Judul: Pengaruh Metode Perubahan Konseptual (Conceptual Change Methods) dalam Setting Model 5E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lab Undiksha Singaraja Identitas Pribadi Nama
: Kusdian Kurniahadi
NIM
: 0513021047
Jurusan
: Pendidikan Fisika
Fakultas
: Pendidikan Matematika dan IPA
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum, pandangan tentang belajar ada tiga, yaitu: belajar sebagai penguatan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai konstruksi pengetahuan (Santyasa, 2004a). Sampai saat ini, pandangan ketiga dipandang lebih efektif dan bermakna dalam penerapannya bila dibandingkan dengan dua pandangan sebelumnya. Piaget menyimpulkan dari hasil penelitiannya, bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran pelajar. Pengetahuan itu dibangun (dikonstruksi) sambil pebelajar mengatur pengalaman-pengalamannya yang terdiri atas strukturstruktur mental atau skemata-skemata yang sudah ada padanya (Suastra, 2004). Pandangan ini mendasarkan diri pada hasil penelitian dengan manusia sebagai objek dalam setting yang realistik. Proses belajar mengajar (PBM) merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Pelaksanaan PBM selalu melibatkan tiga komponen penting yang berperan, yaitu guru, siswa, dan metode mengajar yang digunakan. Guru hendaknya memahami bahwa siswa memiliki potensi untuk bisa tanpa harus ”dimanjakan”. Proses belajar terjadi pada siswa apabila anak didik secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dalam memori kerja. Siswa adalah pencipta gagasan, sedangkan guru adalah fasilitator dan mediator yang menyediakan bimbingan dan pemodelan pada tugas-tugas akademik yang otentik. Seperti yang dikutip oleh Nashon (2006), menurut Von Weizsacker dan Juilfs bahwa fisika didasarkan pada percobaan, keaktifan, keingintahuan, dan keahlian dalam pengahayatan alam. Percobaan tidak akan terarah jika tanpa pemandu. Di sinilah tugas guru sebagai fasilitator dan mediator siap menggunakan cara yang seharusnya untuk mengajarkan fisika. 1
Kendala yang dihadapi saat ini, khususnya dalam pembelajaran fisika, adalah cara guru mengajar jarang menggunakan cara yang seharusnya fisika diajarkan. Salah satu alasan para guru adalah sangat sulit mengeksplorasi pengetahuan awal siswa. Para guru cenderung merancang dan mengimplementasikan pembelajaran dengan pola mengajar secara linear. Di antara faktor yang mempengaruhi pemahaman fisika siswa adalah model matematika yang cenderung lebih diutamakan dibandingkan konsep itu sendiri. Matematika juga merupakan faktor kunci yang menghambat siswa pada tingkat menengah untuk memilih bidang fisika. Pendidik tentu sudah sangat paham bahwa matematika sangat dibutuhkan dalam penguasaan suatu konsep fisika, namun kurang berbuat banyak untuk mempertajam pemahaman konsep siswa dan lebih menekankan pada pemahaman matematis. Banyak siswa tingkat menengah berupaya memahami konsep fisika dengan model matematis (Nashon, 2006). Guru seharusnya mengetahui bahwa setiap siswa telah membawa pra-konsep (konsepsi alternatif) yang diperolehnya baik dari pembelajaran sebelumnya, dari buku bacaan atau buku ajar yang mereka baca, dan dari fakta yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah konsep yang dibawa tersebut benar-benar merupakan konsep yang benar/ilmiah dan sudah merepresentasikan pengetahuan yang dikandungnya. Siswa berpikir dan mengkonsep fenomena alam yang baru, yang mereka temui pada pelajaran sains, semakin berbeda dari yang diterima oleh komunitas ilmiah (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Adanya konsepsi alternatif tersebut merupakan keadaan yang serius dan membutuhkan penanganan dari tiap pengajar. Sebagaimana dinyatakan oleh Kurnaz & Çalik (2008), menetapkan apa yang siswa pikirkan tentang fenomena yang diberikan adalah tidak cukup untuk mengubah konsep-konsep siswa dengan salah satu pendekatan ilmiah. Pada dasarnya, sebagai pendidik sains, ada sebab-sebab atau alasan-alasan yang kita harus berusaha keras untuk menanggulanginya. Menentukan alasan terhadap konsepsi alternatif dan mencoba menanggulanginya lebih sulit daripada mengenalinya. Karena konsepsi alternatif diperoleh sendiri oleh siswa sebagai hasil proses asimilasi dari pengetahuan awal dan pengalamannya, siswa enggan menampakkan konsepsi alternatif mereka (e.g. Aydoğan, Güneş, & Gülçiçek; Coştu et al.; Ünal et al., dalam Hirca, dkk., 2008). Berdasarkan rasionalisasi di atas, maka diperlukan suatu metode pembelajaran yang dapat mewujudkan terjadinya konsepsi yang benar/ilmiah pada diri siswa. Dalam hal ini, penulis memilih metode belajar, yaitu metode perubahan konseptual yang 2
dikendalikan dengan model 5E. Judul yang penulis ajukan adalah ”Pengaruh Metode Perubahan Konseptual dalam Setting Model 5E terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lab Undiksha Singaraja”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut. Apakah terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui metode perubahan konseptual dalam Setting Model 5E dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut. Menganalisis perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui metode perubahan konseptual dalam Setting Model 5E dengan siswa yang belajar melaui model pembelajaran konvensional. 1.4 Manfaat Hasil Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut. 1)
Bagi guru fisika
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan metode lain bagi guru dalam pembelajaran fisika, yang kiranya sesuai untuk menanamkan konsep-konsep fisika pada diri siswa. 2)
Bagi peneliti
Dari penelitian ini, peneliti sebagai seorang calon guru memperoleh pengalaman langsung dalam menerapkan suatu metode pembelajaran inovatif dan konstruktif dalam menanamkan pemahaman konsep-konsep fisika bagi siswa. 3)
Bagi pengembang teori pembelajaran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan dalam merancang kurikulum, pendekatan, dan model pembelajaran dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. 1.5 Definisi Konseptual Definisi konseptual merujuk pada variabel perlakuan (model 5E bermuatan perubahahan konseptual dan model pembelajaran konvensional) dan variabel metrik/kovarian sebagai berikut.
3
a.
Model 5E yang mengandung metode perubahan konseptual merupakan
sebuah model pembelajaran bermuatan perubahan konseptual sebagai sebuah fase pengelaborasian konseptual yang bertujuan mengurangi konsepsi alternatif siswa (Kurnaz & Çalik, 2008). b.
