) adalah makki karena pada waktu itu penduduk Mekkah pada umumnya masih kufur. sedang ayat yang mengandung seruan yaa ayyu halladziina aamanuu ( wahai orang-orang yang beriman ) adalah madani. Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita bahwa kebanyakan surah Qur`an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu, dan ketentuan demikianpun tidak konsisten. Misalnya surah baqarah itu madani, tetapi didalamnya terdapat ayat makki. Menurut imam ar-Razy didalam tafsirnya “al-Qur’an adalah seruan Illahi terhadap semua makhluk, ia dapat saja menyeru orang yang beriman dengan sifat, nama atau jenisnya. Jadi kesimpulannya pengertian makiyah adalah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah yang turun di mekkah dan sekitarnya. Seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah

Madaniyah adalah istilah yang diberikan kepada ayat Al Qur'an yang diturunkan di Madinah atau diturunkan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah dan sekitarnya. Seperti Uhud, Quba` dan Sil.

2. KLASIFIKASI AYAT DAN SURAT MAKIYAH MADANIYAH Menurut Abu Bakar Bin Hashar Surah- surah makiyah dan madaniah yang sah ada 20 surah diantaranya sebagai berikut : 1. Al-Baqarah

11. Al- Hujrat

2. Ali 'Imran

12. Al-Hadid

3. An-Nisa'

13. Al-Mujadilah

4. Al-Ma'idah

14. Al-Hashr

5. Al-Anfal

15. Al-Mumtahinah

6. At-Taubah

16. Al-Jumuah

7. An-Nur

17. Al-Munafiqun

8. Al –Ahzab

18. Al-Talaq

9. Muhammad

19. At-Tahrim

10. Al-Fath

20. An-Nasr

Sedangkan yang diperselisihkan ada 12 ayat yaitu 1. Al-Fatihah

7. Al-Qadar

2. Al-Rad

8. Al-Bayyinah

3. Al-Rahman

9. Al-Zalzalah

4. Al-saff

10. Al-Ikhlas

5. Al-Tagabun

11. Al-Falaq

6. Al-Mutaffifin

12. Al-Nas

NAMA-NAMA SURAH MADANIYAH BERDASARKAN URUTAN TURUNNYA (MENURUT SEBAGIAN BESAR ULAMA)

01. Al-Baqarah

07. Al-Hadid

13. Al-Munafiqun

19. Al-Jumu'ah

02. Al-Anfal

08. Al-Qital

14. Al-Mujadilah

20. Al-Fath

03. Alu 'Imran

09. Al-Thalaq

15. Al-Hujurat

21. Al-Ma`idah

04. Al-Ahzab

10. Al-Hasyr

16. Al-Tahrim

22. Al-Taubah

05. Al-Mumtahanah

11. Al-Nur

17. Al-Taghabun

23. Al-Nashr

06. Al-Nisa'

12. Al-Hajj

18. Al-Shaf

NAMA-NAMA SURAT MAKIYAH BERDASARKAN URUTAN TURUNNYA (MENURUT SEBAGIAN BESAR ULAMA)

01. Al-'Alaq 02. Al-Qalam 03. Al-Muzammil 04. Al-Muddatstsir 05. Al-Fatihah 06. Al-Lahab 07. Al-Takwir 08. Al-A'la 09. Al-Lail 10. Al-Fajr 11. Al-Dhuha 12. Al-Insyirah 13. Al-'Ashr 14. Al-'Adiyat 15. Al-Kautsar 16. Al-Takatsur 17. Al-Ma'un 18. Al-Kafirun 19. Al-Fil 20. Al-Falaq

25. Al-Qadar 26. Al-Syams 27. Al-Buruj 28. Al-Tin 29. Al-Quraisy 30. Al-Qari'ah 31. Al-Qiyamah 32. Al-Humazah 33. Al-Mursalah 34. Qaf 35. Al-Balad 36. Al-Thariq 37. Al-Qamar 38. Shad 39. Al-A'raf 40. Al-Jin 41. Yasin 42. Al-Furqan 43. Fathir 44. Maryam

49. Al-Qashash 50. Al-Isra 51. Yunus 52. Hud 53. Yusuf 54. Al-Hijr 55. Al-An'am 56. Al-Shaffat 57. Luqman 58. Saba` 59. Al-Zumar 60. Ghafir 61. Fushshilat 62. Al-Syura 63. Al-Zukhruf 64. Al-Dukhan 65. Al-Jatsiyah 66. Al-Ahqaf 67. Al-Dzariyat 68. Al-Ghasyiyah

72. Ibrahim 73. Al-Anbiya 74. Al-Mu`minun 75. Al-Sajdah 76. Al-Thur 77. Al-Mulk 78. Al-Haqqah 79. Al-Ma'arij 80. Al-Naba` 81. Al-Nazi'at 82. Al-Infithar 83. Al-Insyiqaq 84. Al-Rum 85. Al-'Ankabut 86. Al-Muthaffifin 87. Al-Zalzalah 88. Al-Ra'd 89. Al-Rahman 90. Al-Insan 91. Al-Bayyinah

