ANTARA AKU, KKN, DAN SEBUAH KENANGAN Oleh : Muhammad Reza Ananda
Sebuah Langkah Awal untuk Mengarungi Realita Saya adalah seorang mahasiswa rumahan yang terseret rasa ingin tahu yang tinggi akan kehidupan berorganisasi. Lebih tepatnya, saya tersadarkan oleh realita bahwa manusia adalah makhluk sosial. Layaknya ombak samudra nan ganas, saya jalani tiap rutinitas tanpa arah yang pasti. Ditambah dengan aktivitas perkuliahan yang menguras emosi. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua saya jalani, karena itulah satu-satunya cara untuk bertahan dalam gelayut ombak samudra. Tujuan utamanya tentu ialah segera menemukan pesisir pantai untuk bersandar, sambil menunggu takdir akan tantangan apa yang harus dihadapi selanjutnya. Ya, kurang lebih seperti itu analogi tujuan awal saya dalam memutuskan untuk mengarungi KKN, yakni untuk sesegera mungkin mendapatkan nilai akhir guna menjadi persyaratan untuk menyelesaikan tahapan studi berikutnya, khususnya dalam program studi saya yakni praktek kerja lapang dan dilanjutkan dengan skripsi. Lagi pula, kompetensi apa yang dapat saya persembahkan dalam KKN, selain kemampuan cepat merespon pesan singkat Whatsapp dan seringkali menjadi sasaran bullying, yang sebetulnya berangkat dari kekonyolan yang saya perbuat sebagai seorang yang kadang tak punya rasa malu jika sedang berada dalam zona nyamannya. Di sisi lain, bertemu dengan orang-orang baru adalah hal yang paling saya benci. Karena menurut saya, memulai sesuatu dari nol bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Terlebih jika harus keluar dari zona nyaman dalam hal apapun, termasuk menyangkut persoalan hati. Terkecuali nyaman dalam perbuatan dosa, tentu hanya akan menimbulkan resah dalam jiwa. Uniknya, berkat sederet keanehan tersebut, saya beberapa kali diberikan kepercayaan tak terduga. menjadi ketua kelas di kampus selama hampir tiga tahun, hingga menjadi kepala departemen dalam himpunan mahasiswa jurusan, dengan hanya bermodalkan pengalaman mengikuti kepanitiaan kegiatan jurusan saja, sedikit gengsi, serta tak sedikitpun mengikuti kegiatan pengkaderan. Hasilnya, sudah dapat ditebak, seringkali saya terlibat konflik dalam menjalani program kerja yang telah direncanakan, hingga berujung pada tidak terlaksananya program tersebut. Sehingga saya memutuskan untuk tidak melanjutkannya pada periode berikutnya, dan kembali pada kodratnya sebagai mahasiswa “ala kadarnya”. Berbekal secercah pengalaman itulah, ditambah dengan rasa ingin tahu yang tinggi, serta mencari informasi ke beberapa senior jurusan, saya memberanikan diri mengajukan diri menjadi ketua kelompok KKN. Bahkan tanpa membawa gambaran yang pasti tentang apa yang akan saya lakukan di desa Banyuwangi, desa yang ditunjuk oleh PPM sebagai tempat kelompok saya mengabdi kelak. Hanya sedikit prinsip awal saya dalam menjalani serangkaian kegiatan KKN, mulai dari persiapan, pelaksanaan di lokasi KKN, hingga penyelesaian tugas pasca KKN, yakni senantiasa
membudayakan kata maaf, tolong, dan terima kasih, serta mengapresiasi setiap hal yang sudah dilakukan oleh teman-teman kelompok. Dan akhirnya, saya kembali dipercaya menyandang predikat ketua, dan kali ini memimpin kelompok KKN. Sebuah tanggung jawab yang tidak main-main. Di sinilah tantangan baru itu dimulai. Saya memulainya dengan bertemu orang-orang baru dari berbagai jurusan, di mana itu merupakan hal yang paling saya benci. Beranggotakan 19 orang, 13 orang perempuan dan 6 orang laki-laki, saya dituntut untuk mampu memahami pemikiran dari 18 orang yang berbeda-beda, baik dari segi sifat, karakter, dan kompetensi yang dimiliki. Lalu, hal tersulit lain adalah memupuk toleransi antar sesama anggota kelompok, mengingat setiap orang tentu memiliki kesibukan yang berbeda. Setelah melakukan beberapa persiapan kecil dan penyesuaian, saya memulai lembaran awal catatan KKN dengan mengajak teman-teman untuk melakukan survey ke Desa Banyuwangi. Saya mencoba menggali informasi umum