PALU Julukan kota Palu : Kota Kaledo, Kota Tadulako, Kota Teluk, Ibukota lima dimensi, sepotong surga di katulistiwa, kota kelor
Letak kota Bentang alam Kota Palu membentang memanjang dari Timur ke Barat dengan luas wilayah 395,06 Km2. Secara astronomis, Kota Palu terletak pada posisi 119,45 - 121,15 BT dan 0,36 - 0,56 LS.
Batas Wilayah Secara geografis, Kota Palu berbatasan dengan daerah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Labuan (Kabupaten Donggala). Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Parigi Barat (Kabupaten Parigi Moutong) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marawola dan Kecamatan Biromaru (Kabupaten Sigi) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Banawa Selatan (Kabupaten Donggala)
Daftar pustaka https://anakbamboo.blogspot.com/2018/01/miris-beginilahkota-palu-sulawesi.html https://noerdblog.wordpress.com/2011/09/23/gambaranumum-kota-palu-sulawesi-tengah/ http://journalsulteng.blogspot.com/2010/12/palu-ibukotalima-dimensi.html http://ragamnama.blogspot.com/2018/08/julukan-kotakota-di-indonesia.html https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palu http://www.palu.bpk.go.id/?page_id=15118
http://peta-kota.blogspot.com/2011/05/peta-kota-palu.html http://ardilamadi.blogspot.com/2013/07/jumlah-pendudukberdasarkan-agama-di_3533.html https://gorontalo.antaranews.com/berita/51607/transsulawesi-palu-gorontalo-sudah-terbuka-kembali https://www.mapsofworld.com/indonesia/provinces/sulawesi-tengah.html
Palu, Kota 5 Dimensi di Timur Indonesia Juni
23 / 2016 08:21 WIB Oleh : Nancy Junita
Share this post :
Kota Palu - Antara
Kota Palu sendiri merupakan salah satu kota tropis terkering di Indonesia dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Kota ini memiliki julukan "Kota Lima Dimensi" karena lansekap alamnya yang lengkap meliputi: lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk. Leher Pulau Sulawesi yang sempit akan dilalui ketika Anda berkendara dari Poso menuju Kota Palu menyisir Teluk Tomini. Leher itu dibatasi dinding gunung setinggi ribuan meter, juga lautan sedalam ribuan meter. Di sekitar Ibu Kota Sulawesi Tengah ini, pandangan mata tidak putus melihat deretan bukit yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Sesekali Anda akan melintasi gunung-gunung kapur berusia puluhan tahun dan lembah nan subur.
http://traveling.bisnis.com/read/20160623/224/560506/palu-kota-5-dimensi-di-timurindonesia
Palu, Mutiara Indah yang Belum Terasah
Tiga bulan yang lalu, saya mengunjungi Palu karena sebuah tugas, yaitu mendampingi Prof. Alvi Syahrin, Prof. Tan Kamello, dan Prof. Asep Warlan Yusuf yang akan menjadi ahli pada sidang kasus pencemaran lingkungan PT Pusaka Jaya Palu Power, juga bersama Bu Rini sebagai senior saya. Saya ditugaskan oleh Bu Rini untuk memesankan tiket pesawat dan hotel. Subhanallah, betapa susahnya mencari tiket Garuda Indonesia dan hotel bintang empat untuk para ahli. Emang ada acara apa sih di Palu? Ooohh.. Sail Tomini. Kabarnya, Pak Presiden akan menginap di Hotel Mercure. Maka dari itu, hotel-hotel yang ditawarkan di internet sudah penuh. Dengan sedikit trik, kami berangkat dalam dua tim. Tim pertama, Bu Rini dan Prof. Alvi berangkat dahulu dengan Citilink yang transit di Makassar pada Hari Rabu, 16 September 2015. Sedangkan tim lain, saya, Prof. Tan dan istrinya (beliau mengajak istrinya karena baru saja operasi), serta Prof. Asep berangkat naik Lion Air keesokan harinya. Alhamdulillah, untuk hotelnya, kami mendapatkan tempat di Hotel Grand Duta berkat bantuan dari pegawai BLH Kota Palu. 17 September 2015, saya bangun pukul 2.30 WIB karena pesawat berangkat pukul 5.00 WIB. Segera saya bergegas ke kantor yang tidak jauh dari kos saya untuk dijemput