Paper Pentan 6 B_sengketa Tanah Di Karawang.docx

  • Uploaded by: rifqi hanif
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Paper Pentan 6 B_sengketa Tanah Di Karawang.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,971
  • Pages: 8
KONFLIK SENGKETA TANAH PETANI KARAWANG PENDAFTARAN TANAH

Disusun oleh :

Akmal Wahyu Fakhruddin 15/378876/TK/42818 Dawam Muhtar 15/384988/TK/43650 Sonia Pradana Indah Sari 15/378902/TK/42844 Tika Dwi Saputri 15/378904/TK/42846 Yudha Noor Rachmat 15/385028/TK/43690

DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016

KONFLIK SENGKETA TANAH PETANI KARAWANG Abstrak

Girik sebagai tanda bukti pembayaran pajak yang merupakan bukti Hak atas kepemilikan tanah sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria yang bersumber hukum tanah bersumber pada Hukum Adat. Dalam kenyataannya permasalahan mengenai sengketa tanah yang belum bersertifikat sangat sering terjadi seperti dalam Kasus Sengketa antara Serikat Petani Karawang dengan PT. Sumber Air Mas Pratama (SAMP) atas tanah seluas 350 hektare di Kabupaten Karawang. Sengketa terhadap hak kepemilikan atas tanah, yang merupakan tanah Landreform yang diberikan hak kepada masyarakat menimbulkan suatu permasalahan ketika secara tiba-tiba datang pihak yang ingin mengajukan dan mendirikan komplek perindustrian diatas tanah masyarakat adat tersebut Dalam penulisan jurnal ini, jenis penelitian yang digunakan adalah metode Studi Kasus dengan cara meneliti menggunakan analisis data secara Normatif Kualitatif dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Permasalahan yang hendak diangkat, yaitu bagaimana kekuatan hukum Girik sebagai alat pembuktian hak penguasaan tanah menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hasil penelitian menunjukan bahwa Girik sebagai bukti Kepemilikan Hak atas Tanah merupakan bukti permulaan yang kuat untuk dijadikan dasar pengajuan Sertifikat Hak atas Tanah. Bukti kepemilikan Girik tentunya harus didukung dengan data yuridis dan data fisik dan/atau penguasaan fisik secara terus menerus selama 20 (dua puluh) tahun, tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini. Pada dasarnya setelah berlakunya UUPA yang menjadi alat pembuktian yang kuat dalam kepemilikan tanah adalah sertifikat namun kekuatan pembuktian girik dalam hukum beracara perdata tidak hapus. kekuatan pembuktian Letter C tidak bersifat sempurna. Letter C tidak cukup kuat untuk dijadikan alat bukti tunggal sehingga harus mendapat dukungan dari beberapa bukti lain. Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah di Indonesia mengakibatkan seringnya membuat masyarakat tidak mendaftarkan tanah yang dimilikinya, masyarakat diharapkan lebih berhati-hati dan melakukan pendaftaran tanah untuk menghindari terjadinya sengketa.

Kata Kunci : Girik, Sengketa tanah.

1. PENDAHULUAN Tanah memiliki fungsi yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup manusia. Secara ekonomis, tanah tidak akan pernah mengalami penurunan harga, bahkan cenderung semakin meningkat dari hari ke hari. Mengingat besarnya fungsi dan keutamaan tanah bagi kehidupan manusia, tak heran jika semua orang saat ini berlomba-lomba untuk memperoleh tanah yang seluas-luasnya. Di Indonesia tanah sering menjadi sumber permasalahan bahkan menjadi konflik yang menelan korban harta benda dan nyawa. Kondisi ini disinyalir disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu belum adanya pola administrasi yang jelas mengenai kepemilikan tanah, masih banyaknya tanah-tanah yang belum memiliki sertifikat, tanah yang dikuasai oleh seseorang belum tentu kepemilikannya ada pada orang yang menempati, proses pewarisan tanah tidak ditetapkan melalui mekanisme hukum, masih adanya tanah yang penguasaannya secara komunal yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan konflik, dan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh oknum tertentu untuk menggagalkan proses hukum pertanahan. Kondisi empiris sebagaimana digambarkan di atas, juga terjadi pada kasus sengketa di tiga desa daerah Teluk Jambe Barat Karawang Jawa Barat, yang melibatkan antara PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) dengan Para Petani pemilik tanah di tiga desa yaitu Desa Wanakerta, Wanasari, dan Margamulya. Dimana konflik tersebut berawal dari eksekusi lahan seluas 350 hektare oleh PT SAMP yang sahamnya telah diakuisisi oleh PT Agung Podomoro, dimana tanah tersebut adalah tanah milik warga yang sebagian besar adalah petani, diatas lahan pertanian produktif yang mana warga juga memiliki Girik/IPEDA dan bukti pembayaran pajak

berupa SPPT yang valid sehingga menimbulkan kontroversi karena

dimenangkan oleh pihak PT SAMP dengan surat Surat Pelepasan Hak dan Peta global yang bahkan terbukti palsu.

