Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 - Badan Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan umum tahun 1955 dipersiapkan untuk merumuskan undang-undang dasar konstitusi yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Pada tanggal 20 November 1956 Dewan Konstituante memulai persidangannya dengan pidato pembukaan dari Presiden Soekarno. Sidang yang akan dilaksanakan oleh anggota-anogota Dewan Konstituante adalah untuk menyusun dan menetapkan Republik Indonesia tanpa adanya pembatasan kedaulatan. Sampai tahun 1959, Konstituante tidak pemah berhasil merumuskan undang-undang dasar baru. Keadaan seperti itu semakin mengguncangkan situasi Indonesia. Bahkan masing-masing partai politik selalu berusaha untuk mengehalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Sementara sejak tahun 1956 situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah mulai bengolak, serta memperlihatkan gejala-gejala separatisme. Seperti pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, Dewan Garuda. Dewan Lambung- Mangkurat dan lain sebagainya. Daerahdaerah yang bergeolak tidak mengakui pemerintah pusat, bahkan mereka membentuk pemerintahan sendiri. Seperti Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia PRRI di Sumatra dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas sementara itu, rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi. Kegagalan Konstituante dalam membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutaan konstitusional. Undang-undang dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi. Konsepsi Presiden menginginkan terbentuknya kabinet berkaki empat (yang terdiri dari empat partai terbesar seperti PNI, Masyumi NU, dan PKI) dan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan fungsional yang berfungsi sebagai penasihat pemerintah. Ketua dewan dijabat oleh presiden sendiri. Konsepsi yang diajukan oleh Presiden Soekarno itu ternyata menimbulkan perdebatan. Berbagai argumen antara pro dan kontra muncul. Pihak yang menolak konsepsi itu menyatakan, perubahan yang mendasar dalam sistem kenegaraan hanya bisa dilaksakanakan oleh Konstituante. Sebaliknya yang menerima konsepsi itu beranggapan bahwa krisis politik hanya bisa diatasi jika konsepsi itu dilaksanakan. Pada tanggal 22 April 1959, di depan sidang Konstituante Presiden Soekarno menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara Republik Indonesia. Menanggapi pemyataan itu, pada tanggal 30 Mei 1959, Konstituante mengadakan sidang pemungutan suara. Hasil pemungutan suara itu menunjukkan bahwa mayoritas anggota Konstituante menginginkan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar Republik Indonesia. Namun jumlah anggota yang hadir tidak mencapai dua pertiga dari jumlah anggota Konstituante, seperti yang dipersyaratkan pada Pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara diulang sampai dua kali. Pemungutan suara yang terakhir diselenggarakan pada tanggal 2 Juni 1959, tetapi juga mengalami kegagalan dan tidak dapat memenuhi dua pertiga dari jumlah suara yang dibutuhkan. Dengan demikian, sejak tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (istirahat). Untuk menghindari terjadinya bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik maka pengumuman istirahat Konstituante diikuti dengan larangan dari Penguasa Perang Pusat untuk melakukan segala bentuk kegiatan politik.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi sebagai berikut.
Pembubaran Konstituante. Beriakunya Kembali UUD 1945. Tidak berlakunya UUDS 1950. Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indone-sia, sedangkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI-AD untuk mengamankan Dekrit Presiden.
1. Pengertian Sistem Pemerintahan Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif (Sri Soemantri, 1981:76). Sir Walter Bagehot (1955) kemudian membedakan antara sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Meskipun sebenarnya Bagehot hanya sekedar mencoba untuk memperbandingkan antara sistem yang berlaku di Inggris dan di Amerika Serikat, namun pembedaan ini lalu menjadi klasifikasi pokok bagi sistem pemerintahan itu sendiri. Namun demikian uraian tentang sistem pemerintah Indonesia di sini akan sedikit diperluas. Tidak hanya meliputi hubungan antara Presiden yang merupakan lembaga eksekutif dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif semata. Uraian di sini juga akan meliputi penjelasan sekedarnya tentang lembaga-lembaga ketatanegaraan Indonesia yang lain.