Model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang
bersifat linier dan dirancang dari part to whole. Pembelajaran lebih mengarah pada product oriented daripada process oriented. Pembelajaran yang bersifat regular (model pembelajaran konvensional), artinya pemilihan pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajarmengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes (Wirtha & Rapi, 2008). Nurhadi et al. (dalam Darma, 2007) memberikan beberapa karakteristik pembelajaran konvensional, yaitu: (1) siswa adalah penerima informasi secara pasif, (2) Siswa belajar secara individual, (3) pembelajaran sangat abstrak dan teoretis, (4) rumus yang ada di luar diri siswa harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan, (5) siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, dan menghafal) tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran, (6) keterampilan dikembangkan atas dasar latihan-latihan, (7) guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran, (8) hasil belajar diukur dengan tes, dan (9) pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa. 1.6 Definisi Operasional Definisi operasional merujuk pada variabel terikat dalam penelitian, yaitu pemahaman konsep. Definisi operasional dari penelitian ini sebagai berikut. Secara kuantitatif, Pemahaman konsep adalah skor akhir yang dicapai siswa dalam menyelesaikan tes pemahaman konsep. Pemahaman konsep awal adalah skor yang diperoleh siswa dalam menyelesaikan tes pemahaman konsep sebelum perlakuan dengan model pembelajaran. II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar Santyasa (2004a) menyatakan, secara umum pandangan tentang belajar ada tiga, yaitu: belajar sebagai penguatan respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai konstruksi pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, gagasan atau 4
pemikiran guru tidak dapat dipindahkan langsung kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus aktif membentuk pemikiran atau gagasan tersebut dalam otaknya. Piaget menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran pelajar. Pengetahuan itu dibangun (dikonstruksi) sambil pebelajar mengatur pengalaman-pengalamannya yang terdiri atas struktur-struktur mental atau skemata-skemata yang sudah ada padanya (Suastra, 2004). Santyasa (2005b) menyatakan, guru sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung sebagai perancang model, pelatih dan pembimbing. Di samping sebagai fasilitator, secara spesifik peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai expert learner, manager, dan mediator. Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan masalahmasalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan siswa. Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir kritis. Teori
konstruktivisme
menyatakan
bahwa
dalam
proses
pembelajaran,
pebelajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Belajar lebih diarahkan pada experimental
learning,
yaitu
merupakan
adaptasi
kemanusiaan
berdasarkan
pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dielaborasi dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
5
Philosofi konstruktivisme menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka secara mandiri sesuai dengan pengalaman, kemampuan dan tingkat perkembangan individual siswa, baik perkembangan kognitif, afektif maupun psikomotorik (Sudiarta, 2007). Konstruktivisme merupakan landasan berpikir, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusialah yang harus mengkonstruksinya dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Darma, 2007). Menurut pandangan konstrukstivis masuknya informasi baru ke dalam skemata melalui dua mekanisme, yakni asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi seseorang menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang sudah ada untuk beradaptasi dengan masalah atau informasi baru yang datang dari lingkungannya. Sedangkan pada proses akomodasi merupakan proses pembentukan skemata baru atau memodifikasi struktur yang ada supaya struktur kognitif tersebut dapat menyerap informasi baru yang sedang dihadapi. Ketidaksesuaian struktur kognitif yang dimiliki seseorang dengan informasi baru yang dihadapi menyebabkan ketidakseimbangan (disquibrium) dalam struktur kognitifnya. Dalam kondisi seperti ini orang menyadari bahwa cara berpikirnya bertentangan dengan kejadian yang ada disekitarnya, ia akan berusaha untuk mereorganisasi struktur kognitifnya agar sesuai dengan informasi baru yang dihadapinya (Darma, 2007). Teori konstruktivisme dapat memberi makna yang signifikan dalam sains, seperti Biologi, Fisika, dan Kimia karena mata pebelajaran tersebut menekankan pada cara membuat kesimpulan terhadap fenomena alam melalui eksperimen. 2.2 Belajar dan Pembelajaran Fisika Guru dalam kafasitasnya sebagai fasilitator dan mediator mempunyai ciri-ciri: 1) menyiapkan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya proses pembelajaran dengan menyajikan problem-problem yang manantang bagi pebelajar, 2) berupaya untuk menggali dan memahami pengetahuan awal siswa, 3) selalu menggunakan pengetahuan awal siswa, baik dalam merancang maupun mengimplementasikan program pembelajaran, 4) berusaha untuk merangsang dan memberi kesempatan yang luas kepada siswa untuk mengemukakan gagasan-gagasannya, 5) lebih menekankan kepada argumentasi atas respon siswa daripada benar salahnya respon siswa, 6) tidak melakukan upaya transfer pengetahuan kepada pebelajar dan selalu sadar bahwa 6
pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar, 7) menggunakan strategi pengubahan konseptual (conceptual change) dalam upaya mengubah miskonsepsimiskonsepsi yang dibawa pebelajar menuju konsepsi ilmiah, 8) menyiapkan dan menyajikan pada saat yang tepat berbagai konflik kognitif (cognitive conflict) dan contoh tandingan (counter examples) yang dapat mengarahkan pebelajar dalam mengkonstruksi gagasan-gagasannya menuju pengetahuan ilmiah (Suastra, 2004). Paradigma pembelajaran yang merupakan hasil gagasan baru adalah (1) peran guru lebih sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan, dan kawan belajar, (2) jadwal fleksibel, terbuka sesuai kebutuhan, (3) belajar diarahkan oleh siswa sendiri (Santyasa, 2006b). Marzano et al (dalam Santyasa, 2006b), memformulasi dimensi belajar menjadi lima tingkatan, (1) sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar, (2) perolehan dan pengintegrasian pengetahuan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4) penggunaan pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan produktif. Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah mengkreasi dan memahami model-model pembelajaran inovatif (Santyasa, 2006b). 2.3 Konsepsi Alternatif Sebagai manusia, siswa memiliki kecenderungan untuk memahami dunia fisika. Siswa membangun sendiri konsep-konsep yang naif (polos) sebagai hasil dari observasi dan investigasi tentang dunia fisika. Bila mereka dihadapkan sebuah masalah dalam kehidupan sehari-hari, mereka mencoba memecahkannya dengan konsepsi yang naif. Penelitian pendidikan lebih dari 30 tahun telah menunjukkan bahwa konsepsi yang naif tersebut, dalam tulisan ini disebut konsepsi alternatif, adalah hal yang umum terjadi pada banyak siswa terlepas dari umur dan budayanya (Driver; Osborne & Freyberg; Yeo & Zadnik; dan Petersson, dalam Başer, 2006a). Ada tiga domain dinamis dalam sistem kognitif: konsepsi, kategori dan kerangka berpikir yang memiliki hubungan erat satu sama lain. Konsep-konsep dikembangkan dengan cara pandang individu atau hipotesis. Kemudian, berdasarkan kategori konsepsi muncul. Akhirnya, kerangka kerja dihasilkan dengan memperhatikan kategori. Hal ini berarti bahwa konsep yang benar dan dipahami akan melahirkan pemahaman yang lebih baik. Karena langkah pertama tergantung pada pengalaman dan hipotesis, kemungkinan konsep-konsep yang muncul akan berbeda dari yang diterima oleh komunitas ilmiah. Konsepsi tersebut biasanya disebut miskonsepsi, pra-konsep, kerangka kerja alternatif, atau konsep anak-anak (Calik & Ayas, 2005). Istilah-istilah 7
tersebut memiliki kemiripan makna (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Lebih lanjut, Stavy (dalam Calik & Ayas, 2005) menunjukkan bahwa terdapat kompetisi yang dinamis dalam sistem kognitif di mana konsep paling kuat mendominasi. Ini berarti bahwa jika sebuah konsepsi alternatif ilmiah melampaui satu dalam proses yang dinamis akan mempengaruhi pemahaman atau struktur berikutnya. Pinker (dalam Simamora & Redhana, 2007) mengemukakan bahwa siswa hadir di kelas umumnya tidak dengan kepala kosong, melainkan mereka telah membawa sejumlah pengalaman-pengalaman atau ide-ide yang dibentuk sebelumnya, ketika mereka
berinteraksi
dengan
lingkungannya.
Artinya,
sebelum
pembelajaran
berlangsung sesungguhnya siswa telah membawa sejumlah ide-ide atau gagasangagasan. Mereka menginterpretasikan tentang gejala-gejala yang ada di sekitarnya. Gagasan-gagasan atau ide-ide yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya ini disebut dengan prakonsepsi atau konsepsi alternatif. Konsepsi alternatif ini sering merupakan miskonsepsi (Gardner; Redhana dan Kirna, dalam Simamora & Redhana, 2007). Kenyatan menunjukkan bahwa konsepsi alternatif siswa sangat resisten terhadap perubahan (Ronen and Eliahu; Savinainen et al., dalam Baser, 2006b). Dengan demikian, diperlukan suatu kondisi pembelajaran khusus untuk dapat mengubah konsepsi alternatif siswa tersebut. Konsepsi alternatif ini akan berubah menjadi konsepsi ilmiah hanya jika pembelajaran guru menjadi lebih necessary (dibutuhkan), intelligible (dipahami), plausible (dapat diterima), dan fruitful (produktif) bagi siswa (Posner, dkk., dalam Simamora & Redhana, 2007). Oleh karena itu, konsepsi alternatif dipandang sebagai titik awal bagi pelajaran selanjutnya, banyak penelitian telah dilaksanakan terhadap berbagai subjek bahasan seperti, gaya, gerak, energi, daya, usaha, panas, temperatur, massa, berat dan sebagainya (Kurnaz & Çalik, 2008). Pra-konsep yang dimiliki oleh siswa sangat penting untuk diselidiki lebih lanjut, konsep-konsep yang tidak terstruktur dapat menghasilkan rintangan konseptual untuk mencapai tujuan pembelajaran. Konsepsi alternatif timbul disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: siswa telah mengetahui sebelumnya dari pengalaman hidup sehari-hari, kurangnya motivasi, guru tidak cukup kompeten, lebih mengutamakan konten daripada konsep-konsep, buku-buku pelajaran yang mengandung kesalahan, menggunakan bahasa sehari-hari, bahasa budaya yang sama dengan penyebutan ilmiah namun mengandung makna yang berbeda dalam berbagai budaya. Bentuk-bentuk miskonsepsi yang ditemukan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
8
bahwa ada ketimpangan antara pengetahuan guru secara teoretis dengan praktiknya (Urey & Calik, 2008). Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri (Suastra, 2004). 2.4 Metode Perubahan Konseptual Penelitian yang berkaitan dengan perubahan konseptual siswa sudah dilakukan mulai awal tahun 1980-an, yaitu ketika kelompok peneliti sains dan ahli psikologi di universitas Cornell mengembangkan teori perubahan konseptual (Posner, dkk., dalam Simamora & Redhana, 2007). Hasil-hasil penelitian tentang metode perubahan konseptual sebagai upaya menanggulangi konsepsi alternatif siswa telah banyak disarankan oleh para ahli.