21. Al-Nas 22. Al-Ikhlas 23. Al-Najm 24. 'Abasa

45. Thaha 46. Al-Waqi'ah 47. Al-Syura 48. Al-Naml

69. Al-Kahf 70. Al-Nahl 71. Nuh 72. Ibrahim

Para ulama berbeda pendapat tentang keadaan surat-surat ini, apakah dia Makkiyah atau Madaniyah. Adanya perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan jumlah masing-masing disebabkan karena adanya sebagian surat dari al-Qur’an yang tergolong Makkiyah atau Madaniyah, tetapi didalamnya berisi ayat yang lain statusnya, Contoh ayat Makkiyah yang terdapat dalam surat Madanaiyah, surat al-Anfal yang merupakan surat Madaniyah, tetapi banyak ulama yang mengecualikan ayat 30. Ayat ini diturunkan di Mekkah, yang mana berisi tentang apa yang dimusyawarahkan oleh orang musyrik di Darun Nadwah untuk membunuh Rasulullah sebelum hijrah ke Madinah . Dan sebagian ulama juga mengecualikan ayat 64 Ayat ini adalah Makkiyah yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah ketika Umar bin Khatab masuk Islam . Contoh ayat Madaniyah yang terdapat dalam surat Makkiyah, surat al-An’am adalah Makkiyah kecuali tiga ayat yaitu dari ayat 151 sampai ayat 153, surat al-Haj, kecuali tiga ayat yang merupakan Madaniyah, yaitu ayat 19 sampai ayat 21 . karena itu Imam Abu Syahbah membagi surat-surat dalam al-Qur’an menjadi empat macam , yaitu: 1. Surat-surat Makkiyah murni yaitu surat-surat Makkiyah yang seluruh ayatnya juga berstatus Makkiyah semua, tidak satu pun yang Madaniyah. 2. Surat-surat Madaniyah murni yaitu surat-surat Madaniyah yang seluruh ayatnya juga berstatus Madaniyah semua dan tak satu pun yang Makkiyah. 3. Surat-surat Makkiyah yang berisi ayat-ayat Madaniyah, yaitu surat-surat yang sebetulnya kebanyakan ayatnya adalah Makkiyah, sehingga berstatus Makkiyah, tetapi didalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Madaniyah. 4. Surat-surat Madaniyah yang berisi ayat-ayat Makkiyah yaitu surat-surat yang sebetulnya kebanyakan ayatnya adalah Madaniyah, sehingga berstatus sebagai surat Madaniyah, tetapi didalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Makkiyah.

3. CARA MENENTUKAN MAKIYAH DAN MADANIYYAH Untuk mengetahui dan menentukan makkiyah dan madaniyah para ulama bersandar pada dua cara utama yaitu : Manhaj simâ'i naqli (metode pendengaran seperti apa adanya) dan Manhaj qiyâsi ijtihâdi (menganalogikan dan ijtihad). Cara sima'i naqli: didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi'in yag menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. jika mereka menemui keraguan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah . Sebagian besar penentuan makkiyah dan madaniyah itu didasarkan pada cara pertama. Dan contoh-contoh diatas adalah bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitabkitab tafsir bi al-ma`tsûr. Kitab asbabun nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Qur`an. Cara qiyasi ijtihadi: didasarkan pada ciri-ciri makkiyah dan madaniyah. Apabila dalam surah makkiyah terdapat suatu ayat yang mengandung ayat madaniyah atau mengandung persitiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madaniyah dan sebaliknya. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri makki, maka surah itu dinamakan surah makkiyah dan sebaliknya. Inilah yang disebut qiyâs ijtihadi.

4. CIRI-CIRI MAKIYAH DAN MADANIYYAH 1.Ciri-ciri Surat Makkiyah a. Setiap surat yang terdapat didalamnya lafaz Kalla adalah surat Makkiyah. Lafaz ini hanya terdapat dalam seaparoh terakhir dari al-Qur’an, dan disebutkan sebanyak 33 kali dalam lima belas surat. Sebagaimana ‘Amâny berkata” hikmah terdapatnya lafaz ini dibagian separoh terakhir dari al-Qur’an karena surat-surat bagian terakhir al-Qur’an kebanyakan turun di Mekkah, dan kebanyakan penduduknya adalah pembangkang atau keras kepala, makanya pengulangan lafaz ini sebagai sebuah tahdîd atau ta’nîf (ancaman) terhadap keingkaran mereka, berbeda dengan bagian-bagian pertama dari al-Qur’an yang kebanyakan turun di Madinah, dan juga diturunkan terhadap penduduk yahudi Madinah yang tidak perlu lagi pemaparan tentang kehinaan dan kelemahan mereka .

b. Setiap surat yang didalamnya mengandung Sajdah ( ‫ ) سجدة‬adalah surat Makkiyah c. Setiap surat yang dibuka dengan huruf al fabet adalah surat Makkiyah, seperti Alif Lâm Mîm Râ, Hâ Mîm dan lain-lainya, kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imran, kedua surat ini menurut ittifaq ulama adalah Madaniyah, sedangkan surat ar- Ra’du masih dipersilisihkan . d. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah . e. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makkiyah, kecuali surat alBaqarah . 2. Ciri-ciri surat Madaniyah a. Setiap surah yang berisi kewajiban atas had (sanksi) adalah madaniyah. b. Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah madaniyah, kecuali surah al-Ankabut ini termasuk surat Makkiyah kecuali 11 ayat dari awal termasuk dalam golongan Madaniyah. c. Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah madaniyah d. Setiap surat yang didalamnya terdapat izin untuk berjihad, serta penjelasan tentang hukumhukum jihad.

