Meraih Kemenangan Dengan Jalan Demokrasi.docx

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Meraih Kemenangan Dengan Jalan Demokrasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,054
  • Pages: 2
MERAIH KEMENANGAN DENGAN JALAN DEMOKRASI Pesta 5 tahunan saat ini sedang menyerang masyarakat di Indonesia. Sesuatu yang mereka namakan pesta demokrasi atau pemilu. Pembicaraan dan kajian terkait dengan “pesta” ini mulai banyak ditampilkan baik itu dalam media elektronik, cetak dan dunia maya. Pembicaraan itu tak lepas dari isu-isu yang berkembang selama persiapan pesta ini, misalnya partai mana yang akan dipilih, politisi mana yang elektabilitasnya tinggi, mars partai mana yang paling familiar, dll. Walaupun setiap orang boleh berbeda dalam pandangan partai mana yang dianggap bisa mengemban amanah, tapi dibalik itu semua elemen masyarakat tadi menginginkan satu hal yang dianggap dapat dicapai lewat pesta yang tampaknya berbeda dengan pesta-pesta sebelumnya yaitu perubahan. Harapan atas terjadinya perubahan melalui pemilu ini juga banyak diharapkan oleh orang-orang yang mendambakan peraturan yang islami. Terdapat beberapa parpol yang menamai dirinya sebagai partai politik islam ikut berkompetisi dalam lingkaran demokrasi ini. Sehingga mereka mengajak seluruh umat islam untuk berpartisipasi dalam pesta ini, dengan modal janji yaitu perubahan dan agar kekuasaan tidak jatuh kepada orang yang salah (misalnya pemimpin kafir). Hal ini sesuai dengan salahsatu firman Allah dalam QS. 3. Ali Imran ayat 28. "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)." Ketika umat islam tidak menentukan keberpihakannya kepada parpol islam (yang maju dalam pemilihan pilkada), maka indonesia akan dipimpin oleh orang kafir. Ketika orang kafir berkuasa, maka harapan perubahan kepada islam akan semakin menjauh. Peraturan islam tidak akan lahir dari penguasa yang tidak mengerti islam (kafir). Dan sebaliknya, apabila Indonesia dimpimpin oleh pemimpin yang islami, maka peraturan yang islami pun akan lahir daripadanya.

Pernyataan tersebut sepertinya memang benar, namun terdapat bagian penting dan mendasar yang terlupakan dari logika tersebut. Benarkah kemenangan islam dapat diraih dengan jalan demokrasi? Demokrasi didefinisikan pemerintahan rakyat yang memiliki slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat pemegang kekuasaan mutlak, rakyat berhak untuk mengekspresikan keinginannya. Sehingga peraturan yang diharapkan sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat dan dapat menyejahterakan rakyat. Pendapat mayoritas akan lebih didengarkan dalam demokrasi. Misalnya, mayoritas rakyat menghendaki peraturan yang islami, maka peraturan tersebut akan diterapkan. Namun, ternyata pendapat ini tidaklah benar dan bertentangan dengan islam. Allah berfirman. “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Al-An’am ayat 57) “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Maidah ayat 44) “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah ? “ (As-Syura ayat 21) “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa ayat 65) “Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutuNya dalam menetapkan keputusan.” (Al-Kahfi ayat 26) Dalam islam, kedaulatan berada ditangan Allah bukan rakyat. Sehingga peraturan yang ditetapkan harus berlandaskan kepada dalil syar’i. Karena itu, bisa dikatakan, bahwa semua perundang-undangan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi ini sejatinya bertentangan dengan sistem Islam, karena beberapa alasan. Pertama: dari aspek sumber perundang-undangan. UU yang dihasilkan oleh sistem demokrasi jelas tidak menjadikan Islam sebagai sumbernya. Di Indonesia, misalnya, UU yang dihasilkan harus bersumber dari UU yang lebih tinggi, dan tidak boleh bertentangan dengannya, seperti UUD 45 dan Pancasila. Karena itu, sekalipun UU tersebut diklaim bersumber dari syariah, ketika UU tersebut diterima,