Guru hendaknya menerapkan strategi pengubahan
konseptual dalam pembelajaran agar dapat mengatasi konsepsi alternatif siswa (Posnet, dkk., dalam Simamora & Redhana, 2007). Memberikan persepsi siswa bahwa energi dan termodinamika merupakan kesulitan memahaminya dan komunitas pendidikan fisika tidak bersepakat tentang bagaimana mengajarkan konsep-konsep tersebut, bagaimana seharusnya para pendidik mengajarkan energi dan termodinamika untuk pelayanan awal guru? Teori perubahan konseptual merupakan salah satu metode untuk menjembatani kesenjangan antara pengetahuan tentang fenomena keseharian dan konsep-konsep yang benar secara sains (Gail, Otto & Zitzewitz, 2005). Pembelajaran perubahan konseptual yang mendasarkan diri pada paham konstruktivisme, sesungguhnya adalah pembelajaran yang berbasis keterampilan berpikir. Pembelajaran perubahan konseptual memfasilitasi siswa untuk berpartisipasi aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam proses tersebut, siswa menguji dan mereviu ide-idenya berdasarkan pengetahuan awal yang telah dimiliki, menerapkannya dalam situasi yang baru, dan mengintegrasikan pengetahuan tersebut ke struktur kognitif yang dimiliki (Santyasa, 2008). Pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran (Santyasa, 2004b), yaitu: (1) Sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4) konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual, dan (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna. Sistem sosial 9
yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman belajar siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan menjalani learning to be. Umumnya, untuk mencapai perubahan konseptual digunakan beberapa metode perubahan konseptual, seperti teks bermuatan perubahan konseptual teks, analogi, lembar kerja, konflik kognitif, dan peta konsep (Urey & Calik, 2008). Untuk penelitian selanjutnya, sebuah contoh teks bermuatan perubahan konseptual disarankan sebagai model untuk memperbaiki konsepsi alternatif yang disasar (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Temuan-temuan penelitian terkait dengan pengaruh model pembelajaran terhadap pemahaman konsep (berorientasi teks) memiliki implikasi sebagai berikut (Santyasa, 2008). Pertama, untuk mencapai pemahaman konsep secara mendalam dalam belajar fisika, model pembelajaran perubahan konseptual dapat diacu sebagai salah satu alternatif fasilitas belajar siswa. Model pembelajaran perubahan konseptual dapat diimplementasikan dengan pertanyaan-pertanyaan konseptual untuk membangkitkan aktivitas metakognisi, berpikir kreatif, kritis, dan berpikir tingkat tinggi. Kedua, model pembelajaran perubahan konseptual dapat diimplementasikan dalam wujud teks perubahan konseptual. Dari segi isi, teks diorientasikan sebagai media yang mudah dipahami, penyedia informasi baru yang bermanfaat dan berkaitan dengan dunia nyata, penyedia penjelasan-penjelasan yang dapat membantu siswa memecahkan masalah belajar, penyedia informasi yang bermanfaat untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan di dunia nyata. Orientasi strategi sajian teks adalah pada: (1) masalah-masalah yang dapat membangkitkan struktur kognitif yang telah ada di kepala siswa, (2) alternatif miskonsepsi-miskonsepsi yang berkaitan dengan masalah tersebut, (3) sangkalan-sangkalan, bila perlu diikuti demonstrasi, atau analogi, atau contoh-contoh tandingan, atau konfrontasi, untuk memancing konflik, (4) pembuktian dengan konsep dan prinsip yang ilmiah, (5) contoh-contoh konseptual dan contohcontoh dunia nyata, dan (6) pertanyaan-pertanyaan konseptual dan kontekstual untuk memberi peluang kepada siswa melakukan perluasan dan penerapan pemahaman secara bermakna dan variatif dalam proses pemecahan masalah. Ketiga, setidaknya ada empat kerangka pengembangan pembelajaran perubahan konseptual untuk pemcapaian pemahaman konsep. (1) Pemilihan topik, (2) penetapan tujuan-tujuan pemahaman, (3) prediksi unjuk kerja pemahaman, dan (4) penilaian berkelanjutan. Keempat kerangka pengembangan tersebut dapat dikemas dalam suatu 10
rancangan pembelajaran. Dalam penelitian ini, kemasan pembelajaran mengambil pola teks model perubahan konseptual. Analogi adalah salah satu kegiatan perubahan konseptual untuk meningkatkan dan untuk memfasilitasi pemahaman siswa dengan menantang ide-ide siswa yang sudah ada sebelumnya. Penalaran analogi dapat dianggap sebagai proses skema transfer dari hal yang akrab dengan siswa ke dalam situasi yang tidak dikenal sehingga analogi dapat memungkinkan siswa untuk menangkap wawasan peristiwa tertentu, khususnya pada sub-tingkat mikroskopik. Dalam proses ini, semakin besar pertandingan pengetahuan antara sasaran dan analog terjadi, semakin baik karya analogi. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna karena siswa sekarang dapat memvisualisasikan fenomena yang diberikan dengan sesuatu yang meraka sangat kenal. Sementara melakukan ini, guru harus menekankan bahwa ini hanya penalaran analogis. Jika tidak, analogi dapat menyebabkan siswa mengembangkan berbagai konsepsi alternatif (Calik & Ayas, 2005). Model pengajaran dalam penelitian ini terdiri dari empat fase: (1) Memunculkan ide-ide siswa yang sudah ada sebelumnya. Guru berusaha menarik keluar ide-ide siswa yang sudah ada sebelumnya. (2) Berfokus pada konsep target. Siswa mendebatkan analogi dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengevaluasi ide-ide yang sudah ada sebelumnya. (3) Menantang ide-ide siswa. Dalam fase ini, seorang guru harus memverifikasi pengetahuan siswa yang telah dibangun. (4) Menerapkan ide-ide baru yang dibangun untuk situasi serupa. Siswa diharapkan mampu mengaplikasikan pengalaman belajar yang baru saja diberikan pada situasi serupa lainnya untuk meningkatkan hal masuk akal (Calik & Ayas, 2005). Sebagai pengajar hendaknya guru menggunakan strategi pengubahan konseptual (conceptual change) dalam upaya mengubah miskonsepsi-miskonsepsi yang dibawa pebelajar menuju konsepsi ilmiah dan menyiapkan dan menyajikan pada saat yang tepat berbagai konflik kognitif (cognitive conflict) beserta contoh tandingan (counter examples) yang dapat mengarahkan pebelajar dalam mengkonstruksi gagasangagasannya menuju pengetahuan ilmiah (Suastra, 2004). Lebih lanjut suastra melanjutkan, dalam mengubah miskonsepsi-miskonsepsi siswa menuju konsepsi ilmiah diperlukan strategi pengubahan konseptual yang tepat dan diberikan pada saat yang tepat pula. Pengubahan konseptual dapat dilakukan dengan menyajikan konflik kognitif atau contoh tandingan. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, jangan sampai konflik kognitif atau contoh tandingan yang disajikan justru memperkuat stabilitas miskonsepsi siswa. Konflik kognitif yang diberikan harus mampu menggoyahkan stabilitas 11
miskonsepsi tersebut. Jika siswa sudah menjadi ragu terhadap gagasannya, maka dapat diharapkan mereka akan mau merekonstruksi gagasannya. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3) merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru. Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, dalam Santyasa 2006b). Dampak pembelajaran perubahan konseptual adalah: sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal (Santyasa, 2006b). 2.5 Model Pembelajaran Konvensional Model pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang bersifat regular, artinya pemilihan pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajarmengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes (Wirtha & Rapi, 2008). Nurhadi et al. (dalam Darma, 2007) memberikan beberapa karakteristik pembelajaran konvensional, yaitu: (1) siswa adalah penerima informasi secara pasif, (2) Siswa belajar secara individual, (3) pembelajaran sangat abstrak dan teoretis, (4) rumus yang ada diluar diri siswa harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan, (5) siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, dan menghafal) tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran, (6) keterampilan dikembangkan atas dasar latihan-latihan, (7) guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran, (8) hasil belajar diukur dengan tes, dan (9) pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa. 2.6 Model 5E Model 5E merupakan versi constructivism yang populer (e.g. Hanuscin & Lee, dalam Kurnaz & Çalik, 2008), karena setiap "E" mengandung bagian dari proses yang membantu siswa belajar mengalami dengan urutan yang sesuai dalam menghubungkan pengetahuan awal dengan konsep baru, model ini terdiri dari: engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation (e.g. Abell & Volkman; Boddy, Watson & 12
Aubusson; Bybee, Taylor, Gardner, Scotter, Powell, Westbrook & Landes, dalam Kurnaz & Çalik, 2008). Bybee et al. (dalam Kurnaz & Çalik, 2008) telah meringkas fase-fase pembelajaran dalam model 5E, sebagai berikut. 1.