seputar desa, hingga menemukan kesimpulan umum yang kemudian menjadi pertimbangan untuk membuat program kerja di kemudian hari. Melihat dinamika masyarakat yang ada, maka saya memutuskan untuk tidak terlalu banyak mengadakan kegiatan, dan berfokus pada pendidikan, keagamaan, dan yang terpenting dari kegiatan KKN itu sendiri, yakni menyelami kehidupan bermasyarakat. Hari demi hari berganti, tibalah saat-saat pelaksanaan KKN. Satu bulan penuh yang menguras tenaga, emosi, dan materi. Saya mencoba memanfaatkan waktu guna mencari makna kehidupan yang sesungguhnya. Tidak ada yang kebetulan dalam kehidupan ini, melainkan Allah telah menggariskan KKN sebagai sarana saya untuk mencoba melepaskan diri dari konflik hati yang sedang saya alami. Dramatis, namun memang begitulah adanya. KKN seakan menjadi jawaban atas doa saya sekaligus menjadi solusi yang ampuh untuk benar-benar memfokuskan pikiran. Sejenak saya mencoba mengabaikan hati yang terus menunggu sepotong pesan singkat dari mereka yang jauh dari kata pasti. Dan ya, akhirnya saya menemukan kepastian itu. Kepastian itu melahirkan sebuah cara pandang yang tidak datang begitu saja. Ya, pada awalnya, selain sebagai persyaratan kelulusan, saya melihat KKN hanya sebagai ajang unjuk gigi mengaplikasikan kemampuan sesuai dengan program studi yang ditempuh terhadap desa yang akan menjadi ladang untuk mengabdi. Namun, faktanya tidaklah seperti itu, kawan. Setelah saya menjalani semua ini, saya menyadari bahwa KKN adalah sarana kita guna melatih kepekaan untuk memahami apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh lingkungan di sekitar kita. Mereka tidak peduli seperti apa latar belakang studi kita, karena yang mereka tahu, kita adalah agen yang diharapkan dapat membawa perubahan menuju kebaikan. KKN juga dapat melatih kita untuk lebih mengedepankan bukti nyata tanpa harus diiringi oleh janji manis belaka. Dan yang terpenting, saya menyadari jika masih banyak hal penting di luar sana yang patut dipikirkan dibandingkan sekedar urusan hati yang tak pasti.
Mereka yang Saya Apresisi Pertemuan itu diawali dengan salam kenal di grup Whatsapp, media sosial yang kini sudah lazim digunakan untuk saling mendekatkan yang jauh, bahkan terkadang menjauhkan yang sudah dekat. Seperti umumnya suatu perkenalan, semua dimulai dengan malu-malu. Entah mengapa saya tak begitu merasakannya. Lebih tepatnya, yang saya rasakan adalah malu tapi mau. Saya mendapat firasat yang begitu kuat bahwa saya akan kembali menjadi ketua. Ya, saya termasuk salah satu yang paling cepat membalas pesan di grup Whatsapp, seolah-olah saya tidak memiliki pekerjaan lain selain itu. Selasa, 17 April 2018, itulah hari pertama saya bertemu dengan teman-teman seperjuangan. Sore itu diiringi dengan rintikan hujan yang turun perlahan-lahan. Ditemani segelas jus alpukat Basecamp Café, saya mencoba memahami setiap orang yang baru kali ini saya temui. Satu hari memang belum mampu menyimpulkan semuanya. Semua masih dibumbui segudang pencitraan. Dan hari itu adalah hari dimana saya dipercaya oleh teman-teman menjadi ketua kelompok. Segera saya membentuk tim BPH dan anggota-anggota divisi di hari itu juga. Hari itu adalah titik awal menuju pertemuan-pertemuan selanjutnya. Perlahanlahan, keaslian mereka mulai terungkap. Mulai dari yang selalu menghadiri rapat tepat waktu, hingga ia yang memiliki hobi menghilang tanpa jejak. Di situlah ujian bagi saya untuk selalu berprasangka baik, mengingat perkenalan ini baru seumur jagung. Di lain sisi, mulai bermunculan tekanan dari teman-teman yang menuntut saya untuk menindak tegas setiap anggota yang dianggap lalai. Saya mencoba untuk meneguhkan pendirian bahwa menindak tegas tanpa bukti kuat tidak dibenarkan. Survey demi survey kami lewati. Dan tahap baru dimulai, yakni menyusun program kerja yang akan dilaksanakan. Seperti lazimnya suatu kepanitiaan atau organisasi, di sinilah peran penting dari divisi acara dipertaruhkan, walaupun bukan berarti