Menyayangi orang keliling oleh: H.Mas’oed Abidin Belum sempurna iman seorang muslim sebelum dia mampu menyayangi orang lain (saudaranya), sebagaimana dia menyayangi dirinya sendiri, demikian di antara bimbingan agama yang sudah lama kita ketahui. Makna lebih dalam adalah kebaikan atau kemuliaan seseorang diukur dengan berapa besar kepeduliannya terhadap umat di sekelilingnya. Apakah itu dalam lingkaran RT, lingkungan RW, atau lebih luas lagi sebagai warga kota, provinsi dan Negara sekalipun. Kemulian seseorang dapat juga diukur dari kepekaan hati dalam berbuat baik secara ikhlas terhadap orang-orang lain, yang belum bernasib baik (fuqarak wal masakin), dibandingkan dengan dirinya. Bukti dari semua ini dapat juga terlihat dari bertumbuhnya ruhul infaq (kerelaan berinfaq, bersedekah, membantu, atau menyumbang) bagi kemashalahatan orang banyak, lillahi ta’ala atau semata mencari redha Allah. Karena itu, membayarkan zakat, infaq, dan shadaqah, bagi meringankan beban derita kaum tak berpunya (dhu’afak) sesuai bimbingan Rasulullah SAW, senyatanya adalah satu kewajiban asasi setiap peribadi berpunya, dalam merasakan suatu kegembiraan secara bersama (ijtima’i). Pada setiap hari raya umpamanya, katakanlah pada hari raya idul fithri atau berlebaran hajji (idul qurban), selalu diwarnai dengan menyantuni orang-orang yang tak berpunya dengan ikhlas, seperti zakat fitrah ataupun dengan daging sembelihan hewan qurban. Semuanya dimaksudkan sebagai pengikat tali rasa (mawaddah filqurba) yang di masa kita sekarang terlihat mulai tidak dihiraukan lagi oleh banyak orang. Sebagai umat yang beradat dengan bimbingan agama Islam, khususnya di Sumatera Barat, dengan adaik basandi syarak, dan syarak basandi Kitabullah sangat dianjurkan memperhatikan keadaan karib kerabat (qarib ba’id), sesuku, sekampung, senagari, bahkan lebih makro adalah kepentingan nasional lebih diutamakan dari kepentingan-kepentingan lainnya, suatu sikap yang mendasari kepedulian dalam berbangsa dan bernegara. Hubbul wathan minal iman artinya mencintai nagari dan negara adalah bahagian dari iman. Nilai-nilai ini telah melahirkan sikap rela berkorban di masa lalu, sejak 63 tahun Indonesia diproklamasikan, dan atau bahkan sejak ratusan tahun ketika mulai tumbuh cita-cita merintis kemerdekaan Indonesia, mempertahankan karakter bangsa yang bertuhan, dan berbudaya dalam membangun bangsa dan Negara. Karakter bangsa dipelihara dengan kiat-kiat ibadah, dan dengan mendalamnya rasa peduli, serta sikap rela memberi sebagai suatu sikap perangai terpuji. Masyarakat yang berkualitas adalah masyarakat yang suka memberi, dan tidak hanya pandai menengadahkan tangan dengan semboyan “tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah” sesuai hadist Rasulullah SAW. Mewujudkan masyarakat yang bertangan di atas tidaklah mudah, dan ini satu pekerjaan berat dan besar, karena terlebih dahulu harus ditumbuhkan keberpunyaan dalam arti seluasnya adalah punya harta, punya keinginan, punya kerelaan, punya sikap untuk memberi itu. Memberi adalah suatu izzah (kemuliaan) yang dimiliki oleh aghniya’, yakni orang atau bangsa, yang berpunya. Padang, 25 Januari 2008