Pecundang Tanah Lembaga Memang kasus-kasus adat yang menimpa warganya tetap saja berlanjut, hingga saat ini di berbagai desa di Bali, bahkan ada kesan semakin semarak. Aku kira ini akibat-akibat konflik di dalmnya. Selalu selesai dengan kemenangan kelompok dominan. Di tengah kasuskasus adat, individu selalu menjadi pecundang. Pada konteks ini, secara emosional, beban hukuman terasa sangat berat. Yang dihukum oleh hukum adat adalah perasaan namun banyak juga disertai kekerasan fisik. Hukuman adat yang paling populer adalah seseorang yang telah “divonis” bersalah dikeluarkan dari keanggotaan adat. Ketika aku meninggalkan Tanah Lembaga, Natal 2003, senja, dengan menumpang bus Manis yang berangkat terakhir dari Denpasar lewat kota Pupuan, ke Singaraja, maka yang kubayangkan adalah hukuman adat berupa pembuangan. Kata-kata ini telah dilontarkan oleh salah seorang tadi di bale banjar, di tengah sidang yang panas. Tentu saja disambut oleh sorakan warga adat lainnya, yang memenuhi bale banjar itu. Memang ada yang mengajukan bentuk hukuman lain, tetapi semuanya ditolak. Walaupun demikian, sidang adat itu, hingga ditutup, belum menghasilkan keputusan. Aku harus menunggu. Aku tahu bahwa hukumanku adalah dikeluarkan, tetapi masih belum pasti waktunya. Apakah cukup lima tahun atau sepuluh tahun?
1
Praktis selama ini aku hanya bisa menunggu. Untuk berdamai, dengan komunalitas adat, tidak mungkin. Ini soal kewibawaan kebersamaan dan jika kepentingan individu, seperti aku, diadopsi, pastilah dianggap kewibawaan itu tidak ada lagi. Pada suatu hari setelah sidang di hari Natal, ketika aku di Jawa, aku mendapat kabar dari Made, adikku. “Bli, kita menerima hukuman lima tahun dan membayar denda satu juta.” “O,” Kataku. Saat upacara pembuangan berlangsung di gerbang pura, dengan seperangkat banten, aku tidak disertakan. Aku sedang di Jawa. Jadi, upacara penjatuhan vonis dilakukan secara “in absentia”. Aku tidak tahu, apakah yang sesungguhnya sedang terjadi di Tanah Lembaga. Yang pasti, upacara pembuangan itu, sebagai tanda, sejak itu hingga lima tahun ke depan, aku hanya orang asing di Tanah Lembaga,
bagi
Tanah
Lembaga
ini
adalah
kemenangan
besar.
Kemenangan? Apa susahnya dominansi besar memenangkan minoritas kecil? Yang dominan, segala keputusannya memperoleh legitimasi komunal. Sebagai warga adat, aku menerima saja. Tidak ada pilihan lain. Aku bersikap bahwa ini semua salah paham, yang bermula pada sekelompok orang saja di Tanah Lembaga, lalu mendapat fasilitas untuk diinstitusikan. Yang kupertahankan, aku tidak menerima tuduhan
2
Tanah Lembaga, bahwa aku melecehkan adat. Inilah keyakinanku. Akulah membagakan segala warisan tua di Tanah Lembaga. Aku sangat menghormati tradisi dan hukum-hukum di Tanah Lembaga. Aku kagum karena di Tanah Lembaga keabadian tradisi dipertahankan. Kami tanpa terusik kamera wisatawan ketika melakukan ritus karena hampir semua ritus di Tanah Lembaga berlangsung di sepanjang malam, di bawah
purnama
yang
dingin,
ketika
juga
angin
kencang
menghembuskan bau humus di kulit-kulit cemara gongseng. Tanah Lembaga tidak pernah “menjual” ritusnya untuk pariwisata Bali. Kekaguman semacam ini memang tidak diperlukan sekarang. Aku si tertuduh, pecundang yang nista, mesti dibenci. Tapi kekaguman dan rasa hormat itu sampai kapanpun tetap padaku, yang bisa kudedikasikan kepada Tanah Lembaga. Hal lain yang kupikirkan, sejak vonis itu, adalah menyelematkan novelku. Aku tengah berjuang mendapatkan penerbit. Tapi ini sangat sulit. Aku sama sekali belum populer di jagat sastra Indonesia. Selama ini kiprahku sebagai penulis cerpen, hanya di Bali. Pada suatu hari, aku bertemua Raudal Tanjung Banua, di kampus tempat aku bekerja. Rupanya dia tahu kasusku di adat dan novelku. Aku
bercerita
kepadanya
tentang
semua
yang
kualami.
Aku
menyerahkan satu kopi Inses (judul asli novelku, yang terbit dalam Incest). Tidak lama sejak pertemuan itu, aku mendapat kabar yang sangat menggembirakan dari Yogyakarta, kota kediaman Raudal
3
Tanjung Banua bersama keluarganya dan kiprah besarnya dalam sastra Indonesia. Novelku mendapat penerbit, yaitu di Pinus Yogyakarta. Yang menjadi editornya adalah Raudal Tanjung Banua sendiri. Aku
gembira
sekali.
Karyaku
terselamatkan.
Tidak
ikut
diberangus oleh kekerasan adat. Perlu aku tegaskan, bukan lantaran novel ini berkasus sehingga aku ingin menerbitkannya. Aku sadar, sebagai pengajar sastra dan mengajar menulis di kampus maka katakata kososng belaka tidak cukup. Mahasiswa harus bangga terhadap dosennya. Kebanggaan pada karya dosennya. Di samping itu, sebagai dosen, jika hanya mengajar atau menyampaikan kuliah saja di kelaskelas, tidaklah cukup. Harus ada karya nyata, karya intelektual, pemikiran, dan gerakan. Ini adalah keyakinan besarku, bagaimana caraku menerjemahkan profesionalisme intelektual. Persoalan
baru
muncul
di
depan
mata.
Ini
menyangkut
originalitas karyaku. Apakah aku menerbitkan apa adanya Inses? Artinya, aku tetap mempertahankan seting. Rasanya ini sangat membahayakan. Mungkin aku akan mengalami masalah yang lebih berat lagi di Tanah Lembaga. Syukur, editor dan Pinus menerima permohonanku, aku diizinkan melakukan perubahan seting dan namanama tempat yang dimasalahkan dalam novel tersebut. Tak lama, beberapa bulan kemudian, Incest terbit dan telah beredar di Indonesia. Luka sebagai pecundang adat, rasanya terobati.
4