anggota yang lain lepas tangan dan tidak membantu sama sekali. Konflik pun bermunculan, dimana terjadi miskomunikasi antara divisi acara yang berjumlah tiga orang dengan seluruh anggota kelompok. Semua prasangka buruk terlempar, termasuk saya juga sempat berprasangka demikian. Pada akhirnya, semua terjawab sudah. Hal ini diakibatkan oleh keunikan tiap individu tersebut. Ada yang sedang sibuk menyelesaikan semester pendek, bahkan hingga hari-H keberangkatan menuju Desa Banyuwangi. Ada pula yang setelah ditelusuri ternyata mengidap penyakit tertentu. Dan yang terakhir memang memiliki kepribadian yang unik. Sebuah ujian tersendiri bagi saya untuk mencoba terus memahami dan melakukan pendekatan terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Syukurlah, hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap pelaksanaan secara keseluruhan.
Setelah semua persiapan dirasa cukup, tiba saatnya kalender menunjukkan hari Rabu, 18 Juli 2018. Hari dimana awal dari pengalaman yang tak terlupakan dimulai. Saya mengawali hari itu dengan melakukan beberapa penyesuaian dan merapikan rumah singgah bersama teman-teman. Malam itu mungkin menjadi malam yang sangat panjang bagi saya, karena sulit sekali untuk memejamkan mata, dikarenakan cuaca dingin yang teramat ekstrim. Tidak sampai di situ saja, hal yang tak terduga pun kembali terjadi. Beberapa teman perempuan yang tiba-tiba saja menginginkan untuk mencari pengganti rumah singgah yang sedang ditempati. Sebuah situasi yang memaksa otak kembali berputar hebat. Padahal saat itu baru memasuki hari kedua kami singgah. Dibantu oleh beberapa teman laki-laki untuk menjadi penengah, di antaranya ada Bang Tatang dan Jimmy. Ya, mereka memang bukan bagian dari anggota kelompok, namun mereka amat berjasa dalam membantu mengambil beberapa keputusan penting, bahkan hingga pelaksanaan KKN selesai. Dan dugaan kami benar, bahwa kejadian ini hanya berawal dari perasaan paranoid dari beberapa teman perempuan yang menemukan beberapa hal yang dinilai merupakan sebuah kejanggalan yang sebenarnya dapat diperbaiki dan dapat disesuaikan di rumah singgah. Alhasil, mereka batal pindah rumah dan memutuskan untuk tetap singgah di rumah itu, yang dimiliki oleh Abah dan Emak tercinta, yang merupakan orangtua dari Bapak Jaih, Lurah dari Desa Banyuwangi. Saya terus melanjutkan hari demi hari yang tersisa, menyelami dan terus mencoba memahami berbagai karakter yang ada. Dan inilah yang membuat saya terkesan. Beruntung, apa yang saya hadapi jauh berbeda dibandingkan kegagalan di masa lalu. Meskipun bayang-bayang kegagalan terus menghantui jiwa ini. Satu hal yang saya rasakan dari teman-teman KKN adalah kepedulian yang cukup tinggi. Memang, pada awalnya saya sempat merasa kurang dihargai, terlebih ketika saya sedang berbicara dalam forum kelompok. Memang, kemampuan saya dalam berbicara di depan orang banyak kurang mumpuni, sehingga terkadang teman-teman merasa kurang paham dengan apa yang sudah saya sampaikan. Namun, lambat laun mereka mulai menguatkan saya, mencoba meyakinkan saya bahwa saya bisa, dan saya mampu untuk menyelesaikan semua yang saya hadapi. Tentu setiap individu memiliki ego tersendiri, namun hal itu tidak nampak ketika kebersamaan itu dibutuhkan. Boleh jadi, di sinilah saya sangat dihargai, terlepas dari apa yang telah saya alami di masa lalu. Saya masih ingat, saat-saat dimana kita makan bersama di rumah Abah dan Emak, di atas hamparan kertas nasi dan sajian makanan yang sederhana. Ya, seperti apapun makanan yang disajikan, yang terpenting adalah suasana kekeluargaan yang tercipta. Di awal, terkadang masih ada celaan yang terlontar dari teman-teman terkait dengan masakan yang disajikan teman-teman perempuan. Tak jarang mereka pun tersinggung. Namun, lambat laun semua menganggap itu hanya sebatas senda gurau saja, demi terciptanya suasana yang hangat, di tengah suhu dingin Kampung Cikawung, Desa Banyuwangi yang di malam hari dapat mencapai 16 derajat Celsius.
