BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Pengembangan Masyarakat Penerapan
Tanggung
Jawab
Sosial Perusahaan
(Corporate
Social
Responsibility) adalah merupakan komitmen perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan tetap mengedepankan peningkatan kualitas hidup karyawan beserta keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas (Fajri, 2003). Menurut Schermerhorn (1993 dalam Rahardjo, 2007), Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah sebuah kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara mereka sendiri, dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik. Prinsip CSR menurut Emil Salim (2007 dalam Rahardjo, 2007) menyebutkan bahwa perusahaan di masa sekarang dan ke depan harus memperhatikan tiga prinsip keseimbangan, yakni profit perusahaan, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan alam atau lingkungan hidup. Sementara Nuryana (2005) berpendapat bahwa CSR adalah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan pemangku kepentingan berdasarkan kesukarelaan dan kemitraan. Menurut Fox, et al. (2002 dalam Zaelani, 2007), definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah “corporate social responsibility is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”, yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi
10
berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara. Sifat hakiki dari kegiatan pertambangan adalah membuka lahan, mengubah bentang alam sehingga mempunyai potensi merubah tatanan ekosistem suatu wilayah baik dari segi biologi, geologi dan fisik maupun tatanan sosio-ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Selain itu interaksi antara industri pertambangan dengan masyarakat lokal sangatlah besar. Industri pertambangan biasanya berada pada daerah terpencil (remote area) dengan masyarakat tradisional dan terbelakang, sehingga selalu terjadi perbedaan pandangan (Djajadiningrat, 2007). Dari sinilah pendekatan baru harus disertakan, yaitu partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Dari sini dapat ditarik suatu alasan penting berkaitan dengan partisipasi masyarakat lokal ini yaitu untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan. Upaya pelibatan masyarakat lokal dapat dijadikan sarana memahami budaya masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan dieksploitasi, mendiskripsikan hubungan antara masyarakat dengan sumber daya alam yang dieksploitasi, antar masyarakat dengan masyarakat dan pada akhirnya untuk mencari solusi kemungkinan pengembangan masyarakat lokal (community development) (Luwihono, 2007).
11
Primahendra (2006) mengatakan bahwa aspek keterlibatan masyarakat, praktek Community Development (CD) dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu : • Development for community adalah bentuk Community Development (CD) dimana masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian, melakukan konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat namun apabila keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar maka pada dasarnya masyarakat tetap menjadi objek. • Development with community ditandai secara khusus dengan kuatnya pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak. • Development of community adalah proses pembangunan yang baik inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini lebih sebagai sistem pendukung bagi proses pembangunan. Secara umum community development adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan berikutnya. Dengan dasar itulah maka pembangunan masyarakat
12
secara umum ruang lingkup program-programnya dapat dibagi berdasarkan kategori (Rudito dan Budimanta, 2003), sebagai berikut (1) community service ; (2) community empowering, dan ; (3) community relation. Saidi (2004) menjelaskan bahwa dengan mengacu pada kedermawanan sosial perusahaan dapat disimpulkan bahwa pendekatan community development lebih mampu mengakomodasikan kebutuhan masyarakat. Tujuannya adalah menolong
masyarakat
secara
langsung
mengatasi
kesulitan
hidupnya.
Orientasinya adalah jangka pendek kalau bukan malah keperluan sesaat. Primahendra (2006) berpendapat bahwa agar community development (CD) dapat dilaksanakan maka harus memenuhi beberapa aspek kunci, antara lain : • Adalah sebuah proses "akar rumput" CD merupakan proses yang terjadi di masyarakat lokal dan dilaksanakan di dalam konteks mereka. Community Development (CD) bukanlah proses yang dapat didesain dan diproses dari atas. • Menjadi lebih swadaya (self-reliance) Banyak kegiatan yang dinamakan CD dalam kenyataan justru menumbuhkan ketergantungan masyarakat lokal terhadap aktor luar. Apabila hal ini terjadi, maka kegiatan yang dilaksanakan pada dasarnya bukan Community Development (CD) karena CD pada dasarnya upaya menolong masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, ringkasnya membuat masyarakat menjadi swadaya. • Berkembang menjadi komunitas pembelajar (learning communities)
13
Menjadi swadaya menuntut masyarakat lokal untuk mampu belajar dari pengalamannya sendiri untuk menjawab tantangan yang akan muncul dikemudian hari dan juga mampu memberdayakan diri mereka sendiri. • Berkurangnya kerentanan dan kemiskinan Keberhasilan Community Development (CD) bukan sekedar bah-wa kegiatan yang direncanakan telah dilaksanakan (ouput). Apapun kegiatannya dan oleh siapa saja, CD hanya akan dianggap berhasil bila mampu mengurangi kerentanan dan kemiskinan yang dihadapi masyarakat. • Terciptanya peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan Peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan dalam sebagian besar kegiatan Community Development (CD) adalah sasaran yang menjadi pondasi bagi pencapaian sasaran lain yang lebih jauh. • Menguatnya modal sosial Dalam komunitas masyarakat miskin yang tidak memiliki modal finansial, modal sosial merupakan modal dasar yang memungkinkan masyarakat lokal bertahan
hidup
dan
mengembangkan
aktivitas
ekonomi.