5. TEMA DAN GAYA BAHASA MAKIYAH DAN MADANIYYAH Tema dan gaya bahasa surat Makkiyah a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan hari akhir dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmat, argumentasi terhadap orang-orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah. Inilah beberapa hal yang lebih diutamakan terhadap penduduk Mekkah, karena mereka pada saat itu berada dalam kesyirikan dan tidak menyakini adanya Nubuwat dan hari akhir . b. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan

darah, memakan harta anak yatim, mengubur bayi perempuan hidup-hidup dan berbagai kebiasaan buruk lainnya . c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka, sehingga mereka mengetahui akibat terhadap orang yang yang mendustakan agama sebelum mereka, dan sebagai hiburan bagi Rasulullah sehingga ia tabah dan sabar dalam menghadapi mereka dan yakin akan menang . d. Kebanyakan ayat dan suratnya pendek-pendek (îjâz), pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, dan menggetarkan hati, dan maknanya pun menyakinkan yang diperkuat dengan lafaz-lafaz sumpah (qasam) , yang demikian itu karena penduduk Mekkah merupakan orang-orang yang fashih dan ahli balaghah (ahlul fashohah wal balaghah) karena mere Turunnya surah-surah Makiyyah lamanya 12 tahun, 5 bulan, 13 hari, dimulai pada 17 Ramadhan 40 tahun usia Nabi (Februari 610 M). ka sudah terbiasa dengan bahasa-bahasa syi’ir Tema dan Gaya Bahasa Surat Madaniyah a. Penjelasan tentang pensyari’atan secara terperinci seperti penjelasan hukum-hukum amaliyah dalam ibadah dan mu’amalah, seperti hukum sholat, zakat, puasa, nikah, talaq, jual beli dan lainlain. b. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka dari kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran, serta penjelasan tentang kesesatan akidah mereka. c. Menyingkap prilaku orang munafiq, menganalisis kejiwaan mereka, membuka kedok mereka serta menjelaskan bahwa mereka berbahaya bagi agama. d. Kebanyakan ayat dan suratnya panjang-panjang ( ithnâb ) dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syari’at serta menjelaskan tujuan dan sasarannya, karena penduduk Madinah bukanlah seperti penduduk Mekkah yang ahli dalam balaghah dan fashih.

6. PERBEDAAN SURAT MAKIYAH DAN SURAT MADINIYAH

NO

SURAT MAKKIYAH

SURAT MADANIYAH

1.

Penuh dengan syair dan ungkapan

Mendalam, kuat, dan kokoh

perasaan 2.

3.

Menggunakan kalimat yang sangat

Menggunakan kalimat-kalimat ushul dan

fasih dan baligh

ungkapan-ungkapan undang-undang (syariah)

Berisi nasihat, bimbingan, tauhid dan

Berisi hudud, fara’idh, dan hukum

Hari Kiamat, sejarah umat-umat terdahulu, dan azab 4.

5.

6.

Menggunakan banyak pemisah dan

Tidak terlalu banyak menggunakan sajak dan

biasanya pendek-pendek. Surat

pemisah, dan pemisahnya selalu panjang

Makiyyah yang merupakan 19/30 dari

Surat Madaniyah yang merupakan 11/30 dari

isi al-Qur'an Jumlah ayatnya 4.780

isi Al-Qur'an, ayat-ayatnya berjumlah 1.456

ayat.

ayat.

Tidak berisi debat dan dialog dengan

Banyak berisi debat dan dialog dengan kaum

kaum Yahudi dan Nasrani

Yahudi dan Nasrani

Mengandung sedikit saja perintah

Mengandung perintah untuk beramal dan

untuk amal dan ibadah, fokusnya pada

beribadah

masalah 7.

Tidak membahas masalah jihad, hanya

Mengandung perintah untuk berjihad,

membahas soal dakwah, tablig,

menjelaskan hukum jihad dengan perintah

nasihat, dan kata-kata yang halus

dakwah, tablig, dan irsyad

7. MANFAAT MENGETAHUI MAKIYAH DAN MADANIYAH 1. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur`an, Sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang tedahulu.

2. Untuk meresapi gaya bahasa Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti peling khusus dalam retorika. Karakteristik gaya bahasa makkiyah dan madaniyah dalam Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan. 3. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah da’wah, baik priode Mekah maupun priode Medinah15.

More Documents from "Ayu Amelia"