PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA PADA KASUS TRAGEDI SEMANGGI
Sebelum kita membahas tentang kasusnya, lebih baik kita mengenal dulu tentang hak asasi manusia. Apa arti HAM (Hak Asasi Manusia)? Pengertian HAM adalah hak-hak dasar manusia yang dimiliki sejak berada dalam kandungan dan setelah lahir ke dunia (kodrat) yang berlaku secara universal dan diakui oleh semua orang. HAM adalah singkatan dari Hak Asasi Manusia, dimana masing-masing kata tersebut memiliki makna. Kata “Hak” dalam hal ini berarti sebagai kepunyaan atau kekuasaan atas sesuatu, sedangkan “Asasi” adalah sesuatu hal yang utama dan mendasar. Jadi, pengertian HAM secara singkat adalah suatu hal yang mendasar dan utama yang dimiliki oleh manusia. Pada praktiknya, ada banyak sekali pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di berbagai penjuru dunia. Pelanggaran HAM tersebut dilakukan semata-mata untuk kekuasaan dan kepemilikan sumber daya yang ada di suatu tempat. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah perbuatan seseorang atau sebuah kelompok,orang termasuk apparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hokum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang undang. Sumber : https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-ham.html, diakses 26 Desember 2018
Salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah kasus Tragedi Semanggi.
Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi. 12 November 1998, ratusan ribu maasiswa dan masyarakat bergerak menuju gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan. Tetapi, tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh TNI, Brimob, dan juga Pamswakarsa. Pada malam harinya, terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia. 13 November 1998, banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi. Hingga siang harinya, jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Mahasiswa dan masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja. Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang. Sekitar jam 15.00 WIB, kendaraan lapis baja mulai bergerak untuk membubarkan massa, membuat masyarakat melarikan diri, lalu dipapar tembakan membabi buta oleh aparat. Saat itu, sudah ada mahasiswa yang tertembak dan tewas di jalan bernama Teddy Wardhani Kusuma. Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawankawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat bernama Bernauds R Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta. Ia tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 15.00 WIB sampai dini hari, terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu pula semakin banyak korban berjatuhan, baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas air mata. Tragedi Semanggi 1 menyebabkan 18 orang meninggal karena ditembak aparat. Lima orang di antaranya adalah mahasiswa, yakni Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi, Herus Sudibyo, dan BR Norma Irmawan. Sedangkan korban luka-luka sebanyak 109 orang, baik masyarakat maupun pelajar. https://nalarpolitik.com/latar-belakang-tragedi-semanggi-1/, diakses 26 Desember 2018
(Komnas HAM) dalam pertemuannya dengan Presiden Habibie saat itu meminta pemerintah untuk memberi penjelasan tentang sebab dan akibat serta pertanggungjawaban mengenai peristiwa tanggal 13 November itu secara terbuka pada masyarakat luas karena berbagai keterangan yang diberikan ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan. (Kompas, 16 November 1998). Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dalam jumpa pers di Hankam mengakui ada sejumlah prajurit yang terlalu defensif dan menyimpang dari prosedur, menembaki dan memukuli mahasiswa. Namun, Wiranto menuduh ada kelompok radikal tertentu yang memancing bentrokan mahasiswa dengan aparat, dengan tujuan menggagalkan Sidang Istimewa. https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi,diakses 26 Desember 2018
Adapun upaya untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus Trisakti dan Semanggi I dan II ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer, namun sehubungan dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, tuntutan keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat, dan dalam rangka penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia, dipandang perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan dengan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Maka dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakati pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/ 2001 tanggal 27 Agustus 2001.
2.
Landasan Hukum
Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II didasarkan atas:
a) Manusia.
b)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
c)
Keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001.
d) Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/2001 tanggal 27 Agustus 2001 tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa Trisakti, Semanggi I& II.
3.
