Orang Muda Indonesia: Dalam Pencarian

  • Uploaded by: trionly
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Orang Muda Indonesia: Dalam Pencarian as PDF for free.

More details

  • Words: 1,703
  • Pages: 7
ORANG MUDA INDONESIA: DALAM PENCARIAN

Oleh Tri Ristiana Tidaklah salah bila kusebut diriku orang muda. Usiaku bahkan belum genap duapuluh dua tahun. Lahir dan besar di bumi Indonesia. Waktuku pun habis di bangkubangku pendidikan negeri ini. Ya, karena aku adalah orang muda Indonesia. Sering aku berpikir bahwa aku adalah orang muda Indonesia yang paling loyal. Tentu saja saat itu aku sedang berada di titik egoisku yang paling puncak. Aku merasa paling setia, karena aku tak pernah meninggalkan negaraku. Meski satu detik. Bermimpipun aku tak berani. Tak pernah juga terpikir untuk berlari ke negara lain jika di kota tempat aku tinggal terjadi kerusuhan. Atau perang? Tidak! Karena aku adalah orang muda Indonesia. Tapi aku tak mau menyebut diriku munafik karena itu. Sebab yang sebenarnya terjadi adalah tidak ada kerusuhan di kotaku. Sekalipun ada, tentu aku tidak mau membuang rupiah untuk bermalam di sebuah kamar hotel Singapura – sekedar menyelamatkan nyawa dari keganasan sesama orang muda. Lebih dari semuanya, aku belum punya cukup alasan untuk terbang ke luar negeri. Meski Timor Leste. Ada pertanyaan besar di benakku setelah kunyatakan diriku sebagai orang muda Indonesia. Sebuah pernyataan orang muda masa lalu yang menjadi pertanyaan orang muda masa sekarang: “Jangan kau tanyakan apa yang negaramu berikan untukmu, tapi apa yang bisa kau berikan untuk negaramu.” Pernyataan itu tentu tak bisa hanya kurekam di otak lalu tersimpan sebagai kalimat sakti begitu saja.

1

Sejujurnya aku belum tahu apa yang bisa aku berikan pada bangsaku ini. Tentu bukan sekedar rasa bangga menjadi satu diantra sekian ratus juta penduduknya, bukan hanya mencantumkan namaku dalam Kartu Tanda Penduduk Indonesia, bukan juga beberapa persen pajak dari rekening listrik, telepon, dan air yang harus terbayar tiap bulan. Tidak ikhlas? Tidak! Aku hanya mencoba mencari jawab tentang apa yang dapat aku berikan untuk Indonesia. Tidak ada maksud lain. Apalagi berharap negaraku yang kaya raya ini akan mengembalikan semua itu. Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya merasa belum pernah memberikan hal yang sangat berarti untuk negara yang aku cintai ini. Karena sesungguhnya aku tidak pernah turun ke depan gedung DPR untuk menyampaikan suara rakyat. Barangkali juga aku tak punya keberanian untuk tertembus peluru tak bertuan kala demonstrasi berlangsung. Tapi aku punya pendapat dan pemikiran. Meski itu cuma sebuah opini di stasiun pemancar radio tentang akan dioperasikannya bis di kota tempat aku tinggal. Meski sekedar perdebatanku dengan orang-orang kampung tentang proses peradilan Akbar Tandjung – yang nyata sama sekali tidak mempengruhi hasil akhir persidangan itu. Cuma sekedar surat protes dan saran pada kotak yang tertempel di dinding kampus tempat aku pernah belajar. Sekedar memungut tisu lusuh di alun-alun kotaku, berkeliling menemukan kotak sampah lalu memasukkan ke dalamnya. Meski, Cuma sepenggal permohonan seusai sholat untuk terlindungnya guru, pemimpin, dan negeri ini dari kehancuran sia-sia. Meski…. Ah! Aku sungguh tak berhak mengumbar sesuatu yang ingin kudengar sebagai jasa itu. Karena semua sama sekali tidak berharga dibanding nama besar Bung Karno.

