ABSTRACT
Although implementation of decentralization has run for several years, but there are some problems which are not solved. The major problem is management of the natural resources. The delivery of revenue sharing of the natural resources is still late in three months period. It will disturb the development planning system in each region. The wealthy regions, which region budget (APBD) is dominated by revenue sharing, could not optimally the advantage of revenue sharing.
Essay Ilmiah
OPTIMALISASI PERAN DANA BAGI HASIL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH
Oleh: Isti’anah Pegawai pada: Direktorat Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan RI
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang. Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan public yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya. Kebijakan desentralisasi fiskal yang digulirkan pada awal tahun 2001 telah memberikan berbagai implikasi baik nasional maupun regional. Pada tingkat regional, kebijakan ini merupakan upaya kemandirian daerah untuk memberdayakan sumber daya yang tersedia. Bagi daerah yang surplus, desentralisasi fiskal merupakan sumber kesejahteraan masyarakat untuk lebih meningkatkan taraf hidupnya. Sebaliknya bagi pemerintah daerah yang minus dan masih mengharapkan kucuran dana dari pemerintah pusat, kebijakan ini sangat memberatkan Implementasi kebijakan perimbangan keuangan dilakukan melalui alokasi anggaran belanja untuk daerah termasuk didalamnya dana perimbangan.. Sejalan dengan itu, selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam membiayai berbagai urusan dan kewenangan pemerintahan yang telah dilimpahkan, diserahkan dan atau ditugaskan kepada daerah, pengalokasian dana perimbangan juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah, serta mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Dana Perimbangan merupakan transfer dana yang bersumber dari APBN ke daerah, berupa dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Dana Bagi Hasil (revenue sharing) atau DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DBH dilaksanakan dengan prinsip menurut sumbernya, dalam arti bahwa bagian daerah atas penerimaan yang dibagihasilkan didasarkan atas daerah penghasil. Prinsip tersebut berlaku untuk semua komponen DBH, kecuali DBH perikanan yang dibagi sama rata ke seluruh kabupaten/kota. Selain itu, penyaluran DBH baik pajak maupun SDA dilakukan
berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan. Berdasarkan sumbernya DBH dibedakan dalam DBH Perpajakan dan DBH Sumber Daya Alam (DBH SDA). DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 DBH yang bersumber dari Penerimaan PBB dibagikan dengan imbangan 90% untuk Daerah dan 10% untuk Pusat. DBH PBB sebesar 10% yang merupakan bagian pusat
dialokasikan kembali pada kabupaten/kota dengan rincian 6,5%
dibagiratakan kepada seluruh /kota dan 3,5 % dibagikan kepada kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaaan dan Perkotaan pada tahun anggaran sebelumya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Pengalokasian atas DBH bagian pusat yang dibagikan lagi ke daerah dilakukan dengan penerbitan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA, Sedangkan 80 % yang merupakan bagian Daerah dibagi lebih jauh dengan rincian 64,8 % untuk kabupaten/kota yang bersangkutan, 16,2% untuk provinsi yang bersangkutan dan 9% digunakan untuk upah pungut. Bagian daerah ini dibagikan setiap hari Rabu dan Jumat melalui Kantor Pelayananan Perbendaharaan Negara (KPPN) yang merupakan salah satu instansi vertikal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen Perbendaharaan) Departemen Keuangan. Atas pengeluaran tersebut akan diterbitkan DIPA pengesahan berdasarkan data hasil rekonsiliasi Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara Umum Negara (BUN) pada awal tahun anggaran berikutnya. Penerimaan Negara dari BPHTB diberikan kepada daerah dalam bentuk DBH BPHTB dengan porsi 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar 80% selanjutnya dibagi dengan imbangan 16% untuk provinsi yang bersangkuan dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil. Seperti halnya PBB bagian daerah ini juga langsung dibagikan hari Rabu dan Jumat melalui KPPN. Sementara bagian pemerintah pusat sebesar 20% dialokasikan kembali kepada seluruh kabupaten/kota dengan porsi sama besar dengan mekanisme penerbitan DIPA. DBH yang bersumber dari penerimaan PPh WPOPDN (Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri) dan PPh Pasal 21 yang dibagikan kepada Daerah sebesar 20% dan
80% merupakan bagian pemerintah pusat. DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebesar 20% tersebut dibagi dengan rincian 8% untuk provinsi yang bersangkutan, 2% untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, 8,4 % untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar dan 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian sama besar. Alokasi DBH Perpajakan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Setiap awal tahun anggaran Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara DBH Perpajakan yang menjadi dasar penerbitan DIPA untuk penyaluran Triwulan I, II dan III atau Tahap I/II atas bagian pemerintah pusat yang disalurkan kembali ke daerah dan atas bagian daerah. Pada akhir tahun anggaran Menteri Keuangan
menetapkan Alokasi
Definitif DBH Perpajakan yang merupakan dasar penerbitan DIPA untuk penyaluran pada Triwulan/Tahap akhir. Sedangkan DBH yang bersumber dari Sumber Daya Alam (SDA) meliputi : a. DBH SDA Kehutanan terdiri dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Izin Usaha Pemanfaatan (IIUPH) dan Dana Reboisasi (DR). b. DBH SDA Pertambangan Umum yang terdiri dari Land Rent (Iuran tetap), Iuran Eksplorasi dan iuran Eksploitasi (Royalty) dan Kontrak Karya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). c. DBH SDA Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan d. DBH SDA Pertambangan Minyak Bumi; e. DBH SDA Pertambangan Gas Bumi; dan f. DBH SDA Pertambangan Panas Bumi . Tabel Porsi pembagian Dana Bagi Hasil
Kab/Kota N o
1.