SISTEM
PEMERINTAHAN
INDONESIA
Berdasarkan undang – undang dasar 1945 sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. 2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas) 3. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat. 4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR. Dalam menjalankan pemerintahan Negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan prsiden. 5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang – undang dan untuk menetapkan anggaran dan belanja Negara. 6. Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan mentri Negara. Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. 7. Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan dengan sungguh – sungguh usaha DPR. Kekuasaan pemerintahan Negara Indonesia menurut undang–undang dasar 1 sampai dengan pasal 16. pasal 19 sampai dengan pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), serta pasal 24 adalah: 1. Kekuasaan menjalan perundang – undangan Negara atau kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh pemerintah. 2. Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah atau kekuasaan konsultatif yang dilakukan oleh DPA. 3. Kekuasaan membentuk perundang – undang Negara atau kekuasaan legislatif yang dilakukan oleh DPR. 4. Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara atau kekuasaan eksaminatif atau kekuasaan inspektif yang dilakukan oleh BPK.
5. Kekuasaan mempertahankan perundang – undangan Negara atau kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA. Berdasarkan ketetapan MPR nomor III / MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga tertinggi Negara dengan atau antara Lembaga – lembaga Tinggi Negara ialah sebagai berikut: 1. Lembaga tertinggi Negara adalah majelis permusyawaratan rakyat. MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara dengan pelaksana kedaulatan rakyat memilih dan mengangkat presiden atau mandataris dan wakil presiden untuk melaksanakan garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan putusan – putusan MPR lainnya. MPR dapat pula diberhentikan presiden sebelum masa jabatan berakhir atas permintaan sendiri, berhalangan tetap sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, atau sungguh – sungguh melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR. 2. Lembaga – lembaga tinggi Negara sesuai dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 ialah presiden (pasal 4 – 15), DPA (pasal 16), DPR (pasal 19-22), BPK (pasal 23), dan MA (pasal 24). a. Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR. Dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden atas nama pemerintah (eksekutif) bersama – sama dengan DPR membentuk UU termasuk menetapkan APBN. Dengan persetujuan DPR, presiden dapat menyatakan perang. b. Dewan pertimbangan Agung (DPA) adalah sebuah bahan penasehat pemerintah yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presien. Selain itu DPA berhak mengajukan pertimbangan kepada presiden. c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh masyarakat berkewajiban selain bersama – sama dengan presiden membuat UU juga wajib mengawasi tindakkan – tindakan presiden dalam pelaksanaan haluan Negara. d. Badan pemeriksa keuangan (BPK) ialah Badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. BPK memriksa semua pelaksanaan APBN. Hasil pemeriksaannya dilaporkan kepada DPR. e. Mehkamah Agung (MA) adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya. MA dapat mempertimbangkan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak diminta kepada kepada lembaga – lembaga tinggi Negara. Untuk memperjelas bagaimana hubungan antara lembaga tertinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara dan lembaga tinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara lainnya menurut UUD 1945, perhatikan dengan seksama bagan – bagan dibawah ini yang di elaborasi oleh kansil.: EKSEKUTIF Kekuasaan pemerintah (eksekutif) diatur dalam UUD 1945 pada BAB II pasal 4 sampai dengan pasal 15. Pemerintahan republic Indonesia terdiri dari Aparatur pemerintah republic Indonesia terdiri dari Aparatur Pemerintah Pusat, Aperatur Pemrintah daerah dan usaha – usaha Negara.Aperatur pemrintah pusat terdiri dari : a. Kepresidenan beserta Aparatur utamanya meliputi : 1) Presiden sebagai kepala Negara merangkap kepala pemerintahan (eksekutif). 2) Wakil presiden 3) Menteri – menteri Negara / lembaga non departemen. Menurut keputusan prsiden Republik Indonesia nomor 102 Tahun 2001 tanggal 13 september 2001 bahwa departemen merupakan unsure pelaksana pemerintah yang di pimpin oleh seorang menteri Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Departemen luar negeri, departemen pertahanan dan dewpartemen lainnya. 4) Kejaksaan agung 5) Sekretariat Negara 6) Dewan – dewan nasional 7) Lembaga – lembaga non departemen menurut keputusan presiden RI nomor 166 tahun 2000, seperti publik Indonesia (ANRI), LAN, BKN, dan perpunas, dan lain – lain. 2. Perbandingan antara Indische Staatsregeling dengan UUD 1945 Rupanya secara umum telah diyakini bahwa sistem pemerintahan Indonesia menurut UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945) itu adalah sistem presidensial. Keyakinan ini secara yuridis samasekali tidak berdasar. Tidak ada dasar argumentasi yang jelas atas keyakinan ini. Apabila diteliti kembali struktur dan sejarah penyusunan UUD 1945 maka tampaklah bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 itu adalah sistem campuran. Namun