2

Jauh dari sebutan jasa bila mengenal Pak Amin Rais sebagai Bapak Reformasi. Bahkan Tommy Suharto pun lebih berjasa dengan proyek mobil nasionalnya. Aku masih dalam pencarianku. Menemukan apa yang bisa aku beri untuk pertiwi ini. Menemukan sosok orang muda yang patut aku teladani. Karena tidak mudah mengukir nama sebesar Sukarno. Tidak gampang untuk berbakti tanpa pamrih, meski untuk bangsa sendiri. Seandainya pun telah kutemukan sosok itu, mampukah aku ambil teladannya? Atau, aku harus mengakui bahwa tak ada yang mampu kuberikan untuk Indonesia? Harus jadi apa aku, sehingga republik ini tak malu memiliku? Saat melihat wajah-wajah Habibie di surat kabar, aku tersenyum. Berbagai penghargaan diterima, karena otak mereka lebih canggih dari Pentium empat. Tapi di saat yang sama, aku menyaksikan Habibie yang lain terborgol hukum karena mengantongi ganja. Lalu, yang manakah orang muda Indonesia itu? Aku seharusnya tak perlu mencari di luar sana. Orang-orang muda itu ada di sekelilingku. Sebut saja Marsinah yang bapaknya penggenjot becak. Harus puas dengan selembar ijasah SMP dan kini, berkutat dengan gula sintesis di sebuah pabrik permen. Sangat disayangkan, karena aku tahu otak gadis itu secemerlang cita-cita dalam angannya. Diakah orang muda itu? Atau temanku, panggil saja Sephia. Berotak cemerlang, mahasiswi teladan, tubuh dan wajahnya bernilai sembilan, masih juga bekerja paruh waktu karena tak mau waktunya terbuang – meski dia bukan dari kalangan rendahan. Ya! Sephia itulah barangkali yang tengah diharapkan negara ini. Sesempurnanya teladan yang suka berkerja keras, tidak hanya diam membaca buku sambil menunggu kelulusan. Tapi, hatiku sejujurnya menolak. Apakah tanah air ini bisa membanggakan dia, sedang di beberapa malamnya ia lebih suka berada dikamar sebuah 3

hotel murahan – sekedar merasakan gelora asmara dengan kekasih jiwa. Sungguh, aku belum menemukano orang muda itu. Dan aku masih bernafas dengan pertanyaan-pertanyaan di kepalaku. Apakah orang-orang muda yang diinginkan negaraku harus memakan bangku kuliah, memiliki setelan katun, berdasi, atau berbicara Bahasa Inggris? Lalu, bagaimana dengan… sebut saja si Punk – karena aku tak punya hak menyebut namanya disini. Dia juga orang muda. Kakak kelasku satu tingkat waktu masih di sekolah dasar. Juga satu tingkat di atasku saat sama-sama ikut kegiatan ekstrakurikuler pencak silat. Tapi, waktu – yang kata orang mampu mendewasakan tiap manusia, sering juga member kejutan yang tidak diharapkan. Jika dulu aku mengenal Punk sebagai murid yang aktif, pernah juga ngaji dilanggar yang sama denganku, kini aku mengenalnya sebagai orang muda jalanan. Bagaimana tidak? Tiap hari ia berada di jalan, ngamen di perempatan yang sama, tidur dan makan di tempat yang sama, dan baju yang sama. Rambutnya tak lagi merah karena terik matahari. Tapi kuning, biru, dan sedikit hijau – karena semir rambut tentunya. Dan bir yang nyata beralkohol itu juga telah membuat tegak dan membentuk rambut itu layaknya punggung dinosaurus. Jika suatu saat nanti kubilang padanya kalau orang muda Indonesia mementukan hari depan Indonesia (karena kupikir dia orang muda juga), si Punk pasti bangga. Atau, malah tersinggung? Lalu, siapakah orang muda itu? Orang muda yang mampu membuat pertiwi ini tersenyum memilikinya? TKI! Tiba-tiba saja aku teringat istilah itu. Tenaga Kerja Wanita, nakerwan, atau apapun namanya. Bagaimanapun, Negara ini terkenal juga karena merekan. Dan mereka juga termasuk dalam orang-orang muda Indonesia. Entah negara ini sudah tak mampu member penghidupan yang layak pada orang mudanya atau itu wujud dari hubungan 4

bilateral, belum sepenuhnya aku mengerti. Yang aku paham, sebuah rumah telah dibangun, seorang gadis kecil telah memasuki sekolah lanjutan tingkat pertama, seorang lagi memasuki sekolah dasar, dan si bungsu baru saja didaftarkan di sebuah taman kanak-kanak. Itu semua berkat ringgit yang dihasilkan selama dua tahun di Malaysia. Dua tahun di negara orang, dua tahun melayani orang asing, dua tahun mencuci pakaian dalam mereka. Wanita tetanggaku itu tak menyandang satu pun gelar akademik. Tapi dia bangga sebagai warga negara Indonesia. Dimanapun berada status kewarganegaraannya tak akan berubah. Tapi sangat memilukan. Pemerintah negara ini tak mampu menghargai rasa bangga itu. Di saat yang sama, wanita itu terisak menyaksikan negaranya tak punya kemampuan melindungi orang mudanya yang lain dari tiang pancung kerajaan Saudi. Aku sedikit mengerti sekarang. Bahwa para habibie, para Marsinah, para Sephia, pra Punk, ataupun para nakerwan, mereka hanya sebagia kecil dari wajah-wajah orang muda Indonesia. Masih ada yang mampu membuat pertiwi ini lebih bisa tersenyum memiliki mereka. Para sarjana, para insinyur, para doktor, atau gelar apapun yang disandang, pasti membuat negara ini bangga. Mereka bisa memajukan industri otomotif, dunia kedokteran, lingkungan, teknologi komputer atau apapun. Negara ini akan menjadi besar duapuluh tahun mendatang. Tentu, bila orang-orang itu punya rasa ikhlas untuk membesarkan nama bangsanya. Bukan sekedar lima tahun belajar di Amerika, lalu kembali untuk membodohi saudaranya sendiri. Menjadi rakus dan merampok negaranya sendiri. Dan aku lebih mengerti. Bahwa orang-orang itu – yang namanya panjang karena terimbuhi berbagai gelar, hanya juga sebagian dari penghuni pulau-pulau di Indonesia. 5

