BAB I Pendahuluan Di banyak negara, masalah pornografi memang diatur dalam dalam undang-undang. Pendefinisian pornografi dan muatan yang diatur mesti dilakukan lewat pertimbangan yang serius agar tidak menimbulkan masalah dalam penerapannya. Apa yang disebut dengan pornografi sangat bergantung dari pandangan individu. Definisi ini bisa berbeda antara satu budaya masyarakat dengan budaya masyarakat yang lain. Istilah ini pun dapat berbeda dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pengaturan dalam undang-undang diperlukan terutama untuk material-material yang secara sengaja diproduksi untuk tujuan memenuhi birahi seksual (sexual arousal) konsumennya. Pengaturan juga ditujukan untuk melindungi kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak. Dengan demikian, bisa saja pengaturan dan sanksinya dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau criminal law, antara lain seperti di Kanada (1951) yang mengatur pornografi yang melibatkan anak-anak. Di negara ini dibentuk The Committee on Sexual Offences against Children and Youth (the Badgley Committee) dan the Special Committee on Pornography and Prostitution (the Fraser Committee) untuk melakukan pengawasan. Section 163.1 of the Criminal Code Kanada yang diterbitkan pada 1993. memuat definisi pornografi anak, yakni: "(1) visual representations of explicit sexual activity involving anyone under the age of 18 or depicted as being so; (2) other visual representations of a sexual nature of persons under the age of 18; and; (3) written material or visual depictions that advocate or counsel illegal sexual activity involving persons under that age." Aturan yang hampir sama dapat ditemukan di Inggris, yakni Section 160 Criminal Justice Act (1988), yang mengatur pornografi anak-anak dibawah 16 tahun. Selain itu, Inggris memiliki the Obscene Publications Act (1959) yang mengatur publikasi material yang memuat pornografi. Definisi yang Amat Luas Di Indonesia, definisi pornografi dalam Pasal 1 ayat (1) RUU Pornografi sebagai berikut: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat."Definisi di atas sangat luas dan sulit untuk diterapkan, apalagi ditambah dengan anak kalimat nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat, karena seperti dikemukakan di bagian awal, nilai-nilai budaya masyarakat berlainan di masing-masing wilayah.
Materi dan Sanksi Pidana Sudah Diatur dalam UU yang Telah Berlaku
Selanjutnya, jika melihat ketentuan pidana yang diatur dalam UU ini, maka UU ini pada dasarnya mengatur masalah publikasi materi pornografi dan pornografi melibatkan anakanak. Tabel Sanksi Pidana dalam RUU Pornografi No. 1 Pasal: Pasal 30 Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah). No. 2 Pasal: Pasal 31 Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah). No. 3 Pasal: Pasal 32 Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang melibatkan anak Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). No. 4 Pasal: Pasal 33 Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi Pidana: Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000. 000,00 (dua miliar rupiah). No. 5 Pasal: Pasal 34 Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi Pidana: Pidana paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah) No. 6 Pasal: Pasal 35 Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). No. 7 Pasal: Pasal 36
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi Pidana: Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah). No. 8 Pasal: Pasal 37 Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah). No. 9 Pasal: Pasal 38 Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya Pidana: Dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah). No. 10 Pasal: Pasal 39 Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah). No. 11 Pasal: Pasal 40 Unsur Tindak Pidana: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38 melibatkan anak dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38 Pidana: Ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya. Sumber: Diolah dari RUU Pornografi. Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Berikut ini contoh-contoh materi muatan dalam RUU Pornografi yang pada prinsipnya sudah diatur dalam undang-undang yang lain.