Satu bulan memang terlalu singkat untuk menilai setiap individu. Namun, kebersamaan dan kepedulian itu mungkin dapat menjadi pembeda. Terlebih jika dibandingkan dengan teman sehari-hari yang hanya kita temui saat perkuliahan dan mengerjakan tugas, sekedar jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, dan lain-lain yang cenderung ke arah kesenangan semata. Atau dengan bahasa singkatnya, pencitraan. Mengapa saya dapat mengatakan demikian? Karena dengan teman-teman KKN, kita dapat berinteraksi hampir 24 jam, kecuali ketika waktu istirahat tiba, selama satu bulan penuh. Dari mulai jogging sambil mencari nasi uduk bersama-sama, menjalankan program kerja, hingga istirahat pun dilalui bersama. Tak jarang, dari momen itu, saya menemukan teman-teman yang dapat diajak untuk sekedar curhat, dan tercipta ikatan emosional yang lebih dalam lagi. Ya, karena dengan bersama, semua rasa lelah akan terbayarkan. Oh iya, ada satu hal yang teringat ketika jemari ini mulai menemukan zona nyamannya di atas keyboard komputer saya. Yaitu sebutan untuk masakan yang dirasa kurang enak namun sukses dilahap semua teman-teman KKN. Singkat cerita, salah satu teman saya, Dina, membuat menu sarapan pagi yaitu bubur kacang hijau. Dan ternyata, ia kurang memperhitungkan lama perebusannya, sehingga kacang hijaunya sedikit keras. Melihat beberapa komentar yang dilontarkan teman-teman, akhirnya Dina menamainya dengan sebutan “Bubur Kacang Hijau Pengabdian”, hahaha. Ya, sesungguhnya terlalu manis untuk saya menceritakan semua momen dari hari ke hari. Dan memang benar, sekali lagi KKN mampu menjadi sarana saya untuk menghapus semua kenangan pahit dan memusatkan pikiran untuk memprioritaskan hal yang penting. Kawan, saya hanya berpesan satu hal. Jagalah budaya bertegur sapa di manapun kita bertemu. Karena silaturahim tidak hanya sebatas satu bulan saja. KKN adalah tempat di mana kita ditakdirkan untuk dipertemukan menjadi sebuah keluarga baru. Sampai kapan? Hanya waktu yang akan menjawab.
Secercah Kisah Tanah Pengabdian Desa Banyuwangi, sebuah desa yang sangat luas, yang menjadi bagian dari Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selanjutnya, cukuplah saya sapa dengan Banyuwangi, hahaha. Banyuwangi terletak di antara hamparan perbukitan yang cukup eksotis. Dua bukit yang terkenal yaitu Gunung Tela, yang menjadi tempat berdirinya menara pemancar sinyal stasiun TVRI, dan Gunung Endut, yang pernah mengalami longsor di tahun 2006 sehingga menyebabkan warga yang tinggal di kampung sekitarnya, yakni Kampung Cibugis dan Kampung Panggeleseran direlokasi ke perumahan baru yang dibangun dari dana bantuan Pemerintah yang dinamai Kampung Kembangwangi. Melihat dari kondisi geografisnya, sudah pasti cuaca dingin senantiasa menyelimuti Banyuwangi. Di kala fajar menyingsing, saya disambut dengan suhu yang mampu mencapai di bawah 16 derajat Celsius. Tentu saja dengan suhu sedingin ini, rasa lapar dengan mudahnya bangkit. Karena itulah, nasi uduk dan sepotong gorengan seakan menjadi santapan wajib hampir setiap hari. Ketika beranjak tengah hari, suhu perlahan naik, namun tidak sampai menyentuh angka 30 derajat Celsius, kecuali mentari sedang bersinar dengan terik. Memasuki sore hari, suhu kembali turun drastis. Dan di saat seperti inilah kabut mulai menyelimuti Banyuwangi. Dan ini adalah momen terbaik untuk berburu pemandangan sunset. Bicara perkara matahari tenggelam, Banyuwangi menyuguhkan sejumlah tempat yang seru untuk menikmatinya. Hamparan kebun teh dari Kampung Cirangsad hingga Kampung Pabuaran menjadi saksi bisu ketika saya menikmati