Tugas dan Wewenang
Tugas dan wewenang KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II adalah :
a) Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang terjadi dan kasus-kasus yang berkaitan
b) Meminta keterangan pihak-pihak korban
c) Memanggil dan memeriksa saksi-saksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia
d) Mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia
e) Meninjau dan mengumpulkanketerangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu
f) Kegiatan lain yang dianggap perlu Penyelesaian kasus trisakti nasibnya kurang lebih sama dengan reformasi, yaitu mati suri. Bertahun-tahun sudah kasus trisakti terjadi, tapi para pelaku tidak pernah terungkap dengan terang benderang, sehingga mereka tak pernah dibawa ke meja hijau. Perjalanan kasus Semanggi I dan II
Padahal Komnas HAM menengarai adanya pelanggaran HAM berat pada penangan demonstrasi mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998. Salah satu indikasi sulitnya membongkar kasus ini adalah keterlibatan orang-orang penting (berkuasa) pada saat itu atau bahkan sampai saat ini sehingga ada banyak kepentingan yang menghalang-halangi penuntasa kasus ini.Tahun demi tahun terus bergulir. Pemerintah (presiden) pun telah beberapa kali berganti, namun penyelesaian kasus trisakti tidak tahu rimbanya. Komnas HAM menyatakan bahwa mereka telah menyerahkan laporan penyalidikan kasus itu sejak 6 Januari 2005 kepada Kejaksaan Agung. Namun sampai saat ini tidak ada tindak lanjut yang jelas yang dapat diketahui masyarakat terutama keluarga korban. Untuk itu diperlukan keseriusan, kejujuran, dan kebranian berbagai pihak untuk menuntaskan kasus ini. Presiden serta menkopolhukam dan kementrian hukum dan HAM yang ada dibawahnya harus bertindak. DPR memberikan pengawasan dan meningkatkan pemerintah, Kejaksaan Agung harus mengambil langkah strtegis. Demikian juga keberadaan Komnas HAM dan pihak lainnya untuk sama-sama mencari solusi penyelesaiann kasus ini. Tanpa itu semua, sepertinya kita masih harus menunngu bagaimana akhir dari tragedi Trisakti. Penyelidikan kasus ini menyeret enam terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti yang kemudian mendapatkan hukuman 2-10 bulan pada 31 Maret 1999. Tiga tahun kemudian, sembilan terdakwa lain disidangkan di Mahkamah Militer, yang kemudian dihukum 3-6 tahun penjara pada Januari 2002. Namun Komnas HAM menyebutkan terdakwa dalam kasus ini masih memberikan hukuman pada pelaku lapangan, dan bukan komandannya. Sebelumnya pada tahun 2000 lalu, DPR membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) atas desakan mahasiswa dan keluarga korban. Setahun kemudian, Pansus menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Pansus juga merekomendasikan penyelesaian melalui jalur pengadilan umum dan pengadilan militer. Juli 2001, rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus Trisaksi, Semanggi I dan II, hasilnya tiga fraksi F-PDI P, F PDKB, F PKB menyatakan kasus ini terjadi unsur pelanggaran berat, namun tujuh fraksi lain F- Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F-Reformasi, FKKI, F-PDU menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS. Mahasiswa dan keluarga korban pun tidak puas. Pada 2001, Komnas HAM mulai melakukan penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II dengan membentuk KPP HAM. Para mahasiswa pun membantu Komnas HAM untuk mengumpulkan bukti dan saksi kasus penembakan tersebut.
Dalam laporan hasil penyelidikan KPP HAM menyimpulkan terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II
dengan 50 orang perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan pada April 2002. Di tahun berikutnya, Kejaksaan Agung menolak dengan alasan kasus tersebut sudah disidangkan melalui pengadilan militer, sehingga tidak dapat mengajukan kasus yang sama ke pengadilan. Padahal menurut Komnas HAM, peradilan militer hanya menjerat pelaku lapangan, sementara pelaku utama belum diadili. Pada Maret, dalam rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III dan Kejaksaan Agung, pihak Kejakgung tetap bersikukuh tidak akan melakukan penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Selain itu, Komisi III juga memutuskan pembentukan Panitia Khusus (PANSUS) orang hilang. Pada 13 Maret 2007, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI memutuskan tidak akan mengagendakan persoalan penyelesaian tragedi TSS ke Rapat Paripurna pada 20 Maret nanti. Artinya, penyelesaian kasus TSS akan tertutup dengan sendirinya dan kembali ke rekomendasi Pansus sebelumnya. Optimisme sempat muncul selama masa kampanye pemilihan presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, berjanji untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan, menjadi salah satu prioritas utama pemerintahan mereka untuk mencapai kedaulatan politik.
Pada April 2015 Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998. Namun Kontras menilai dalam pemerintahan Jokowi dan setelah 20 tahun reformasi, penyelesaian kasus pelanggaran HAM bukan hanya jalan di tempat namun mengarah pada kemunduran. Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan berbagai kebijakan tidak sejalan dengan pemenuhan keadilan dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). "Dalam Perpres Ranham yang terbaru disebutkan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, rencana aksi HAM adalah untuk optimalisasi dan koordinasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Kok sudah 20 tahun masih koordinasi, ini terkesan mengulur waktu," ujar Yati.
