BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ba’i al-Wafa’ Secara etimologis, al’ba’i berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan hutang. Ba’i al-wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di Asia Tenggara (Bukhara dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijriah dan merambat ke Timur Tengah. Secara terminologis Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Ba’i al-wafa’/jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba.1 Menurut Dr. Nasrun Haroen, ba’i alwafa’ adalah jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi denga syarat bahwa yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba. Artinya, jual beli ini mempunyai tenggang waktu yang terbatas, misalnya satu tahun, sehingga apabila waktu tahun telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya. Misalnya, Ruslan sangar memerlukan uang saat ini, lalu ia menjual sawahnya seluas dua hektar kepada Riadi seharga Rp 10.000,selama dua tahun. Mereka sepakat menyatakan bahwa apabila tenggang waktu dua tahun itu telah habis, maka Ruslan akan membeli sawah itu kembali seharga itu penjualan semula, yaitu Rp 10.000,- kepada Riadi. Disebabkan akad yang digunakan adalah akad jual beli, maka tanah sawah boleh dieksploitasi Riadi selama dua tahun itu dan dapat ia manfaatkan sesuai dengan kehendaknya, sehingga tanah sawah itu menghasilkan keuntungan baginya. Akan tetapi, tanah sawah itu tidak boleh dijual kepada orang lain. Mustafa Ahmad al-Zarqa’ mengatakan, bahwa barang yang diperjualbelikan dalam ba’i al-wafa’ adalah barang tidak bergerak, seperti tanah perkebunan, rumah, tanah, perumahan dan sawah.
1
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012),
Jual beli ini muncul dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjammeminjam. Banyak di antara orang kaya ketika ia tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara, banyak pula peminjam uang yang tidak mampu melunasi uangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Di sini lain imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang ini, menurut ulama termasuk riba. Dalam menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan ba’i al-wafa’.2 Begitu juga dalam hukum positif Indonesia ba’i al-wafa’ telah diatur, dalam Kompilasi Hukum Syariah Pasal 112 s/d 115. Pasal 112 1) Dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan, penjual dapat uang seharga barng yang dijual dan menuntut barangnya dikembalikan. 2) Pembeli sebagaimana diatur dalam ayat (1) berkewajiban mengembalikan barang dan menuntut uangnya kembali seharga barang itu. Pasal 113 Barang dalam jualvbeli yang bergantung pada hak penebusan, tidak boleh dijual kepada pihak lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli, kecuali ada kesepakatan di antara para pihak. Pasal 114 1) Kerugian barang dalam jual beli dengan hak penebusan adalah tanggung jawab pihak yang menguasainya. 2) Penjual dalam jual beli dengan hak penebusan berhak untuk membeli kembali atau tidak terhadap barang yang telah rusak. Pasal 115 Hak membeli kembali dalam ba’i al-wafa’ dapat diwariskan.
2
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007, hlm 153.
DAFTAR PUSTAKA Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2012)