sistem campuran ini bukan campuran antara sistem presidensial model Amerika Serikat dan sistem parlementer model Inggris. Sistem campuran yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan campuran model Indische Staatsregeling (‘konstitusi’ kolonial Hindia Belanda) dengan sistem pemerintahan sosialis model Uni Sovyet. Semua lembaga negara kecuali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan turunan langsung dari lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda dahulu, yang berkembang melalui pengalaman sejarahnya sendiri sejak zaman VOC. Sementara itu, sesuai dengan keterangan Muhammad Yamin (1971) yang tidak lain adalah pengusulnya, MPR itu dibentuk dengan mengikuti lembaga negara Uni Sovyet yang disebut Sovyet Tertinggi. Secara ringkas, maka apabila lembagalembaga pemerintahan Hindia Belanda menurut Indische Staatsregeling dan lembaga-lembaga negara Indonesia menurut UUD 1945 tersebut disejajarkan, maka akan tampak sebagai berikut: Majelis Permusyawaratan Rakyat Presiden/Wakil Presiden Dewan Pertimbangan Agung Dewan Perwakilan Rakyat Badan Pemeriksa Keuangan Mahkamah Agung
Sovyet Tertinggi Gouverneur Generaal/ Luitenant Gouverneur Generaal Raad van Nederlandsch-Indie Volksraad Algemene Rekenkamer Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie
3. Hubungan antara Presiden dengan DPR Alur berpikir seperti terurai di atas dapatlah membantu kita untuk memahami mengapa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu memiliki kekuasaan yang luar biasa besar. Hal ini dapat dimengerti, sebab Gouverneur Generaal, yang kekuasaannya ditiru oleh UUD 1945 dalam bentuk kekuasaan Presiden itu, adalah viceroy Belanda. Di tangan Gouvernuer Generaal-lah, kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda itu terletak. Atas dasar itulah maka dapat dimengerti bahwa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu relatif omnipotent. Di lain pihak, DPR yang merupakan turunan Volksraad-pun tidak dapat melepaskan diri dari sifatsifat Volksraad itu sendiri. Volksraad pada masa penjajahan Belanda itu dibentuk sebagai ‘wakil’ rakyat Hindia Belanda, yang berhadapan dengan Gouverneur Generaal yang mewakili Mahkota Belanda itu. Fungsi Volksraad dengan demikian pertama-tama adalah sebagai lembaga pengawas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bukan sebagai lembaga legislatif. Lembaga legislatif Hindia Belanda tetaplah Gouverneur Generaal itu sendiri. Pola hubungan ini diikuti oleh UUD 1945 (sebelum amandemen). DPR pertama-tama adalah lembaga pengawas Presiden, dan bukan lembaga legislatif. Lembaga legislatif menurut UUD 1945 adalah Presiden (bersama dengan DPR). Namun dalam Sidangnya pada tanggal 19 Oktober 1999 MPR membatasi kekuasaan Presiden, dan mengalihkan kekuasaan legislatif dari Presiden bersama DPR tersebut kepada DPR (bersama Presiden). Konstruksi konstitusional ini lebih mirip dengan konstruksi model Inggris. Kekuasaan legislatif di Inggris sepenuhnya ada di tangan Parliament, meskipun pengesahan secara nominal tetap ada di tangan Raja. Presiden dengan demikian bertindak sebagai the ‘royal’ gouvernment, dan DPR bertindak sebagai the loyal opposition. 4. Kedudukan MPR Pada awalnya MPR mempunyai fungsi yang presis sama dengan fungsi Sovyet Tertinggi di Uni Sovyet atau Majelis Nasional di Republik Tiongkok (yang masih lestari berlaku di Taiwan dan Republik Rakyat Cina itu). MPR seperti halnya Sovyet Tertinggi maupun Majelis Nasional merupakan pelaksana Kedaulatan Rakyat. Dalam rangka itu MPR membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi pedoman kerja pemerintahan selama lima tahun ke depan. Akan tetapi MPR pada prinsipnya tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan yang sebenarnya merupakan kewenangannya itu. Untuk itu maka MPR memberikan mandat pemerintahan itu kepada Kepala Negara (yang bergelar Presiden itu). Itu sebabnya maka maka Kepala Negara merupakan Mandataris MPR, yang tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Hal inilah yang mendasari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas pemerintahan di Indonesia itu. Hal ini mirip dengan sistem di Uni Sovyet pula. Sovyet Tertinggi menyerahkan mandat pemerintahan kepada Presidium Sovyet Tertinggi, yang bersifat kolektif itu (Denisov, A. dan M. Kirichenko, 1960).