Community
Development (CD) dilaksanakan pertama-tama dengan menggunakan modal sosial sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan lainnya. • Tercapainya keseimbangan tujuan sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan Primahendra (2006) juga berpendapat bahwa efektivitas pelaksanaan program Community Development (CD) perlu didasarkan pada beberapa pemahaman dasar, antara lain :
14
•
Upaya jangka panjang. CD merupakan sebuah proses terus menerus (ongoing process) yang menuntut lebih kepada pengembangan kelembagaan dan bukan serangkaian aktivitas dalam kerangka proyek.
•
Terbuka dan setara. CD
adalah proses yang terbuka terhadap berbagai
masukan dan pengaruh sesuai kondisi lokal. Untuk itu sikap yang melihat berbagai stakeholder CD secara setara menjadi keharusan. Sikap ini merupakan pra-syarat untuk mengembangkan partisipasi. •
Milik masyarakat. CD merupakan aktivitas yang dimiliki oleh masyarakat. Karenanya desain, proses, dan pengembangannya dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat lokal.
•
Berdasar pada pengalaman kasus-kasus yang terbaik (best practices). CD merupakan bagian dari proses sejarah masyarakat lokal, terutama dengan perspektif Appreciative Inquiry melihat bahwa di masyarakat banyak hal-hal positif yang dapat menjadi batu pijakan melaksanakan berbagai aktivitas lainnya. Pelaksanaan community development dapat dimaknai sebagai bentuk
pengejawantahan dari corporate social responsibility (tanggungjawab sosial perusahaan) terhadap masyarakat sekitar. Diharapkan, pelaksanaan community development menjadi sarana pembangunan masyarakat yang sesuai dengan konsep suistanable development dan pengaturan hukum yang responsive (Harahap, 2006). Terlepas dari banyaknya nada-nada sumbang tentang wacana filantrofi perusahaan-perusahaan swasta ini dan banyaknya motif-motif yang mendorong sebuah perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya, CSR
15
merupakan sebuah potensi besar dana non-pemerintah yang harus kita dukung sebagai embrio transformasi menuju kemandirian masyarakat. CSR juga bisa menjadi jembatan antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat.
Sehingga
hubungan
perusahaan
dengan
masyarakat
dan
lingkungannya bisa berjalan dengan lebih baik, lebih harmonis dan saling menguntungkan (Zaelani, 2007). Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pengembangan Masyarakat Pengertian partisipasi dalam pembangunan secara sederhana adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan yang terbentuk akibat interaksi sosial. Dalam pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggungjawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka. Di lain pihak, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan menunjukkan adanya kepercayaan dan kesempatan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakatnya untuk terlibat secara aktif di dalam proses pembangunan (Mardikanto, 2003). Partisipasi adalah suatu proses kegiatan termasuk didalamnya keikutsertaan (sumbangan) tiap individu dalam suatu kelompok, tentang tanggungjawab dan kosekuensi dari tugas-tugas yang bersifat umum sampai kepada tuga yang sifatnya khusus (FAO, 2002). Soekamto (1983) menyebutkan bahwa partisipasi adalah kegiatan nyata masyarakat secara aktif yang dilandasi sikap, kehendak dan kesadaran untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
16
Mubyarto (1984) mendefenisikan partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Keterlibatan kelompok atau suatu kelompok dapat disebut partisipasi individual (Ndraha, 1987). Fairchild (1977) menyebutkan partisipasi adalah keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam suatu kelompok, ia mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tersebut melalui bermacam-macam sikap, yaitu berbaga nilai tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama serta melalui persahabatan pribadi. Paul (1987, dalam Soemarwoto et.al., 2001) mengartikan partisipasi sebagai suatu proses aktif yang memperlihatkan bagaimana pihak-pihak yang mendapat manfaat ikut mempengaruhi arah dan pelaksanaan proyek, bukan hanya sekedar mendapat keuntungan dari proyek. Konsep partisipasi yang aktif dan kreatif secara eksplisit dikemukakan Paulo (1970 dalam Cohen, 1980), sebagai berikut : “participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share of project benefits”. Definisi ini
memandang keterlibatan
masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil evaluasi. Dari sudut terminologi, partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antar dua kelompok (elite dan non-elite). Dengan kata lain, partisipasi masyarakat merupakan insentif moral sebagai “respon” mereka untuk mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi tempat dibuatnya keputusan-keputusan yang menentukan kesejahteraan mereka (Goulet, 1989 dalam Arimbi, 1993).