oleh Pak Agus. Kami langsung menuju Hotel Ibis Soetta tempat Prof. Asep dan Prof. Tan beserta istri menginap sementara di sana. Sungguh, jadwal pesawat paling gasik adalah jadwal yang selama ini berusaha saya hindari. Namun, kekecewaan saya berubah menjadi senyum ketika pesawat sudah berada di atas Teluk Palu. Masya Allah. Saya mengucap dzikir dalam hati ketika melihat barisan bukit di sebelah kanan jendela pesawat saya. Indah sekali. Saya melihat ke bawah, laut yang memantulkan sinar matahari berkilauan indah seperti mutiara. Saya tengok ke jendela sebelah kiri, bukit yang berjajar tidak kalah mempesonanya dengan bukit di sebelah kanan. Oh iya, saya baru ingat. Teluk Palu berbentuk seperti huruf U, dengan barisan bukit di kedua sisinya. Adapun Bandara Mutiara Sis Al Jufri berada di bawah huruf U tersebut. Ah, pintar sekali penata kota Palu zaman dahulu memilih lokasi ini. Itulah sebabnya bandara ini dinamakan “Mutiara” oleh Presiden Indonesia pertama, Soekarno. Ketika Soekarno pertama kali terbang ke Palu pada malam hari, beliau melihat Teluk Palu berkilauan indah memantulkan sinar bintang-bintang bagaikan mutiara. Sejak saat itu, Kota Palu terkenal dengan julukan “Mutiara Khatulistiwa”. Adapun penambahan nama “Sis Al Jufri” bertujuan untuk mengenang jasa seorang ulama yang telah berjasa menyebarkan agama Islam, yaitu Al Habib Sayyied Idrus Bin Salim Al Jufri. Sampai di bandara, kami langsung menuju hotel. Sepanjang perjalanan, kami disambut dengan banyaknya baliho dan umbul-umbul “Sail Tomini”. Ah, if I had joined that event. Pasti lebih seru daripada Pelantara.
Baliho Sail Tomini ada di sepanjang jalan
Untuk perjalanan pertama ke Palu, mungkin kota ini masih asing bagi saya. Tata kotanya masih biasa saja. Tidak ada tempat yang menarik mata untuk memandangnya. Apalagi, saya masih mengantuk karena penerbangan paling pagi. Namun, pupil mata saya membesar ketika sudah tiba di jalan di tepi Teluk Palu. Masya Allah, indahnya teluk ini dari dekat. Namun sedikit disayangkan, mengapa tata pantainya seperti ini? Tak banyak pohon rindang ditanam di sekitar pantai, justru warung-warung sederhana banyak menghiasi. Setelah melewati jembatan Palu Empat yang dipagar warna kuning dan melengkung indah, kami sampai di Hotel Grand Duta, terletak ujung Teluk Palu. Kebetulan, saya mendapatkan kamar di lantai empat yang langsung menghadap Teluk Palu.
Teluk Palu dari kamar hotel
Setelah bersih-bersih diri dan istirahat sebentar, kami bergerak menuju ke PN Kota Palu tempat PT Pusaka Jaya Palu Power disidangkan. Sepanjang perjalanan, sopir kami bercerita tentang keindahan Palu dan segala ancamannya. Alhamdulillah, Teluk Palu memiliki sumber daya ikan yang banyak, namun sayangnya, masih ada buaya di muara Sungai Palu. Pernah suatu hari, seseorang sedang menikmati indahnya Teluk Palu, diserang oleh buaya muara dan akhirnya meninggal.
Selesai sidang, Prof. Tan ingin membeli oleh-oleh kain tenun khas Palu. Sopir kami pun mengantar ke sana. Harga di toko kain tersebut bervariasi. Untuk kain bahan, 1 potong kain harganya mulai dari 150 ribu rupiah hingga satu jutaan, sedangkan kain yang sudah berbentuk kemeja, harganya mulai dari dua ratus ribu hingga satu jutaan. Prof Alvi juga ingin membeli oleh-oleh cinderamata dari kayu terbaik dari Sulawesi, yaitu kayu eboni. Kayu eboni telah diubah menjadi banyak kerajinan yang sangat cantik, mulai dari barang yang kecil seperti asbak, mainan anak, gantungan kunci, hingga barang yang berukuran sedang dan besar seperti miniature kapal dan meja kursi. Harga cinderamata yang berukuran kecil cukup terjangkau, sedangkan barang yang berukuran besar cukup mahal. Memang, mungkin karena kayu eboni sangat kuat, anti rayap, dan khas dari Sulawesi.