Lebih jauh, dengan demikian tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa Presiden itu berfungsi sebagai Kepala Negara seperti halnya sistem presidensial model Amerika Serikat (Thomas James Norton, 1945). Berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945, MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi. Untuk kemudian MPR mengangkat Kepala Negara yang bergelar Presiden itu. Dengan demikian jabatan yang menjalankan pemerintahan itu adalah Kepala Negara, sedangkan Presiden itu hanyalah gelar dari Kepala Negara Indonesia semata. Sebaliknya tidak tepat pula apabila dikatakan bahwa Presiden Indonesia itu juga merangkap sebagai Kepala Pemerintahan seperti Perdana Menteri Inggris (William A. Robson, 1948 dan Wade, E.C.S & Godfrey Phillips, 1970). Hal ini mengingat bahwa Presiden Indonesia itu mendapat mandat pemerintahan dari Pemegang Kedaulatan Rakyat, dan bukan dari Parlemen. Namun politik hukum Indonesia sejak Masa Reformasi telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara signifikan. Ada upaya untuk melakukan amerikanisasi sistem pemerintahan Indonesia. Sejak awal masa Reformasi, ada upaya nyata untuk menghapus eksistensi MPR ini, dan diubah menjadi sistem pemerintahan model Amerika Serikat. Pada ini muncul lembaga negara yang samasekali baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Secara politis, lembaga ini merupakan akomodasi dari hilangnya Fraksi Daerah dalam susunan MPR. Akan tetapi dari sudut kelembagaan itu sendiri, lembaga baru ini menjadi semacam lembaga Senate dalam susunan Congressdi Amerika Serikat. Dengan demikian susunan MPR itu sendiri terdiri atas DPR dan DPD, mirip dengan susunan Congress, yang terdiri atas Senate dan House of Representatives itu. Bedanya, DPD di Indonesia itu tidak diberi kewenangan apapun, kecuali hanya memberi usulan dan pertimbangan. Sesuatu yang sangat tidak efisien dan efektif. Masalahnya mengapa Indonesia harus mengacu pada sistem Amerika Serikat? Entahlah. Seringkali muncul pertanyaan ironik: mengapa sistem pemerintahan Indonesia tersebut tidak mengacu saja pada Uganda atau Nepal misalnya, sebagai sesama negara yang berdaulat? 5. Eksistensi Penasehat Presiden Reformasi sistem pemerintahan Indonesia di Masa Refomasi seperti terurai di atas ditandai pula dengan sebuah dagelan konstitutif. Melalui Amandemen Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga pemasehat Presiden dihapus. Namun pada saat yang sama dibentuklah Dewan Pertimbangan Presiden (DPP). Masalahnya, perbedaan antara kedua lembaga ini hanya pada istilah ‘Agung’ dan istilah ‘Presiden’ semata. Tidak lebih, tidak kurang. Hal ini menunjukkan bahwa perancang perubahan ini samasekali tidak mengacu pada sejarah lembaga prestisius ini, dan rupanya juga tidak pernah mempelajari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967, tentang Dewan Pertimbangan Agung itu sendiri. Perlu diketahui bahwa lembaga pemasehat Kepala Negara semacam ini merupakan suatu lembaga kenegaraan purba yang telah ada sejak masa Romawi dahulu. Para kaisar Romawi itu senantiasa didampingi oleh sekelompok penasehat yang tergabung dalam Curia Regis. Lembaga pendamping Kepala Negara ini tetap bertahan hingga dewasa ini di pelbagai negara. Di Inggris terdapat Privy Council yang merupakan pendamping Kepala Negara Inggris (King/Queen). Pada masa sebelum Revolusi Perancis dikenal lembaga conseil du roy, yang pada masa Napoleon diganti menjadi conseil d’etat. Di Belanda terdapat Raad van State, dan di Malaysia serta di Brunai dikenal lembaga Dewan Raja. Pada hakekatnya bersama dengan kepala negara, lembaga penasehat ini merupakan sistem pemerintahan purba. Sistem pemerintahan ini baru memiliki sistem pemerintahan pembanding sejak munculnya teori Trias Politika, yang diterapkan di Amerika Serikat atas dasar Konstitusi Amerika Serikat itu sendiri. Pada saat membentuk sistem organisasi dagangnya VOC-pun juga mengikuti pola ini. Gouverneur Generaal mengendalikan reksa dagangnya di