17
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi lebel baru yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat (Ikbal, 2007). Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat (Paul, 1987). Pengertian partisipasi menurut FAO (1989b dalam Mikkelsen, 1994) : 1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. 2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peta) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untul menanggapi proyekproyek pembangunan. 3. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat dengan para staf yang melakukan persiapan pelaksanaan, monitoringproyk agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial. 4. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri. 5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.
18
Goulet (1989) mengungkapkan bahwa peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok ; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (nonelite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Bahkan yang lebih khusus lagi, peran serta masyarakat sesungguhnya merupakan suatu cara untuk membahas incentive material yang mereka butuhkan. Gaventa dan Valderama (1999 dalam Aristo, 2004) mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik (Political Participation), 2) partisipasi sosial (Social Participation), dan 3) partisipasi warga (Citizen Participation/ Citizenship). Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Partisipasi
Politik,
political
participation
lebih
berorientasi
pada
”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri. 2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan
19
komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial. 3. Partisipasi
Warga,
citizen
participation/citizenship
menekankan
pada
partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran. Penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, dan (2) terbinanya kebersamaan (Asngari, 2001), dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Slamet, 2003). Lebih lanjut dikemukakan Goulet (1989) ; Widyatmaja (1992 dalam Prijono (1996) bahwa berkaitan dengan adanya perbedaan pemahaman tentang pembangunan dan partisipasi masyarakat, yang ditinjau dari dua sudut pandang.
20
Pertama, dari perspektif pemerintah, partisipasi yang dikehendaki adalah yang lebih menekankan pada pengorbanan dan kontribusi rakyat daripada hak rakyat untuk ikut menikmati manfaat pembangunan itu sendiri. Kedua, dari perspektif rakyat, partisipasi merupakan praktek dari keadilan. Oleh karena itu, pemahaman partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat atau empowering people, meliputi praktek keadilan dan hak untuk menikmati hasil pembangunan yang mungkin dapat menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Bank dunia meletakkan pemberdayaan sebagai salah satu objek utama dalam partisipasi masyarakat (Paul, 1987). Sementara itu, strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi dan sikap kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi LSM, termasuk organisasi dan pergerakkan masyarakat (Clarke, 1991 dalam Papayungan, 2006). Brudtland dalam Craig dan Mayo (1995) menyimpulkan bahwa jaminan pembangunan berkelanjutan adalah partisipasi masyarakat. Clarke (1991, dalam Papayungan, 2006) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat melalui LSM, saat ini, merupakan kunci partisipasi efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok grassroot) dapat memperoleh keadilan, hak azasi manusia, dan demokrasi. Namun, penyertaan para sukarelawan LSM dalam proses pemberdayaan itu bukanlah satu-satunya cara pemberdayaan. Soetrisno (1995) menyatakan bahwa ada dua definisi partisipasi yang beredar di masyarakat yaitu :
21
Definisi pertama partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam definisi inipun disamakan dengan kemauan rakyat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah. Dipandang dari sudut sosiologis definisi diatas tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Definisi kedua partisipasi dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang dibangun diwilayah mereka serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan hasil proyek itu. Cormick (1979, dalam Luwihono, 2007) membedakan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya, serta berupaya untuk mencari jalan keluar yang dapat dipakai demi mengatasi masalahnya. Disamping persepsi yang dikemukakan (Canter (1977) ; Cormick (1979) ; Goulet (1989) ; Wingert (1979 dalam Arimbi, et.al., 1993) merinci peran serta masyarakat, sebagai berikut :
22
1. Partisipasi Masyarakat sebagai suatu Kebijakan Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan
yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini
dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan (right to be consulted). 2. Partisipasi Masyarakat sebagai Strategi Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakt (public support). Pendapat ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memiliki akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada pada tiap tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas. 3. Partisipasi Masyarakat sebagai Alat Komunikasi Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif. 4. Partisipasi Masyarakat sebagai Alat Penyelesaian Sengketa Dalam konteks ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau
meredakan konflik melalui usaha pencapaian
konsensus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat menigkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan kerancuan (biasess).
