Pandangan Mutakallimin Tentang Kebenaran Bersumber Dari Wahyu Atau Dari Akal.docx

  • Uploaded by: Sams Moeda
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pandangan Mutakallimin Tentang Kebenaran Bersumber Dari Wahyu Atau Dari Akal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,810
  • Pages: 13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teologi dalam arti sederhana membahas soal-soal yang berkaitan dengan diri Tuhan dan hubungann-Nya dengan alam semesta, terutama hubungan-Nya dengan manusia. sangatlah jelas diantara semua makhluk, hanya manusialah yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan pembahasan demikian, mengingat manusia telah diberikan karunia yang sangat hebat yaitu akal, yang dengannya manusia dapat merenungkan dan memikirkan Tuhan dan dirinya sendiri. Di dalam

ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk

memperoleh pengetahuan, yaitu wahyu dan akal. Wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua yaitu jalan akal, yang dianugerhakan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh pancaindera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu bersifat absolut dan mutlak benar, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah. Dilingkungan mutakallimin, perdebatan tentang akal dan wahyu menjadi tema yang cukup sentral. Hal ini didasarkan karena metode dan pendekatan kalam adalah rasional, yaitu usaha untuk membuktikan dan memperkuat keyakinan agama melalui cara-cara yang logis dan rasional. Dalam hubungannya dengan posisi akal dan wahyu saja misalnya, para mutakallimin berbeda pendapat mengenai hal tersebut.

BAB II PEMBAHASAN A.

Pengertian Akal dan Wahyu Kata akal berasal dari bahasa Arab (ْ‫ ) قالْععققل‬yang berarti faham dan

mengerti. Hampir semua ayat dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan akal menggunkan verba (kata kerja), dalam 1 ayat menggunkan ‘aqaluh ( ‫) ععقعهلوُهه‬, ta’qilun ( ‫ ) تعقعققهلوُعن‬24 ayat, na’qil ( ْ‫ ) نعقعققهل‬1 ayat, ya’qiluha (َ‫ ) يعقعققلهعها‬1 ayat dan ya’qilun ( ‫ ) يعقعققهلوُعن‬22 ayat, yang menjelaskan bahwa kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Contohnya sebagai berikut ‫أعفعتع ق‬ ‫ق رمقنههقم يعقسعمهعوُعن عكعلعم م‬ ‫طعمهعوُعن عأن يهقؤقمهنوُا لْعهكقم عوقعقد عكاَعن فعقري ق‬ ‫اق ثهمم يهعحررهفوُنعهه قمنِ بعقعقد عماَ ععقعهلوُهه عوههقم يعقعلعهموُعن‬ Artinya: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka merobahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?.” (Qs.Al-Baqarah: 75) ‫ض ُلفلتركولنِ ُللرهبم ُقررلو ن‬ ِ‫صاَرر ُلوللــككن‬ ‫ب ُليبعكقرلولنِ ُكبلهاَ ُأل بو ُآلذاننِ ُليبسلمرعولنِ ُكبلهاَ ُ ُلفإكننلهاَ ُلل ُلتبعلمىَ ُابللبب ل‬ ‫أللفللبم ُليكسيرروا ُكفيِ ُابللبر ك‬ ٤٦﴿ُ ‫صردوكر‬ ‫ ُ ُ﴾لتبعلمىَ ُابلقررلو ر‬ ‫ب ُالنكتيِ ُكفيِ ُال ص‬ Artinya: “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Qs. Al-Hajj: 46) Jadi dapat disimpulkan bahwa kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Dalam kamus bahasa Arab kata akal ( hanya

berarti

mengerti

diartikan rabthun yang

dan

berarti

dan qalbun yang berarti hati.

