Para Pelaku Hukum Di Tanah Air Yang Sibuk Dalam Menggodok Perubahan Uud 1945 Berpendapat

  • Uploaded by: Dhika
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Para Pelaku Hukum Di Tanah Air Yang Sibuk Dalam Menggodok Perubahan Uud 1945 Berpendapat as PDF for free.

More details

  • Words: 2,687
  • Pages: 9
Para pelaku Hukum di Tanah Air yang sibuk dalam menggodok perubahan UUD 1945 berpendapat, bahwa Mahkamah Konsitusi adalah sesuatu yang baru di negeri kita. Namun secara idee ini telah lama dikenal. Tapi sebenarnya, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah hampir dibentuk oleh para founding fathers kita di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada rapat-rapat BPUPKI yang mempersiapkan UUD Indonesia, sempat pula diperdebatkan perlu tidaknya pembentukan pengadilan spesial di luar Mahkamah Agung. Apakah itu Mahkamah Konstitusi? Mahkamah Konstitusi suatu fenomena baru, bukan saja bagi Indonesia, namun juga bagi dunia ketatanegaraan di banyak negara, adalah Badan peradilan yang berfokus pada Konstitusi, Undang Undang Dasar (UUD - bukan Ujung Ujungnya Duit lho). Mahkamah ini mengadili gugatan mengenai sebuah perundangan yang dinilai tidak sejiwa atau malah bertentangan dengan Konstitusi. Dari seluruh negara di dunia, Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 negara. Dari ke-45 negara tersebut, rata-rata memang pernah mengalami krisis konstitusional dan berubah dari otoritaan menjadi demokrasi. Dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk. Beberapa dari ke-45 negara tersebut dapat disebutkan di sini antara lain Afrika Selatan, Equador, Indonesia, Venezuela, Lithuania, Korea Selatan, Mesir, Croatia, Czech, Jerman, Italia, Thailand, Austria, dan juga Spanyol. Khusus untuk Jerman, Italia, Austria dan Spanyol merupakan pengecualian sebagaimana disebut sebelumnya, yakni dibentuknya Mahkamah Konstitusi di masing-masing negara tersebut tidak terkait dengan krisis konstitusional. Ke-45 negara tersebut tidak sepenuhnya mengenal satu istilah Mahkamah Konstitusi atau Constitutional Court (Indonesia, Korsel, Lithuania) untuk lembaga yang memiliki fungsi 'judicial review'. Istilah lain untuk Mahkamah Konstitusi atau lembaga yang agak mirip pengertiannya antara lain Counsel Constitutionel (Perancis), Privy Council (Inggris), dan Dewan Konstitusi atau Constitutional Council (Alzajair) yang merupakan pengaruh dari model Counsel Constitutionel-nya Perancis. Di Jerman, dinamakan Verfassungsgerichtshof, juga di Austria. Verfassung adalah Konstitusi dalam bahasa Jerman. Di Konstitusi Korea Selatan, Mahkamah Konstitusi diatur dalam Konstitusinya, yaitu pada Pasal 107 dan dalam Bab VI yang berisi tiga pasal, yaitu Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 113. Pasal 111 ayat (2) menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi terdiri atas 9 orang anggota. Masa jabatan kesembilan anggota Mahkamah Konstitusi itu ditentukan dalam Pasal 112 ayat (1) yaitu 6 tahun dan dapat diangkat kembali sesuai ketentuan Undang-undang. Ketentuan dalam ayat selanjutnya memberikan larangan kepada para hakim konstitusi untuk terlibat atau melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis atau menjadi anggota dan apalagi pengurus partai politik tertentu. Ayat berikutnya mengatur bahwa hakim konstitusi hanya dapat diberhentikan karena alasan yang bersifat hukum, yaitu karena 'impeachment' atau karena dikenakan pidana penjara atau hukuman yang lebih berat dari pidana penjara. Lain di Korea Selatan lain pula di Afrika Selatan. Mahkamah Konstitusi dibentuk pertama kali pada 1994 berdasarkan 'Interim Constitution' Tahun 1993. setelah Konstitusi 1996 disahkan, Mahkamah Konstitusi tersebut terus bekerja yaitu mulai persidangannya yang pertama pada Februari 1995. Anggotanya 11 orang, dengan masa tugas 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan kemungkinan penggantian karena pensiun yaitu ketika mencapai usia 70 tahun. Semua anggota Mahkamah bersifat independen, dengan tugas memegang teguh atau menjalankan hukum dan konstitusi secara adil (impartial) dan tanpa rasa takut, memihak, atau prasangka buruk. 'Modifikasi' berbagai model Mahkamah Konstitusi terjadi bukan hanya karena adanya perbedaan istilah, namun juga disebabkan keragaman sistem hukum yang dianut negara yang bersangkutan. Mahkamah Konstitusi di lingkungan negara-negara yang menganut 'civil law', berlainan dengan konsep di lingkungan 'common law' sepeti di Amerika Serikat.