Kain tenun Sulteng. Motifnya bikin mata berbunga-bunga :)
Malamnya, setelah kami makan malam, Prof Alvi dan Prof Tan mengajak jalan-jalan di pinggir Pantai Teluk Palu. Kebetulan, teman Ru Rini yang merupakan orang asli Palu, menawarkan diri untuk jalan-jalan memakai mobil. Kami pun diajak untuk menikmati indahnya Teluk Palu di malam hari. Kami membicarakan tentang kota Palu yang sebenarnya menyimpan potensi namun kurang dikelola dengan baik oleh kepala daerahnya. Garis khatulistiwa yang melintang di atas Kota Palu menyebabkan kota ini terasa panas. Namun, kepala daerah Palu tidak dapat mengatasinya. Di pinggir pantai banyak kursi untuk duduk, namun sedikit pohon untuk berteduh. Warung-warung pun banyak yang berdiri secara sembarangan dan terkesan tidak rapi. Mungkin itu sebabnya, sejak turun di Palu, kami tidak menemukan bule satupun. Menurut saya, adanya bule di suatu tempat merupakan pertanda bahwa suatu tempat telah dikenal oleh dunia karena potensi pariwisatanya telah dikelola dengan baik. Teman Bu Rini tersebut mengatakan bahwa saat ini Palu telah sedikit lebih baik karena menyambut Sail Tomini, acara nasional yang menyedot perhatian dunia. Palu akhirnya berbenah. Bisa dibayangkan kah jika acara pelayaran nusantara tidak bertempat di Sulawesi Tengah? Ayolah, kota dengan lima dimensi berupa teluk, laut, sungai, lembah, dan pegunungan ini harus dikenal dunia!
Kami kemudian diajak ke sebuah bukit tertinggi. Ternyata tempat tersebut sudah diprivatisasi dengan menjadikannya villa oleh seorang warga keturunan Cina. Wah, cerdas sekali memilih tempat ini. Lihat saja, view dari bukit bintang ini. Saat perjalanan pulang menuju hotel, kami dikejutkan oleh sebuah poster kampanye Pilkada. Ada satu kandidat wakil wali kota Palu yang namanya cukup menyita perhatian kami, yaitu Sigit Purnomo Syamsudin Said. Siapa dia? Ya, Pasha Ungu. Tiga bulan kemudian, tepatnya 9 Desember lalu, Pasha Ungu dan pasangannya berhasil merebut hati rakyat Kota Palu. Ah Palu, mutiara indah yang belum terasah. Semoga Pasha Ungu dapat mengasahmu dengan sebaik-baik sentuhan.
http://cipukoya.blogspot.com/2016/01/mutiara-indah-yang-belum-terasah.html
Bandara udara di kota Palu Sulawesi Tengah, saat ini menjadi perhatian utama, karena wilayah Palu dan Donggala terkena musibah gempa yang sebagian mengakibatkan tsunami dengan menelan korban jiwa lebih dari 380 orang.
Bandara ini pada awalnya bernama Mosovu yang berarti “Tanah Berdebu”, namun setelah kunjungan Presiden Soekarno pada 10 Oktober 1957, Bung Karno mengubah namanya menjadi Bandara Udara Mutiara. Penamaan ini beralasan karena Palu merupakan rangkaian pernik mutu manikam mutiara khatulistiwa.
Seiring jalannya waktu, bandara ini diganti namanya menjadi Bandara Mutiara SIS Al Jufri, setelah Menteri Perhubungan Evert Ernest Mangindaan meresmikan perubahan nama bandara tersebut pada 28 Februari 2014.
Nama SIS Al Jufri adalah kependekan nama dari Sayyid Idrus bin Salim Al Jufri yang merupakan pejuang dan pahlawan nasional di Sulawesi Tengah. Dalam sejarahnya, Sayyid Idrus telah menjadi inspirator terbentuknya sekolah di berbagai jenis dan tingkatan di Sulawesi Tengah yang dinaungi oleh organisasi Al Khairaat hingga berkembang sampai saat ini di kawasan Timur Indonesia.
Beliau memiliki nasab keturunan adalah As-Sayyid Idrus bin Salim bin Alwi bin Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin Alwi bin Abdullah AtTarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Aljufri Al-Husain Al-Hadhramiy yang mempunyai jalur keturunan dari Sayyidina Husain bin Fatimah Az-Zahra Puteri Rasulullah SAW.
Habib Idrus dilahirkan di kota Taris, Seiwun, Hadramaut, Yaman pada 15 Maret 1892. Ayahnya, yaitu Habib Salim adalah seorang ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang keilmuan, beliau menjabat sebagai Qadhi dan Mufti di negerinya. Sementara kakeknya, yaitu Habib Alwi adalah pemimpin dan ilmuwan yang terkenal dan termasuk lima ahli fiqih di Yaman yang memiliki fatwa tertulis dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayid Abdurrahman Al Masyhur.