2.
3. 4.
5.
6.
Nama DBH SDA
Kehutanan a. PSDH b. IIUPH c.DR Pertambangan Kab/Kota a. Land Rent b. Royalty Pertambangan Prov a. Lend Rent b. Royalty Perikanan Minyak Bumi Kab/Kota Tambahan 5% daerah Minyak Bumi Provinsi Tambahan 5% daerah Gas Bumi Kab/Kota Tambahan 5% daerah Gas Bumi Provinsi Panas Bumi
Pusat
Provi nsi Ybs
Penghasil
Lainnya dalam Propinsi Ybs
Lai nnya
20% 20% 60%
16% 16% -
32% 64% 40%
32% -
-
20% 20%
16% 16%
64% 32%
32%
-
20% 20% 20% 84,5%
80% 26% 3%
54% 6%
6%
80% -
0,1%
0,2%
0,2%
-
5%
10%
-
-
0,17%
-
0,33%
-
69,5%
6%
12%
12%
-
-
0,1%
0,2%
0,2%
-
69,5%
10%
20%
-
-
20%
0,17% 16%
0,33% 32%
32%
-
84,5%
Alokasi DBH SDA ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Setiap awal tahun anggaran Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara DBH SDA yang menjadi dasar penerbitan DIPA untuk satu tahun anggaran. Penyaluran DBH SDA berdasarkan realisasi penerimaan yang datanya bersumber dari hasil rekonsiliasi antara departemen teknis, daerah penghasil dan Departemen Keuangan. Hasil rekonsiliasi tersebut ditetapkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan dan dijadikan dasar bagi Ditjen Perbendaharaan untuk menerbitkan DIPA
Permasalahan
yang
sering
muncul
dalam
mekanisme
penyaluran/pencairan DBH adalah praktek pembagian triwulanan yang tidak tepat waktu merupakan keluhan bagi daerah penerima DBH PPh. Ketika sudah dibayarkanpun masih muncul persoalan yaitu kelebihan ataupun kekurangan pembayaran untuk suatu daerah. Ini terjadi karena penetapan alokasi sementara yang berdasarkan prognosa penerimaan PPh lebih tinggi atau lebih rendah dari alokasi definitif yang berdasarkan realisasi penerimaan PPh sesungguhnya. Demikian juga proses penyaluran DBH SDA, adanya keterlambatan atas penyaluran dalam setiap triwulannya sehingga mengganggu sistem perencanaan pembangunan di daerah. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut di atas Pemerintah pusat dalam menetapkan Kebijakan dana bagi hasil dalam tahun 2007 lebih menitikberatkan pada penyempurnaan dan percepatan dalam proses perhitungan, pengalokasian, dan penetapan dana bagi hasil ke daerah. Hal ini dilakukan agar penyaluran DBH ke daerah dapat dilakukan tepat waktu. Untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah akan melakukan langkah-langkah aktif dalam penyempurnaan proses dan mekanisme penyaluran DBH ke daerah, antara lain melalui peningkatan koordinasi antardepartemen/instansi terkait serta peningkatan akurasi data oleh departemen/instansi terkait.