memahami,

tapi

ikatan, ‘uquul yang

kata berarti

ْ‫ععققل‬ tersebut akal

) tidak juga pikiran

Dalam pandangan para filosof islam kata al-‘aql mengandung arti yang sama dengan kata Yunani nouse, yang berarti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa (al-nafs atau al-ruh) manusia. Al-Kindi (796-873 M) menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, yaitu daya nafsu yang berada di perut, daya berani yang bertempat di dada dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Ibnu Miskawaih (941-1030 M) juga memberikan pembagian yang sama, menurutnya daya terendah adalah daya bernafsu, daya tertinggi adalah daya berfikir, dan daya berani mengambil posisi diantara keduanya. Filosof lain juga memberikan pembagian tiga pula, tetapi sejalan dengan filsafat Aristoteles, mereka menyebutnya bukan tiga daya, tetapi tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa manusia. jiwa manusia inilah merupakan pusat daya berfikir yang disebut akal. Pengertian akal seperti yang diungkapkan para filosof tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan kaum teolog. Kaum teolog mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Abu Huzail mengatakan bahwa “akal merupkan daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain, dan juga antara benda yang satu dari yang lain”. Lebih jauh lagi menurut kaum teolog akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan. Sedangkan Wahyu secara etimologis, mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Wahyu juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan terjadi dengan cepat. Kata wahyu lebih populer dikenal dalam pengertian apa yang diwahyukan Allah kepada para Nabi.1 Secara konseptual, wahyu menunjukan kepada nama-nama yang lebih dikenal seperti Al-kitab, Risalah, AlQur’an dan Balagh.2 Dengan demikian wahyu berarti penyampaian kalam Allah kepada Nabi pilihan-Nya untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman

1 Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 192. 2 Nash Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an : Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LKIS, 2001, hal 33.

hidup. Dalam islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad terkumpul dalam Al-Qur’an. B.

Kedudukan Akal Dalam Al-Qur’an dan Hadis Tidak sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia

supaya banyak berfikir dan mempergunakan akalnya, maka kata-kata yang di pakai dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir bukan hanya ‘aqala tetapi juga kata-kata berikut antara lain: 1. Nazara, melihat secara abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan, terdapat di dalam 30 ayat lebih, antara lain: ٦﴿ ‫ف بعنعقيعناَعهاَ عوعزيممناَعهاَ عوعماَ لْععهاَ قمنِ فههروجج‬ ‫﴾أعفعلعقم عينظههروا إقعلْىَ الْمسعماَقء فعقوُقعههقم عكقي ع‬ ٧﴿ ‫ج‬ ‫﴾عواقلعقر ع‬ ‫ج بعقهي ج‬ ‫ض عمعدقدعناَعهاَ عوأعقلْقعقيعناَ قفيعهاَ عرعواقسعي عوعأنبعقتعناَ قفيعهاَ قمنِ هكرلْ عزقو ج‬ Artinya :Tidaklah mereka perhatikan langit di atas mereka bagaimana ia Kami jadikan serta hiasi dan tiada celah-celah padanya ? Dan bumi Kami bentangkan serta letakkan di atasnya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya dari tiap jenis pasangan yang indah ? (Qs. Qaf: 6-7). 2. Tadabbara, merenugkan terdapat dalam beberapa ayat seperti: ‫ك همعباَعر ق‬ ٢٩﴿ ‫ب‬ ‫﴾قكعتاَ ق‬ ‫ب عأنعزقلْعناَهه إقلْعقي ع‬ ‫ك لْريعمدبمهروا آعياَتققه عولْقيعتععذمكعر هأوهلْوُ اقلعقلْعباَ ق‬ Artinya: Kitab yang Kami turunkan pada mu penuh berkat agar mereka merenungkan ayat-ayatnya dan orang berfikiran memperoleh pelajaran. (Qs. Sad: 29). 3. Tafakkara, berfikir terkandung dalam 16 ayat, antara lain: ١٣﴿ ‫ت لْرقعقوُجم يعتعفعمكهروعن‬ ‫ض عجقميععاَ رمقنهه ُ إقمن قفي ‌عذلْق ع‬ ‫ك علعياَ ج‬ ‫﴾عوعسمخعر لْعهكم مماَ قفي الْمسعماَعوا ق‬ ‫ت عوعماَ قفي اقلعقر ق‬ Artinya: Tuhanlah yang membuat laut bagimu tunduk agar padanya kapal-kapal berlayar atas perintahNya dan kamu cari karunia –Nya, semoga kamu berterimakasih. Ia buat segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi

tunduk bagimu, semua nya adalah dari padaNya, sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaumyang mau berfikir. (Qs.Al-jasiyah : 13). 4. Faqiha, mengerti , faham terdapat dalam 16 ayat antara lain: ‫عوعماَ عكاَعن اقلْهمقؤقمهنوُعن لْقعينفقهروا عكاَفمةع ُ فعلعقوُعل نعفععر قمنِ هكرلْ فققرقعجة رمقنههقم ع‬ ‫طاَئقفعةق لْريعتعفعقمههوُا قفي الْرديقنِ عولْقهينقذهروا قعقوُعمههقم إقعذا‬ ١٢٢﴿ ‫﴾عرعجهعوُا إقلْعقيقهقم لْعععلمههقم يعقحعذهروعن‬ Artinya : Tidak semestinya orang-orang mukmin semua pergi. Mengapa sebagian dari tiap golongan tidak pergi memperdalam pemahaman tentang agama agar dapat memberi peringatan bagi kaumnya,bila mereka kembali.Semoga mereka berjaga-jaga. (Qs At-taubah: 122). 5. Tazakkar, mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari.Yang semuanya mengandung perbuatan berfikir , terdapat dalam lebih dari 40 ayat.antra lain: ‫ق عكعمنِ مل يعقخله ه‬ ‫﴾أعفععمنِ يعقخله ه‬ ١٧﴿ ‫ق ُ أعفععل تععذمكهروعن‬ Artinya:Apakah yang menciptakan sama dengan yang tidak menciptakan ? Apakah tidak kamu perhatikan ? (Qs An-nahl : 17) 6. Fahima3, memahami dalam bentuk fahhama pada ayat berikut : ‫ث إققذ نعفععش ق‬ ٧٨﴿ ِ‫ت قفيقه عغنعهم اقلْقعقوُقم عوهكمناَ لْقهحقكقمقهقم عشاَقهقديعن‬ ‫﴾عوعداهووعد عوهسلعقيعماَعن إققذ يعقحهكعماَقن قفي اقلْعحقر ق‬ ٧٩﴿ ِ‫﴾فعفعهمقمعناَعهاَ هسلعقيعماَعن ُ عوهك لعل آتعقيعناَ هحقكعماَ عوقعقلعماَ ُ عوعسمخقرعناَ عمعع عداهووعد اقلْقجعباَعل يهعسبرقحعنِ عوالْطمقيعر ُ عوهكمناَ عفاَقعقليعن‬ Artinya: Dan Daud dan Sulaiman sewaktu menentukan keputusan tentang ladang, ketika domba oarang masuk ke dalamnya pada malam hari, dan Kami menjadi saksi atas keputusan itu. kami buat Sulaiman memahaminya dan kepada keduanya Kami berikan hikmat dan ilmu, Kami jadikan bersama Daud gunung dan burung tunduk memuja Kami. Kamilah Pembuat semua itu. (Qs Al-anbiyya’:78-79)

3 Harun Nasution, teologi Islam aliran-Aliran Sejarah analisa Perbandingan, Jakarta : UIPress, 1972, hal. 80.

Semua bentuk ayat-ayat yang di jelaskan di atas, ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata-kata nazara, tadabbara, tafakkara, fakiha, fahima, ‘aqala, ayat-ayat yang berisikan sebutan ulu al-albab, ulu al-‘ilm, ulu al-absar,ulu alnuha,dan ayat kauniah, mengandung anjuran, dorongan bahkan perintah agar manusia

banyak

berfikir

dan

mempergunakan

akalnya.

Berfikir

dan

mempergunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam al-qur’an, sebagai sumber utama dari ajaran-ajaran islam. C.

Akal & Wahyu dalam Pemikiran Mutakallimin Akal, sebagai daya pikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras

untuk sampai kepada Tuhan. Sedangkan wahyu sebagai pengkabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap-Nya. Persoalan yang kemudian timbul dalam pembahasan ilmu kalam yaitu sampai dimanakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? dan sampai dimanakah besarnya fungsi wahyu kedalam kedua hal tersebut? Persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yaitu: Tentang mengetahui Tuhan, yang melahirkan dua masalah, yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan. Tentang baik dan jahat, yang melahirkan dua masalah juga, yaitu mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat. Dari keempat masalah cabang tersebut, terjadi polemik dikalangan aliran kalam: manakah dari keempat masalah itu yang diperoleh melalui akal dan manakah yang diperoleh melalui wahyu. Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan para tokohnya, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal. Kewajiban-kewajiban dapat diperoleh dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima

kasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula mengerjakan yang wajib dan menjauhi yang buruk wajib pula. Menurut Al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih pada-Nya, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan buruk dapat diketahui oleh akal. Sebelum mengetahui bahwa sesuatu itu wajib, tentu orang harus terlebih dahulu mengetahui hakikat hal itu. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbutan buruk, orang harus lebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal-hal itu, orang tentu tidak dapat menentukan sikap terhadapnya. Mengenai baik dan buruk, Abdul Jabbar mengatakan bahwa akal tidak dapat dapat mengetahui semua yang baik. Akal hanya mengetahui kewajibankewajiban dalam garis besarnya saja. Akal tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti maupun di dunia. Jelaslah menurut Mu’tazilah, tidak semua yang baik dapat diketahui oleh akal. Untuk mengetahui hal itu diperlukan wahyu. Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Selanjutnya wahyu bagi Mu’tazilah, berfungsi memberi penjelasan tentang perincian pahala dan siksa di akhirat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat masalah pokok itu dalam pandangan kaum Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal dan wahyu berfungsi hanya sebagai konfirmasi dan informasi. Atau dengan kata lain fungsi wahyu hanya kecil. Pemikiran teologi ini sejalan dengan teologi Muhammad Abduh. Menurut Asy’Ariyah sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari sendiri, segala kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia. Menurutnya, memang betul akal

dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu pulalah, dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh akan mendapat siksa. Dengan demikian, akal menurut Asy’ari, dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia dan karena itulah diperlukan wahyu.4 Menurut Al-Syarastani, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajibankewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diketahui dengan akal. Dan juga menurut Al-baghdadi akal dapat mengertahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Al-ghazali, juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia. Mengenai soal baik dan jahat al-ghazali menerangkan bahwa suatu perbuatan itu baik, kalau perbuatan sesuai dengan maksud pembuat dan disebut buruk, kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Keadaan sesuai atau tidak sesuai dengan tujuan bisa terjadi pada masa sekarang dan bisa pada masa depan, bagi Al-ghazali perbuatan yang sesuai dengan tujuan masa depan yaitu akhirat, jelasnya perbuatan yang ditentukan oleh wahyu ditentukan baik dan perbuatan buruk atau jahat lawan perbuatan baik. Sudah barang tentu bahwa tujuan di akhirat hanya dapat diketahui dengan wahyu dan oleh karena itu apa yang disebut perbuatan baik atau buruk juga dapat diketahui hanya dengan wahyu. Adapun

pendirian

al-syarastani

dapat

diketahui

dalam

bukunya

bernama Nihayah al-iqdam fi’ilm al-kalam yang dikutip leh Harun Nasution bahwa ia sependapat dengan al-asy’ari mengenai Tuhan dan kewajiban manusia berterima kasih. Yang pertama diketahui dengan akal dan yang kedua dengan wahyu.mengenai soal baik dan jahat akal menurut al-syarastani. Mengenai baik dan jahat ia memberi keterangan lebih jelas dari ketiga pemuka asy’ariah tersebut diatas.akal tak dapat menentukan baik dan jahat karena yang dimaksud dengan 4 Ibid., ha.l 81.