Muatan RUU Pornografi telah diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Khusus untuk pengaturan pornografi anak dalam RUU Pornografi, materi yang diatur, pada dasarnya telah dimuat dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan pidana dalam UU Perlindungan Anak secara luas telah mengatur sanksi pidana terhadap kejahatan terhadap anak, termasuk diskriminasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan ancaman kekerasan, penganiayaan, pemaksaan persetubuhan, perbuatan cabul, memperdagangkan, menjual atau menculik anak, serta mengeksploitasi seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Sebagai tambahan materi tersebut juga telah dimuat dalam the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children Prostitution and Child Pornography, dimana Indonesia pada 24 September 2001 tercatat sebagai Negara Pihak yang menandatangani Protokol Opsional ini. Muatan RUU Pornografi Sudah Dimuat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik Berkaitan dengan penyebaran informasi dan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan juga sudah diatur dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Dalam UU tersebut, setiap orang yang memenuhi unsur tindak pidana, dipidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Penyempurnaan KUHP Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya sudah dimuat dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, antara lain: pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan cabul. Pasal 289 KUHP menyatakan: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."Jika terdapat tindak pidana berkaitan dengan kehormatan kesusilaan yang masih perlu diatur, tentu lebih tepat dimuat dalam KUHP. Secara umum, definisi yang dapat digunakan berkaitan dengan unsur-unsurnya, yakni: (1) merendahkan martabat manusia; (2) eksploitasi; (3) pemaksaan, dan (4) kekerasan. Proses pembahasan RUU Pornografi sebaiknya disingkronkan dengan peraturan perundangundangan lainnya, terutama berkaitan dengan definisi. Lebih pas materi undang-undang ini, terutama berkaitan dengan perbuatan pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
BAB II Pembahasan Beberapa alasan mengapa UU Pornografi harus dicabut :
• Penyeragaman budaya RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku,etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam ada budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila. Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung RUU ini. Mereka berpendapat RUU APP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat akhir-akhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan adat-istiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi, sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus pertunjukan seni atau gedung olahraga (Pasal 36), dan semuanya tetap harus mendapatkan ijin dari pemerintah dahulu (Pasal 37). Rumusan dalam RUU APP tersebut dikhawatirkan akan dapat menjadikan seorang yang pada resepsi pernikahan memakai baju kebaya yang sedikit terbuka di bagian dada, dapat dikenakan sanksi paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling banyak Rp. 1 milyar, karena resepsi pernikahan bukanlah upacara kebudayaan atau upacara keagamaan. Sedangkan seseorang yang lari pagi di jalanan atau di lapangan dengan celana pendek dikhawatirkan akan bisa dinyatakan melanggar hukum, karena tidak dilakukan di gedung olahraga.
• Menyudutkan perempuan RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual. Menurut logika patriarkis di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan. Bahwa dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur, kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam. Seksualitas dan tubuh perempuan dianggap kotor dan merusak moral.Sedangkan bagi pendukungnya, undang-undang ini dianggap sebagai tindakan preventif yang tidak berbeda dengan undang-undang yang berlaku umum di masyarakat.
• Bentuk Totalitarianisme Negara RUU Pornografi dianggap sebagai bentuk intervensi negara dalam mengontrol persoalan moralitas kehidupan personal warga negara, sehingga dapat menjebak negara untuk mempraktikkan politik totalitarianisme. RUU Pornografi melihat perempuan dan anak-anak sebagai pelaku tindakan pornografi yang dapat terkena jeratan hukum, dan menghilangkan konteks persoalan yang sebenarnya menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban dari obyek eksploitasi. RUU pornografi akan menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban yang kedua kalinya. Mereka menjadi korban dari praktik pemerasan sistem kapitalisme sekaligus korban tindakan represi negara.Selain mendiskreditkan perempuan dan