1.2. Perumusan Masalah. Meskipun UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah diterapkan beberapa tahun, namun berbagai permasalahan masih tetap muncul, terutama soal desentralisasi fiskal dan kewenangan pengelolaan sumber daya alam(SDA). Daerah-daerah yang APBDnya masih didominasi besarnya jumlah alokasi dari DBH merasa belum bisa merasakan manfaat DBH. Bahkan mereka mengklaim pembangunan di daerahnya menjadi tertinggal dibanding dengan daerah lainnya. Terkait dengan masalah tersebut maka masalah dirumuskan dengan “ Bagaimana meningkatkan optimalisasi peranan DBH dalam pelaksanaan pembangunan daerah, khususnya DBH SDA bagi daerah kaya?”
1.3. Tujuan Riset. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka secara umum tujuan roset ini adalah untuk melihat seberapa efektif mekanisme penyaluran DBH. Sedangkan tujuan khusus adalah : 1. Menilai kontribusi DBH bagi pembangunan daerah. 2. Mengindentifikasikan faktor-faktor pendorong dan penghambat efektifnya peran DBH bagi pembangunan daerah. 3. Menyusun mekanisme DBH yang tepat, cepat dan transparatif yang mengarah pada transparasi good governance.
BAB II KERANGKA TEORITIS Riset optimalisasi peran DBH dalam pembangunan daerah ini berbasis pada konsep negara kesejahteraan. Beberapa ahli menyatakan bahwa peran negara juga dimungkinkan untuk ikut serta dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Tujuan negara dalam konsep negara kesejahteraan adalah mewujudkan kesejahteraan setiap warganya. Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan meningkatkan pelayan umum. Tjosvold sebagaimana dikutip Wasistiono (2003 : 42) menyatakan melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai kehormatan merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi. Hal itu sejalan dengan pemberian otonomi daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat (Darise 2006 : 14). Pemberian otonomi kepada daerah dituangkan dalam Undang-Undang No.22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pelimpahan wewenang ini dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat kepada daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah ada otonomi bagi pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang ini saling melengkapi (Ismail, 2002). Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi
hasil-hasil indikator
ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud adalah sumber daya perencanaan yang meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Bakley, 1989). Konteks perencanaan pembangunan ekonomi daerah bukanlah perencanaan dari suatu daerah akan tetapi perencanaan untuk suatu daerah yang bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki berbagai sumber daya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan sumbersumber daya swasta yang bertanggung jawab (Kuncoro, 2004).
Pada era otonomi, terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pergeseran baru dalam hal pertanggungjawaban masih belum sepenuhnya komplit (World Bank, 2003). Desentralisasi “bing bang” mungkin telah meninggalkan perangkat checks and balances yang belum memadai; sesuatu yang tidak mempertimbangkan kapasitas dalam berbagai hal (Kaiser and Hofman, 2002). Dalam banyak hal, masih belum jelas apakah konstituensi local benar-benar telah merefleksikan keinginan public yang sesungguhnya (Usman, 2001). Penyelenggaraan otonomi daerah yang digulirkan pada awal tahun 2001 telah memberikan berbagai implikasi baik nasional maupun regional. Pada tingkat regional, kebijakan ini merupakan upaya kemandirian daerah untuk memberdayakan sumber daya yang tersedia. Bagi daerah yang surplus, otonomi daerah atau dikenal juga desentralisasi fiscal merupakan sumber kesejahteraan masyarakat untuk lebih meningkatkan taraf hidupnya. Sebaliknya bagi pemerintah daerah yang minus dan masih mengharapkan kucuran dana dari pemerintah pusat, kebijakan ini sangat memberatkan. (Siregar 2001 : 298) mengemukakan bahwa bagi banyak daerah, pengeluaran untuk pembangunan tahun 2001 (setelah otonomi daerah/desentralisasi) lebih rendah dari pos pengeluaran yang sama tahun anggaran 2000 (sebelum desentralisasi). Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana Perimbangan, Pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat) merupakan sumber-sumber keuangan untuk pembiyaaan pembangunan ekonomi daerah. (Kuncoro, 2004). Setelah tujuh tahun (2001-2008) pelaksanaan otonomi daerah, komponen dana perimbangan masih mendominasi pendanaan pembangunan di daerah. Hal ini menunjukkan tingginya ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap uluran tangan pemerintah pusat. Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah mempunyai dampak langsung terhadap keberhasilan otonomi daerah dan sumbangan yang besar dalam upaya mewujudkan good governance. Sejalan dengan upaya perwujudan otonomi daerah dan good governance, maka tepatlah untuk memerhatikan masalah akuntabilitas. Dalam konteks birokrasi pemerintah, akuntanbilitas adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan keberhailan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan (LAN dan BPKP, 2000). Hakikat otonomi daerah harus tercermin dalam pengelolaan
keuangan
daerah
yang
dimulai
dari
perencanaan,
pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.