Titik berat dalam membedakan kedua sistem hukum ini, terkait dengan Mahkamah Konstitusi, adalah pada upaya untuk tidak mencampur-adukan antara fungsi Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Atau lebih khusus lagi, menyangkut eksistensi peradilan tata usaha negara yang hanya dikenal dalam sistem 'civil law' seperti di Indonesia. End Part 1 Start part 2

Dalam salah satu rapat BPUPKI, Panitia yang memperisapkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, Prof. M. Yamin pernah menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Prof. Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsengrecht (uji materil) terhadap UU. Namun, gagasan itu disanggah oleh anggota BPUPKI yang lain Prof. Soepomo. Dalam rapat besar BPUPKI pada 15 Juli 1945 ia mengatakan bahwa pembentukan sebuah pengadilan spesial yang khusus menangani konstitusi belumlah diperlukan. Alasannya, menurut Prof. Soepomo, Indonesia belum memiliki banyak ahli yang dapat mengisi jabatan itu. Untuk mengetahui apa dan bagaimana argumen Prof. Soepomo menanggapi gagasan dibentuknya pengadilan spesial yang diusulkan Prof. Yamin, berikut kami kutipkan pernyataan selengkapnya sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Laica Marzuki: "Kecuali itu Paduka Tuan Ketua. Kita dengan terus terang akan mengatakan, bahwa para akhli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat pula bahwa di Austria, di Ceko Slowakia, dan Jerman waktu Weimar bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, Constitutioneel Hof, yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda, saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu". Oleh Laica, pernyataan dari Prof. Soepomo ditafsirkan sebagai penangguhan pembentukan pengadilan konstitusi, dan bukan penolakan. Demikian disampaikan Laica dalam buku "Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia" yang diterbitkan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). Argumen dari Prof. Soepomo tersebut tampaknya mengakhiri perdebatan mengenai pembentukan pengadilan konstitusi. Sejarah mencatat bahwa tanggal 15 Juli 1945 merupakan sidang terakhir yang diselenggarakan BPUPKI. Hasil sembilan hari sidang BPUPKI kemudian disahkan sebagai UUD Sementara (UUDS) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Bagaimanapun, mengingat luasnya wawasan dan tingginya intelektualitas Prof. Yamin, yang disebut Laica sebagai the great lawyer, gagasan pembentukan pengadilan spesial tentu tidak ia lontarkan secara spontan. Malah, dilihat dari risalah persidangan BPUPKI, menurut sejarawan Taufik Abdullah, Prof. Yamin memperlihatkan dirinya sebagai orang yang paling siap tampil sebagai salah seorang perancang UUD. Menurut Taufik Abdullah di dalam buku "1000 Tahun Nusantara", Prof. Yamin merupakan seorang ahli hukum yang mempelajari perbandingan konstitusi dan sejarawan yang romantik visioner. Sementara, Prof. Soepomo oleh Taufik disebut sebagai "arsitek" rancangan UUD. Sejarah juga mencatat bahwa gagasan Prof. Yamin soal pengadilan spesial di Indonesia merupakan sebagian dari ide-idenya yang kandas lantaran dirinya tidak masuk menjadi anggota panitia khusus BPUPKI yang merancang UUD. Masih menurut Taufik, ide-ide Prof. Soepomo yang anggota panitia perancang UUD, soal MPR, DPR, DPA, dan negara kesatuan telah diusulkan Prof. Yamin sebelumnya. Mengenai luasnya penguasaan para founding fathers tentang konstitusi dikuatkan oleh pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Jimly Asshiddiqie. Menurut