mentari di sore hari, sambil menelepon keluarga yang ada di rumah untuk sejenak melepas kerinduan. Namun sangat disayangkan, di balik keindahan kebun teh ini, tersimpan secercah kisah pahit, di mana dahulu hamparan itu merupakan hutan nan asri yang diambil alih oleh perusahaan asing dan disulap menjadi kebun teh yang saya lihat tempo hari. Banyak kaum ibu di Banyuwangi yang menggantungkan mata pencahariannya di kebun teh, baik sebagai pemetik, penyemai benih, dan lain-lain. Meskipun demikian, saya melihat tingkat kesejahteraan para pekerja kebun teh ini masih jauh dari harapan. Menurut sumber terpercaya, perusahaan yang ada di Banyuwangi belum ada yang memberikan kontribusinya dalam bentuk program tanggung jawab sosial. Saya berharap di masa yang akan datang, kaum konglomerat yang ada mendapatkan pencerahan untuk berkontribusi membangun Banyuwangi menjadi lebih baik. Di samping fakta yang ada di balik pesona kebun teh, ada lagi satu hal yang cukup membuat hati ini trenyuh. Di mana tidak adanya lokasi Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) untuk sampah dan pengangkutan sampah oleh mobil dinas setempat, membuat masyarakat saat ini tak memiliki pilihan. Melainkan dengan cara membuang sampah di balik tebing pohon bambu, atau langsung membakarnya di tempat sampah permanen di depan rumah. Tentu hal ini hanya akan menimbulkan polusi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Namun, dari segi kehidupan bermasyarakat, hal ini cukup membuat saya tersenyum gembira. Ya, senyum yang memang sangat saya butuhkan untuk menutupi rasa pedih menutup semua kenangan yang tak perlu diulang, sementara saya diharuskan untuk tetap fokus menjalani KKN, hahaha. Budaya sopan santun khas negara timur masih sangat kental terasa, yakni saling bertegur sapa dan mengucapkan permisi (atau diucapkan “punten” dalam Bahasa Sunda) ketika saling berpapasan dengan warga. Hal inilah yang membuat saya menemukan kenyamanan tersendiri, sekaligus melatih diri yang apatis ini untuk lebih membuka diri dalam kehidupan bermasyarakat. Hampir semua penduduk Banyuwangi beragama Islam, terkecuali beberapa pendatang yang bekerja di perusahaan asing yang ada di Banyuwangi. Salah satu indikator hidupnya segi keislaman di suatu daerah adalah dari keberadaan majelis taklim dan jumlah jamaah di masjidnya. Alhamdulillah, di beberapa waktu masih banyak shaf yang terisi khususnya di Masjid Jami Nurul Iman Kampung Cikawung, namun masih didominasi oleh para sesepuh dan sedikit dari kalangan pemuda. Beruntung, semangat anak-anak dalam menuntut ilmu agama sangat tinggi. Sedari waktu Ashar hingga ba’da Isya, terdapat tiga majelis taklim yang mengajarkan baca tulis dan menghafal Al Quran. Memang, sangat disayangkan, tenaga pengajar yang tersedia untuk majelis taklim masih belum sebanding dengan jumlah anak-anak yang belajar, sehingga metode yang diajarkan terkesan terburu-buru, sehingga banyak anak-anak yang belum mampu membaca Al Quran dengan baik dan benar, namun baik dalam kemampuan menghafal. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, mayoritas kaum ibu bekerja di kebun teh. Sementara mayoritas kaum adam bekerja sebagai buruh, mencari kayu dan rumput di hutan. Sebagian lainnya banyak yang merantau ke berbagai daerah, terutama wilayah sekitar Jabodetabek. Banyak masyarakat yang sudah mencari nafkah dari usia yang cukup belia. Hal ini berhubungan erat dengan sektor pendidikan di Banyuwangi, di mana sekolah yang tersedia masih minim, terutama untuk tingkat SMA. Hanya ada satu SMA terbuka yang sekolah hanya di hari sabtu dan minggu, karena