BAB III METODE RISET A. Lokasi Riset ini berada di dalam lingkup Ditjen Perbendaharaan baik yang dipusat maupun instansi daerahnya khususnya yang berkenaan dengan mekamisme penyaluran Dana Bagi Hasil baik dana bagi hasil Pajak maupun Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. B. Teknis Pengumpulan Data. Teknis pengumpulan data yang digunakan dalam riste ini adalah menggunakan wawancara tidak terstruktur berupa pertanyaan pada responden. Selain itu, juga menggunakan pengematan bebas terstruktur dengan pihak terkait guna memperdalam hasil yang didapatkan dalam sebaran wawancara dari responden, sehingga mempertajam dan memperjelas hasil dari wawancara.
C. Teknik Analisis Data Untuk menjawab Permasalahan, analisis riset ini menggunakan analisis data kualitatif, untuk menghasilkan data deskriptif- analitis. (Soemitro, 1993 : 93). Analisis ini dipilih karena sangat fleksibel dan tidak terstruktur sehingga memudahkan pencarian ide serta petunjuk mengenai situasi permasalahan.
BAB IV PEMBAHASAN Dari riset ini ditemukan bahwa Dana bagi hasil dalam pembangunan daerah memiliki peranan yang sangat strategis, terutama daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang merupakan bagian dari otonomi daerah memang memberikan pengaruh yang signifikan atas daerah-daerah kaya sumber daya alam. Daerah-daerah kaya sumber daya alam ini langsung melejit pembangunannya, dengan uang yang berlimpah mereka langsung bisa membangun beragam fasilitas yang diinginkannya. Namun sangat disayangkan hal itu hanya terjadi sesaat, karena dana perimbangan dari pemerintah pusat sering terlambat turun. Keterlambatan atas penyaluran dana perimbangan ini sangat mengganggu sistem perencanaan pembangunan di daerah. Baik mekanisme penyaluran/pencairan DBH PPh maupun mekanisme pencairan SDA adalah praktek pembagian triwulanan yang tidak tepat waktu merupakan keluhan utama bagi daerah-daerah. Pemerintah telah berupaya untuk menyempurnakan berbagai peraturan atas mekanisme penyaluran Dana Bagi Hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, namun hingga tahun 2007 berakhir masih banyak kita temui keterlambatan-keterlambatan ini, bahkan kalau boleh dibilang belum banyak kemajuan yang didapat dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Berikut adalah daftar DIPA Dana Bagi Hasil (DBH) yang telah diterbitkan oleh Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan selama tahun 2007.
DAFTAR DIPA DANA BAGI HASIL NO
JENIS DIPA
1
DBH PBB TAHAP I & II
2
DBH BPHTB TAHAP I & II
3
DBH PPh TRW I
JUMLAH
Tanggal
1,036,767,117,785
9 Maret 2007
808,484,998,847
9 Maret 2007
4,483,224,000,000
9 Maret 2007
4
DBH PSDH TRW I (KEHUTANAN)
30,318,098,264
13 Juni 2007
5
DBH IIUPH TRW I (KEHUTANAN)
7,398,361,520
13 Juni 2007
6
DBH MINYAK BUMI TRW I (MIGAS)
2,750,292,766,859
13 Juni 2007
7
DBH GAS TRW I (MIGAS)
2,074,439,061,931
13 Juni 2007
8
DBH PERIKANAN TRW I
26,006,572,684
25 Juni 2007
9
DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW I
170,587,254,579
25 Juni 2007
DBH PKP2B TRW I
426,285,841,953
25 Juni 2007
KURANG BAYAR KEHUTANAN PSDH
179,015,882,498
26 Juni 2007
KURANG BAYAR KEHUTANAN IIUPH
12,035,219,193
26 Juni 2007
KURANG BAYAR KP
35,320,817,841
28 Juni 2007
509,639,233,224
27 Agustus 2007
DBH MINYAK BUMI TRW II (MIGAS)
2,589,945,697,793
31 Juli 2007
DBH GAS TRW II (MIGAS)
2,141,804,618,266
31 Juli 2007
11,610,764,000
16 Agustus 2007
DBH PSDH TRW II (KEHUTANAN)
126,793,224,250
15 Agustus 2007
DBH IIUPH TRW II (KEHUTANAN)
17,381,897,880
15 Agustus 2007
