Dering Telepon dari Tanah Lembaga Senja indah turun di Singaraja, dapat kunikmati dari “rumah impian” di tepi kota. Aku menikmati senja ini dengan tumpukan rencana kerja, seorang PNS yang baru saja menyelesaikan pendidikan S2. Bagiku ini adalah status atau perubahan besar anak desa, di tengah pulaunya, Bali yang tengah berubah. Lama aku meninggalkan Tanah Lembaga. Bertahun-tahun aku tak mendengar dengung lebah yang mungkin baru tiba dalam migrasi abadi memburu musim bunga kopi. September, misalnya, ketika buah kopi baru dipetik, aku tak lagi menikmati harumnya bunga kopi, di tengah kabut sore, dalam bayangan gerimis. Aku meninggalkan Tanah Lembaga setamat SD. Siapa sangka, aku akhirnya hanya punya kenangan-kenangan masa kecil di Tanah Lembaga, ketika aku jauh darinya. Karena aku pun tidak bekerja di Tanah Lembaga, sebagai petani. Aku lebih memilih menjadi PNS di sebuah universitas di Bali Utara. Aku tinggalkan impian lumpur sawah, yang pekat humus Batukaru. Aku tak lagi menjadi senja yang melintasi jalan setapak atau memetik oong (jamur) di pokok-pokok pohon yang lapuk. Aku tak lagi menghitung
detik-detik
pagi
yang
menerobos
barisan
cemara
gongseng. Dingin tanah yang menggairahkan telah raib karena jarak antara aku dan Tanah Lembaga. Begitu pula aroma api di paon dan
1
hangatnya yang nikmat. Aku hanya pulang pada waktunya upacara besar di pura atau di sanggah. Pulang dan menjadi yang hadir di dalam upacara itu. Di sini aku kagum dan menjadi penikmat. Rasanya aku masih (usia) anakanak Tanah Lembaga. Kenangan-kenangan lalu yang jauh belasan tahun, rasanya baru saja kemarin lewat atau selebihnya aku sungguh sedang ada bersamanya. Semua itu, aku kisahkan dalam cerita-cerita kecil yang kutulis. Aku menulis semua itu hanya untuk kusimpan, walaupun aku publikasikan dan kalau ada yang membaca, pun aku harap akan disimpannya pula dalam hati atau sama sekali hilang sesegera itu. Cerita-cerita dari Tanah Lembaga, menjadi mudah hadir dan aku sulit menyetopnya. Aku rasa inilah caraku menjadi “kembali” dan menjadi “dekat” dengan Tanah Lembaga. Kepada orang-orang, cemara yang terjamah kemarau, pura megalitikum, jineng-jineng atau gelebeg yang abadi dalam dingin dan panas, upacara bercahayakan rembulan, persahabatan telapak kakiku dengan lumut, barisan kedis ngos-ngosan (burung rangkong) dalam mitos terbang ke pasih, dan tentu masih banyak yang lain. Dari gosip-gosip hingga tragedi 65. Cerita-cerita yang kutulis tentang Tanah Lembaga sebenarnya adalah kepulanganku. Kepulangan dalam taman imajinasi yang rindu. Pun,
aku
semakin
menemukan
memori-memori
kolektif
yang
sepertinya khusus untukku, dari masa-masa lalu dan masa kini Tanah
2
Lembaga. (misalnya ini) Tengah siang hari, di awal dekade 70-an, di satu titiknya, Tanah Lembaga tengah “mengekskusi” dengan cara arif yang kuno, pasangan kembar berlainan jenis kelamin. Ini kelahiran yang dibaca sebagai tanda-tanda aib. Kelahiran yang tidak boleh, yang harus disambut rasa takut kolektif tapi pula bersama tudingan dan tuduhan kepada yang bersangkutan. Kerena itu, Tanah Lembaga telah memilih cara-cara mengantisipasi. Selama sekian minggu, bayi-bayi itu dan kedua orang tua mereka, diasingkan ke tepi desa, bertaman semak sungenge, walapun bunganya kuning namun bergetah sangat pahit. Senja-senja dan hingga tengah malam di Singaraja, aku berkisah tentang kelahiran yang tidak boleh itu, untuk diriku. Terkadang aku menangisi kisahnya. Pun, jadi satu buku, yang tidak cukup tebal, memang. Buku inilah kisah yang halaman-halaman depannya, sampai di Tanah Lembaga. Sebagaimana kelahiran tidak boleh itu yang adalah aib, kini kisah-kisahku dari Tanah Lembaga adalah dibaca sebagai aib baru. Tanah Lembaga, di tengah Bali yang dibangun dalam cara-cara politik RI, ternyata tetap abadi dalam sikap sepotong mitos yang sungguh sangat mengagumkan. Emosionalisme religius terhadap apa saja di Tanah Lembaga. Senja, sebagaimana kukatakan di awal kisah ini, rupanya di bale banjar Tanah Lembaga, tengah berkecamuk satu gerakan yang emosional religius. Satu tujuan yang ingin dicapai oleh Tanah Lembaga,
3
terhadap aku, anaknya, yang rindu, adalah bagaimana menyingkirkan aku dari Tanah Lembaga. Telepon berdering. “Harus
pulang
sekarang
karena
desa
sedang
menunggu
pertanggungjawaban dari cerita yang ditulis di koran.” Demikian suara dari seberang. Aku tahu, ini adalah petaka. Aku mungkin bisa menghadapi walau aku tetap saja dipandang dengan benci dan nista oleh orang Tanah Lembaga. Tapi senja ini, apakah yang terjadi atas adikku di desa, Bapak, dan Bunda tercinta? Aku menjawab telepon itu dengan tegas, “Ya, baik! Saya pulang sekarang.” Aku sedang dalam bahaya gerakan massa. Aku adalah objek kecil yang tengah mau digilas oleh mobilisasi massa Tanah Lembaga, menjelang Pemilu 2004. Aku pun pulang ke Tanah Lembaga dengan satu tanggung jawab intelektual, seorang yang berkisah. Tapi Tanah Lembaga tidak memerlukan hal-hal semacam ini. Hanya menunggu waktu, bahwa Tanah Lembaga akan menghukum diriku, yang kisahku menjadikannya aib atau pelecehan, sebagaimana kelahiran yang tidak boleh itu, maka harus menjadi si terhukum dan si terbuang. Aku
tiba
di
Polsek.
Adikku
menantiku
di
dekat
terminal
kecamatan. Aku iba dan merasa bersalah karena aku akan menjadikan dia paling menderita di Tanah Lembaga, satu-satunya “tanah” dan hidup yang ia miliki. Dia akan menjadi bagian dari konstruksi Tanah
4
Lembaga bahwa aku adalah aib bagi desa dan bagi tanah atau pastilah juga atas kesucian pura, ritus-ritus. Di Polsek ini, aku berjumpa dengan kepala polisi yang memberiku perlindungan. Kelak aku berjumpa di dek very di atas selat Bali.
5