anak-anak, RUU pornografi secara sistematik juga bertentangan dengan landasan kebhinekaan karena mendiskriminasikan pertunjukan dan seni budaya tertentu dalam kategori seksualitas dan pornografi. Dari sudut pandang hukum, RUU Pornografi dinilai telah menabrak batas antara ruang hukum publik dan ruang hukum privat. Hal ini tercermin dari penggebirian hak-hak individu warga yang seharusnya dilindungi oleh negara sendiri. Seharusnya persoalan yang diatur RUU ini adalah masalah yang benar-benar mengancam kepentingan publik, seperti komersialisasi dan eksploitasi seks pada perempuan dan anak, penyalahgunaan materi pornografi yang tak bertanggung jawab, atau penggunaan materi seksualitas di ruang publik. Selain tidak adanya batas antara ruang hukum publik dan privat, RUU Pornografi bersifat kabur (tidak pasti) sehingga berpotensi multitafsir. Pasal 1 angka 1 mengungkapkan ...membangkitkan hasrat seksual. Isi pasal ini bertentangan dengan asas lex certa dimana hukum haruslah bersifat tegas. Proses penyusunan RUU Pornografi dinilai mengabaikan unsur-unsur sosiologis. Hal ini terlihat dari banyaknya pertentangan dan argumen yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat. RUU pornografi mengabaikan kultur hukum sebagai salah satu elemen dasar sistem hukum. Hukum merupakan hasil dari nilai-nilai hidup yang berkembang secara plural di masyarakat. Kasus penolakan : Front Tolak Undang-Undang Pornografi Salatiga merupakan jelmaan Front Tolak Rancangan Undang-Undang Pornografi Salatiga yang melaksanakan demontrasi terhadap UU Pornografi pada oktober 2008. “Ormas-ormasnya masih kayak yang kemarin, cuma nambah kawankawan FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia — Red),” kata Syalom Pasau, wakil front dari unsur Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Salatiga. Syalom mengatakan, “Kita menolak UU Pornografi yang telah disahkan. Tuntutannya masih kita pakai yang waktu aksi kemarin. Kita perjelas lagi dengan menolak lima pasal di dalamnya.” Kelima pasal yang mereka tolak adalah: •
Pasal 1 ayat 1 (”Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.“)
•
Pasal 4 ayat 1 (”Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau alat kelamin.“)
•
Pasal 5 (”Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1.“)
•
Pasal 10 (”Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.“)
•
Pasal 21 (”Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.“)
Menurut rilis pers yang mereka sebarkan, frase “yang dapat membangkitkan hasrat seksual” pada Pasal 1 ayat 1 masih terlampau kabur dan subjektif. Frase “ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan” pada Pasal 4 ayat 1 juga masih tak jelas. Sedangkan Pasal 5 jadi kontroversial karena mengacu pada Pasal 4 ayat 1. Mereka juga mempermasalahkan definisi istilah “ketelanjangan”, “eksploitasi seksual”, dan “bermuatan pornografi” pada Pasal 10. Pengikutsertaan masyarakat dalam penegakan UU ini, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 21 juga berbahaya, karena memberi peluang siapapun untuk main hakim sendiri dengan alasan memerangi pornografi, demikian tertulis dalam rilis pers tersebut.Latar belakang munculnya UU Pornografi adalah sejarah bangsa dan Negara Indonesia yang tidak sehat di antaranya adanya Piagam Jakarta, pembungkaman Islam Politik semasa Orde Baru, euforia kebebasan sesudah 1998 dan kebangkitan politik identias, kemunculan partai-partai politik berjubah agama dan transisi politik yang tidak dijamin oleh adanya kepemimpinan yang tangguh (strong leadership). Karena itu, ia menilai UU pornografi adalah sebuah strategi politik untuk menciptakan pasar politik bagi partai tertentu. Konstelasi politik nasional saat ini sudah bergeser sejalan dengan meningkatnya perolehan suara partai berbasis Islam. Berbagai elemen masyarakat Jawa Barat yang tergabung dalam Koalisi Organisasi NonPemerintah Jabar menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi, Selasa (23/9) di Bandung. Mereka menyikapi RUU itu sebagai upaya penyeragaman kultur dan pluralitas bangsa Indonesia.Direktur Institut Perempuan Ellin Rozana mengatakan, definisi pornografi sebagai materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, gambar, kartun, syair, percakapan, ataupun media komunikasi lain yang dapat membangkitkan hasrat seksual menimbulkan ambiguitas pemahaman.“Tidak ada batasan jelas tentang materi apa yang bisa digolongkan sebagai materi seksualitas, serta sejauh mana hal itu dapat merangsang hasrat seksual,” kata Ellin. Definisi dan pemahaman tentang pornografi, kata Ellin, pada dasarnya bersifat subyektif dan amat dipengaruhi oleh konteks sosial dan kultur tempat seseorang tinggal dan dibesarkan. Membuat satu definisi yang paten tentang pornografi ialah upaya penyeragaman.Pasal 8 RUU Pornografi juga dinilai tidak berempati terhadap perempuan sebagai korban industri seksual. Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung pornografi. ”Perempuan yang menjadi obyek industri seksual adalah korban ketidakmampuan ekonomi, keterbatasan pemahaman, serta terjebak dalam konstruksi budaya patriarki yang kerap kali menjadikan tubuh mereka sebagai komoditas. Karena itu, menghukum mereka sama artinya menjatuhkan hukuman ganda,” ujar Ellin. Ketua Forum Aktivis Bandung (FAB) Radhar Tribaskoro mengatakan, penolakan terhadap RUU Pornografi tidak berarti pembelaan terhadap pornografi. Sedangkan Ketua Kelompok Peduli Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KP3A) Ani Herningsih mengatakan, RUU itu
berpotensi memicu tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Sebab, Pasal 21 menyebutkan masyarakat dapat berperan serta mencegah penggunaan dan penyebarluasan pornografi. ”Hal ini bisa memicu sweeping dan pembakaran kaset atau majalah pornografi oleh oknum sipil,” katanya.Di Bali, sekitar 3.000 warga Pulau Bali kembali turun ke jalan di Denpasar, Selasa. Mereka menegaskan sikap untuk menolak keberadaan dan pembahasan RUU Pornografi karena RUU itu dinilai mencederai keberagaman Indonesia.