Jimly, para anggota BPUPKI lebih hebat dibandingkan dengan para penyusun konstitusi sekarang. "Karena mereka rata-rata vested intelektual kelompok yang mempunyai konstitusi negara lain di mejanya," kata Jimly dalam "Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia". Selain itu, ada usah keras para founding fathers untuk meramu konstitusi negara-negara lain itu secara baik, sehingga UUD kita kental dengan pengaruh Eropa Timur, Amerika, Perancis, dan RRC. Jimly mencontohkan, sistem presidensil diambil dari Amerika, yang aslinya ada kepala negara dan ada kepala pemerintahan. Sedangkan, MPR diambil dari RRC. End Part 2 Start part 3 Mahkamah Konstitusi, yang kini dikenal Mahkamah Konstitusi, berikut tugas dan wewenangnya, pertama kali diperkenalkan pada Perubahan Ketiga UUD 45. Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Keempat UUD 45 seperti dikutip di awal tulisan, yang disahkan pada Sidang Tahunan MPR 9 November 2001. Sebetulnya, pasal ini hadir sebagai jalan keluar untuk mengisi kekosongan hukum sementara Mahkamah Konstitusi belum terbentuk. Kewajiban dan Wewenang Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang Mahkamah Konstitusi adaah: * Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum * Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945. Kala itu, Indonesia benar-benar berada di tengah krisis konstitusi yang parah. Khususnya pasca impeachment Abdurahman Wahid dari kursi presiden pada Sidang Istimewa MPR akhir 2001. Mungkin tak perlu ulasan panjang lebar mengenai sengketa (penafsiran) isi konstitusi antara Presiden Wahid di satu sisi, dan parlemen (MPR/DPR) di sisi yang lain yang berujung pada impeachment. Sejumlah pakar yang menjadi staf ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR kemudian mengatakan bahwa perlu ada masa peralihan sementara Mahkamah Konstitusi belum terbentuk. Terdapat dua pemikiran yang berkembang saat itu yaitu mereka yang menginginkan pelaksana sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi dipegang oleh Mahkamah Agung (MA), sedang yang lain menghendaki oleh MPR. Hal demikian wajar saja mengingat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sangat luas dan strategis. Sesuai Pasal 24C UUD 45, Mahkamah Konstitusi memiliki lima kewenangan yaitu menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review/materieele toetsengrecht), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa hasil pemilu, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden/wakil presiden Akhirnya, pada Sidang Tahunan MPR 10 Agustus 2002 disahkan Amandemen Keempat UUD 1945 yang dalam Pasal III Aturan Peralihan diatur bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA. Kemudian, pada 16 Oktober 2002 Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menandatangani Peraturan MA (Perma) No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang

Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Dalam Perma tersebut, MA sudah mulai menyusun hukum acara Mahkamah Konstitusi. Di saat yang sama, DPR tengah menyusun RUU tentang Mahkamah Konstitusi yang dimotori oleh Ketua Badan Legislasi DPR Zain Badjeber. Zain mengatakan proses penyusunan RUU Mahkamah Konstitusi sudah mulai dirintis Baleg sejak Perubahan Ketiga UUD 45 disahkan. Namun, ia mengakui penyusunan RUU sempat terhenti menjelang dikeluarkannya Perma No.2/2002. RUU Mahkamah Konstitusi kemudian diajukan ke pimpinan DPR pada 15 November 2002 sebagai usul inisiatif Baleg. Pada tanggal 23 Januari 2003 rapat paripurna DPR menerima usul inisiatif ini menjadi usul DPR. Namun, usul DPR ini terpendam di DPR sampai 13 Mei 2003 dan kemudian baru dibentuk Pansus DPR. ternyata, meski sudah terbentuk pansus RUU-nya sendiri belum dikirim ke pemerintah. Akhirnya, tanggal 18 Mei Presiden mengirim surat amanat presiden (Ampres) menunjuk Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung untuk membahas RUU Mahkamah Konstitusi bersama pansus. Hal yang menarik, menurut Zain, isi Ampres tersebut tidak lazim. Pasalnya, di dalam surat itu presiden memberikan catatan panjang lebar mengenai RUU yang akan dibahas. Hakim konstitusi Singkat cerita, RUU Mahkamah Konstitusi diselesaikan pada 6 Agustus setelah melalui masa pembahasan yang cukup singkat. Sepekan kemudian, tepatnya 13 Agustus, Presiden menandatangani UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada 16 Agustus, Presiden mengambil sumpah sembilan orang hakim konstitusi yang telah ditunjuk oleh DPR, MA dan Presiden. Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 adalah: 1. Jimly Asshiddiqie 2. Mohammad Laica Marzuki 3. Abdul Mukthie Fadjar 4. Achmad Roestandi 5. H. A. S. Natabaya 6. Harjono 7. I Dewa Gede Palguna 8. Maruarar Siahaan 9. Soedarsono Dari komposisi hakim konstitusi ini, wajar jika timbul pertanyaan, apakah para hakim konstitusi itu sudah merepresentasikan para ahli yang mampu melakukan tugas hakim konstitusi seperti diinginkan oleh Prof. Soepomo. Ataukah, para hakim tersebut hanya merepresentasikan kekuatan politik yang ada di tiga lembaga pengusul. Salah satu ciri negara yang belum settled dalam berdemokrasi dan menegakkan hukum, seringkali terjadi, bahwa sang Hakim tidaklah mewakili nurani hukumnya, bertumpu pada pengetahuan yang comprehensive menegai materie hukum yang dihadapi, namun, menjadi penyambung lidah dari pressure group yang beridir dibelakangnya. Istilah populernya: pesan pesan sponsor.. Mudah-mudahan mereka tidak akan pernah melupakan sumpah dan janji yang mereka untuk memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.

+Sungguh usaha yang panjang ternyata untuk menentukan kemerdekaan Indonesia, berliku dan berdarah-darah yang harus diperjuangkan agar bangsa Indonesia bisa bebas merdeka menentukan langkah sendiri tanpa campur tangan pihak manapun.

Catatan dibawah adalah salah satu usaha yang diperjuangkan para pemimpin Indonesia untuk menentukan arah kemerdekaan Indonesia, walaupun pada akhirnya usaha tersebut tidak menampakan hasil, memang sudah menjadi takdir Yang Maha Esa, bahwa kemerdekaan Indonesia ditentukan sendiri tanpa bantuan pihak manapun.

Kita patut berbangga hati, bahwa Indonesia akhirnya mampu memproklamasikan kemerdekaannya ke seluruh dunia berkat keberanian serta moment yang tepat saat Jepang takluk pada tentara sekutu dalam Perang Dunia II. Namun apapun itu, kita juga wajib untuk mengetahui bagaimana proses panjang pencapaian kemerdekaan Indonesia yang harus mengorbankan banyak nyawa di medan tempur, dan juga melalui proses perundingan yang salah satunya adalah Pembentukan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI ).