seberang lautan (overzee) bersama dengan Raad van Indie (Kleintjes, Ph., 1932 & Schrieke, J.J., 1938-1939). Pada masa pemerintahan jajahan Hindia Belanda lembaga ini berubah nama menjadi Raad van Nederlandsch-Indie. Sedemikian prestisius dan terhormatnya kedudukan lembaga pendamping Gubernur Jenderal ini, sehingga Kleintjes (1932) menempatkan Raad van Nederlandsch-Indie ini sejajar dengan jabatan Gubernur Jenderal itu sendiri. Inilah rupanya yang mendasari Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966, tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, menempatkan DPA sejajar dengan Presiden sebagai sesama lembaga tinggi negara. Akan tetapi apapun posisinya, baik DPA maupun DPP merupakan lembaga pendamping Presiden. Tidak ada perubahan fungsi sedikitpun antara keduanya. Hal ini tampak jelas
dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1963 tersebut di atas. Jadi, tidak ada dasar akademik yang signifikan sedikitpun untuk menghapus DPA dan mengubahnya menjadi DPP itu. Tidak lebih daripada sekedar dagelan konstitusional itu tadi. 6. Sistem Keuangan Negara Adapun mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jelas lembaga kenegaraan ini mengambil alih fungsi Algemeene Rekenkamer. Bahkan Indische Comptabilietswet (ICW) dan Indische Bedrijvenswet (IBW) tetap lestari menjadi acuan kerja BPK sampai munculnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara. Bahkan Soepomo sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa badan ini '... dulu dinamakan Rekenkamer, ...' (Muhammad Yamin, 1971:311). Selanjutnya, kedudukan BPK ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak berdiri di atas Pemerintah. Lebih jauh hasil pemeriksaan BPK itu diberitahukan kepada DPR (Bonar Sidjabat, 1968:9-10; Muhammad Yamin, 1971:308-311). Artinya, BPK hanya wajib melaporkan hasil pemeriksaannya kepada DPR. Dengan demikian BPK merupakan badan yang mandiri, serta bukan bawahan DPR. Hal yang sama dijumpai pula pada hubungan kerja antara Algemeene Rekenkamerdengan Volksraad. 7. Kekuasaan Kehakiman Sama halnya dengan BPK, Mahkamah Agung juga mengambil alih fungsi Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie. Ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman warisan Hindia Belanda diambil alih pula ke dalam sistem hukum tentang kekuasaan kehakiman Indonesia beberapa waktu lamanya sampai terbentuk ketentuan yang baru. Bedanya, pada masa penjajahan Belanda dahulu, terdapat dualisme susunan kekuasaan kehakiman ini. Ada Europeesche Rechtsspraak yang menangani pelbagai perkara golongan Eropa, dan ada pula Indische Rechtssspraak yang menangani perkara-perkara golongan inlanders (pribumi). Kelak pada masa penjajahan Jepang, dualisme ini dihapus. Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, badan peradilan agama merupakan badan peradilan khusus yang tidak berdiri sendiri. Artinya, pada Pengadilan Landraad ada jabatan Penghoeloe yang menangani perkara-perkara agama Islam, atas nama Ketua Landraad setempat. Hal ini tetap berlangsung di Pengadilan Negeri di masa Kemerdekaan. Perkara-perkara agama itu masih memerlukan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri manakala hendak dilakukan eksekusi. Hal ini baru berakhir tahun 1989 dengan munculnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama. Sejak itu Badan Peradilan Agama menjadi badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, sejajar dengan badan peradilan Umum. Pada masa Reformasi, muncul dua lembaga kehakiman yang baru. Kedua lembaga kehakiman tersebut adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang muncul pada Amandemen Ketiga pada tanggal 9 November 2001. Komisi Yudisial tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang menyangkut mafia peradilan, sesuatu yang keberadaannya antara ada dan tiada itu. Sementara itu Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga antitesa atas buruknya kinerja lembaga peradilan itu sendiri yang berpuncak pada Mahkamah Agung itu.
