NURANI – Advokat Indonesia Geger Meruya Tiba-tiba Meruya Selatan jadi pusat perhatian. Ribuan warga terusik putusan pengadilan untuk mengeksekusi puluhan hektare lahan di lokasi pemukiman mereka. Geger Meruya Selatan berada di ranah hukum, lalu melingkar-lingkar dalam berbagai kepentingan secara politik dan bisnis. Bagi ribuan pemukim di sana, soal lahan itu merupakan hajat hidup yang tak mungkin ditawar-tawar siapapun. Mereka tak paham, kenapa harus terancam dari kawasan pemukiman yang mereka miliki secara sah selama bertahun-tahun, tanpa ada yang mengusik. Warga gelisah. Sebuah putusan hukum dari lembaga peradilan tertinggi di negeri ini mereka rasakan hanya berpihak untuk kepentingan pemilik modal. Putusan hukum itu memang telah inkrah, telah berkekuatan hukum tetap. Padahal, warga yakin, memiliki tanah dengan alas hak lebih kuat, dan dijamin hukum administrasi pertanahan di negeri ini. Namun mereka tetap ragu, para eksekutor menyingkirkan mereka dari Meruya Selatan. Persepsi warga dipelihara dan didukung pemerintah setempat. Gubernur Sutiyoso lantang menunjukkan dukungan dan empati. Perlawanan secara sosial dan politik pun digalang. Drama pada hari-hari menjelang eksekusi menjadi tontonan sepanjang hari. Layar berbagai stasiun televisi dan halaman-halaman media cetak nasional tak henti menyorot Meruya Selatan sebagai isu sosial berkualifikasi hukum yang menggugah perhatian berbagai kalangan. Para politisi, elit politik nasional, selebriti, para birokrat dan tokoh senior hukum mengumbar berbagai pernyataan di media. Mereka ramai-ramai menghujat Mahkamah Agung dan PT Portanigra. Eksekusi sebuah perkara hukum, menjadi drama sosial dan politik yang mengusik nurani kita. Kasus Meruya Selatan, sesungguhnya hanya sebuah perkara di belantara sengkarut administrasi pertanahan di negeri ini. Upaya mengurai kasus Meruya Selatan secara politik, mengantarkan Portanigra yang memenangkan perkara itu di tingkat Kasasi pada situasi nyata, agar dapat menguasai lahan mereka. Yan Juanda Saputra, selaku kuasa hukum, berkali-kali menyebutkan kliennya berposisi sama dengan warga. Sebagai korban. Mereka sama-sama ditipu makelar tanah yang telah dipidana akibat perbuatan mereka, bertahun-tahun lalu. Pemilik Portanigra Benny Purwanto Rachmat juga angkat bicara. Di depan sidang Komisi II DPR Benny menawarkan jalan tengah. Bagi warga yang telah
memiliki sertifikat tanah sebelum tahun 1997—setelah surat-surat tanah dijadikan sita jaminan oleh pengadilan—tak disentuh. Tapi bagi yang memiliki sertifikat setelah 1997, Benny mengajak mereka untuk sama-sama menggugat pihak-pihak yang telah merugikan mereka. Tapi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan komunitas warga Meruya Selatan, yang sebelumnya mengadu ke parlemen, memilih melakukan perlawanan secara hukum. Geger tanah Meruya Selatan yang duapuluhan tahun disengketakan, kini masuk ke babak sengketa baru. Saling adu argumen untuk sebuah kepastian hukum. Empati Gubernur Sutiyoso pada warganya, kongsi Komisi II dan III DPR RI dan berbagai upaya lain yang dilakukan pihak-pihak bersengketa selama ini, sejak pekan terakhir Mei lalu beralih ke ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Rasa keadilan masyarakat, keputusan hukum yang berkekuatan tetap, kini diuji majelis hakim yang tak lepas dari sengatan tekanan warga dan bayangbayang ketakutan adanya tradisi praktik bisnis putusan hukum di berbagai jenjang peradilan. Meruya Selatan, semula sangat seksi bagi para politisi, yang berlomba tunjukkan simpati pada warga yang terancam dieksekusi. Kini warga dan Pemprov DKI menempuh jalan sendiri. Mereka melawan putusan kasasi. Apa pun putusan hukum nanti, kita berharap nurani para penegak hukum dan kalangan birokrasi tergugah. Mengintrospeksi apapun kesalahan yang ada di masa lalu. Bukan hanya bersilat lidah, dan membuat gelisah para pemilik tanah. Kita bermimpi, Portanigra dan warga Meruya mendapat jalan tengah. Kita juga tidak inginkan proses peradilan itu merupakan persimpangan lain, yang akan memaksa parapihak mengais-ngais lagi berbagai kemungkinan, untuk berupaya mencari dan menempuh upaya hukum baru. Wallahualam. Nashrun Marzuki