Engagement/keterlibatan: untuk mengakses pengetahuan awal siswa, guru
menyuruh siswa terlibat dalam konsep baru dengan perantaraan aktivitas pendek atau pertanyaan yang menampilkan keganjilan dan merangsang keluarnya pengetahuan awal. Aktivitas atau pertanyaan diperkirakan membuat sebuah hubungan antara pengetahuan awal dan pengalaman belajar saat ini, sehingga guru mampu mengorganisir pemikiran siswa ke arah hasil belajar dari aktivitas tersebut. 2.
Exploration/penjajakan: siswa menyelesaikan aktivitas lab atau diskusi
kelompok atau bermain peran atau analogi yang memungkinkan mereka mengekploitasi sendiri pengetahuan awal untuk menghasilkan ide-ide baru, pertanyaan penjajakan, perkiraan dan implementasi sebuah penyelidikan yang bersifat tentatif. 3.
Explanation/penjelasan: fase ini dibutuhkan guru untuk penjajakan lebih
lanjut, juga memberi kesempatan bagi guru secara langsung memperkenalkan sebuah konsep, proses atau keahlian. Selanjutnya, siswa menyampaikan pemahaman mereka tentang konsep atau jalan yang benar dan penegasan pengetahuan yang tidak benar. Selanjutnya, guru menuntun mereka untuk memegang pemahaman yang lebih mendalam, yang merupakan bagian terpenting dari fase ini. 4.
Elaboration/penguraian:
untuk
meneliti
pemahaman
dan
keahlian
konseptual siswa, siswa mencoba memperluas pengetahuan terstruktur yang baru untuk mempertahankan dan memperluas pemahaman, informasi yang lebih banyak, dan keahlian yang cukup. Juga, mereka dapat menerapkan pemahaman mereka tentang konsep untuk aktivitas tambahan. 5.
Evaluation/mengevaluasi: fase ini mendidik siswa mengakses pemahaman
dan kemampuan mereka dan memberikan kesempatan bagi guru untuk mengevaluasi bagaimana perkembangan siswa terhadap pencapaian tujuan pendidikan. 2.7 Metode Perubahan Konseptual dalam Setting Pembelajaran 5E Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya Urey & Calik (2008) merangkum, menekankan bahwa pengalaman dalam aktivitas nyata adalah lebih efektif daripada teks-teks perubahan konseptual. Walaupun menggunakan penalaran analogis 13
atau model yang efisien dalam pengajaran sains, akan tetapi sebagian besar guru tidak menggunakannya sesering mungkin dan cenderung mengabaikan manfaatnya. Bahkan jika mereka mencoba untuk mengeksploitasi melalui metode analogi, sering terjadi dalam cara yang tidak direncanakan. Selain itu, literatur terkait menyatakan bahwa menggunakan hanya satu metode perubahan konseptual mungkin akan membosankan bagi siswa. Dengan demikian, hal ini dapat mencegah tercapainya hasil yang efektif. Karena aktivitas mengajar dapat dipandang sebagai fase penguraian konseptual, kami mengasumsikan bahwa penerapan teknik perubahan konseptual melalui model 5E bisa sepenuhnya mengurangi konsepsi alternatif siswa. Model 5E yang mengandung metode perubahan konseptual merupakan sebuah model pembelajaran bermuatan perubahan konseptual sebagai sebuah fase pengelaborasian konseptual yang bertujuan mengurangi konsepsi alternatif siswa (Kurnaz & Çalik, 2008). 2.8 Hasil Penelitian yang Relevan Karena faham konstruktivis tidak hanya menitik beratkan pada pengetahuan awal siswa tetapi juga mengikutsertakan keaktifan siswa, kebanyakan penelitian yang didanai memberikan perhatian lebih pada dua issu: 1) konsepsi alternatif siswa, dan 2) perubahan konseptual (Kurnaz & Çalik, 2008). Memperbaiki konsepsi alternatif telah dikembangkan oleh penelitian saat ini, pendekatan pembelajaran yang baru dapat diperoleh dengan penggabungan metode pembelajaran, seperti modeling, simulasi komputer, pemetaan konsep, analogical reasoning, dan teks bermuatan perubahan konsep (Hirca, Calik, & Akdeniz, 2008). Taylor and Coll (dalam Kurnaz & Çalik, 2008), mengkritik bahwa konflik kognitif mungkin penyebab mengurangi keyakinan siswa, meskipun memiliki banyak keuntungan untuk mencapai perubahan konseptual. Hal yang sama, jika teknik konseptual, seperti teks bermuatan perubahan konseptual, analogi, lembar kerja (LKS), dll. Seringkali dalam pengerjaannya dilakukan sendiri oleh siswa, siswa bisa bosan. Oleh karena hanya menggunakan salah satu teknik, mungkin akan memiliki harapan kecil mencapai hasil yang efektif (Çalık; Dole; Huddle, White & Rogers, dalam Kurnaz & Çalik, 2008). Selain itu, walaupun kenyataan menyatakan bahwa teks perubahan konseptual adalah efektif dalam perbaikan konsepsi alternatif siswa, kegiatan langsung atau pengalaman belajar secara langsung bisa lebih efektif (Chambers & Andre, 1997 dalam Kurnaz & Çalik, 2008). Karena aktivitas mengajar dapat dipandang sebagai fase penguraian konseptual, kami mengasumsikan bahwa penerapan teknik perubahan konseptual melalui model 5E bisa sepenuhnya mengurangi konsepsi alternatif siswa. Sehingga, penulis merekomendasikan sebuah cara baru untuk menghadapi konsepsi 14
alternatif dimana metode yang lain (conceptual change text, change theory of Posner, Lembar kerja siswa (LKS), a design program, etc.) gagal untuk mencapai yang seharusnya (Kurnaz & Çalik, 2008). 2.9 Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian teoretis di atas, konstruktivisme adalah landasan berpikir bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas, sehingga pengetahuan dapat berkembang dalam konteks tertentu. Jadi, pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep-konsep, atau teori-teori yang dapat ditransfer begitu saja dari seseorang ke orang lain. Pengetahuan dibangun dalam pikiran manusia menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang dimilikinya sebagai upaya beradaptasi terhadap masalah dan pengalaman yang dihadapi dalam kehidupannya, dan sebagai upaya pembentukan skemata-skemata baru atau memodifikasi informasi baru yang ditemuinya. Ketidaksesuaian antara skemata yang dibangun dengan informasi yang ditemui akan menimbulkan konflik kognitif dalam diri mereka. Dengan demikian, mereka akan berusaha mengatur kembali struktur kognitifnya agar sesuai dengan informasi baru yang dihadapi. Jadi, menurut paham konstruktivisme, pengetahuan dibangun dalam pikiran pelajar/siswa dan belajar merupakan sebuah upaya mengkonstruksi pengetahuan. Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar siswalah yang berperan aktif sebagai pencipta gagasan-gagasan, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator yang seyogyanya memberikan bimbingan dan memilih serta merancang model yang sesuai sehingga tercipta proses belajar dalam diri siswa. Siswa sejak awal telah membawa konsepsi alternatif khususnya mengenai fenomena-fenomena alam yang mereka temuai dalam kehidupan sehari-hari. Konsepsi alternatif ini biasanya jauh dari kebenaran ilmiah, yang diperoleh sendiri oleh siswa sebagai hasil proses asimilasi dari pengetahuan awal dan pengalamannya, dari bukubuku bacaan yang mereka baca serta gagasan budaya mereka. Kenyataan menunjukkan konsepsi alternatif siswa sangat resisten terhadap perubahan, maka pengubahan konsepsi alternatif siswa mungkin dilakukan. Namun, dalam pembelajaran fisika sampai saat ini guru masih dominan memilih cara konvensional. Kesan model pembelajaran konvensional cenderung bersifat one way learning yang memusatkan perhatian siswa sepenuhnya kepada guru teacher centered sehingga yang aktif di sini hanya guru, sedangkan siswa hanya tunduk mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh guru.