DBH SDA-DR (KEHUTANAN) TR II
182,182,737,933
11 September 2007
DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW II
176,401,586,148
28 Agustus 2007
DBH PKP2B TRW II
530,713,914,947
28 Agustus 2007
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM TRW I
DBH PERIKANAN TRW II
DBH PERIKANAN TRW III
28,338,208,800
5 Nopember 2007
DBH MINYAK BUMI TRW III (MIGAS)
3,167,671,708,885
5 Nopember 2007
DBH GAS TRW III (MIGAS)
2,110,170,316,845
5 Nopember 2007
KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM TRW II
374,322,842,667
5 Nopember 2007
DBH PKP2B TRW III
445,263,314,038
5 Nopember 2007
DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW III
171,549,526,358
5 Nopember 2007
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
DBH PSDH TRW III (KEHUTANAN)
118,558,094,459
1 Nopember 2007
DBH SDA-DR (KEHUTANAN) TR III
106,775,956,491
1 Nopember 2007
KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM TRW III
490,848,252,890
6 Desember 2007
16,516,792,160
10 Desember 2007
DBH MINYAK BUMI TRW IV (MIGAS)
3,679,345,654,699
10 Desember 2007
DBH GAS TRW IV (MIGAS)
2,573,272,516,218
10 Desember 2007
165,278,588,170
13 Desember 2007
DBH PSDH TRW IV (KEHUTANAN)
85,011,634,112
13 Desember 2007
DBH SDA-DR (KEHUTANAN) TR IV
89,119,915,673
13 Desember 2007
DBH IIUPH TRW IV (KEHUTANAN)
21,300,395,000
13 Desember 2007
KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN UMUM TRW IV
285,854,710,969
18 Desember 2007
DBH PKP2B TRW IV
424,786,581,062
18 Desember 2007
3,458,187,182,946
18 Desember 2007
43,247,880,423
18 Desember 2007
1,243,002,482,215
19 Desember 2007
2,627,201,153
19 Desember 2007
77,527,662,356
28 Desember 2007
3,370,055,298,506
28 Desember 2007
734,359,691,458
28 Desember 2007
DBH PERIKANAN TRW IV
DBH KUASA PERTAMBANGAN TRW IV
41
DBH PPh TRW IV
42
DBH KURANG BAYAR PERPAJAKAN TA 2005 DAN 2006
43
DBH PBB TAHAP III
44
DBH BPHTB TAHAP III
45
ESCROW Perikanan
46
ESCROW Migas
47
ESCROW Kehutanan
Sumber : Direktorat Pelaksanaan Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan 2008.
Sampai dengan tahun 2007 hanya DBH PBB dan BPHTB yang dapat disalurkan tepat waktu oleh pemerintah pusat, sedangkan DBH yang lainnya masih mengalami keterlambatan. Untuk DBH Perpajakan bidang PPh masih ditemukan adanya kurang bayar tahun 2005 dan 2006 sebesar Rp. 43.247.880.423, sehingga Direktorat Jenderal Perbendaharaan menerbitkan DIPA untuk menutupi kekurangan tersebut pada tanggal 18 Desember 2007. Problem lainnya juga terjadi atas DBH SDA bidang Perikanan, migas dan kehutanan yang belum bisa disalurkan hingga tahun anggaran
hampir berakhir. Hal itu disebabkan belum adanya rekonsiliasi antara departemen teknis, daerah penghasil dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan. Karena sistem anggaran kita tidak membolehkan dana tahun lalu dicairkan tahun berikutnya maka untuk menghindari hangusnya dana tersebut di ambil kebijakan untuk menerbitkan DIPA ESCROW atas dana-dana tersebut, dengan rincian untuk bidang perikanan
sebesar
Rp.
77.527.662.356,
untuk
bidang
migas
sebesar
Rp.
3.370.055.298.506 dan bidang kehutanan sebesar Rp. 734.359.691.458. Keterlambatan DBH dinilai membuat pembangunan di daerah tidak berjalan lancar. Dana yang harusnya bisa dialokasikan untuk triwulan I, misalnya, baru dibayarkan pada triwulan II dan begitu juga bila dana itu digunakan untuk triwulan II, baru diberikan di triwulan III. Pembayaran yang seharusnya dilakukan per triwulan
atau
mencapai cash
flow
per
enam
1
bulan.
daerah,
April, Hal
selalu itu
khususnya
meleset.