Di sisi lain, Yati menilai kultur impunitas atau ketiadaan penghukuman di Indonesia sangat kuat yang membuat kasus pelanggaran HAM sulit untuk diselesaikan dan justru orangorang yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di masa lalu kembali memiliki kekuatan politik. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43940189, diakses 26 Desember 2018
Berdasarkan fakta-fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian berbagai pihak, KPP HAM menemukan berbagai kekerasan yang pada dasarnya melanggar hak asasi manusia seperti pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perkosaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara sistematis serta meluas yang dilakukan oleh pelaku tertentu dengan sasaran masyarakat tertentu. Masyarakat tersebut secara khusus adalah mahasiswa maupun masyarakat yang berdemonstrasi terhadap kekuasaan politik untukmenuntut perubahan, termasuk terhadap rencana melahirkan UU PKB.
KPP HAM memusatkan perhatian pada tiga (3) rangkaian kejadian di sekitar kampus Trisakti 12-13 Mei 1998, di sekitar Semanggi 13-14 November 1998 (dikenal dengan peristiwa Semanggi I), dan pada 23-24 September 1999 (dikenal dengan Semanggi II). Meskipun kurun waktu terjadinya peristiwa tesebut berbeda, tiga rangkaian peristiwa ini tidak dapat dipisahkan dan dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam menghadapi gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat akan perlunya reformasi.
Kekerasan-kekerasan yang tidak manusiawi dan sangat kejam yang ditemukan dalam ketiga peristiwa itu mencakup tindakan-tindakan di bawah ini :
1) Pembunuhan
Telah terjadi pembunuhan yang sistematis di berbagai daerah dalam waktu yang panjang, yaitu pada Mei 1998, Nopember 1998, serta September 1999. Tindakan pembunuhan itu dilakukan terhadap mahasiswa demonstran, petugas bantuan medis, anggota masyarakat yang berada disekitar lokasi demonstran, ataupun anggota masyarakat yang dimobilisasi untuk menghadapi demonstran. Pembunuhan serupa juga dilakukan dalam kerusuhan massa yang diciptakan secara sistematis sebagaimana terjadi di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 (lihat laporan TGPF).
2) Penganiayaan
Telah terjadi penganiayaan untuk membubarkan demonstrasi yang dilakukan sejumlah mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI (dahulu disebut ABRI). Penganiayaan ini terjadi secara berulang-ulang di berbagai lokasi, seperti pada kampus Universitas Trisakti, dan Universitas Atmajaya, dan Semanggi yang mengakibatkan timbulnya korban fisik (seperti terbunuh, luka ringan dan luka berat) dan mental. Hal ini dikarenakan terkena gas air mata, pukulan, tendangan, gigitan anjing pelacak dan tembakan sehingga harus mengalami perawatan yang serius.
3) Perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara
Terutama pada Mei 1998, telah terjadi tindak kekerasan seksual termasuk perkosaan yang mengakibatkan sejumlah perempuan mengalami trauma dan penderitaan fisik dan mental. Trauma yang dialami sulit diatasi karena korban tidak berani tampil untuk menceritakan apa yang dialaminya.
4) Penghilangan paksa
Pada bulan Mei 1998, telah terjadi penghilangan secara paksa terhadap 5 (lima) orang yang diantaranya adalah aktifis dan anggota masyarakat yang hingga kini nasib dan keberadaannya tidak diketahui. Dalam peristiwa ini, negara belum juga mampu menjelaskan nasib dan keberaan mereka.
5) Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik
Sebagai bagian dari tindakan kekerasan, dilakukan pula tindakan penggeledahan, penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melewati batas-batas kepatutan sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan trauma. Perbuatan ini dilakukan sebagai bagian yang tidak terpisah dari upaya penundukan secara fisik dan mental terhadap korban.
PERISTIWA TRAGEDI TRISAKTI & SEMANGGI TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA Dosen : Otang Fharyana, S.H., M.H Disusun oleh : Nama : Frima Nopriyana NPM : 0718101025
FAKULTAS BAHASA INGGRIS UNIVERSITAS WIDYATAMA
Terakreditasi (accredited) “A” S.K. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Nomer : 204/SK/BAN-PT/AKRED/I/2018 BANDUNG 2018