15
Pembelajaran konvensional bersifat regular, artinya pemilihan pendekatan, strategi, metode kurang bervariasi. Proses belajar-mengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes. Sehingga tidak terjadi pembelajaran yang necessary (dibutuhkan), intelligible (dipahami), plausible (dapat diterima), dan fruitful (produktif) bagi siswa. Para ahli banyak menyarankan untuk melakukan pengubahan konsepsi alternatif siswa menggunakan pendekatan perubahan konseptual. Hasil penelitian telah banyak menunjukkan hal tersebut. Ada beberapa metode perubahan yang sudah dilaksanakan untuk tujuan pengubahan konsepsi alternatif siswa, seperti metode analogi yang telah diteliti oleh Calik dan Ayas (2005), teks bermuatan perubahan konseptual diteliti oleh Hirca, Calik dan Akdeniz (2008), konflik kognitif, peta konsep, dan lembar kerja. Hanya saja, pendidik cenderung memilih salah satu metode secara berkelanjutan. Mereka hanya menggunakan metode analogi saja, teks bermuatan perubahan konseptual saja, atau konflik kognitif saja. Di mana keefektifannya penggunaannya masih belum memadai. Walaupun menggunakan penalaran analogis atau model yang efisien dalam pengajaran sains, akan tetapi sebagian besar guru tidak menggunakannya sesering mungkin dan cenderung mengabaikan manfaatnya, atau sering terjadi dalam cara yang tidak direncanakan. Menggunakan hanya satu metode perubahan konseptual mungkin akan membosankan bagi siswa. Jika pola linier atau tidak bervariasi ini dipertahankan, maka tidak ada bedanya dengan pelaksanaan pembelajaran secara konvensional, walaupun muatannya berbeda. Sebagai mana disarankan oleh Kurnaz & Calik (2008), karena aktivitas mengajar dapat dipandang sebagai fase penguraian konseptual, mereka mengasumsikan bahwa penerapan teknik perubahan konseptual melalui model 5E bisa sepenuhnya mengurangi konsepsi alternatif siswa. Dinama model pembelajaran ini dilaksanakan dalam tahapan yang membantu siswa belajar mengalami dengan urutan yang sesuai dalam menghubungkan pengetahuan awal dengan pengalaman belajar saat ini. 2.10 Hipotesis Penelitian Setelah melakukan kajian pustaka dari berbagai sumber yang terpercaya, maka dapat dirumuskan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini, sebagai berikut. Terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang belajar melalui metode perubahan konseptual dalam setting model 5E dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional.
16
III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian eksperimen (Experimental Research) merupakan kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menilai pengaruh suatu perlakuan/ tindakan/treatment pendidikan terhadap tingkah laku siswa atau menguji hipotesis tentang ada-tidaknya pengaruh tindakan itu bila dibandingkan dengan tindakan lain (Supardi, 2008). Jenis penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (quasi eksprimen), karena tidak semua variabel yang muncul dan kondisi eksprimen dapat dikontrol secara ketat (full randomize). Salah satu ciri dari penelitian ini adalah ketidakmampuan meletakkan subjek secara random pada kelompok eksperimental atau kelompok kontrol. Yang dapat dilakukan peneliti adalah mencari kelompok subjek yang diterpa variabel bebas (Hasan, 2002). 3.2 Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah non-equivalent pretest-posttest control group design. Desain penelitian ini dipilih karena penelitian eksperimen semu tidak memungkinkan untuk merandom subjek yang ada pada setiap kelas secara utuh. Skor pretest berfungsi sebagai kovariat untuk melakukan kontrol secara statistik. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini dapat diperhatikan pada Gambar berikut. O1
X1
O2
--------------------------------
O3
X2
O4
One way pretest-postttest nonequivalent control group design (Santyasa, 2006a) Berdasar gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa O1 dan O3 merupakan pengamatan awal dengan pretest sebelum diberikan perlakuan, X1 merupakan perlakuan yang diberikan pada kelas kontrol dengan model pembelajaran konvensional, X2 merupakan perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen dengan model pembelajaran 5E bermuatan metode perubahan konseptual, O2 dan O4 merupakan pengamatan akhir dengan posttest setelah diberikan perlakuan X1 ataupun X2. 3.3 Populasi dan Sampel Populasi adalah semua anggota kelompok manusia, peristiwa atau benda yang tinggal bersama dalam suatu tempat dan secara terencana menjadi target kesimpulan dari hasil akhir suatu kesimpulan (Sukardi, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas X SMA Lab Undiksha Singaraja semester genap tahun ajaran 2009/2010 yang terdistribusi dalam kelas-kelas populasi. 17
Sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti (Riduwan, 2005). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple group random sampling. Teknik ini dipilih karena populasi terdistribusi dalam kelas yang sudah ditentukan sebelumnya, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengacakan terhadap individu dalam populasi. Masing-masing kelas X SMA Lab Undiksha Singaraja memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel penelitian. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik undian, jumlah sampel yang diambil sebanyak dua kelas yang terdiri dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. 3.4 Variabel Penelitian Variabel diartikan sebagai suatu konsep yang memiliki nilai ganda atau dengan perkataan lain variabel merupakan suatu variabel yang jika diukur akan menghasilkan skor yang bervariasi (Riyanto, 2001). Inti dari penelitian adalah mencari hubungan antara berbagai variabel. Hubungan yang paling dasar adalah hubungan antara dua variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas juga sering disebut variabel pengaruh (Narbuko & Achmadi, 2005). Penelitian ini menyelidiki pengaruh dua variabel independen terhadap satu variabel dependen. Kedua variabel independen tersebut meliputi variabel non metrik sebagai perlakuan dan variabel metrik sebagai kovariat (Sugiyono, 2008). Variabel perlakuan meliputi model 5E bermuatan perubahan konseptual dan model pembelajaran konvensional yang diberikan peneliti kepada sampel, baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Kovariat dalam penelitian ini adalah skor pretest berupa pemahaman konsep yang diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum dimanipulasi dengan model pembelajaran. Variabel dependennya adalah pemahaman konsep siswa yang dapat dilihat dari skor posttest yang diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah dimanipulasi dengan model pembelajaran. 3.5 Perlakuan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua kelompok sampel yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelompok eksperimen dikenakan rancangan model 5E bermuatan perubahan konseptual, sedangkan kelompok kontrol dikenakan rancangan model pembelajaran konvensional. Model konvensional disesuaikan dengan model yang diterapkan di sekolah tempat di mana observasi dan orientasi dilaksanakan. 3.6 Prosedur Penelitian Adapun prosedur dalam penelitian ini dilaksanakan dalam langkah-langkah sebagai berikut. 18
1)
Menentukan sekolah tempat penelitian.
2)
Melaksanakan orientasi dan observasi terhadap
rancangan pelaksanaan pembelajaran dan kegiatan belajar mengajar di kelas serta wawancara dengan guru mata pelajaran fisika di sekolah tempat melakukan penelitian. Setelah komfirmasi dengan pihak sekolah, maka dilanjutkan dengan penentuan sampel penelitian. 3)
Merancang perangkat pembelajaran dan instrumen,
yang terdiri atas rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lembar kerja siswa (LKS) sesuai dengan model pempelajaran yang digunakan, serta tes pemahaman konsep. 4)
Melaksanakan
uji
coba
instrumen
yang
akan
digunakan dalam penelitian, dilanjutkan dengan uji validitas isi, konsistensi internal butir, konsistensi internal tes, daya beda, dan tingkat kesukaran soal. 5)
Melakukan revisi dan penyempurnaan instrumen
yang telah diujikan, melalui konsultasi dengan guru pembimbing. Setelah melalui revisi dan penyempurnaan butir soal ini, maka akan dihasilkan beberapa butir soal yang benar-benar layak untuk digunakan sebagai tes pemahaman konsep. 6)
Memberikan pretest kepada kelas eksperimen dan
kelas kontrol secara bersamaan untuk mengetahui pemahaman konsep awal yang dimiliki oleh siswa. 7)
Mengadakan revisi pada perangkat pembelajaran
yang terdiri dari RPP dan LKS baik yang akan diberikan pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol berdasarkan informasi yang diperoleh dari pemberian pretest mengenai pemahaman konsep awal siswa pada masing-masing kelompok kelas. 8)
Memberikan perlakuan berupa penerapan model
pembelajaran bermuatan perubahan konseptual pada kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. 9)
Memberikan posttest kepada kelas eksperimen dan
kelas kontrol secara bersamaan untuk mengetahui pemahaman konsep siswa setelah diberikan perlakukan. 10)
Menganalisis hasil penelitian untuk menguji hipotesis
yang diajukan apakah hipotesis yang telah diajukan diterima atau ditolak.