Aku tidak bisa menutup mata, kala jam sepuluh malam, di saat sebuah keluarga umumnya menikmati acara televisi, masih ada bocah sepuluh tahunan berdiri di perempatan, menggendong koran sore yang telah basi. Aku tak mau menjadi munafik untuk kedua kali, dengan berkata bahwa negara ini hanya dipenuhi orang-orang muda berpendidikan. Pada kenyataannya, Marsinah dan Punk bukan yang terburuk. Aku sangat mengerti itu. Karena aku berada di antara orang-orang muda negeri ini. Aku lebih mengerti yang terjadi di golonganku, melebihi pengamat sosial yang diantaranya hanya melihat dari berita televisi atau surat kabar. Aku lebih mengerti alasan si Tian memakai narkoba, alsan Astri menolak besiswa ke Kanada, alasan Anto putus sekolah, atau alasan Dewi menjadi pekerja seks komersial! Ya, karena aku berada diantara mereka. Ini bukan cerpen melankolis yang kuharapkan tetes air dari tiap mata yang membaca. Bukan pula ungkapan tidak puas akan hidup. Bukan, aku hanya menulis tentang apa yang telah dan sedang terjadi di sekitarku, karena aku adalah saksi tentang apa yang terjadi di negeriku. Aku adalah orang muda yang belum tahu apa yang bisa kuberikan untuk negeriku. Karena aku masih mencari sosok orang muda yang bisa kuambil sebagai contoh. Atau, sudah sedemikian burukkah republik ini sehingga begitu sulit aku menemukan sosok untuk kuteladani? Tidak, tentu saja tidak. Memang menyakitkan mengetahui orang-orang muda di negeri ini sebagian hidup seperti Marsinah atau Punk. Menyedihkan pula jika ekstasi dan daun ganja juga berada di kantong-kantong orang muda. Tapi apa yang bisa kulakukan? Mungkin aku tak mampu memberikan nyawaku seperti Ahmad Yani di

6

masa revolusi, tapi aku juga tak bisa hanya berkutat dengan buku seperti ‘pelajar teladan’ era orde baru. Dn aku semakin mengerti sekarang. Teladan tak harus datang dari para profesor atau mereka yang berpendidikan tinggi, atau berperilaku sopan dan berwajah anggun. Teladan yang nyata dan tanpa tebeng ada di sekitarku. Bagaimana seorang Marsinah berjuang untuk tetap hidup – bahkan sangat ironis bila harus memilih sekolah dengan perut lapar dan tanpa buku, atau tetap hidup tapi tanpa ilmu. Teladan yang nyata juga ada pada Punk, kakak kelasku itu. Bahwa jalanan bukan satu-satunya jalan keluar dari himpitan masalah. Beribu teladan dari orang-orang yang hidupnya tak seberuntung aku, tinggal bagaimana menyikapi, mengambil teladan, tanpa harus menyakiti. Dan untuk membuat bangga negeri ini, tak harus dengan gelar sarjana. Meski kalau boleh aku bermimpi, masih kubayangkan tentang sebuah negara damai dengan orang-orang muda memenuhi tiap sudut sekolah dan kampus, bukan perempatan atau emper toko. Dan kelak, mereka akan membuat nama bangsanya lebih besar dan mahsyur. Bukan memasukkan nama bangsanya dalam daftar negara-negara terkorup, termiskin, apalagi terusuh. Satu yang pasti, aku masih berharap tanah tempat aku berpijak saat ini, tetap menjadi bagian dunia. Sepuluh, duapuluh, seratus, seribu tahun mendatang. Semoga. ***

7

Related Documents


More Documents from "mohd samsuddin bin harun"

Bibliography
November 2019 38
Abstract
November 2019 31