Bahkan
keterlambatan
bisa
berdampak
terhadap
aliran
atau
daerah
dengan APBD
yang
dana
mengandalkan
dari sektor dana bagi hasil yaitu daerah daerah yang kaya migas seperti (NAD, Papua, Riau, dan Kaltim). Keterlambatan ini juga merupakan penyebab utama banyaknya dana daerah yang tidak termanfaatkan secara optimal dan akhirnya ditemukan banyaknya dana pemerintah daerah yang tersimpan di bank dalam berbagai bentuk. Bahkan seandainya dilakukan survey mendalam mungkin akan ditemukan bahwa semua pemda mempunyai SBI karena untuk menyimpan DBH mereka yang turun di akhir tahun dan tidak ada waktu untuk memanfaatkannya karena tahun anggaran hampir atau segera berakhir. Berikut ini perhitungan APBD 2 (dua) di antara daerah yang kaya tersebut yaitu ringkasan dari APBD sepropinsi Riau tahun 2007 dan APBD sepropinsi Kalimantan Timur tahun 2007. APBD Tahun 2007 Total Se-Provinsi Riau (dalam juta rupiah) KODE 1 1.1 1.1.1 1.1.2
DESKRIPSI PENDAPATAN DAERAH Pendapatan asli daerah Pajak daerah Retribusi daerah
NILAI 14.915.545,70 1.691.632,74 930.763,14 174.102,65
1.1.3 1.1.4 1.2 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4 1.3 1.3.1 1.3.2 1.3.3 1.3.4 1.3.5 1.3.6 2 2.1 2.1.1 2.1.2 2.1.3 2.1.4 2.1.5 2.1.6 2.1.7 2.1.8 2.1.9 2.2 2.2.1 2.2.2 2.2.3 3 3.1 3.2
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah Dana perimbangan Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak Dana alokasi umum Dana alokasi khusus Lain-lain Lain-lain pendapatan daerah yang sah Hibah Dana darurat Dana bagi hasil pajak dari Propinsi dan Pemda lainnya Dana penyesuaian dan otonomi khusus Bantuan keuangan dari Propinsi atau Pemda lainnya Lain-lain pendapatan daerah yang sah BELANJA DAERAH Belanja tidak langsung Belanja pegawai Belanja bunga Belanja subsidi Belanja hibah Belanja bantuan sosial Belanja bagi hasil kpd Prop/Kab/Kota dan Desa Belanja bantuan keuangan kpd Prop/Kab/Kota dan Desa Belanja tidak terduga Lain-lain Belanja langsung Belanja pegawai Belanja barang dan jasa Belanja modal Surplus/(Defisit) PEMBIAYAAN DAERAH Penerimaan pembiayaan Pengeluaran pembiayaan
246.573,19 340.193,77 12.884.828,17 9.974.351,86 2.629.743,40 280.732,91 0,00 339.084,79 2.000,00 2.000,00 251.634,62 61.862,17 21.500,00 88,00 20.075.815,40 5.465.594,17 3.467.351,20 1.753,51 17.547,02 14.958,05 1.186.230,61 329.803,19 390.717,10 57.233,50 0,00 14.610.221,23 1.972.274,04 3.357.096,13 9.280.851,06 -5.160.269,70 6.945.406,38 7.935.811,01 990.404,63
Sumber: Ringkasan Buku APBD
APBD Tahun 2007 Total Se-Provinsi Kalimantan Timur (dalam juta rupiah) KODE DESKRIPSI 1 PENDAPATAN DAERAH
NILAI 16.889.409,93
1.1 1.1.1 1.1.2 1.1.3 1.1.4 1.2 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4 1.3 1.3.1 1.3.2 1.3.3 1.3.4 1.3.5 1.3.6 2 2.1 2.1.1 2.1.2 2.1.3 2.1.4 2.1.5 2.1.6 2.1.7 2.1.8 2.1.9 2.2 2.2.1 2.2.2 2.2.3 3 3.1 3.2
Pendapatan asli daerah Pajak daerah Retribusi daerah Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah Dana perimbangan Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak Dana alokasi umum Dana alokasi khusus Lain-lain Lain-lain pendapatan daerah yang sah Hibah Dana darurat Dana bagi hasil pajak dari Propinsi dan Pemda lainnya Dana penyesuaian dan otonomi khusus Bantuan keuangan dari Propinsi atau Pemda lainnya Lain-lain pendapatan daerah yang sah BELANJA DAERAH Belanja tidak langsung Belanja pegawai Belanja bunga Belanja subsidi Belanja hibah Belanja bantuan sosial Belanja bagi hasil kpd Prop/Kab/Kota dan Desa Belanja bantuan keuangan kpd Prop/Kab/Kota dan Desa Belanja tidak terduga Lain-lain Belanja langsung Belanja pegawai Belanja barang dan jasa Belanja modal Surplus/(Defisit) PEMBIAYAAN DAERAH Penerimaan pembiayaan Pengeluaran pembiayaan