19
Secara sistematis prosedur penelitian dapat digambarkan seperti pada gambar berikut ini. Penentuan sekolah tempat penelitian Observasi & Orientasi Rancangan pelaksanaan pembelajaran
Kegiatan belajar mengajar
Perangkat pembelajaran RPP
Penentuan sampel
Instrumen Tes pemahaman konsep
LKS
Uji Coba Instrumen Validitas isi
Konsistensi internal butir
Konsistensi internal tes
Indeks daya beda
Indeks kesukaran butir
Revisi & Penyempurnaan Tes Pemahamaan konsep
Pre-test Revisi perangkat pembelajaran RPP
LKS
Memberikan perlakuan Kontrol
Eksperimen
Post-test Analisis data 20
3.7 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data, agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Riduwan, 2004). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes pemahaman konsep. Langkah-langkah penyusunan tes pemahaman konsep adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi standar kompetensi; (2) mengidentifikasi kompetensi dasar; (3) mengidentifikasi indikator pembelajaran; (4) menyusun kisi-kisi tes hasil belajar; (5) menentukan kriteria penilaian; (6) penulisan butir-butir tes; (7) uji ahli; (8) uji coba tes di lapangan; (9) analisis hasil uji coba tes di lapangan; (10) revisi butir soal; dan (11) finalisasi instrumen. Kriteria penilaian tes pemahaman konsep menggunakan rubrik penilaian seperti yang dikembangkan oleh Santyasa (2006b). Rubrik Penilaian Pemahaman Konsep Skor Kriteria 4 Menjawab benar, menunjukkan alasan yang benar disertai bukti-bukti, prinsip, formulasi atau perhitungan. 3 Menjawab benar dan menunjukkan alasan yang benar. 2 Menjawab benar, tetapi tidak menunjukkan alasan, atau menunjukkan alasan yang salah atau miskonsepsi 1 Menjawab tetapi salah atau miskonsepsi 0 Tidak menjawab Untuk mendapatkan data digunakan instrumen sebagai berikut. Jenis Data
Sumber Data
Pemahaman konsep
Siswa
Pemahaman konsep
Siswa
Teknik Pengumpulan Instrumen Data Pretest Tes pemahaman konsep (tes pilihan ganda diperluas) Posttest
Validitas Instrumen
a) Validitas isi b) Konsistensi internal c) Daya beda d) Tingkat kesukaran. Tes a) Validi pemahaman tas isi konsep (tes b) Konsi pilihan stensi ganda internal diperluas) c) Daya beda d) Tingk at kesukaran.
Waktu Sebelum dan
sesudah perlakuan
21
3.8 Uji Coba Instrumen Penelitian Uji coba instrumen merupakan langkah yang sangat penting dalam proses pengembangan instrumen, karena dari uji coba instrumen inilah diketahui informasi mengenai mutu instrumen yang dikembangkan itu (Suryabrata, 2006). 3.8.1
Validitas Isi
Validitas isi adalah validitas yang ditilik dari segi isi tes itu sendiri sebagai alat pengukur hasil belajar yaitu: sejauh mana tes hasil belajar sebagai alat pengukur hasil belajar peserta didik, isinya telah dapat mewakili secara representatif terhadap keseluruhan materi atau bahan pelajaran yang seharusnya diujikan (Sudijono, 2005). Menurut Arikunto (2005) sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi jika mampu mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan. Validitas isi ditegakkan pada langkah telaah dan revisi butir pertanyaan/butir pernyataan, berdasarkan pendapat profesional (professional judgment) para penelaah (Suryabrata, 2006). Gay (dalam Santyasa, 2005a) menyatakan bahwa validitas isi (content validity) adalah derajat pengukuran yang mencerminkan domain isi yang diharapkan. Validitas isi cukup diestimasi berdasarkan pertimbangan ahli isi. Sebagai ahli isi dapat ditunjuk seorang guru pada bidang studi yang sama yang memiliki kualifikasi dan pengalaman kerja yang cukup. Pertimbangan ahli tersebut dianggap cukup representatif sebagai dasar untuk memutuskan bahwa tes yang dikembangkan telah memenuhi syarat validitas isi. Di samping pemeriksaan oleh teman sejawat yang dianggap sebagai ahli, tes juga perlu diuji keterbacaannya ditinjau dari pemakai (siswa). Prosedur ini dilakukan melalui uji kelompok kecil dan kelas yang sesungguhnya (Santyasa, 2005a). 3.8.2
Konsistensi Internal Butir
Menurut Gay (dalam Santyasa, 2005a), konsistensi internal butir adalah derajat konsistensi pengukuran yang ditampilkan oleh butir terhadap apa yang ingin diukur. Konsistensi butir berkenaan dengan tingkatan atau derajat yang menunjukkan seberapa jauh butir dapat mengukur secara konsisten apa yang seharusnya diukur. Konsistensi internal butir dapat diestimasi dari indeks korelasi antara skor butir dan skor total (Long et al, dalam Santyasa, 2005a). Indeks korelasi butir-total dapat dihitung dengan formula Pearson Product Momen (Arikunto, 2005) adalah sebagai berikut.
22
rxy =
[N ∑ X
N ∑ XY − ( ∑ X )( ∑Y ) 2
− (∑ X )
2
] [N ∑Y
2
− ( ∑Y )
2
]
Keterangan: rxy
: koefesien korelasi
N
: jumlah sampel
X
: skor butir
Y
: skor total
Dengan kriteria standar (Mehrens, dalam Santyasa, 2005a) sebagai berikut. rxy > 0,30 berarti valid (dapat langsung digunakan) 0,20 ≤ rxy ≤ 0,30 berarti valid tetapi harus direvisi kembali rxy ≤ 0,20 berarti tidak valid (gugur) 3.8.3
Konsistensi Internal Tes
Dalam Suryabrata (2006) dinyatakan bahwa reliabilitas instrumen merujuk kepada konsistensi hasil perekaman data (pengukuran) kalau instrumen itu digunakan oleh orang atau kelompok orang yang sama dalam waktu berlainan atau kalau instrumen itu digunakan oleh orang atau kelompok orang yang berbeda dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang berlainan. Karena hasilnya yang konsisten itu, maka instrumen itu dapat dipercaya (reliable) atau dapat diandalkan (dependable). Wiersma (dalam Santyasa, 2005a) menyatakan konsistensi internal tes (reliabilitas tes) berarti “konsistensi dari tes dalam mengukur apa yang seharusnya diukur”. Pengukuran konsisten berarti akan memberikan hasil yang sama untuk subjek yang sama pada waktu yang berbeda. Koefesien reliabilitas tes dapat bernilai antara 0,00-1,00. Gay (dalam Santyasa, 2005a) menyatakan “reliabilitas tes adalah derajat pada mana suatu tes dapat mengukur secara konsisten apa yang seharusnya diukur”. Konsistensi internal tes (Reliabilitas internal tes) dapat ditentukan dengan beberapa metode, (1) metode belah dua, (2) metode Kuder-Rechadson 20 (K-R 20), (3) metode KR 21, dan (4) koefisien alfa Cronbach. Metode belah dua dapat ditempuh dengan prosedur ganjil-genap. Indeks korelasi tes ganjil-genap dapat dihitung dengan formula product moment, sedangkan indeks korelasi keseluruhan tes dapat dihitung dengan formula Spearman- Brown (Mehrens & lehmann, dalam Santyasa, 2005a),
rxy =
2r1
2
1
1 + r1
2
2 1
2
23
Dengan rxy = indeks korelasi keseluruhan tes, r1 2 1 2 = indeks korelasi setengah dari jumlah tes keseluruhan. Menurut Long et al. (dalam Santyasa, 2005a), kriteria yang dapat diacu adalah koefesien reliabilitas ≥ 0,80 menyatakan tes tersebut acceptable. Oleh karena koefesien reliabilitas secara wajar bergerak pada interval 0,00-1,00, maka kriteriakriteria: 0,00-0,20 adalah sangat rendah, 0,20-0,40 rendah, 0,40-0,60 sedang, 0,600,80 tinggi, dan 0,80-1,00 sangat tinggi dapat pula diacu sebagai kriteria penolakan atau penerimaan reliabilitas internal. Tes hasil belajar dengan indek reliabilitas berada pada kategori sedang, tinggi, dan sangat tinggi ditoleransi untuk diterima sebagai perangkat tes yang relatif baku. 3.8.4
Indeks Daya Beda
Daya beda tes adalah kemampuan suatu tes tersebut dalam memisahkan antara subyek yang pandai dengan subyek yang kurang pandai dalam suatu kelompok. Dalam mencari daya beda subjek peserta tes dipisahkan menjadi dua sama besar berdasarkan atas skor total yang mereka peroleh (Arikunto, 2005). Santyasa (2005a) menyatakan bahwa sebelum menentukan daya beda tes terlebih dahulu ditentukan kelompok atas dan kelompok bawah. Kelompok atas (KA) dan kelompok bawah (KB) dari skor-skor siswa yang telah diurutkan. Jumlah KA atau KB disesuaikan dengan jumlah responden seluruhnya. Untuk mengetahui daya beda item tes hasil belajar digunakan formulasi Mehrens dan Lehman (Santyasa, 2005a) sebagai berikut. IDB =
∑H − ∑L
N ( Score mx − Score min )
Keterangan:
∑H
= jumlah skor kelompok atas,
∑L
= jumlah skor kelompok bawah,
N
= jumlah responden kelompok atas atau kelompok bawah,
Scoremx
= skor tertinggi butir, dan
Scoremin
= skor terendah butir.
