Paham dan Mazhab yang Berkembang di Bidang Syariat
Sebagaimana Akidah, syariah juga berdasarkan ijtihad dan pemikiran para ahli di bidangnya berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri, disebut Ilmu Fiqih. Penyebab terjadinya perbedaan madzhab, aliran, atau paham antara : 1. Perbedaan dalam Qiraat Al – Qur’an Qiraat itu terdiri dari 7 macam dikenal dengan Qiraat al-Sab’ah yang kemudian berkembang menjadi 14 qiraat. Contohnya dalam memahami ayat tentang cara berwudhu :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
1
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”(QS. AlMaidah : 6) Dalam qiraat umum, lafadz wa arjulakum (kakimu) dalam ayat di atas dibaca nasab, sehingga ber-athaf ke lafadz faghsilu (basuhlah). Jadi kedua kaki juga harus dibasuh sampai kedua mata kaki. Namun dalam Qiraat lain lafadz wa arjulakum (kakimu) dibaca menjadi wa arjuliku, sehingga wamsahuu (usaplah). Maka disimpulkan kaki cukup diusap dengan air. 2. Perbedaan dalam memahami term – term yang musytarak atau multitafsir Lafadz musytarak pada ayat di atas mengenai batalnya wudhu pada lafadz laamasa merupakan lafdzun musytarak yang multitafsir, bisa diartikan (a) menyentuh, (b) menyentuh dengan rangsangan, (c) hubungan seksual suami istri. Ulama yang mengambil makna pertama dalam arti menyentuh, maka seorang pria yang berwudhu apabila menyentuh perempuan, maka wudhunya batal. Seorang ulama yang mengambil makna yang mengambil makna menyentuh dengan rangsangan, maka apabila ada seorang pria yang berwudhu kemudian menyentuh perempuan dan terangsang, maka wudhunya batal, kalau tidak terangsang, tidak batal. Ulama yang mengambil makna ketiga, maka pemahamannya apabila ada seorang pria yang berwudhu kemudian melakukan hubungan seksual, maka batal wudhunya. Sedangkan menyentuh perempuan baik dengan terangsang atau tidak, maka tidak membatalkan wudhu. 3. Disebabkan sampai atau tidaknya nash hadits pada kelompok ulama tertentu
2
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orangorang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukumhukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 229-230) Ayat tersebut menjelaskan suatu hukum perceraian, apabila seorang suami telah menceraikan istrinya 3 kali, maka ia tidak dapat merujuknyam, dan tidak boleh menikahinya kembali kecuali apabila bekas istrinya pernah dinikahi oleh orang lain. Bagi para ulama yang tidak memperoleh informasi dari hadits, mereka berpandangan bahwa mantan istri itu apabila telah diceraikan oleh suaminya, meskipun ia belum bercampur (berhubungan
3
seksual) dengannya, maka mantan suaminya yang pernah menceraikannya sebanyak 3 kali, boleh menikah kembali mantan istrinya. Karena ayat di atas tidak menjelaskan apakah harus sudah bercampur suami istri atau belum. Tapi, bagi ulama yang lain, pemahamannya berbeda dengan ulama yang tadi. Ulama ini berpandangan, bahwa wakita itu harus sudah menikah dengan suami yang baru dan harus bercampur suami istri. 4. Perbedaan pemahaman dalam istilah tertentu Misalnya pemahaman tentang orang yang diberi amanah harus mengembalikan amanah itu pada pemiliknya secara sempurna, sebagaimana dijelaskan dalam ayat Al – Quran berikut :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. (Qs. An – Nisa : 58) Ditegaskan bahwa tiap orang yang diberi amanah harus mengembalikan kepada pemiliknya dengan sempurna. Dalam kenyataan dijumpai, si B meminjam mobil kepada A, ternyata mobilnya hilang. Kasusu seperti ini, tidak dijelaskna secara rinci dalam ayat tadi, hanya ditegaskan si B supaya mengembalikan mobil milik A secara utuh. Pengertian utuh atau dikembalikan secara sempurna itu mengundang perdebatan, maka terjadilah perbedaan pandangan antara tiga kelompok ulama di bawah ini, yaitu ulama X,Y, dan Z. Ulama X berpandangan bahwa mengembalikan secara utuh, adalah B harus membayar kepada A seharga mobil waktu dibeli, misalnya harganya 200 juta. Ulama Y berpandangan
4
waktu hilang, yaitu harganya adalah 100 juta. Ulama Z memahami dengan mengembalikan secara utuh adalah mengambil harga pertengahan antara waktu mobil dibeli dengan waktu mobil hilang. Dengan demikian, menurut ulama Z, B harus mengembalikan kepada A sebanyak 150 juta. Kasus seperti ini banyak dijumpai dalam menetapkan hukum di tengah – tengah masyarakat. 5. Perbedaan pandangan dalam beberapa hal yang tidak terdapat nash Al – Qur’an maupun hadits Sebagai contoh penemuan – penemuan baru dalam bidang kedokteran misalnya bagaimana hukumnya transfusi darah, hukum transplantasi organ tubuh, hukum ethunasia, hukum aborsi sebelum mencapai kehamilan usia 120 hari, dan berbagai masalah lain yang timbul dalam kehidupan modern dan post-modern. Menghadapi kenyataan ini maka tidak bisa dihindari adanya banyak perbedaan antara satu ulama dengan ulama yang lainnya, karena penentuan hukumnya dilakukan secara ijtihad. 6. Pengalaman di lapangan dalam membimbing umat Ulama – ulama Madinah karena merupakan sumber hadits, maka lebih banyak menggunakan hukum dengan ketetapan dari tradisi ulama Madinah. Sebaliknya ulama-ulama di Syam karena waktu itu tidak banyak memperoleh informasi hadits, maka mereka menetapkan hukum dengan Al – Qur’an dan dengan ijtihad. Cara seperti ini, mengakibatkan juga perbedaan pandangan yang banyak. Sebagai contoh, Imam Malik lebih mengambil ketetapan dari tradisi ulama Madinag dari pada keterangan dari Hadits Ahad. Sedangkan di tempat lain, lebih menguatkan hadits Ahad dari tradisi ulama – ulama Madinah maupun Mekkah. Berbagai macam penyebab timbulnya perbedaan aliran dan madzhab, sebagaimana diuraikan di atas, baru sebagian saja. Masih banyak penyebab – penyebab lain yang harus dibahas dalam tulisan yang lebih mendalam dan lebih jelas.
5
Daftar Pustaka Ahmad , F. (2001). Pengantar Studi Islam. Semarang: Gunung Jati Supadie. Amin, S. (2010). Pengantar Studi Islam. Semarang: Pustaka Nuun. Didiek, A. (2011). Pengantar Studi Islam. Surabaya: Karya Abditama. Mujilan, dkk. (2018). Buku Ajar Matakuliah Pengembangan Kepribadian Agama Islam. Jakarta: Midada Rahma Press.
6