Kategori: Lainnya Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut, karena Undang-Undang Dasar 1945 : a. Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan. b. Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan oleh 3 organ saja c. Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga
negara a.
lainnya. Pokok-pokok
Sistem
Pemerintahan
Republik
Indonesia
1) Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. Provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Banten, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan. 2) Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan adalah presidensial. 3) Pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden yang merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Namun pada pemilu tahun 2004, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket untuk masa jabatan 2004 – 2009. 4) Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden. 5) Parlemen terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota DPR dan DPD merupakan anggota MPR. DPR terdiri atas para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Anggota DPD adalah para wakil dari masingmasing provinsi yang berjumlah 4 orang dari tiap provinsi. Anggota DPD dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan sistem distrik perwakilan banyak. Selain lembaga DPR dan DPD, terdapat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang anggotanya juga dipilih melaui pemilu. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan. 6) Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu pengadilan tinggi dan pengadilan negeri serta sebuah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. 7) Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih tetap menganut Sistem Pemerintahan Presidensial, karena Presiden tetap sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer & melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalm sistem presidensial. b.
Beberapa
variasi
dari
Sistem
Pemerintahan
Presidensial
RI
1) Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung. 2) Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya dalam pengangkatan Duta untuk negara asing, Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan kepala kepolisian. 3) Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya pembuatan perjanjian internasional, pemberian gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, pemberian amnesti dan abolisi. 4) Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran). Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat difahami bahwa dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahanperubahan sesuai dengan dinamika politik bangsa Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk
melakukan pengawasan dan fungsi anggaran. Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan model sistem pemerintahan negara republik Indonesia sebelum dan setelah dilaksanakan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 : Masa
Orde
Baru
(Sebelum
amandemen
UUD
1945)
Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagai berikut : a.
Indonesia
adalah
negara
hukum
(rechtssaat)
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekua-saan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. b.
Sistem
Konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya. c.
Kekuasaan
negara
tertinggi
di
tangan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat.
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah: 1) Menetapkan Undang-Undang Dasar, 2) Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, 3) Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah “manda-taris” dari Majelis yang berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan Majelis. d.
Presiden
ialah
penyelenggara
peme-rintah
Negara
yang
tertinggi
menurut
UUD.
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya. e.
Presiden
tidak
bertanggungjawab
ke-pada
Dewan
Perwakilan
Rakyat.
Kedudukan Presiden dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membu-barkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden. f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara. Menteri-mentri itu tidak
bertanggungjawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu presiden. g.
Kekuasaan
Kepala
Negara
tidak
tak
terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela. Masa
Reformasi
(Setelah
Amandemen
UUD
1945)
Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal-pasal sebagai berikut : a. Negara Indonesia adalah negara Hukum. Tercantum
di
dalam
Pasal
b.
1
ayat
(3),
tanpa
ada
Sistem
Secara eksplisit tidak Pasal c.
Kekuasaan
penjelasan. Konstitusional
tertulis, namun secara substantif dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 2 ayat (1) Pasal 3 ayat (3) Pasal 4 ayat (1) 5 ayat (1) dan (2) Dan lain-lain negara
tertinggi
di
tangan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat.
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut : Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. - Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. d.
Presiden
Masih e.
relevan Presiden
ialah
penyelenggara
dengan tidak
jiwa
Pasal
bertanggung
peme-rintah 3
ayat jawab
Negara (2),
Pasal
kepada
yang 4
tertinggi ayat
Dewan
(1)
menurut dan
Perwakilan
UUD.
ayat
(2).
Rakyat.
Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial. f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang Pasal 17). g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Presiden sebagai kepala negara, kekua-saannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang
memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3).