1.520.267,50 856.718,42 247.612,42 90.759,26 325.177,40 14.225.429,33 10.853.824,21 3.017.915,00 353.690,12 0,00 1.143.713,09 6.100,81 3.500,00 286.668,14 24.500,00 820.599,82 2.344,32 22.260.455,01 5.585.198,69 2.930.098,24 24.481,64 9.375,00 129.825,74 947.651,73 423.598,05 1.030.514,04 89.654,25 0,00 16.675.256,32 1.598.185,99 4.093.128,11 10.983.942,22 -5.371.045,08 5.775.231,16 6.531.946,82 756.715,66
Sumber: Ringkasan Buku APBD
Dari tabel diatas terlihat bahwa untuk wilayah se propinsi Riau sumber APBDnya 66,88% adalah dana bagi hasil .Demikian halnya dengan Propinsi Kalimantan Timur sumber APBD nya 64,27 % berasal dari dana bagi hasil. Karena begitu besarnya
presentase DBH terhadap APBD maka kelambatan atas penerimaan bagian DBH dimaksud sangat mempengaruhi kelancaran pembangunan di daerah-daerah yang kaya SDA. Bahkan banyak pengamat ekonomi mengatakan bahwa daerah-daerah yang surplus bagi hasilnya justru mengalami kelambanan dalam pembangunan daerahnya yang disebabkan kelambatan dari pemerintah dalam menyalurkan DBH bagian daerah. Penyaluran ke daerah yang tidak on time mengakibatkan seringnya keluhan daerah yang menganggap model serta mekanisme bagi hasil SDA tidak transparan. Daerah tidak dapat mengetahui bagaimana mekanisme produksi, biaya produksi dan penjualan dari hasil sumber daya alam.. Model Baru Penyaluran DBH. Kalau di lihat dari hal-hal tersebut di atas, sampai saat ini PBB dan BPHTB merupakan mekanisme yang dianggap paling bagus dan efektif sehingga sampai saat ini memang tidak menimbulkan problem ataupun sudah dianggap sebagai mekanisme yang paling bagus, namun jika dicermati lebih mendalam dan kajian khusus maka bisa ditemukan belum tepatnya system tersebut. Perlu diketahui PBB sendiri mempunyai beberapa sektor yi : Sektor pertambangan 70 % bag Direktorat Jenderal Pajak, 30% bagian daerah, sektor kehutanan 65% Direktorat Jenderal Pajak dan 35% bagian daerah, sektor perkotaan 20% Direktorat Jenderal Pajak, 80% bagian daerah, sektor perdesaan 10% Direktorat Jenderal Pajak, 90% daerah, sector perkebunan 40% bagian Direktorat Jenderal Pajak dan 60 % untuk bagian daerah. Tiga sektor terakhir dan BPHTB layak di daerahkan karena sifat dan naturenya tetap. Pemerintah pusat hanya mengadministrasikannya melalui KPPN selaku institusi Perbendaharaan di daerah, jadi pemerintah pusat tahu seberapa besar kekuatan daerah. Agar pembagian dan penyaluran DBH PPh pasal 21 dan PPh pasal 25/29 WPOPDN bagian pemerintah daerah tidak mengalami keterlambatan, hendaknya diikuti model penyaluran DBH PBB dan BPHTB dengan sedikit modifikasi terutama untuk DBH PPh pasal 25/29 karena adanya kemungkinan adanya restitusi kepada wajib pajak. Dengan mengacu pada mekanisme PBB dan BPHTB maka akan dapat memperpendek jalur penyaluran juga mempercepat proses penyaluran ke masing-masing rekening kas
daerah bersangkutan sehingga daerah dapat menerima DBH PPh tepat waktu serta menghindari adanya kelebihan bayar sebagaimana saat ini lazim terjadi bagi daerahdaerah yang alokasi definitifnya lebih rendah dari alokasi sementaranya. Seperti halnya DBH yang lain, mekanisme
SDA juga selayaknya