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai) adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk sebagai upaya pelaksanaan janji Jepang mengenai kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Hibangase Yosio (orang Jepang) dan R.P. Soeroso. Rapat pertama diadakan di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada zaman Belanda, gedung tersebut merupakan gedung Volksraad, lembaga DPR bentukan Belanda. Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan harinya 29 Mei 1945 dengan tema dasar negara. Pada rapat pertama ini terdapat 3 orang yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara. Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin dalam pidato singkatnya mengemukakan lima asas yaitu:

a. peri kebangsaan b. peri ke Tuhanan c. kesejahteraan rakyat d. peri kemanusiaan e. peri kerakyatan Pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Mr. Soepomo mengusulkan lima asas yaitu: a. persatuan b. mufakat dan demokrasi c. keadilan sosial d. kekeluargaan e. musyawarah Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan lima asas pula yang disebut Pancasila yaitu: a. kebangsaan Indonesia b. internasionalisme dan peri kemanusiaan c. mufakat atau demokrasi d. kesejahteraan sosial e. Ketuhanan yang Maha Esa Kelima asas dari Soekarno disebut Pancasila yang menurut beliau dapat diperas menjadi Trisila atau Tiga Sila yaitu: a. Sosionasionalisme b. Sosiodemokrasi c. Ketuhanan yang berkebudayaan Bahkan masih menurut Soekarno, Trisila tersebut di atas masih dapat diperas menjadi Ekasila yaitu sila Gotong Royong. Selanjutnya lima asas tersebut kini dikenal dengan istilah Pancasila, namun dengan urutan dan nama yang sedikit berbeda. Sementara itu, perdebatan terus berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan aturan Islam dalam Indonesia yang baru.

Sampai akhir rapat pertama, masih belum ditemukan kesepakatan untuk perumusan dasar negara, sehingga akhirnya dibentuklah panitia kecil untuk menggodok berbagai masukan. Panitia kecil beranggotakan 9 orang dan dikenal pula sebagai Panitia Sembilan dengan susunan sebagai berikut: 1. Ir. Soekarno (ketua) 2. Drs. Moh. Hatta (wakil ketua) 3. Mr. Achmad Soebardjo (anggota) 4. Mr. Muhammad Yamin (anggota) 5. KH. Wachid Hasyim (anggota) 6. Abdul Kahar Muzakir (anggota) 7. Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota) 8. H. Agus Salim (anggota) 9. Mr. AA. Maramis (anggota) Setelah melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan 4 orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan: a. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya b. Kemanusiaan yang adil dan beradab c. Persatuan Indonesia d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rapat kedua berlangsung 10-17 Juli 1945 dengan tema bahasan bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, pendidikan dan pengajaran. Dalam rapat ini dibentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar beranggotakan 19 orang dengan ketua Ir. Soekarno, Panitia Pembelaan Tanah Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso dan Panitia Ekonomi dan Keuangan diketuai Mohamad Hatta. Dengan pemungutan suara, akhirnya ditentukan wilayah Indonesia merdeka yakni wilayah Hindia Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.

Pada tanggal 11 Juli 1945 Panitia Perancang UUD membentuk lagi panitia kecil beranggotakan 7 orang yaitu: 1. Prof. Dr. Mr. Soepomo (ketua merangkap anggota) 2. Mr. Wongsonegoro 3. Mr. Achmad Soebardjo 4. Mr. A.A. Maramis 5. Mr. R.P. Singgih 6. H. Agus Salim 7. Dr. Soekiman Pada tanggal 13 Juli 1945 Panitia Perancang UUD mengadakan sidang untuk membahas hasil kerja panitia kecil perancang UUD tersebut. Pada tanggal 14 Juli 1945, rapat pleno BPUPKI menerima laporan Panitia Perancang UUD yang dibacakan oleh Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut tercantum tiga masalah pokok yaitu: a. pernyataan Indonesia merdeka b. pembukaan UUD c. batang tubuh UUD Konsep proklamasi kemerdekaan rencananya akan disusun dengan mengambil tiga alenia pertama Piagam Jakarta. Sedangkan konsep Undang-Undang Dasar hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat Piagam Jakarta.

Related Documents


More Documents from "Muhtadin Abrori"