tidak memiliki gedung sekolah sendiri, sehingga harus berbagi penggunaan dengan gedung SDN Banyuresmi 02 dan SMP terbuka yang juga memakai gedung tersebut. Karena itulah, belum terlalu banyak masyarakat Banyuwangi yang melanjutkan sekolah hingga ke tingkat SMA. Hal ini juga tak lepas dari prinsip kebanyakan orangtua yang lebih mengarahkan anaknya untuk mencari nafkah. Namun, saat ini tanda-tanda perubahan paradigma tersebut sudah mulai terlihat. Adanya beberapa tokoh masyarakat baik penduduk asli maupun pendatang yang sudah bergelar sarjana mampu memberikan angin segar bagi perubahan masyarakat
sekitar, khususnya Kampung Cikawung, dengan membantu mengajar di majelis taklim dan menjadi wakil rakyat di desa sebagai anggota BPD. Oh iya, hampir saja saya terlupakan akan tradisi yang satu ini. Ya, ada satu budaya yang sangat kental yang dinamakan “bancakan”. Bancakan atau terkadang disebut juga “ngeliwet” adalah kegiatan makan bersama, baik dengan nasi liwet atau nasi biasa, yang disajikan di atas hamparan daun pisang (walaupun kadang digantikan dengan menggunakan kertas nasi) dengan berbagai macam sayur, lalapan, dan lauk pauk. Beberapa hari saya menjalani KKN di Banyuwangi, kelompok pemuda setempat mengajak saya dan teman-teman KKN untuk bancakan di puncak Gunung Tela yang juga merupakan tempat pemancar sinyal milik TVRI. Di sore hari nan syahdu itu, sambil menikmati indahnya panorama dari atas ketinggian yang cukup menawan, terlebih jika tidak sedang turun kabut. Berkat bancakan, saya juga mengalami kejadian yang tak terduga. di suatu siang yang terik, entah mengapa saya memutuskan untuk berjalan kaki keluar rumah seorang diri. Hal itu berawal dari perasaan yang tak menentu setelah sempat beradu argumen dengan teman KKN. Ditambah dengan perjuangan mengikhlaskan yang memang tak mudah, lengkap sudah hahaha. Saya memutuskan untuk berjalan ke arah Desa Banyuresmi yang kebetulan jaraknya cukup dekat. Saat mulai memasuki hamparan kebun teh Kampung Cililin, tiba-tiba saja ada sosok pria mengendarai sepeda motor yang menghampiri saya. Ternyata ia adalah Pak Ibnu, salah satu warga pendatang asli Serang yang membuka majelis taklim di rumahnya dan juga berprofesi sebagai guru di MTs SA Muta’alimin. Beliau memberikan tumpangan dan mengajak saya berkeliling desa. Tak lama kemudian, sepeda motor beliau mogok. Ternyata beliau lupa mengisi bensin sehingga bensin motor habis. Beruntung, tidak jauh dari lokasi terdapat pedagang bensin eceran. Kami pun menuntun sepeda motor lalu mengisi bensin. Akhirnya, saya tetap berjalan kaki diiringi obrolan santai dengan Pak Ibnu, hahaha. Setelah itu, beliau mengajak saya pergi ke suatu gubuk yang menjadi markas pemuda untuk sekedar berkumpul dan bersantai ria. Dan ternyata saya diajak untuk ikut bancakan. Sebuah rezeki yang tak terduga di saat saya merasa sedang berada pada titik terendah saya di awal-awal menjalani KKN. Di situlah awal mula saya mulai akrab dengan masyarakat, berbagi kisah dan nasihat. Ah, saya teringat dengan nasihat dari rekan Pak Ibnu, di sela-sela menanti hidangan bancakan disajikan, beliau mengingatkan saya untuk serius menyelesaikan perkuliahan dan senantiasa memperkaya diri dengan berbagai keterampilan. Satu kalimat yang saya ingat dari beliau adalah, “Lulus kuliah adalah pintu gerbang menuju pengangguran.”. di situlah kita benar-benar diuji, seberapa cukup bekal yang kita miliki untuk menghadapi persaingan dunia kerja yang semakin kejam di era Masyarakat Ekonomi ASEAN ini. Dan tentu saja, pengalaman yang sangat tak terlupakan bagi saya, ketika saya bersama teman-teman tim dokumenter pergi menuju Kampung Panggeleseran, sebuah kampung yang pernah dilanda bencana alam longsor dari Gunung Endut, dan sebagian besar warganya sudah direlokasi ke Kampung Kembangwangi. Di sana terdapat sekolah MI Mathlaul Anwar yang kondisi gedungnya sudah hancur. Hanya
