Model Bisnis Pengolahan Sampah di Indonesia Kembali terjadi, sebuah TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah terancam ditutup karena penolakan warga sekitar. Belum ada TPA pengganti, lalu kemana akan membuang sampah yang jumlahnya ratusan truk tiap hari? Ingatkah kita apa yg terjadi di Kota Bandung tahun 2005 setelah TPA Leuwigajah ditutup karena wafatnya 100 orang lebih tertimbun longsoran sampah? Gunungan sampah memenuhi pinggiran jalan, sudut kota, hingga waktu yg cukup lama. Kondisinya menjadi darurat sampah. Sudah 14 tahun berlalu, ternyata ancaman kejadian yang sama masih cukup tinggi probabilitasnya. Para pengelola kebersihan kota, masih akan terus ketar ketir. Mungkin bisa agak bernafas kalau sudah dapat lahan untuk TPA baru. Kalau tidak? Tidak banyak yang menyadari, betapa beratnya mengelola kebersihan kota. Jika hanya memindahkan sampah, mungkin mudah dan murah. Tp benar-benar mengolahnya untuk bisa dimanfaatkan, belum tentu. Dan suka tidak suka, itulah yang harus dilakukan, kalau kita mau menjinakkan bom waktu sampah di TPA. Mengolah sampah inilah yang masih menjadi bottleneck utama. Masih minim business model yg terbukti signifikan mengurangi jumlah sampah ke TPA. Meski paradigma mengolah sampah di sumber sudah diamanatkan dalam UU18 tahun 2008, ratusan workshop dan seminar besar sudah dilakukan, angka pencapaian nasional untuk pengurangan sampah saat ini masih dibawah 3%. Maka, sudah bukan lagi waktunya untuk solusi normatif yang mengandalkan pengadaan fasilitas fisik dan pelatihan untuk mengolah sampah di tingkat kelompok masyarakat. Meskipun partisipasi masyarakat adalah kunci, namun tanpa konektivitas sistem pengelolaan yg jelas keberlanjutannya, semangat untuk berpartisipasi dan bersukarela dalam mengolah sampah sulit untuk bertahan lama. Apalagi jika keterlibatan masyarakat dipahami sebatas 2-3 kali sosialisasi dan pelatihan, tanpa alokasi resources fasilitator lapangan yang mumpuni untuk mendampingi hingga trust building dan skala partisipasi nya mencapai equilibrium, yang umumnya membutuhkan bertahun tahun utk sebuah komunitas tingkat RW. Sudah waktunya kita beralih ke solusi percepatan, yang mengutamkaan keberlanjutan dan konektivitas, agar sinergi antara service delivery (aspek pelayanan kebersihan) dan resource efficiency (aspek pemanfaatan sampah sebagai sumber daya) dapat terwujud. Diperlukan sistem pengolahan sampah yang berorientasi kapasitas, semi mekanikal, dapat ditempatkan pada lahan permukiman ataupun komersial, dan feasible secara finansial. Keekonomian sistem adalah penentu agar para enterpreneur lokal dan sektor industri dapat berpartisipasi dalam investasi maupun pengoperasiannya. Untuk mendorong business model diatas, diperlukan pula kebijakan percepatan dari pusat dan daerah. Kebijakan penetapan zonasi mandiri untuk kawasan komersial dan pemukiman menengah ke atas, standard tarif pelayanan kebersihan, keberpihakan lahan untuk fasilitas pengolahan sampah, dan kriteria kandungan daur ulang utk berbagai produk (semacam kewajiban 20% bio-diesel), akan sangat strategis mendorong mobilisasi dana investasi dan circular economy. Berbeda halnya dengan kebijakan yang bersifat disinsentif semacam cukai
dan pelarangan atau pembatasan jenis sampah tertentu yang sejatinya dapat diserap oleh industri daur ulang tanah air. Secara hirarki memang betul bahwa Reduce adalah prioritas pertama sebelum Reuse dan Recycle. Namun penerapan hirarki ini diluar konteks kesadaran individu, apalagi dalam bentuk kebijakan publik, membutuhkan adanya kajian akademis yang hati hati. Jenis material tertentu yang disatu sisi merupakan sampah konsumen, disisi lain merupakan kebutuhan industri yang pembatasannya dapat mempengaruhi sektor ekonomi kecil dan menengah, jika alternatif penggantinya belum tersedia dalam harga yang terjangkau. Dan disadari atau tidak, jenis material tertentu itulah yang memiliki value lebih sehingga sektor swasta dapat tertarik untuk pengolahan sampah. Jika value tersebut berkurang, maka konsekuensinya menjadi dana publik lah yang harus banyak men-cover kebutuhan investasi solusi percepatan ini. Masih dekat dengan Hari Peduli Sampah Nasional, kiranya pemikiran ini bisa menjadi sumbangsih saya kepada bangsa. Jikapun belum, setidaknya dapat menjaga optimisme ditengah keprihatinan akan terus terjadinya kondisi darurat persampahan di berbagai kota. ***
Penulis: Dini Trisyanti, co-founder Sustainable Waste Indonesia dan Vital Ocean Indonesia Daftar Riwayat Hidup: https://www.linkedin.com/in/dini-trisyanti434a7725/?originalSubdomain=id