Alasan Penolakan Boni Hargens mengemukakan dua alasan penolakan terhadap UU Pornografi. Pertama, secara teknis UU Pornografi rancu karena menyamakan pornografi dengan pornoaksi seperti dalam pasal 1 ayat (1) UU yang berbunyi “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. UU ini juga kontraproduktif seperti dalam Pasal 3 mengenai tujuan UU 44/2008 ini pada poin yaitu menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. “Bali, Sunda, Papua, adalah contoh kelompok budaya yang dirugikan. Lantas dimana aspek “melindungi budaya”-nya?” kata Boni. Kedua, dari aspek substantif, UU ini menunjukkan bahwa negara memasuki ruang privat warga dan menjajahnya habis-habisan. Selain itu, hal yang tak dapat dihindari adalah intensi UU Pornografi dengan doktrin agama tertentu. UU Pornografi juga memakai logika monokausal dalam menyikapi problem sosial, padahal tiap problem sosial dibentuk oleh sebab yang plural maka harus dipandang dengan perspektif multikausal. UU Pornografi juga menunjukkan phallosentrisme politik. Paradigma phallosentris hanya bertahan dalam kelompok (budaya, agama, dll) yang tidak lentur terhadap dinamika demokrasi yang menekankan prinsip ekualitas. "UU Pornografi adalah sebuah alat untuk mengkondisikan secara kultural dan prosesual masyarakat untuk membatasi diri pada nilai politik tertentu saja. Di sinilah aspek politik jangka panjang dari kehadiran UU ini dan perda-perda sejenis di Tangerang, Padang, Depok, Bogor, Sukabumi, dll.," kata cendekiawan muda ini. Sementara P. Leo Kleden dalam makalahnya berjudul “Mempertimbangkan UU RI No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dari Perspektif Multikulturalisme” mengatakan bahasa perundang-undangan menggunakan strategi bahasa ilmiah ketika merumuskan definisi agar tidak terjadi kerancuan makna dan salah paham. Pengertian yang tepat ini diperlukan karena UU bertujuan mengatur tata terib kehidupan publik dan pelanggarannya dikenakan sanksi. Sangksi dalam UU Pornografi sungguh mencengangkan.Ia mencontohkan dalam pasal 31, orang yang men-download pornografi dipidana dengan penjara empat tahun atau pidana denda sebanyak Rp2 milyar dan dalam pasal 34 disebutkan bahwa orang yang menjadikan dirinya objek atau model yang mengandung muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara 10 tahun atau pidana denda Rp5 milyar. “Coba bayangkan, seorang yang men- download pornografi di internet dihukum
dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar rupiah. Bagaimana rasa keadilan kita bila seorang anak muda dihukum dengan menggunakan pasal ini, sementara mereka yang merugikan puluhan ribu rakyat dalam kasus lumpur Lapindo tidak dihukum, atau para koruptor kelas kakap tidak juga ditangkap karena dekat dengan pusat kekuasaan? Aneh!” katanya. Dengan mengungkap beberapa kerancuan bahasa dalam UU Pornografi, Pater Leo menegaskan bahwa kalau seorang jaksa atau hakim menggunakan pasal tertentu dari UU yang kurang jelas ini untuk menjerat orang dengan hukuman yang sekian berat, masalahnya bukan menggelikan melainkan mengerikan. Pater Leo mengkritisi pasal 2 UU Pornografi isinya antara lain pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, kebhinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi dan perlindungan terhadap warga. Menurut dia, formalisme agama di Indonesia yang diatur UU menyebabkan adanya schizophrenia atau keterpecahan pribadi secara psikologis dan sosial yang tak ada taranya. Dari satu pihak tampaknya bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religius, karena masjid-masjid, gereja-gereja, tempat ibadah selalu penuh dengan umat tapi dari pihak lain Indonesia dicatat sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia. Hal yang sama bisa terjadi dalam bidang etika ketika pemerintah berusaha mengatur seksualitas melalui UU tentang pornografi. Dari satu pihak, siapa bisa mengontrol semua data pornografis pada zaman komunikasi global yang sekian canggih? Dari