Media Perkebunan, 20 November – 30 Desember 2008
Peluang Indonesia mengatasi krisis harga kelapa sawit Memet Hakim Ditengah tengah kemerosotan harga komoditi ekspor terutama kelapa sawit, banyak pihak yang pesimis, apakah kondisi ini akan berlangsung lama atau tidak. Banyak perusahaan penunjang kelapa sawit yang telah merasakan akibatnya, omzet mereka ikut menurun. Secara nasional tentu akan mempengaruhi pendapatan masyarakat khususnya di bidang subsector perkebunan. Dilain pihak sebenarnya masih terbuka peluang peningkatan produktivitas dengan cara yang sederhana yakni melaksanakan manajemen akar dan menggunakan pupuk organic yang mudah didapat dan murah harganya. Namun dibalik “musibah” ini, ternyata ada suatu “hikmah” yang sangat strategis untuk membangkitkan rasa nasionalis kita, yakni peluang menjadikan kelapa sawit Indonesia sebagai “senjata” untuk mendapatkan perlakuan yang baik di dunia. Kalau kita hitung dari sekitar 6,5 juta ha tanaman kelapa sawit dan produksi minyak sawit sebesar sekitar 17 juta ton, seluruhnya dapat diserap didalam negeri. 5 juta ton dikonsumsi sebagai minyak makan, sisanya digunakan sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN) yang lebih ramah lingkungan. Ekspor tahun 2007 tercatat 14,3 juta ton, dibawah Malaysia yang ekspornya 15 juta ton (Mendag, Media Perkebunan edisi 67 hal 8), hal ini sangat wajar karena konsumsi dalam negeri saja lebih banyak, akibat populasi penduduk dan tingkat produktivitas yang berbeda. Program pemerintah dengan mencampur sebanyak 2,5 % pada minyak solar, dapat “segera” dinaikkan menjadi diatas 10 % agar semua minyak kelapa sawit habis dikonsumsi didalam negeri. Akan lebih aik pembuatan biodiesel ini mendapat subsidi yang lebih besar dari pada subsidi terhadap minyak bumi karena kaitannya terhadap banyak sekali tenaga kerja yang terlibat dan lebih ramah lingkungan. Dengan harga sekitar 400 USD sebenarnya bagi perusahaan yang efisien masih dapat bertahan, demikian juga pada petani. Harga yang meningkat sampai diatas 1000 USD rupanya telah membuat para petani dan pengusaha kelapa sawit terlena. Untuk mereka yang bijak tentu “keuntungan” pada saat harga tinggi dapat digunakan saat ini. Demikian juga pemerintah yang telah menetapkan pajak ekspor selama ini sebesar 510 % segera mengembalikan dana tersebut dalam bentuk subsidi pupuk yang harganya tidak rasional lagi. Kebutuhan BBM (Bahan Bakar Minyak) Indonesia sekitar 1,6 juta barel per tahun atau sekitar 254 juta liter. Jika diperkirakan kebutuhan minyak solar 50 % maka kebutuhannya menjadi 127 liter. Dengan program biodiesel 5 % hanya terserap minyak sawit sebesar 6,4 juta ton, sedangkan kelebihan suplai minyak sawit sekitar 12 juta ton. PT. Pertamina sendiri telah siap memproduksi dan menjual biodiesel dari bahan dasar minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil) dengan nama Bio Solar (Warta Pertamina, Edisi no. 5/Thn XLI, Mei 2006). Kebijakan pemerintah yang dikeluarkan dalam bentuk
Media Perkebunan, 20 November – 30 Desember 2008 perpres No. 5 Tahun 2006 dan Inpres No. 1 Tahun 2006 sebenarnya sudah cukup baik, tinggal implementasinya. Bahan bakar ini secara bertahap akan mengurangi jumlah kebutuhan solar. Sehubungan dengan uraian diatas, masih terdapat “kelebihan suplai minyak sawit sebesar sekitar 6 juta ton lagi, jika campuran bio-solar dari minyak sawit ditingkatkan menjadi 10 %, maka semua produksi kelapa sawit di Indonesia akan terserap didalam negeri. Terlalu mudah kita menerima RSPO sebagai “alat dagang” misalnya, dimana Negara UE mencoba menekan Negara penghasil minyak sawit untuk mengikuti aturan mereka, walau anggotanya ada juga dari Indonesia, dimana ternayata RSPO tidak dapat berbuat banyak pada saat krisis seperti ini, tetapi menjadi penekan pada saat mau ekspor. Terlalu mudah juga Negara kita terimbas krisis yang dimulai dari USA akibat lumpuhnya satu perusahaan saja, sampai banyak petani dan pengusaha kita kesulitan berat mengatasinya. Memang yang kita perlukan dalam kemelut seperti ini adalah menteri yang tidak hanya pintar berdagang, namun juga nasionalis. Kita lihat pada beberapa belasan tahun yang lalubagaimana Uni Soviet runtuh akibat kekurangan pangan, Korea Utara sempat bergeming karena kelaparan akibat tidak ada makanan, beberapa Negara di Afrika hidupnya tergantung pada Negara lain yang dapat mendiktekan kehendaknya, mengapa Indonesia tidak melihat kekuatan ini ? Negara kita sebagai penghasil kelapa sawit terbesar, penghasil beras yang terbesar dapat menggunakan kekuatan ini untuk kejayaan negeri. Peran pemerintah diperlukan untuk mengatasi kondisi ini cukup dengan 3 hal saja yakni pertama, membuat BBM dengan campuran Bio-Solar sebesar 10 %. Kedua memberikan subsidi pupuk atau alat produksi lainnya sebagai “balas jasa” pemerintah atas pajak ekspor minyak sawit selama ini serta ketiga memberikan ijin ekspor jika Negara pengimpor tersebut merupakan Negara “sahabat” yang bersedia membagi suka dan duka. Dengan demikian harga minyak sawit kembali akan meningkat, karena dunia akan kekurangan suplai, selanjutnya moment tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki posisi Negara kita.