23
5. Partisipasi Masyarakat sebagai Terapi Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk "mengobati" masalah- masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidak berdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat. Cohen (2001) membedakan partisipasi menjadi 4 (empat) tahapan, yakni : 1. Tahap pembuatan keputusan, dalam hal ini sejak awal masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan perancangan kegiatan serta dalam membuat keputusan yang akan dilaksanakan berkaitan dengan kegiatan tersebut. 2. Tahap
pelaksanaan
(implementasi),
keterlibatan
masyarakat
dalam
merencanakan dan merancang serta membuat keputusan tentang kegiatan, dilanjutkan Masyarakat
dengan
melibatkan
sekaligus
dapat
mereka mengontrol
dalam
pelaksanaan
bagaimana
kegiatan.
kegiatan
yang
direncanakan dan diputuskan dilaksanakan oleh mereka bersama-sama dengan pihak lain. 3. Tahap evaluasi. Pada tahap pelaksanaan biasanya dilakukan evaluasi yang bersifat periodik maupun di akhir tahap pelaksanaan. Dalam konteks ini keterlibatan masyarakat juga akan memberikan manfaat bagi keseluruhan kegiatan apabila mereka dilibatkan dalam evaluasi yang dilakukan. 4. Partisipasi di dalam mendapatkan manfaat dari suatu kegiatan. Tingkat partisipasi masyarakat bervariasi. Amstein dalam Soemarwoto (2001) mengemukakan tingkatan pencapaian partisipasi bervariasi dan bersifat manipulasi, semisal masyarakat terdaftar namun sebenarnya mereka tidak
24
berpartisipasi hingga partisipasi yang memperlihatkan bagaimana masyarakat memiliki kewenangan untuk mengontrol kegiatan yang dilaksanakan. Sesuai pendapat Tjokroamidjojo (1990) yang mengungkapkan bahwa bentuk partisipasi diantaranya, sebagai berikut : 1. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, partisipasi ini disebut juga partisipasi dalam pengambilan keputusan. 2. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan. 3. Partisipasi
dalam
menerima,
memelihara
dan
mengembangkan
hasil
pembangunan, disebut juga participation in benefits. 4. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejumlah pelaksanaan pembangunan sesuai rencana dan sejauhmana hasilnya dengan membentuk kebutuhan masyarakat. Perbaikan kondisi hidup masyarakat dan upaya memenuhi kebutuhan untuk dapat menggerakkan partisipasi usaha yang dilakukan adalah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata, yaitu dijadikan stimulasi terhadap masyarakat yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban atau respon yang dikehendaki. Ada beberapa aspek yang sering memengaruhi masyarakat turut seta ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan, baik aspek sosial maupun aspek ekonomi, yaitu kedudukan seseorang di masyarakat dan kepemilikan faktor-faktor produksi (Poston dalam Mardikanto, 1994). Davis (1966) membedakan partisipasi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu jenis dan bentuknya. Partisipasi berdasarkan jenis diklasifikasikan ke dalam 5 (lima) unsur, yaitu : tenaga, pikiran, keahlian, barang dan jasa. Sedangkan menurut bentuknya, partisipasi dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian, yaitu : komunikasi,
25
sumbangan berupa uang atau barang,sumbangan dalam bentuk kerja yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat, aksi massa / gotong-royong, mengadakan pembangunan di kalangan keluarga dari masyarakat setempat dan mendirikan proyek yang juga dibiayai oleh sumbangan dari luar lingkungan masyarakat setempat. Partisipasi dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau tidak terorganisasi dan secara spontan serta sukarela. Partisipasi dikategorikan sebagai partisipasi langsung apanila seseorang turut serta mengambil bagian pada beberapa aktivitas tanpa adanya gagasan terlebih dahulu. Sebaliknya, ada partisipasi tidak langsung, yaitu apabila seseorang dikerahkan karena adanya gagasan dari atau juga seseorang dimobilisasi, dikerahkan secara paksa untuk aktif dalam kegiatan lingkungan (Huntington dan Nelson, 1977). Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Sebaiknya, orang-orang harus terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Prosesnya dilakukan secara komulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik kemampuan berpartisipasinya. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan suatu hal yang mudah diucapkan tapi sulit untuk diimplemetasikan. Faktor budaya dan sosial masyarakat mampu mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat (Dwiyanti, 2005). Partisipasi dalam artian keterlibatan satu pihak terhadap pihak
