Menyelusuri Jalan Setapak Teater Indonesia [Berharap kali ini adalah perjalanan pematokan ?] Oleh Pandu Pitox
Awalan napak tilas Ada banyak harapan dengan diselenggarakan Pekan Apresiasi Teater II yang diselenggarakan oleh HMJ jurusan Teater STSI Padangpanjang. Kita bersama bisa berharap bahwa teater Indonesia akan menemukan wajah pengelolaannya di masa depan. Harapan ini mudah-mudahan juga mewakili khalayak ramai penggiat, pekerja, penikmat dan masyarakat teater pada umumnya; harapan memiliki teater dengan pengelolaan dan kinerja yang baik serta bersemangat tinggi. Kenyataan bahwa dari ratusan grup-grup teater yang ada (dan pernah ada) di Indonesia faktor pengelolaan atas keberlangsungan teater masih menjadi satu kendala serius, dari pusat sampai ke daerah. Mulai, misalnya, dari pengelolaan idealisme teater (atau ideologi?); regenerasi sutradara, para pemain, atau penulis naskah; masalah pengelolaan dan manajemen group serta produksi; atau bahkan masalah izin dan birokrasi di negara ini yang masih kuat di pengaruhi atmosfir politik kekuasaan pemerintah. Syukurlah dalam masa-masa ini kita tidak lagi membedakan dari hal-hal yang nonsubstansial dan hakiki, semisal teater modren di sini dan teater tradisional [rakyat] di sana,Teater kampus yang akadermis atau teater profesional yang partikelir, dan berbagai pembagian teater lainnya yang membagi teater ke dalam dua kutub yang berjarak dan seakan-akan terkesan sangat bertolak belekang. Dalam hal ini sepertinya sudah ada sebuah kedewasaan dalam masyarakat teater mendikotomikan hal-hal tersebut di atas, sebab hari ini dalam dunia yang telah melewati masa dan ruang modernitas, sekat dan batas telah sedemikian kabur. Keberagaman teater yang berkembeng, baik grup-grup yang di pinggiran kekuasaan dan akses informasi ataupun grup-grup yang berada di pusat kekuasaan dan memiliki akses informasi, memiliki nilai positif tersendiri dalam mewujudkan identitas teater Indonesia. Kompleksitas permasalahan teater di Indonesia dalam dekade terakhir telah menggugah kesadaran akademis, pekerja, penggiat, kritikus, peminat, dan penonton teater
tentang
pentingnya
sebuah
denganperbincangan dalam
cara
baru
pengelolaan
kesenian
ini.
Diawaqli
pertemuan teater indonesia di solo tahun 1993 tentang
bagaimana mengelola wajah teater Indonesia yang ketika itu mis-manajemen sehingga perlu dimasukan suatu suntikan ilmu manajemen. Sebagai mana tercantum dalam makalah, notulensi pertemuan, dan butir-butir simpulan, yang di terbitkan oleh harian umum Republika dalam bentuk sebuah buku berjudul Panggung Teater Indonesia, tahun 1993. Tanpa maksud mengambil alih dan mengkooptasi kerja-kerja generasi pendahulu, acara Pekan Apresiasi Teater [PAT] II kali ini sengaja digelar dengan mengambil tema “Napak Tilas Teater Indonesia: dengan sebuah proyeksi pengelolaan teater masa depan”. Tema ini sengaja diusulkan, agar kiranya kepada generasi baru teater di Indonesia dapat berkenalan dengan problematika yang mendesak. Apa yang dimaksudkan generasi baru dalam tulisan ini adalah generasi paska 80-an sampai 90-an, atau disingkat saja generasi 2000-an. Pengklasifikasian berdasarkan periodisasi ini bukan tanpa resiko, namun penandaan atas semangat teater tidak pula bisa dihindari. Jika diuraikan lebih lanjut, semangat generasi 80-an adalah semangat pembangunan teater yang mangindonesia, semangat bagi teater Indonesia menemukan wajahnya berdasarkan identitas nasionalnya. Sedangkan semangat 90-an adalah semangat pembentukan, perluasan, dan penataan instansi, kanting, komunitas, lembaga berkompeten dan jazirah teater; taman budaya dan dewan kesenian menjadi ikon khas pada saat itu. Pendeknya adalah semangat memperkuat infrastruktur. Pada saat ini, lebih dari separuh perguruan tinggi seni yang ada di Indonesia memiliki program khusus ilmu teater. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa otodidakisme dalam teater sudah bukan zamannya lagi. Zaman eksistensialisme dari grup-grup teater, sanggar-sanggar, kelompok-kelompok yang melakukan pendidikan teater dengan cara intuitif dan tidak tersistematis sudah saatnya dikubur. Era dari “teaterteater sutradara” [meminjam istilah Indra Tranggono] yang membunuh vitalitas grup karena hanya menggantungkan kinerja produksi kepada tokoh bernama sutradara yang paternalistik sudah harus ditinggalkan. Setidaknya, pada beberapa grup yang memang telah mendewasakan dirinya, mulai merancang suatu “kurikulum” dan metoda tertentu dalam mendidik para personilnya. Kurikulum dan metoda ini harus diperbaharui, dibakukan, dan tidak lama lagi akan menjadi suatu yang sangat berguna bagi teater