baik ilah perbuatan yang mendatangkan pujian syari’atbagi pelakunya dan yang dimaksud dengan buruk ialah perbuatan ynag membawa celaan syari’at. Keterangan yang jelas dan tegas mengenai persoalan baik dan jahat ini di berikan oleh ’adud al-din al-iji dalam al-’aqaid al ’adudiah dan oleh jallal al-din al Dawwani dalam komentarnya terhadap karangan Asus al-din itu. Akal tak dapat sampai pada perbuatan baik dan buruk, karena wahyulah dalam pendapat mereka yang menentukan kedua hal itu. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa diantara pengikut-pengikut alasy’ari terdapat persesuian faham bahwa yang dapat diketahui akal hanyalah Mengetahui Tuhan, sedangkan untuk ketiga lainnya dengan Wahyu. Al-maturudi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi sefaham dengna Mu’tazilah. ,juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keteranganal-bazzdawi berikut : ”percaya pada Tuhan dan Berterima kasih kepada-Nya sebelum ada wahyu adalah wajib bagi Faham Mu’tazilah..al-syaikhabu mansur al-maturudi dalam hal ini sefaham dengan Mu’tazila.Demikan jugalah umumnya ulama smarkand dan sebagian ulim ulama Irak”. Keterangan ini diperkuat oleh Abu ’Uzbah : ”Dalam Pendapat Mu’tazilah orang ynag berakal,muda-tua, tak dapat diberi maaf alam soal mencari kebenaran.Dengan demikian,anak yang telah berakal mempunyai kewajiban percaya pada Tuhan. Jika ia sekiranyamat tanpa percaya Tuhan,ia mesti dihukum.Dalam Maturidiah anak yan belum baligh,tidak mempunyai kewajiban apa-apa.Tetapi Abu mansural-maturudi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan.Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara Mu’tazilah dan Maturidiah”. Kalau uraian al-bazdawi, Abu Uzbah dan lain-lain memberi keterangan yang jelas tentang pendapat al-maturudi mengenai soal mengetahui Tuhan dan berkewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Keterangan demikain tidak dijumpai dalam soal

baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja, sebenarnya Tuhan yang mengetahui kewajiban baik dan buruk. Tetapi al-bazdawi tidak menjelaskan apakah pendapat itu juga merupakan pendapat almaturidi. Untuk mengetahui pendirian al-maturidi haruslah diselidiki karangankarangannya sendiri. Buku kitab al-Tawhid mengandung penjelasan tentang hal ini. Akal, kata Maturidi, mengetahui sifat yang baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk dengan demikian akal juga tahu baik dan buruk. Akal menurut al-maturidi selanjutnya mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik. Akal selanjutnya memerintahkan manusia mengerjakan perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang mengerjakan yang membawa pada kerendahan Jelaslah bahwa maturidi berpendapat akal dapat mengetahui hal yang baik dan buruk. Dengan demikian golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajibankewajiban hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajibankewajiban menjadi kewajiban. Sedangkan dalam hal lainnya golongan bukhara sependapat dengan golongan samarkand. Tetapi sungguhpun demikian, sebagian dari bukhara berpendapat akal tak dapat mengetahui baik dan buruk, dan dengan demikian mereka sebenarnya masuk dalam aliran Asy’ariyah dan bukan dalam aliran maturidiah golongan Bukhara.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang di berikan diatas dapatlah disimpulkan bahwa dalam ajaran islam akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan islam sendiri. Pemakaian akal dalam islam diperintahkan oleh Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan islam sendiri aupun dikalangan non islam, yang berpendapat bahwa islam adalah agama rasional. Ada pula penulis-penulis yang menyebut “rasionalisme” islam. Disamping itu ada pula yang memberi predikat pada pemikir-pemikir. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa pemakaian kata rasional, rasionalisme dan rasionalis dalam islam harus dilepaskan dari arti kata sebenarnya, yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan tak mengindahkan wahyu. Dalam pemikiran islam seperti yang telah dilihat dari uraian diatas baik dibidang filsafat dan ilmu kalam akal tidak pernah membatalkan wahyu akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Semua aliran teologi dalam islam, baik As’Ariyah, maturidiyah, apalagi Mu’tazilah sama-sama memepergunakan akal dalam menyelesaikan persoalanpersoalan teologi yang timbul dikalangan umat islam. Perbedaan-perbedaan yang timbul anatara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, As’Ariyah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah. Semua aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis.

B. Saran Demikian sedikit materi yang dapat kami sampaikan pada makalah ini, yang tentunya masih banyak kekurangan, kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi maupun tata penulisannya, karena tebatasnya pengetahuan dan referensi yang kami dapatkan. Oleh karena itu, kami sangat berharap kepada pembaca

agar

memberikan

saran

dan

kritikan

yang

bertujuan

untuk

menyempurnakan makalah ini agar dapat dibuat dengan lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca sekalian. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Harun Nasutioon, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Anallisa Perbandingan, Jakarta : UI-Press, 1972. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta : Universitas Indonesia, 1982. Nash Hamid Abu ZAid, Tekstualitas al-qur’an : Kritik terhadap Ulumul qur’an, Yogyakarta : LKIS, 2001.

Related Documents


More Documents from "Indah"