pihak lain tidak terbukti secara sosiologis bahwa pada bangsa-bangsa yang memberikan kebebasan pers seluas-luasnya terjadi lebih banyak kekerasan atau kejahatan seksual. Di negara-negara yang bebas ini rakyat yang terdidik menganggap pers pornografis sebagai sampah dan karena itu tidak laku. Sementara itu dari negara-negara Arab dengan norma seksual yang sangat ketat setiap tahun selalu ada TKW kita yang dipulangkan dalam peti mati sebagai korban kejahatan seksual,” katanya. Menurut Pater Leo, ada asumsi yang keliru bahwa kita sanggup meningkatkan hidup beragama, kesusilaan dan akhlak melalui perundang-undangan. Yang harus diatur oleh perundang-undangan ialah menyediakan ruang publik di mana orang bisa menghayati iman dan etika personal dengan bebas, yang dikembangkan melalui pendidikan yang baik. Dengan ini kita tidak mendukung penyebarluasan pornografi. “Yang hendak ditunjukkan di sini adalah bahwa para legislator kita telah menggunakan obat yang salah untuk sebuah penyakit sosial,” katanya. UU Pornografi Harus Dicabut Karena Langgar HAM & Demokrasi UU Pornografi tak bisa dipertahankan lagi karena menyalahi per-Undang-Undangan yang berlaku. Setiap UU harus jelas definisinya, karena UU Pornografi bukan berisi aturan pelarangan gambar-gamabr porno saja tetapi lebih luas lagi yaitu melarang nilai-nilai agama lain yang bukan berupa gambar tetapi termasuk cara berpakaian, cara berjalan, cara berlenggang, larangan berdansa, dan berjoget. Inti dari UU Pornografi hakekatnya memaksakan nilai-nilai agama Islam kepada mereka semua yang bukan Islam. Akibat pemaksaan nilai-nilai ini, umat yang bukan Islam memprotestnya dan menolak pemberlakuan UU ini yang akan diteruskan kepada pengaduan
kepada lembaga HAM Internasional karena KomNas HAM dalam negeri dikuasai oleh begundal partai Islam yang mendukung terrorist Islam. Jelas record pelanggaran HAM di Indonesia yang sudah dipenuhi kasus pelanggaran HAM di TimTim, Aceh, pemerkosaan massal amoy, penjarahan toko-toko keturunan Cina, pembakaran Mesjid Ahmadiah, pembakaran gereja-gereja, penjarahan harta benda umat Ahmadiah, maka sekarang akan ditambah lagi pelanggaran HAM melalui pemaksaan pemberlakuan UU Pornografi yang memaksakan nilai-nilai moral agama Islam kepada umat yang bukan Islam. Jelas hal ini sangat akan merugikan negara RI secara keseluruhan dan menambah kekuatan separatisme yang pasti akan didukung oleh dunia Internasional seperti halnya TimTim, Aceh, dan juga Papua. Wilayah-wilayah lain seperti Bali yang mayoritas Hindu sekarang ini sudah terdesak oleh berdirinya mesjid-mesjid tanpa izin dari masyarakat setempat. Bahkan mesjid-mesjid ini melatih para terrorist yang merugikan turisme Bali yang selama ini berhasil memajukan ekonomi wilayahnya dibandingkan wilayah yang memaksakan Syariah Islam yang dilanda pengangguran tinggi disertai kemerosotan ekonomi yang sangat parah.
BAB III Penutup Kesimpulan ringkas-padat kenapa RUU Pornografi harus ditolak : 1) Definisi “Pornografi” pada RUU Pornografi sangat luas, setiap orang bisa menjadi tersangka dan setiap perbuatan bisa dituduh sebagai tindakan pornografi.“Pasal Karet” pasti merugikan rakyat!. 2) RUU Tentang Pornografi didasarkan pada standar moral dan kepercayaan satu kelompok masyarakat tertentu saja. Artinya: RUU Tentang Pornografi tidak menghormati keragaman budaya dan kepercayaan yang ada di Indonesia. RUU Tentang Pornografi mengkhianati Bhinneka Tunggal Ika!. 3) RUU Tentang Pornografi melecehkan kaum perempuan karena memandang mereka semata-mata sebagai mahluk yang membangkitkan nafsu seksual. Lawan RUU Pornografi yang menistakan Ibu dan saudara perempuan kita!. 4) RUU Tentang Pornografi berpeluang memicu disintegrasi bangsa. Tidak ada satupun suku di Indonesia yang mau direndahkan kebudayaannnya sebagai kebudayaan porno. Lawan RUU Pornografi yang tidak menghormati kebudayaan nusantara!.
DAFTAR PUSTAKA www.jiwamerdeka.blogspot.com www.scientarium.com www.antaranews.com