Kriteria IDB dapat diacu, dengan rentangan berikut. IDB = 0,00-20,00 adalah sangat rendah IDB = 0,20-0,40 adalah rendah IDB = 0,40-0,60 adalah sedang IDB = 0,60-0,80 adalah tinggi 24
IDB = 0,80-1,00 adalah sangat tinggi 3.8.5
Indeks Kesukaran Butir
Bermutu atau tidaknya butir-butir item tes hasil belajar pertama-tama dapat diketahui dari derajat kesukaran yang dimiliki oleh masing-masing butir item tersebut. Butir-butir item tes hasil pelajar dapat dinyatakan sebagai butir-butir yang baik, apabila derajat kesukaran item itu adalah sedang atau cukup (Sudijono, 2005). Menghitung digunakan formula sebagai berikut. IKB =
R 100 % T
dengan IKB = Ideks Kesukaran Item, R = jumlah responden yang menjawab benar, dan T = jumlah responden seluruhnya. IKB dapat bernilai 0,00-1,00; IKB: 0,00 – 0,20 adalah sangat sukar, 0,20-0,40 sukar, 0,40-0,60 sedang, 0,60-0,80 mudah, dan 0,80-1,00 sangat mudah. Biasanya butir yang ditoleransi sebagai tes standar adalah yang memiliki IKB = 0,30-0,70 (Santyasa, 2005a). 3.9 Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, digunakan dua teknik analisis yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis kovarian. 3.9.1
Analisis deskriptif
Teknik ini
digunakan untuk mendeskripsikan skor rata-rata dan simpangan
baku. Skor rata-rata dan simpangan baku yang dideskripsikan adalah skor rata-rata dan simpangan baku pemahaman konsep yang diperoleh dari hasil pretest dan posttest. Data tentang prior knowledge siswa dianalisis secara kulitatif yang kemudian didekripsikan secara naratif. Persentase jumlah siswa pada setiap jawaban per soal pemahaman konsep dengan alasan yang dikemukakan siswa, digunakan untuk mengetahui prior knowledge
dan pemahaman konsep siswa. Sedangkan jumlah
pemahaman siswa per individu pada seluruh soal pemahaman konsep digunakan untuk menggali hasil perubahan konseptual siswa. Data dideskripsikan dengan menggunakan pedoman konversi normal absolut skala lima seperti yang disajikan dalam Tabel berikut. Tabel Pedoman Konversi Nilai Absolut Skala Lima Tingkat Penguasaan 85-100 70-85 55-70 40-55 0-40
Kualifikasi Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang (Nurkancana & Sunartana, 1992) 25
3.9.2
Teknik analisis kovarian (ANAKOVA)
Teknik ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kovariat dengan hasil belajar berupa pemahaman konsep siswa. Analisis ini akan digunakan untuk menguji hipotesis. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kovarian (ANAKOVA) satu jalur yang melibatkan dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Analisis kovarian dalam metode statistik yang memberikan pengendalian terhadap variabel-variabel luar yang mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (Furchan, 2004). Tujuan digunakan analisis kovarian adalah untuk (1) meningkatkan ketelitian eksperimen dan (2) untuk menghilangkan sumber-sumber kesalahan dalam eksperimen (Winer, dalam Rusmayani, 2005). Perhitungan anakova satu jalur menggunakan bantuan SPSS 13.0 for Windows. Semua pengujian hipotesis dilakukan pada taraf signifikansi 5%. Sebelum melakukan analisis data, terlebih dahulu data yang diperoleh diuji liniearitas, normalitas, homogenitasnya. 3.9.3
Uji Iiniearitas
Uji keliniearan dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa rata-rata yang diperoleh tiga atau lebih kelompok data sampel terletak dalam garis-garis lurus (Candiasa, 2006). Uji liniearitas dilakukan dengan mencari persamaan garis regresi variabel bebas x terhadap variabel terikat y (Candiasa, 2004). Uji linearitas data dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini (Riduwan, 2006). a)
Menentukan jumlah kuadrat regresi ( JK reg ( a ) ) dengan rumus berikut ini. JK reg ( a )
b)
( ∑Y ) =
2
n
Menentukan jumlah kuadrat regresi ( JK reg ( b a ) ) dengan rumus berikut ini. (∑X )(∑Y ) JK reg ( b a ) = b ∑XY − n
c)
Menentukan jumlah kuadrat residu ( JK res ) dengan rumus berikut. JK res = ∑Y 2 − JK reg ( b a ) − JK reg ( a )
d)
Menentukan rata-rata jumlah kuadrat residu ( RJK
res
) dengan rumus
berikut ini. RJK res =
e)
JK res n −2
Menentukan jumlah kuadrat error ( JK E ) dengan rumus berikut ini.
26
( ∑Y ) 2 JK E = ∑∑Y 2 − n K
Menentukan kuadrat tuna cocok ( JK TC ) dengan rumus berikut ini.
f)
JK TC = JK res − JK E
g)
Menentukan rata-rata jumlah kuadrat tuna cocok ( RJK
TC
) dengan
menggunakan rumus berikut ini. RJK TC =
h)
JK TC k −2
Menentukan rata-rata jumlah kuadrat error ( RJK E ) dengan menggunakan
rumus berikut ini. RJK E =
i)
Menentukan nilai Fhitung dengan menggunakan rumus berikut ini. Fhitung =
j)
JK E n−k RJK TC RJK E
Menetapkan taraf signifikansi uji 0,05.