Habib Idrus sudah belajar keagamaan sejak kecil dari ayahnya dan menjadi penghafal Al Qur’an di umur 12 tahun. Ayahnya mengajarnya secara khusus tentang ilmu tafsir, hadits, tasawuf, fiqih,
tauhid, mantiq, ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh, dan sastra. Pada umur 19 tahun, beliau sudah menjadi ulama terkenal, dan beliau berguru kepada para guru-guru besar pada zaman itu, seperti Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar, Habib ldrus bin Umar Al-Habsyi, dan Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.
Pada usianya yang ke 25 tahun, Habib Idris sudah diangkat menjadi Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut oleh Sultan Mansur untuk menggantikan posisi ayahnya. Namun, dalam karirnya di kerajaan tersebut, Habib Idris pada tahun 1922 memutuskan untuk berjuang di bidang keilmuan dan keagamaan di Indonesia, selanjutnya beliau berlayar ke Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur Al Jufri.
Dalam buku Perguruan Islam Alkhairaat dari Masa ke Masa yang disusun oleh Pengurus Besar Alkhairaat disebutkan pilihan beliau ke Indonesia tidak hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.
Beliau membangun bangunan sekolah yang pertama atas biaya beliau sendiri di kota Palu, yang merupakan sekolah Islam yang pertama di Negeri Palu dan kemudian berkembang menjadi cabangcabang mencapai ratusan madrasah tersebar di kota-kota dan kampong-kampung di bagian Timur Indonesia yang diberi nama “ALKHAIRAAT”, dengan harapan optimis dan keberkahan dari nama tersebut yang banyak di sebut dalam Al-Qur’an.
Sekolah tersebut secara resmi dibuka pada tanggal 14 Muharram 1349 H bertepatan dengan 11 Juni 1930 yand dihadiri oleh para pemuka-pemuka Arab yang tinggal di Palu dan sebagian petinggipetinggi negeri. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Habib ldrus memberikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.
Habib ldrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan AI-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan lrian Jaya.
Pada tanggal 11 Januari 1942, penjajah Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan AI-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib ldrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya.
Pada masa penjajahan Jepang tersebut, proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajaran dialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para muridnya datang satu persatu secara sembunyisembunyi.
Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib ldrus kembali membuka perguruan AI-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.
Waktu terus berjalan tahun berganti tahun hingga pada tahun lima puluhan Sayid Idrus mulai mengembangkan pendidikan Islam Alkhairaat ini membuka berbagai jenis pendidikan dan strata di antaranya Ibtidaiyah, Muallimin empat tahun, dan enam tahun, madrasah lanjutan pertama (MLP), setara dengan SMP, Pendidikan Guru Agama (PGA), serta Perguruan Tinggi Islam (UNIS) pada tahun 1964 dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat. UNIS pada waktu itu memiliki tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah, beliau sebagai Rektor pertamanya.
Pada peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi AI-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerahdaerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi AI-Khairaat dibuka kembali.
Sejak berdiri tahun 1930, saat ini Alkhairaat telah menaungi sekitar 1.700 madrasah, 43 pondok pesantren dan satu perguruan tinggi, Lembaga pendidikan tersebut masih eroperasi yang tersebar di
12 Provinsi dan 84 kabupaten/kota. Selain itu Alkhairaat juga memiliki rumah sakit yang dikelola secara mandiri. Saat ini ratusan ribu guru telah tersebar di pelosok-pelosok kampung untuk mengabdikan diri mereka mengembangkan Alkhairaat. Al-Khairaat saat ini merupakan lembaga sosial keagamaan terbesar di kawasan Timur Indonesia yang berpusat di kota Palu yang memiliki puluhan cabang di kabupaten/kota dan provinsi.
Setiap 12 Syawal, warga Palu Sulawesi tengah banyak berdatangan untuk menghadiri haul Habib Idrus yang juga dikenal dengan sebutan Guru Tua dalam rangka mengenang dan mendoakan beliau yang merupakan keturunan nabi Muhammad Rasulullah SAW. Sehingga, atas jasa beliau itu pulalah, bandara udara Palu diubah menjadi nama beliau, Bandar Udara Mutiara Sayyid Idrus bin Salim Al Jufri.
http://laduni.id/post/read/45939/mengenal-bandara-palu-mutiara-sayyid-idrus-bin-salim-sisal-jufri.html