26
lain dan yang berkaitan dengan masyarakat lokal berarti suatu keterlibatan komunitas lokal terhadap suatu proses pembangunan masyarakat dalam suatu wilayah mengacu pada sifat sosial dari masyarakat (Chambers, 1974). Tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka pembangunan itu bukanlah sebagai pembangunan masyarakat. Untuk itu, metode yang digunakan dalam pelaksanaan pembangunan harus disesuaikan dengan kondisi fisiologis, sosial, ekonomi dan budaya setempat (Sautoy, 1972 dalam Ndraha, 1990). Ndraha (1990) menyatakan bahwa dalam menggerakkan perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat, maka perencanaan partisipasi harus dilakukan dengan usaha : 1. Perencanaan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt need) ; 2. Dijadikan stimulasi terhadap masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response), dan ; 3. Dijadikan motivasi terhadap masyarakat, yang berfungsi membangkitkan tingkah laku (behavior). Dalam partisipasi ada beberapa faktor yang menghambat pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Mikkelsen (2001) merinci rendahnya partisipasi masyarakat disebabkan beberapa faktor, antara lain : 1. Adanya penolakan (secara internal) di kalangan anggota masyarakat itu dan secara eksternal terhadap pemerintah ; 2. Karena kurangnya dana, dan ;
27
3. Terbatasnya pengetahuan atau pendidikan masyarakat. Kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Faktor Sosial Ekonomi Salah-satu faktor yang menjadi perhatian untuk menelaah tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor sosial. Faktor ini diungkapkan oleh beberapa peneliti yang banyak mengemukakan bahwa faktor sosial juga dominan mempengaruhi keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan proses pembangunan. Partisipasi masyarakat mempunyai tujuan untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi (Canter, 1977 dalam Arimbi, 1993). Partisipasi masyarakat sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial. Hadi (1995 dalam Dwiyanti, 2005) mengemukakan bahwa faktor penghambat untuk meningkatkan partisipasi publik di Indonesia, antara lain : 1. Faktor Sosial, seperti : tingkat pendidikan, pendapatan dan komunikasi. 2. Faktor Budaya, meliputi : sikap dan perilaku, pengetahuan dan adat istiadat. 3. Faktor Politik, dan ; 4. Faktor Birokrasi para pengambil keputusan Mikkelsen (1999) mengemukakan bahwa partisipasi dipengaruhi faktorfaktor, seperti : (1) faktor sosial; (2) faktor budaya, dan ; (3) faktor politik. Lebih lanjut Mikkelsen menjelaskan bahwa faktor sosial dilihat dari adanya ketimpangan sosial masyarakat untuk berpartisipasi. Faktor budaya, yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap suatu perubahan. Hal ini terjadi pada masyarakat yang tingkat pendidikan dan
28
pengetahuannya masih muda, sehingga akan berimplikasi pada mudahnya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Sedangkan faktor politik, apabila proses pembangunan yang dilaksanakan kurang melibatkan masyarakat dari awal proses pembangunan hingga akhir dari pembangunan. Soekanto (2003) mengatakan bahwa faktor sosial adalah berkenaan dengan perilaku interpersonal atau yang berkaitan dengan proses sosial. Dikemukakan King (1983) ; Isbal (1989 dalam Dwiyanti (2005) bahwa orang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yang baik mempunyai kecenderungan untuk berpartisipasi dibandingkan dengan orang yang tingkat sosial ekonominya masih kurang. Inkeles (1969) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam mengikuti kegiatan di lingkungan, antara lain : umur, penghasilan, pekerjaan, pendidikan dan lama tinggal. Individu mempunyai tingkat pendidikan dan penghasilan yang tinggi cenderung aktif untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang ada di lingkungannya. Sedangkan Djatmiko, Benyamin dan Lif (2003) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan mereka untuk berpartisipasi dalam program. Gaffar ; Abar (1989 dalam Dwiyanti, 2005) juga menyatakan bahwa dari berbagai macam studi yang dilakukan ada hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan meningkatnya partisipasi. Inkeles (1969) juga mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan individu, semakin luas pengetahuannya dan kesadarannya pada masalah-masalah kemasyarakatan. Faktor lama tempat tinggal juga merupakan salah satu faktor yang tidak kecil perannya dalam mempengaruhi partisipasi seseorang dalam kegiatan yang ada di lingkungannya. Hal senada dikemukakan Suryani, et.al.