sebagai sebuah ilmu di Indonesia. Ditambah dengan penambahan pos-pos, semisal litbang, dokumentasi, dramaturgi, yang sangat memberi arti banyak dalam penyusunan kutikulum atau metoda sebuah grup dalam memproduksi dan menghidupi teaternya. Tanpa bermaksud mengklaim, ada kompleksitas yang memang penting untuk dipecahkan. Bahwa teater tidak hanya sekedar akting atau menyutradarai. Sejarah dan ilmu teater telah memperlihatkan bahwa cabang-cabang turuna baru telah lahir dalam ilmu teater. Penyutradaraan, pemeranan, penataan artistik, penulisan lakon, dan dramaturgi sebagai disiplin turunan sudah harus secara jujur diterima dalam kasanah teater Indonesia. Kejujuran akan penerimaan bahwa aspek-aspek tersebut mulai memisahkan ruang lingkup dan cakupannya dari teater sebagai sebuah induk utama. Adapun tulisan ini hanya bermaksud untuk mengajak para sutradara, aktor, pekerja artistik, akademisi, kritikus dan juga mereka yang berkompeten terhadap teater di Indonesia untuk menjenguk tapak-tapak jalan kehidupan teater Indonesia, untuk kemudian bersama-bersama memberi tanda-tanda, milestoon, atas perjalanan proses kreatif tersebut. Harapan terbesar atas penandaan tersebut adalah mengukur sejauh mana perjalanan yang telah dilakukan, dan meretas jalan baru dimasa depan, seperti sebuah ujar-ujar, making the road by walking. Mengisi ruang kosong paska infrastruktur teater terpenuhi Pembentukan kantong, komunitas, grup, lembaga, dewan kesenian, yang disertai pembangunan gedung-gedung pertunjukan, panggung-panggung, theatre, amphi theatre, di berbagai kota, menandai bahwa perkembangan teater dan seni pertunjukan lain menuju arah yang menggembirakan. Perkembangan ini sudah sepantasnya diikuti oleh perkembangan dan pertumbuhan supra strukturnya. Maraknya lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan event organizer yang berkecimpung dalam pengelolaan kesenia akhirakhir ini seakan menegaskan bahwa pengelolaan teater adalah suatu hal yang harus segera diwujudkan. Terbitan, majalah, jurnal seni, dan teaer ikut memperbesar persuasi dari hal tersebut. Seperti telah disinggung sebelumnya, seiring dengan perkembangan dan kompleksitas teater sebagai sebuah seni dan ilmu, bahwa telah diturunkan cabang-cabang dan studi yang lebih spesifik, yakni penyutradaraan ,pemeranan, penataan artistik,
penulisan lakon, dan dramaturgi. Perkembangan dan percabangan ini seharusnya pula mensyaratkan perkembangan ilmu dan teorinya. Jika dilihat dalam sejarah teater di Indonesia masih sangat sedikit beredar buku-buku yang dapat dijadiakan referensi dan tuntunan dalam menyikapi perkembangan infrastruktur yang telah dibangun. Dapat dihitung dalam angka puluhan, - jika tidak malah satuan,- buku-buku tentang penyutradaraan, pemeranan, penataan artistik, penulisan lakon, dan dramaturgi. Teater Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi isian-isian pada bagian suprastruktur ini. Kita akan segera termenung jika ditanya, misalnya : berapa banyak buku tentang pemeranan, buku penyutradaraan, buku tata artistik, penulisan naskah, dramaturgi atau bahkan buku tentang pengelolaan teater dalam khasanah teater Indonesia ? Patut disambut dengan baik upaya penerbitan (termasuk penerjemahan) bukubuku untuk memenuhi percabangan tersebut. Buku menjadi sutradara dan menjadi aktor pak Suyatna, atau warisan Roedjito Sang Maestro Tata Panggung telah memulainya. Namun masih banyak lagi tempat yang harus diisi, semisal buku tentang tata cahaya, tentang pemeranan –yang sampai hari ini masih dianggap cukup dengan buku persiapan Seorang aktor- nya Stanislavski-, atau buku tentang kritik teater, sebagaimana telah dilakukan dalam sastra dan seni rupa. Dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia, hanya 5 perguruan tinggi yang memiliki program studi seni teater (AKMR Pekanbaru, STSI Padangpanjang, IKJ Jakarta, STSI Bandung, dan ISI Yogjakarta). Walaupun dianggap memadai untuk ukuran Indonesia, anmun perlu ditingkatkan kinerja dari Jurusan-jurusan ini sebagai pusat pelayanan piblik dalam memajukan teater menuju pengelolaannya yang lebih baik. Perguruan tinggi yang memiliki jurusan teater sudah sudah sepantasnya mengemban misi kritis dari ilmu, yakni menyempurnakan dan merevisi dirinya. Perbaikan kurikulum, penerbitan buku, pengadaan referensi yang up to date, dan penyediaan suprastruktur lainnya, guna melengkapi infrastruktur yang telah ada. Hal ini tidak saja berguna bagi perguruan tinggi seni saja, tetapi juga akan sangat membantu bagi grup-grup atau kelompok-kelompok teater profesional yang berkeinginan untuk mengembangkan teaternya. Jika pemenuhan-pemenuhan wilayah superstruktur ini tidak segera diwujudkan, tidak mustahil teater hanya akan menjadi sebuah pengetahuan saja, sebuah
aksi yang teknis dan mekanis saja dan diturunkan atau dipelajari secara turun-temurun dari satu generasi-ke generasi berikutnya. Dan berikutnya teater tetaplah menjadi suatu hobi, bukan seni ataupun ilmu.