Kriteria pengujiannya adalah kelinieran dipenuhi oleh data jika angka signifikansi yang diperoleh kurang dari 0,05 dan sebaliknya jika angka signifikansi yang diperoleh lebih dari 0,05 maka kelinieran tidak dipenuhi (Candiasa, 2006). 3.9.4
Uji Normalitas
Uji normalitas sebaran data dilakukan untuk meyakinkan bahwa data yang dihasilkan dalam penelitian benar-benar berdistribusi normal sehingga uji hipotesis dapat dilakukan. Uji normalitas sebaran data menggunakan statistik KolmogorovSmirnov test dan Shapiro-Wilk test (Candiasa, 2004). Kriteria pengujiannya adalah data memiliki sebaran distribusi normal jika angka signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0,05 dan dalam hal lain sebaran tidak berdistribusi normal. 3.9.5
Uji Homogenitas Varian
Uji homogenitas varian antara kelompok digunakan untuk mengukur apakah sebuah kelompok data mempunyai varians yang sama di antara anggota kelompok tersebut sehingga perbedaan yang terjadi dalam uji hipotesis benar-benar berasal dari perbedaan perlakuan, bukan akibat dari perbedaan yang terjadi di dalam kelompok. Uji homogenitas varians antar kelompok menggunakan Levene’s Test of Equality of Error Variance (Candiasa, 2004). Kriteria pengujian yang digunakan adalah data memiliki varians yang sama (homogen), jika angka signifikan yang 27
dihasilkan lebih besar dari 0,05 dan dalam hal lain variasi sampel tidak sama (heterogen). Menurut Sudjana (2005) jika data yang akan dianalisis tersebut tidak memenuhi kriteria uji normalitas dan homogenitas maka data tersebut harus dianalisis dengan menggunakan statistik non parametrik yaitu tes Kruskal-Wallis untuk desain satu jalur. 3.9.6
Uji Hipotesis Penelitain
Hipotesis yang diajukan dan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H 0 : [ µm1Y ] =[ µm 2Y ] : Tidak terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa
yang
belajar
dengan
menggunakan
metode
perubahan
konseptual dalam seting model pembelajaran 5E dengan siswa yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran
konvensional dalam pembelajaran fisika. H 1 : [ µm1Y ] ≠[ µm 2Y ] :Terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang
belajar dengan menggunakan metode perubahan konseptual dalam seting model pembelajaran 5E dengan siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran fisika. Keterangan: µm1Y : rata-rata pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
menggunakan
metode
perubahan
konseptual
dalam
seting
model
pembelajaran 5E. µm 2Y : rata-rata pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional. Uji kovariat atau pengujian antar subjek yang dilakukan tehadap angka signifikansi nilai statistik F varians (Candiasa, 2004). Angka signifikansi lebih kecil dari 0,05 berarti H0 ditolak. Hal ini berarti terdapat perbedaan variabel dependen antar kelompok menurut sumber. Menurut Arikunto (2005), teknik ANAKOVA merupakan metode statistik yang memberikan pengendalian terhadap sebagian variabel-variabel pengiring (kovariat) yang dapat mengacaukan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Kovariat dalam penelitian ini adalah pemahaman konsep awal siswa. Sebagai tindak lanjut anakova, adalah uji signifikansi nilai rata-rata antar kelompok yang menggunakan last significant deference (LSD) (Montgomery, 2001). Oleh karena jumlah pengamatan masing-masing sel adalah sama, maka digunakan formula Montgomery sebagai berikut. 28
L SD= tα
2
.N − a
2 M SE n
Dengan, α = taraf signifikan (5%), N = jumlah sampel total, a = jumlah kelompok, dan n = jumlah sampel dalam kelompok, Kriteria yang digunakan adalah tolak H0 jika harga mutlak µi
−µj
> LSD yang
artinya terdapat perbedaan nilai rata-rata variabel dependen antar kedua kelompok. Uji ini menggunakan program SPSS-PC 13.0 for Windows. Daftar Pustaka Arikunto, S. 2005. Manajemen penelitian. Jakarta: Rineka Cipta Başer, M. 2006a. Fostering conceptual change by cognitive conflict based instruction on students’ understanding of heat and temperature concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, Volume 2, Number 2, July 2006 Baser, M. 2006b. Effects of conceptual change and traditional confirmatory simulations on pre-service teachers’ understanding of direct current circuits. Journal of Science Education and Technology, Vol. 15, No. 5, December 2006 Calik, M. & Ayas, A. 2005. An analogy activity for incorporating students' conceptions of types of solutions. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 6, Issue 2, Article 6, Dec., 2005 Candiasa, I M. 2004. Statistik multivariat disertai aplikasi dengan SPSS. Buku Ajar (tidak diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja. Candiasa, I M. 2006. Program SPSS. Buku Ajar (tidak diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja. Darma, K. 2007. Pengaruh model pembelajaran konstruktivisme terhadap prestasi belajar matematika terapan pada mahasiswa Politeknik Negeri Bali. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.70. Tersedia pada http://www.depdiknas.go.id/publikasi/balitbang/070/j70_08.pdf. Diakses tanggal 24 Oktober 2009. Fuchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hasan, I. M. 2002. Pokok-pokok materi metodologi penelitian dan aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hirca, N., Calik, M., & Akdeniz, F. 2008. Investigating grade 8 students’ conceptions of ‘energy’ and related concepts. Journal of Turkish Science Education Volume 5, Issue 1, April 2008 29
Kurnaz, M.A., & Calik, M. 2008. Using different conceptual change methods embedded within the 5E Model: A sample teaching for heat and temperature. Journal Physics Teacher education Online 5(1). 3-7 Luera, G. R., Otto, C. A., & Zitzewitz, P. W. 2005. A conceptual change approach to teaching energy & thermodynamics to pre-service elementary teachers. Journal of Physics Teacher Education Online Vol. 2, No. 4, May 2005 Montgomery, D.C. 2001. Design and analysis of experiment. Fith edition. New York: John Wiley & Sons. Narbuko, C., & Achmadi, A. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Nashon, S.M. 2006. A proposed model for planning and implementing high school instruction. Journal of Physics Teacher Education Online, 4(1), 6-9 Nurkancana, W., & Sunartana, P. 1992. Evaluasi hasil belajar. Surabaya: Usaha Nasional. Riduwan. 2004. Metode dan teknik menyusun tesis. Bandung: Alfabeta Riduwan. 2005. Belajar mudah penelitian untuk guru, karyawan dan peneliti pemula. Bandung: Alfabeta Riyanto, Y. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC Santyasa, I W. 2004a. Desain pembelajaran berbasis model SOI. Makalah Seminar. Disajikan dalam seminar Jurusan Teknologi Pendidikan IKIP Negeri Singaraja, 8 April 2004 Santyasa, I W. 2004b. Pengaruh model dan seting pembelajaran terhadap remediasi miskonsepsi, pemahaman konsep, dan hasil belajar fisika pada siswa SMU. Disertasi (tidak diterbitkan). Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Santyasa, I W. 2005a. Analisis butir dan konsistensi internal tes. Makalah. Disajikan dalam work shop bagi para Pengawas dan Kepala Sekolah Dasar di Kabupaten Tabanan Pada Tanggal 20-25 Oktober 2005 di Kediri Tabanan Bali. Santyasa, I W. 2005b. Model pembelajaran inovatif dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam penataran guru-guru SMP, SMA, dan SMK se Kabupaten Jembrana Juni – Juli 2005, di Jembrana Santyasa, 2006a. Metodologi penelitian peningkatan kualitas pembelajaran (PPKP). Makalah. Disajikan dalam Pelatihan Para Dosen Universitas Pendidikan Ganesha tentang Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Perguruan Tinggi Tanggal 2 Nopember 2006, di Universitas Pendidikan Ganesha. Santyasa, I W. 2006b. Pembelajaran inovatif: Model kolaboratif, basis proyek, dan orientasi NOS. Makalah. Disajikan dalam Seminar Di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Semarapura Tanggal 27 Desember 2006, di Semarapura.
30
Santyasa, 2008. Pengembangan pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah fisika bagi siswa SMA dengan pemberdayaan model perubahan konseptual berseting investigasi kelompok. Undiksha Singaraja Simamora, M., & Redhana, I W. 2007. Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia pada Pembelajaran Konsep Struktur Atom. Singaraja: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan 1 (2), 148-160 Suastra, I W. 2004. Belajar dan pembelajaran sains. Buku Ajar. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja Sudiarta, 2007. Pengembangan pembelajaran berpendekatan tematik berorientasi pemecahan masalah matematika terbuka untuk mengembangkan kompetensi berpikir divergen, kritis dan kreatif. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.069. Diakses tanggal 10 Oktober 2009. Sudijono, A. 2005. Pengantar eveluasi pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sugiyono. 2008. Metode penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif dan r&d. Bandung: Alfabeta Sudjana. 2005. Metode statistika. Bandung: Tarsito Sukardi. 2004. Metodologi penelitian pendidikan. Yogyakarta: PT Bumi Aksara. Suryabrata, S. 2006. Metodologi penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Supardi. 2008. Penelitian eksperimen di bidang pendidikan. http:// www.lpmpdki.web.id/ kti-online/penelitian-eksperimen-di-bidang-pendidikan.html diakses tanggal 27 Mei 2009 Urey, M. & Calik, M. 2008. Combining different conceptual change methods within 5E model: A sample teaching design of “cell” concept and its organelles. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 9, Issue 2, Article 12, Dec., 2008 Wirtha, I M., & Rapi, N. K. 2008. Pengaruh model pembelajaran dan penalaran formal terhadap penguasaan konsep fisika dan sikap ilmiah siswa SMA Negeri 4 Singaraja. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan 1 (2). 15-29
31