29
(1987) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masalah pendapatan tentu ada kaitannya dengan masalah ekonomi dalam suatu keluarga. Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo (1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain. Pendapatan keluarga mempunyai peran yang penting terutama dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Maedrie (1986) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan, umur, kekosmopolitan dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan marupakan faktor pribadi yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan. Sedangkan Schon (1981) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan faktor yang mutlak perlu untuk pembangunan sosial ekonomi. Faktor ini mempunyai pengaruh langsung atas diterimanya gagasan baru. Tjokroamidjojo (1985) menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi. Selain itu, Tjokroamidjojo mengemukakan pula bahwa tingkat pendidikan memadai akan memberikan kesadaran yang lebih tinggi dalam berwarganegara dan memudahkan bagi pengembangan identifikasi terhadap tujuan-tujuan pembangunan yang bersifat nasional. Tingkat pendidikan juga berarti tingkat kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan pembangunan. Dilain pihak, sistem sosial budaya yang beragam sebagai potensi dalam pembangunan masyarakat kurang dimanfaatkan secara optimal, sehingga masyarakat cenderung kurang respons dan kreatif dalam
30
membangun dirinya atau mengalami ketidakberdayaan (powerless) dalam menghadapi perubahan dan masalah sosial yang ditimbulkan akibat adanya krisis ekonomi. Faktor sosial yang juga penting agar terjadi partisipasi adalah komunikasi (Dwiyanti, 2005). Liliweri (2002) mengemukakan bahwa kehidupan manusia di masyarakat ditandai oleh dinamika komunikasi, kita bertukar informasi, gagasan dan pikiran melalui komunikasi. Melalui akses informasi maka akan meningkatkan partisipasi. Syamsi (1994
dalam
Dwiyanti,
2005) juga
mengemukakan bahwa faktor komunikasi sebagai salah-satu cara untuk menyampaikan informasi merupakan sarana untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Karena, hasil dari proses komunikasi dapat merubah sikap dan perubahan sosial masyarakat yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pembangunan. Seseorang yang
mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan
baik, dalam hal ini mempunyai akses informasi maka akan meningkatkan partisipasi (Dwiyanti, 2005). Hall dalam Liliweri (2003) mengungkapkan bahwa setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara tertentu untuk memproses informasi yang masuk dan keluar dari da sekeliling mereka, mengatur proses pertukaran informasi maupun kemasan informasi itu sendiri. Faktor Budaya Hikmat (2001) mengatakan bahwa perbedaan latar belakang kultur (budaya) memang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap suatu objek yang ditafsirkan. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan
31
harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Untuk menggali makna budaya dalam pertisipasi masyarakat maka perlu kita ketahui konsep budaya atau kebudayaan itu sendiri. Suparlan (1982, dalam Budimanta, 2003) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah seperangkat ide-ide, norma, nilai dan pengetahuan yang dipakai oleh manusia untuk memahami lingkungannya dan dipakai untuk mendorong terwujudnya kelakuan. Kebiasaan yang mencul merupakan ciri-ciri atau tanda-tanda yang tampak pada individu yang berinteraksi dan mengacu pada jati diri seseorang termasuk ke dalam golongan sosial orang tersebut. Taylor dalam Poerwanto (2000), kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum moral dan adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kroeber dan Kluchlohn (1953 dalam Poerwanto, 2000) yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola
bertingkah
laku,
baik
eksplisit maupun
implisit.
Sedangkan
Koentjaraningrat (1980) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Soekanto (1996), tata kelakukan yang kekal serta yang terintegrasi secara kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkatkan kekuatan yang
32
mengikat
menjadi
adat-istiadat.