2. METODE PENELITIAN Secara metodologis menggunakan pendekatan yang digunakan lebih kearah Normatif Kualitatif karena melalui pendekatan ini diharapkan mampu menganalisa secara rasional dan penyelesaiannya terkait sengketa tanah di Karawang. Dalam pengumpulan data dan observasi lebih kearah metode Studi Kasus dimana analisa dan penelitian diarahkan untuk menghimpun data melalui kepustakaan ataupun media publikasi terutama media informasi seperti halnya dari website yang sudah terpercaya, mengambil makna, dan memperoleh pemahaman yang bertujuan untuk menetapkan analisa terhadap fakta kasus untuk mencapai kesimpulan yang dapat didiskusikan.

3. ANALISA DAN PEMBAHASAN 3.1 Kronologi Kasus Konflik Agraria yang terjadi dikarawang dimulai sejak tahun 1974 dimana persoalan mendasarnya adalah perusahaan yang menklaim kepemilikan lahan tak punya alas hak atas tanah seluas 350 Ha yang telah dimanfaatkan masyarakat sejak 1958 bersamaan dengan lahirnya UU No 1 tahun 1958 Pasal 5, tanah diberikan kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak milik dan pemberian hak milik kepada rakyat dengan cuma-cuma, dan dipertegas lagi dengan lahirnya UUPA No 5 Tahun 1960. Namun sejak tahun 1974, PT Dasa Bagja menyewa tanah masyarakat dengan meminjam surat-surat milik masyarakat seperti Girik/Kikitir (Letter C), IPEDA dan tidak pernah keluar HGU karena tanah bukan atas nama milik negara, namun perusahaan tidak mengembalikan dokumen hak masyarakat atas tanah kepada masyarakat. Namun masyarakat tetap mengelola dan memanfaatkan tanah untuk bertani secara turun-temurun. Bahkan warga juga membayar pajak kepada negara sampai saat ini. Pada tahun 1986 tanpa sepengetahuan masyarakat, PT Dasa Bagja mengalihkan prioritas permohonan HGU kepada PT Makmur Jaya Utama namun tidak juga mendapatkan HGU. Kemudian pada tahun 1990 tanpa sepengetahuan masyarakat PT Makmur Jaya Utama mengoperalihkan lagi tanah yang bukan haknya tersebut kepada PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP). Pada Oktober 2012 PT SAMP dengan bantuan preman sebanyak 500 orang mencoba mengeksekusi lahan secara fisik dan melakukan pengusiran terhadap rakyat dari tanahnya sehingga mengakibatkan korban luka berat pada petani karena pembacokan. Selain itu, proses eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri Karawang yang dikawal oleh 7.000 aparat kepolisian juga diwarnai dengan aksi kekerasan juga terhadap para petani. Kemudian masyarakat kembali dikejutkan dengan adanya pemberitaan bahwa PT Agung Podomoro Land (tbk) akan mengambil alih lahan seluas 350 Ha dari PT SAMP yang selama ini tidak mempunyai alas hak dan lahan secara nyata dimanfaatkan dan dikuasai rakyat turun-temurun. Sehingga tercatat sekitar 1.200 jiwa keluarga petani yang menggantungkan nasibnya dari lahan pertanian terusir dari lahannya sendiri dan terancam kelangsungan

hidupnya dan juga turut merampas Sekolah Negeri diatas lahan konflik di antaranya SDN Margamulya 1, Margamulya II, Margamulya IV, Wanasari I, Wanasari II, Wanakerta I, Wanakerta II, dan Wanakerta III.

3.2 Analisis Berdasarkan pengakuan Sekretaris Jendral KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) Iwan Nurdin mengaku bahwa KPA menemukan fakta proses eksekusi jelas cacat hukum karena juru sita tidak dapat menunjukkan batas-batas area yang akan dieksekusi dan juga objek yang dieksekusi tidak jelas dan tidak sesuai dengan amar putusan. Fakta lain yang ditemukan bahwa warga memiliki Girik/IPEDA, dan bukti pembayaran pajak berupa SPPT. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah kekuatan Girik sebagai alat pembuktian penguasaan tanah, dimana setelah berlakunya UUPA yang menjadi alat pembuktian yang kuat dalam kepemilikan tanah adalah sertifikat namun kekuatan pembuktian girik dalam hukum beracara perdata tidak hapus. Kekuatan pembuktian Letter C tidak bersifat sempurna karena Letter C tidak cukup kuat untuk dijadikan alat bukti tunggal sehingga harus mendapat dukungan dari beberapa bukti lain. Dalam pembuktian lainnya, tidak ada satupun bukti kepemilikan atas tanah tersebut dimiliki oleh PT SAMP dan juga Surat Pelepasan Hak dan Peta global yang dikeluarkan BPN Kanwil Jawa Barat yang dijadikan PT SAMP sebagai bukti dihadapan Pengadilan terbukti palsu, bahkan Ketua PN Karawang yang sebelumnya juga membenarkan terkait Putusan Mahkamah Agung No. 160 PK/PDT/2011 yang memenangkan PT SAMP tidak bisa dilanjuti dengan eksekusi yang dikarenakan adanya tumpang tindih putusan di atas tanah berperkara tersebut, tidak memiliki batas tanah serta tidak terdapat tanah yang bersertifikat diatas tanah yang diklaim PT SAMP. Terkait eksekusi, Kapolres sebelumnya juga tidak membenarkan eksekusi dilakukan tetapi faktanya eksekusi lahan tetap dilakukan. Hal yang paling fatal adalah warga tidak mempunyai kepemilikan sertifikat tanah sehingga dalam pembuktiannya hanya mengandalkan girik dan beberapa surat pendukung lainnya yang bisa mengakibatkan kekalahan dalam konflik sengketa tersebut. Akan tetapi dari pihak PT SAMP juga terbukti memalsukan dokumen sehingga telah melakukan tindak kriminal padahal kedua bukti itu sudah lama ada di kepolisian Karawang. Kepolisian Karawang telah menetapkan Direktur PT. SAMP