mengadopsi system PBB dan BPHTB dengan didahului pendalaman dan pengkajian yang mendalam. Hendaknya peraturan tentang tatacara penghitungan dan pembagian diatur secara terbuka dan transparan untuk dilaksanakan di KPPN dan diketahui oleh semua pihak. Mekanismenya sebagai berikut : 1. Daerah penghasil/ rekanan
menyetor hasil SDA ke rekening Kas Negara dan
melaporkan kepada KPPN selaku institusi perbendaharaan didaerah atas penyetoran yang dilakukan. 2. KPPN melakukan verifikasi atas penyetoran tersebut, dan melakukan rekonsiliasi dengan dinas terkait dengan waktu yang ditentukan, misalnya seperti yang dilakukan saat ini. Rekonsiliasi dilakukan dengan instansi terkait dengan KPPN tiap bulan. Setelah rekonsiliasi dilakukan dibuat berita acara dan ditanda-tangani oleh masingmasing pihak. 3. Hendaknya dengan berita acara tersebut KPPN diberi wewenang untuk melakukan transfer atas bagian-bagian pihak yang terkait : pemerintah daerah penghasil, non penghasil dan pemerintah pusat sesuai dengan porsi pembagian dana bagi hasil. 4. KPPN dan instansi terkait melaporkan berita acara dimaksud ke menteri keuangan dan menteri Energi Sumber Daya Mineral dan Pemerintah daerah terkait. 5. Di akhir tahun pemerintah pusat (Departemen Keuangan dan Departemen Energi Sumber Daya Mineral) melakukan penetapan atas pagu difinitif dan melakukan rekonsiliasi data berapa sebenarnya hak atas DBH SDA, jika ditemukan adanya kekurangan penyaluran maka pemerintah pusat akan melalukan klarifikasi atas kekurangan tersebut. Kalau hal ini disebabkan kelebihan target maka atas pemerintah daerah dimaksud berhak atas insentif dan melakukan transfer atas kekurangan dimaksud. Sebaliknya jika ada kelebihan penyaluran maka bisa diperhitungkan tahun berikutnya. Dengan system tersebut diharapkan tranparasi good governance terjadi, begitu juga ketepatan dan kecepatan atas penyaluran DBH
pun terjadi sehingga daerah dapat
menghitung dengan tepat berapa dana yang dimiliki untuk melakukan pembangunan di daerahnya. Selanjutnya DBH bisa termanfaatkan secara optimal dalam pembangunan daerah. Wallahu alam.
Referensi: 1. Blakley, E, (1989), Planning Local Economic Development : Theory and Practices “ California : Sage Oublication, Inc 2. Darise N (2006), Pengelolaan Keuangan Daerah, PT Indeks 2006. 3. Depkeu, Nota Keuangan dan UU RI No. 19 tahun 2001 tentang APBN Ta.2002. 4. Depkeu, Nota Keuangan dan UU nomor 18 tahun 2006 tentang APBN 2007 5. Hofman, B and Kaiser, K, (2004) “ The Making of Big Bang and its Aftermath : A Political Economy Perpective” Georgia : Andrew Young School of Policy Studies. Georgia State University 6. Ismail, M, (2002). “ Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah”. Malang : FE Unibraw 7. Kuncoro, M., (2004) “ Otonomi Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang”. Jakarta : Penerbit Erlangga 8. Lembaga Administrasi Negara dan BPKP (2000), Akuntabilitas dan good governance. 9. Sadu Wasistiono (2003), Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah, Fokusmedia, Bandung 10. Siregar, R.Y., (2001) “ Survey of Recent Developmenta” Bulletin of Indonesia Economic Studies, Vol 37, No.3 (Desember 2001) 11. Soemitro RH, (1994), Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. 12. Usman, S., (2001) “ Indonesia’s Decentralizing Policy : Initial Experiences and Emerging Problems” Semetu Working Paper. 13. World Bank., (2003 A). “ Decentralizing Indonesia : A Regional Public Expenditure Review Overview Report” Report No.26191
Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Informasi Perpajakan Akuntansi dan Keuangan Publik, Universitas Trisakti, Vol 3 No.1, Januari, 2008