Adat-istiadat
erat
hubungannya
dalam
peningkatan partisipasi masyarakat karena anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menerima sanksi yang keras, yang kadang-kadang diberlakukan secara tidak langsung. Kebudayaan dalam perwujudannya terdapat tiga bentuk pengetahuan budaya atau cultural knowledge, yaitu suatu nilai pengetahuan dan norma yang dipakai
untuk
memahami
lingkungan
hidup
manusia,
dan
hasil
dari
penginterpretasian tersebut diwujudkan dalam tingkah laku sebagai tingkah laku budaya atau cultural behaviour, dan hasil dari semua itu diwujudkan lagi dalam bentuk benda-benda hasil budaya suatu masyarakat. Kesemua wujud budaya itu merupakan rangkaian yang satu sebagai suatu kebudayaan (Budimanta, 2003). Hal-hal yang berkaitan dengan budaya tidak akan segera tampak bagi orang dari luar masyarakat yang bersangkutan, karena hal-hal yang bersifat budaya itu lebih banyak berpusat pada alam pikiran (Poerwanto, 2000). Purwatiningsih, et.al. . (2004) mengemukakan bahwa faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik. Faktor kemampuan masyarakat yang berhubungan dengan tingkat partisipasi adalah kemampuan bersikap dan bertindak, organisasi sosial kemasyarakatan dan kemampuan mengorganisasikan diri dalam program. Menurut Thurstone, Likert dan Osgood (dalam Azwar, 1995) bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung (favorable) maupun perasaan yang tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut.
33
Watson (1984 dalam Adi, 2003) menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem sosial : a. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit), seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergantungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self-Distrust) b. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to Norms), yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sacral (The Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection of Outsiders) Uraian diatas juga menunjukkan bahwa sikap (attitude) dan perilaku (behaviour) dari masyarakat berpengaruh terhadap partisipasi mereka dalam pelaksanaan suatu kegiatan ataupun aktualisasi sebuah program. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dapat diukur berdasarkan etos kerja dari masyarakat itu sendiri.
Etos Kerja Defenisi etos kerja sudah banyak dikemukakan oleh para ahli namun defenisi etos kerja tersebut mempunyai pengertian dan maksud yang sama, yaitu: Etos atau aslinya ethos adalah kata berasal dari bahasa yunani yang merupakan
34
asal kata “etika’’. Etos artinya watak kesusilaan atau adat. Dengan demikian etos merupakan suatu tata nilai yang diyakini, yang menjadi aturan hidup atau (sila) yang lebih baik. Etos kerja dengan demikian dapat dijabarkan sebagai tata nilai yang diyakini, yang menjadi landasan semangat kerja. Untuk mendapatkan hasil perikehidupan yang lebih baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), etos kerja adalah pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial yang didasarkan kepada sifat, nilai adat-istiadat yang memberi watak dalam masyarakat. Etos menurut Geertz (dalam Abdullah, 1986) diartikan sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sedangkan kerja, menurut Abdullah (1986), secara lebih khusus dapat diartikan sebagai usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif dari diri, maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang telak bersifat sakral. Identitas diri yang terkandung di dalam hal ini, adalah sesuatu yang telah diberikan oleh tuntutan religius (agama). Apabila mengintroduksi pendapat Anoraga dan Suyati (1995), maka etos kerja diartikan sebagai pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Sukriyanto (2000) memberikan pengertian bahwa etos kerja adalah suatu semangat kerja yang dimiliki oleh masyarakat untuk mampu bekerja lebih baik guna memperoleh nilai hidup mereka. Etos kerja menentukan penilaian manusia yang diwujudkan dalam suatu pekerjaan. Ia akan menentukan hasil-hasilnya. Ada keterkaitan yang erat antara etos kerja dengan survivalitas (daya tahan hidup) manusia di bidang ekonomi. Artinya, semakin progresif etos kerja suatu masyarakat semakin baik hasil-hasil yang dicapai, baik secara kuantitatif maupun
35
kualitatif.