Irawan Cahyadi sebagai tersangka. Namun ini tidak pernah diungkap. Sebaliknya Putusan Pengadilan Negeri Karawang mengubah putusan putusan pengadilan memenangkan PT. SAMP pada perkara tersebut sehingga menimbulkan berbagai kontroversi terkait adanya peradilan hitam, dalam hal ini seharusnya Pengadilan Negeri juga harus lebih bijak, berhati hati dan adil dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, memang mulai dari awal kronologinya tanah tersebut adalah tanah milik warga, hanya saja warga kurang menyadari pentingnya Pendaftaran Tanah sehingga menimbulkan konflik sengketa tanah walapun begitu dengan adanya bukti pemalsuan oleh PT SAMP maka sudah seharusnya tanah tersebut kembali kepada warga yang bersangkutan.

3.3 Landasan Hukum a. UU No 1 tahun 1958 Pasal 5 1. Tanah-tanah usaha tersebut pada pasal 1 ayat 1 sub c oleh Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya, diberikan kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak milik, kecuali jika hal itu menurut peraturan yang ada sekarang tidak mungkin. Dalam hal yang terakhir oleh Menteri Agraria diadakan ketentuan ketentuan khusus. 2. Pemberian hak milik tersebut pada ayat 1 pasal ini dilakukan dengan Cuma cuma dan dapat disertai syarat-syarat menurut keputusan Menteri Agraria. 3. Hak-hak lainnya yang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku membebani bekas tanah partikelir tersebut pada pasal 3 tetap berlangsung kecuali jika kemudian ditentukan lain oleh Menteri Agraria.

b. Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Pasal 19 1. Untuk menjamin kepastian hokum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. pengukuranperpetaandanpembukuantanah; b.

pendaftaranhak-hakatastanahdanperalihanhak-haktersebut;

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku pembuktian yang kuat.

sebagai alat

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. 4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya biaya tersebut. 5. Putusan Mahkamah Agung No. 160 PK/PDT/2011 Mengadili : a. Menolak permohonan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali b. Menghukum para Pemohon Peninjauan Kembali/para Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali in isebesar Rp2.500.000 ,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) 6. PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 24 a. Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak hak pihak lain yang membebaninya. b. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidangtanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat : 1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; 2. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

4. KESIMPULAN 1. Girik adalah surat pajak hasil bumi/verponding, sebelum diberlakukannya UUPA memang merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, tetapi setelah berlakunya UUPA, girik bukan lagi sebagai bukti hak atas tanah, namun hanya berupa surat keterangan objek atas tanah. 2. Sudahdari awal kronologinya tanah tersebut adalah tanah milik warga, hanya saja warga kurang menyadari pentingnya Pendaftaran Tanah sehingga menimbulkan konflik sengketa tanah walapun begitu dengan adanya bukti pemalsuan oleh PT SAMP maka sudah seharusnya tanah tersebut kembali kepada warga yang bersangkutan. 5. DAFTAR PUSTAKA http://www.gresnews.com/berita/hukum/220276-kpa-konflik-agria-karawang-perampasantanah/0/ di akses pada tanggal 26 Mei 2016, 14.00 WIB http://www.bergelora.com/nasional/penegakan-hukum/757-pt-samp-rampas-tanah-rakyatdengan-surat-palsu.html diakses pada tnaggal 26 Mei 2016, 18.45 WIB Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Undang Undang No. 1 Tahun 1968 Putusan Mahkamah Agung No. 160 PK/PDT/2011 PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 24

Related Documents

Paper 6
November 2019 10
Paper 6
November 2019 13

More Documents from "Dr. Adel A. Elbaset"

Laporan C++(2).docx
November 2019 19
Tugas Akhir Kwn.docx
November 2019 18
Laporan Tahan Api
August 2019 37
3880-9885-1-sm.pdf
December 2019 46
Kak I-challenge.docx
May 2020 24