tersisa satu ruang kelas dan satu ruang guru yang masih bisa dipakai. Dan selebihnya kegiatan belajar mengajar dialihkan ke beberapa rumah warga di Kampung Kembangwangi. Salah satu pemilik rumah di Kampung Kembangwangi yang dijadikan lokasi belajar mengajar adalah pasangan Pak Supardi dan Ibu Rohaya, yang juga merupakan perintis dari MI Mathlaul Anwar. Kisah inspiratif sekolah dan pasangan inilah yang menarik minat kami untuk mengangkat kisahnya ke dalam film dokumenter. Hampir saja saya lupa, karena yang berkesan adalah medan yang saya tempuh dari Kampung Kembangwangi menuju Kampung Panggeleseran yang amat berat. Jalanan yang dihiasi bebatuan besar, bahkan ada yang sebesar bola sepak, menemani perjalanan kami dengan jarak kurang lebih sejauh 6 kilometer. Ditambah dengan kemiringan yang ekstrim di beberapa titik menjadikan perjalanan begitu menantang, sekaligus menyenangkan. Sebagian besar teman-teman saya merasa jera dan enggan untuk kembali menyusuri jalan ini, namun tidak dengan saya. Karena pemandangan hutan yang indah di sepanjang jalan seakan menghapus rasa letih saya. Saya pun menyempatkan diri untuk berfoto ria di depan kawasan hutan yang sebagian besar masih dimiliki oleh Perhutani. Seuntai Harapan dari Realita Kehidupan Tibalah saya pada penghujung cerita yang panjang ini. Sebuah perjuangan tentu diakhiri dengan sebuah harapan. Harapan akan terhindar dari kesia-siaan atas apa yang telah diperjuangkan sampai detik ini. Berawal dari angan-angan, andaikan saya ditakdirkan untuk mengabdi di Banyuwangi. Mungkin saya tidak sepenuhnya menginginkan itu. Namun rencana Allah selalu menjadi yang terbaik, dan waktu yang akan menjawab. Jika saya menjadi bagian dari masyarakat Banyuwangi, saya ingin berkontribusi terutama dalam bidang pendidikan. Memberikan motivasi dan metode yang tepat sehingga anak-anak belajar lebih giat lagi dan mampu menyerap ilmu yang dipelajari dengan baik. Baik dalam pelajaran sekolah maupun dalam hal membaca Al Quran. Karena bagi saya, pendidikan adalah awal yang gemilang untuk merubah pola pikir jangka panjang guna meraih penghidupan yang lebih baik. Ya, hanya itu yang saya inginkan, tidak muluk-muluk. Bersamaan dengan ini, KKN telah berakhir. Dan saya merasa satu bulan itu adalah tidak ada apa-apanya bagi saya, karena saya merasa belum berkontribusi dengan maksimal untuk Banyuwangi. Saya kembali berharap, KKN boleh saja berakhir, namun tidak dengan silaturahim yang sudah tercipta, baik dengan masyarakat maupun dengan semua teman-teman KKN. Semoga KKN dapat menjadi titik awal bagi saya untuk lebih dalam mengenali diri saya dan lebih mampu memprioritaskan hal-hal yang memang penting. Meninggalkan semua kenangan yang pahit dan terkadang hanya ada sia-sia. Namun sebagaimana halnya dengan KKN, meninggalkan kenangan tak serta merta memutus tali silaturahim dengan mereka yang turut berkontribusi mengisi kenangan. Karena
mereka tak lain adalah bagian dari pengalaman hidup, sebagaimana kita tahu bahwa pengalaman adalah guru yang amat berharga sebagai pembelajaran di masa depan. Tentu saja demikian dengan KKN. Ya, KKN adalah bagian dari guru yang berharga dalam hidup saya. Ah, sudahlah, mengapa cerpen ini banyak diisi dengan curahan hati, hahaha. Karena dengan inilah inspirasi saya senantiasa tergali.