Etos
kerja
merupakan
totalitas
kepribadian
diri
serta
cara
mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance) (Tasmara, 2002). Merujuk pada pengertian etos kerja tersebut Geertz (2000) mengatakan bahwa etos kerja merupakan refleksi dari sikap hidup yang mendasar yang bersumber dari nilai-nilai tersebut yang diwujudkan dalam bentuk kegairahan kerja. Dari uraian-uraian di atas, maka dapat ditarik sebuah defenisi bahwa etos kerja merupakan rajutan nilai-nilai yang membentuk kepribadian seseorang dalam mengaktualisasikan diri dalam bentuk kerja. Rajutan nilai-nilai tersebut dapat mencakup nilai sosial, agama, budaya serta lingkungan dimana anda selama ini banyak melakukan interaksi hidup (Khasanah, 2004). Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu (kelompok) dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja. Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguhsungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya. Nitisemito (1996) mengatakan bahwa indikasi turun/ rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain :
36
1. Turun/ rendahnya produktivitas 2. Tingkat absensi yang naik/ rendah 3. Labour turnover (tingkat perputaran buruh) yang tinggi 4. Tingkat kerusuhan yang naik 5. Kegelisahan dimana-mana 6. Tuntutan yang sering terjadi 7. Pemogokan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan etos kerja adalah sikap yang mendasar baik yang sebelum, proses dan hasil yang bisa mewarnai manfaat suatu pekerjaan. Dasar bagi gagasannya adalah bahwa faktorfaktor yang memenuhi kebutuhan orang akan pertumbuhan psikologis, khususnya tanggung jawab dan etos kerja untuk mencapai tujuan yang efektif. Herzberg (1959 dalam Gibson (1989) menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi yang baik diperlukan orang yang memiliki kemampuan yang tepat, termasuk etos kerja. Beberapa penelitian riset mendukung asumsi bahwa etos kerja merupakan faktor penting yang menentukan pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik dan bertambahnya kepuasan. Ford menyatakan bahwa 17-18 percobaan di sebuah organisasi memperlihatkan peningkatan yang positif sesudah adanya etos kerja. Penelitian tersebut menyatakan bahwa etos kerja memberikan prestasi yang lebih baik dan kepuasan yang lebih baik pula. Masyarakat ilmiah mempunyai pendapat dan batasan yang berbeda-beda tentang etos kerja. Namun demikian, secara substansial mereka mempunyai
37
pengertian yang sama tentang etos kerja. Secara umum mereka membangun pengertian bahwa yang dimaksud dengan etos kerja adalah semangat kerja yang didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Seseorang yang dengan sadar terlibat dalam aktivitas organisasi biasanya mempunyai latar belakang atau motivasi tertentu (Prasetyo dan Wahyuddin, 2008). Seseorang cenderung bekerja dengan penuh semangat apabila kepuasan dapat diperolehnya dari pekerjaannya (Hasibuan, 2003). Sinamo (2005) mengemukakan 8 (delapan) etos kerja yang baik, antara lain : 1. Kerja adalah Rahmat, yaitu bekerja tulus penuh syukur. 2. Kerja adalah Amanah, yaitu bekerja benar penuh tanggung jawab 3. Kerja adalah Panggilan, yaitu bekerja tuntas penuh integritas. 4. Kerja adalah Aktualisasi, yaitu bekerja keras penuh semangat. 5. Kerja adalah Ibadah, yaitu bekerja serius penuh kecintaan. 6. Kerja adalah Seni, yaitu bekerja cerdas penuh kreativitas. 7. Kerja adalah Kehormatan, yaitu bekerja tekun penuh keunggulan. 8. Kerja adalah Pelayanan, yaitu bekerja paripurna penuh kerendahan hati. Selain itu, Sinamo (2005) juga mengemukakan pendapat bahwa sifat-sifat yang mencerminkan etos kerja yang baik itu antara lain : aktif, ceria, dinamis, efektif, efisien, energik, fokus, gesit, ikhlas, interaktif, jeli, jujur, kerja keras, kerja tim, konsisten, kreatif, lapang dada, membagi, menghargai, menghibur, optimis, peka, rajin, ramah, sabar, semangat, tanggung jawab, tekun, teliti, tepat waktu, teratur, terkendali, total, toleran, dan ulet.
38
Berpangkal tolak dari uraian itu, maka menurut bahwa suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda (Sukriyanto, 2000), sebagai berikut : a. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia. b. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia. c. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia. d. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita, e. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah. Sedangkan bagi individu atau kelompok masyarakat, yang dimiliki etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu; a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri, b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia, c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan, d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan, e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup. Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh,
39
sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya. Untuk itu sifat-sifat etika yang harus dikembangkan dalam etos kerja menurut Weber dalam Abdullah (1979), sebagai berikut : 1. Sifat bertanggungjawab 2. Jujur dalam perbuatan 3. Kerja keras 4. Sifat hemat 5. Sifat menghargai waktu Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat etos kerja dapat didefenisikan sebagai sikap mendasar yang baik sebelum, proses dan hasil yang bisa mewarnai manfaat suatu pekerjaan.