alasannya bukan karena kesesuaiannya dengan syariah, melainkan karena tidak bertentangan dengan UU di atasnya, atau bertentangan dengan sumber perundang-undangan yang ada. Kedua: dari aspek standar. UU yang dihasilkan oleh sistem demokrasi jelas tidak menjadikan halal dan haram sebagai standarnya, melainkan asas manfaat (benefit). Sebagai contoh, UU Perbankan Syariah. UU ini disusun untuk mengakomodasi kepentingan kaum Muslim yang menginginkan dirinya bebas dari perbankan konvensional, yang menggunakan sistem riba. Namun yang menjadi alasan adanya peraturan ini bukanlah karena ingin menyesuaikan dengan syariat islam melainkan terdapat keuntungan di dalamnya. Ketiga: dari aspek proses penyusunannya. UU yang lahir dalam sistem demokrasi jelas prosesnya berbeda dengan UU yang lahir dari sistem Islam. Di dalam sistem demokrasi, semua UU digodok dan dihasilkan berdasarkan suara mayoritas. Demokrasi berlawanan dengan islam, tidak akan menyatu selamanya. Oleh karena itu hanya ada dua pilihan, beriman kepada Allah dan berhukum dengan hukumNya atau beriman dan berhukum dengan hukum selain-Nya. padahal dalam surat Al-Maidah ayat 50 Allah telah memberikan peringatan : "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?" Adapun orang-orang yang berupaya menggolongkan demokrasi ke dalam sistem syura, pendapatnya tidak bisa diterima, sebab sistem syura itu teruntuk sesuatu hal yang belum ada nash (dalilnya) dan merupakan hak ahli. Demokrasi sangat berbeda dengan system syura seperti telah dijelaskan di atas. Demokrasi juga menghendaki adalanya serikat politik/koalisi maka membuka peluang bagi semua golongan untuk menguasai kaum muslimin dengan cara pemilu tanpa mempedulikan pemikiran dan keyakinan mereka, berarti penyamaan antara muslim dan non muslim. Hal ini jelas-jelas menyelisihi dali-dalil qath’i (absolut) yang melarang kaum muslimin menyerahkan kepemimpinan kepada selain mereka.

Oleh karena itu, pemilihan umum yang termasuk dalam sistem demokrasi diharamkan, Sebab orang yang dipilih dan yang memilih untuk memegang kepemimpinan umum atau khusus tidak disyaratkan memenuhi syarat-syarat yang sesuai syariat. Metode ini memberi peluang kepada orang yang tidak berhak memegang kepemimpinan untuk memegangnya. Karena tujuan dari orang yang dipilih tersebut adalah duduk di dewan pembuat undang-undang (Legislatif) yang mana dewan ini tidak memakai hukum Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun yang jadi hukum adalah Suara Mayoritas. Dewan ini tidak boleh diakui, apalagi berupaya untuk menggagas dan bekerjasama untuk membentuknya. Sebab dewan ini memerangi hukum Allah dan merupakan sistem barat. Kita juga dapat bercermin dari peristiwa di mesir. Seorang kader terbaik dari al-Ikhwan al-Muslimun berhasil terpilih menjadi orang nomor satu di Mesir, Presiden Mursi terpilih secara Demokratis dengan ingin Menegakkan Syari’at Islam dari dalam .Tapi akhirnya tumbang di tangan al-Sissi Inilah pahitnya kemenangan pemimpin atau partai Islam yang diraih dengan jalan demokrasi. Buahnya pahit karena tumbuh dari pohon yang berbibit buruk (demokrasi). Bibitnya buruk karena dari awal memiliki sifat menolak kedaulatan Allah mengatur manusia, bahkan menyerahkan kedaulatan itu kepada suara terbanyak yang selalu berubah-ubah. Kemenangan dalam sistem demokrasi tidaklah berarti bisa mengubah keadaan secepatnya. Sejarah menunjukkan, Islam hanya bisa tegak dengan kekuasaan yang paripurna. Bukan kemenangan hasil polling seperti kontes idol. Harapan pada demokrasi hanyalah sementara. Sehingga mereka yang bertawakal pada jalan itu sungguh telah tertipu.

Related Documents