Mematok Pengelolaan Masa Depan Pasca reformasi, ketika negara semakin menunjukkkan arahnya pada liberalisme baru, peta ekonomi Indonesia memeperlihatkan arah menuju suatu tatanan baru, tatanan privatisasi. Pusat-pusat pelayanan publik mereorientasi tujuan-tujuannya yang bergerak menuju arah profit. Perkembangan privatisasi memepengaruhi seluruh tatanan pekerjaan dan profesi, serta studi dan keilmuan. Lembaga-lembaga publik miliki negara yang seharusnya melayani pemenuhuan kesejahteraan masyarakat berubah menjadi lembagalembaga profit. Hal berdampak pula terhadap pelayanan lembaga-lembaga budaya terhadap tumbuh dan kembangnya teater. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa fungsifungsi lembaga tersebut adalah melayani masyarakat dalam pemenuhan akan budaya. Dalam forum-forum diskusi tentang pengeloaan teater, yang sering terjadi adalah para pakar teater bicara tentang pengelolaan teater, atau malah lebih parahnya, birokrat bicara tentang pengelolaan teater. Tepat pada titik inilah seharusnya sudah diberikan porsi lebih kepada para pengelola kesenian untuk secara serius membicarakan penegelolaan teater. Beberapa lembaga seperti Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Yayasan Kelola telah memulainya. Workshop-workshop, pelatihan, seminar tentang pengelolaan teater dan seni pertunjukan pada umumnya harus lebih sering diselenggarakan. Setiap seni pertunjukan selalu mensyaratkan dua hal, yakni pertunjukan dan penonton. Tidak pernah ada pertunjukan yang tidak menghadirkan penonton, dan begitu pula sebaliknya tidak pernah ada penonton tanpa ada yang ditonton. Dapat ditarik kesimpulan awal, bahwa ada dua wilayah yang harus dikelola, yakni pengelolaan atas tontonan, pengelolaan atas penonton. Pengelolaan atas tontonan meliputi aspek teknis produksi, seperti penyutradaraan, pemeranan, penataan artistik, dan berbagai unsur tontonan lainnya. Studi-studi dalam
lapangan teater atas wilayah ini sudah dapat dianggap memadai, semisal dapat ditelusuri bagaimanakah cara memerankan, menyutradarai, menata artistik dan meproduksi sebuah teater dengan baik. Tinggal hanya bagaimana mengukur tingkat keberhasilannya berdasarkan angka-angka dan statistik. Dari sini barulah kita akan mendapatkan titik singgung dengan pentingnya pengelolaan pada wilayah penonton. Sehubungan dengan hal ini, kita harus akui secara jujur bahwa belum ada suatu studi yang mendalam atas karakteristik, klasifikasi, atau kecendrungan penonton teater di Indonesia. Studi-studi yang pernah dilakukan dalam suatu masyarakat tertentu belumlah memadai untuk bisa kemudian disatukan dengan pengelolaan atas tontonan untuk kemudian dapat dihitung dan diukur tingkat keberhasilan dan capaian pertunjukan. Sangat jarang terjadi kelompok atau grup, termasuk lembaga-lembaga pengelolaan kesenian menganalisis dan kemudian melakukan pengelolaan atas penontonnya. Pengelolaan atas tontonan dan penonton harus dilakukan secara sinergis agar efek perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi tidak timpang. Sebab seringkali terjadi tontonan adan penontonnya memiliki jarak pemahaman dan intelektual yang berbeda. Perbaikan atas unsur tontonan tidak akan berarti banyak, jika tidak diiringi dengan perbaikan atas unsur penonton. Kritikus dan dramaturg akan sangat membantu dalam perbaikan unsur penonton ini. Terakhir, teater buka suatu upaya pemenuhan kebutuhan jasmani. Pengelolaan di masa depan mesti tetap diletakkan dalm kerangka pemenuhan kebutuhan rohani, dalam rangka melengkapi keutuhan manusia yang terdiri atas jasmani dan rohani. Teater hanyalah salah satu cara saja dalam memnuhi kebutuhan rohani manusia, sebagaimana menjadi bill-boy sebagai salah satu pekerjaan saja dari begitu banyak pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan jasmani yang material.