Uu Pornografi Dan Pembangkangan Sipil

  • Uploaded by: Adi Surya (Ucox Unpad)
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Uu Pornografi Dan Pembangkangan Sipil as PDF for free.

More details

  • Words: 986
  • Pages: 6
UU PORNOGRAFI DAN PEMBANGKANGAN SIPIL Oleh : Adi Surya Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang

Dengan menjadi

diketuknya

Undang-Undang,

palu

pengesahan

menandakan

RUU

sebuah

Pornografi

titik

klimaks

pergulatan antara benar-salah, monotafsir-multitafsir, berfikir keliru-berfikir benar dan penyeragaman-perlindungan di tingkat legislatif.

RUU

pornografi

menjadi

kontroversial

karena

bersentuhan dengan moral dan ranah privat dalam sebuah bingkai keberagaman yang selalu menghadirkan ruang relativitas. Selain itu, RUU ini berhasil memecah rekor dalam lamanya pembahasan yakni selama 10 tahun yang melahirkan kubu pro dan kontra. Menarik ketika sinyal perdebatan mulai direduksi oleh publik

menjadi

pendukung

peperangan

pluralisme.

pendukung

Warna-warni

syariat

inilah

yang

Islam

dan

kemudian

membuat RUU ini selalu tampak “seksi” dan “ panas” ketika disajikan di ruang publik. Namun, DPR seolah harus kejar tayang untuk buru-buru mengesahkan RUU tersebut, padahal didalamnya masih terkandung nada protes dari sebagian besar masyarakat. Jika kita membalik ingatan kita pada awal kenapa pornografi harus diatur melalui undang-undang adalah adanya keprihatinan terhadap moral bangsa agar terlindung dari aksi-aksi porno.

Pornografi dianggap sebagai salah satu masalah sosial (social problem)

yang

dikawatirkan

menjadi

bahaya

laten

demi

terwujudnya generasi bangsa yang berakhlak dan bermoral. Dalam perjalannya, kekawatiran tersebut diartikulasi ke dalam bentuk undang-undang yang sifatnya mengikat dan menyeluruh. Perdebatan gagasan pun seperti “gayung bersambut” dalam ruang-ruang setuju maupun menolak. Bukan hanya di tingkat elit, namun gaungnya sudah menggema ke daerah-daerah

yang

memang rentan terkena imbas pengaturan terhadap apa yang disebut porno. Bali, Papua, Sulawesi Utara adalah sedikit daerah yang kritis terhadap RUU ini. Gelombang yang merespon terbagi atas tiga kubu. Pertama, menolak RUU Pornografi, kedua, Revisi terbatas terhadap pasalpasal yang dianggap bermasalah dan ketiga, mendukung RUU Pornografi segera. Sejarah perdebatan memang sangat alot. Sejak undang-undang ini masih bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi sampai dirubah dan disahkan mejadi RUU Pornografi. RUU

APP

pada

saat

penyusunanya

memang

mengandung

beberapa potensi disintegrasi dan kekeliruan berfikir. Salah satunya

adalah

tidak

dijelaskan

secara

tegas

tentang

perlindungan adat, budaya dan kearifan lokal yang berpotensi terjerat pasal-pasal karet. Begitu pula tentang defenisi yang sangat multitafsir tentang apa batasan yang disebut porno. Kemudian setelah menerima kritik dan saran dari berbagai elemen masyarakat, RUU tersebut diubah menjadi RUU Pornografi untuk mengakomodir kelemahan-kelemahan pada rancangan

sebelumnya. Meskipun demikian, RUU Pornografi masih dianggap belum kompatibel dengan apa yang diinginkan oleh beberapa pihak. Malah wacana penolakan pengesahan RUU ini kemudian mengalami distorsi yakni sikap menolak berarti mendukung pornografi.

Sebuah

kekeliruan

berfikir

yang

tidak

pada

tempatnya. Pokok –pokok perdebatan antara lain adalah mencakup halhal yang belum teruji di lapangan seperti argumen akan adanya penyeragaman, anarkisme sipil, salah hukum dan beberapa pasal lain yang berbau multitafsir. Perdebatan pasal multitafsir pertama menyangkut tentang defenisi pornografi. Kesalahan yang terjadi disini adalah DPR yang menganggap bisa mengatur persepsi individu terhadap suatu objek. Defenisi ini seolah menganggap bahwa respon seseorang dianggap sama dengan respon orang lain. Ini terlihat dari klausul “dapat membangkitkan hasrat seksual

dan/atau

melanggar

nilai-nilai

kesusilaan

dalam

masyarakat". Kedua, pasal yang Pasal 4 (ayat 1h) tentang muatan "tampilan yang mengesankan keterlanjangan"; dan Pasal 10 terkait "eksploitasi seksual" juga pasal yang m,engatur tentang peran masyarakat. Seperti apa yang dimaksud dengan kedua frasa ini tidak dijelaskan dalam RUU ini. Lalu bagaimana menentukan

suatu

tampilan

sudah

"mengesankan

keterlanjangan" dan "eksploitasi seksual"?. Peran masyarakat juga bisa menjadi bias karena apa yang dianggap porno atau tidak

masih

multitafsir.

Padahal

bahasa

hukum

haruslah

menunjukkan

ketegasan,

bukan

bahasa

yang

menimbulkan

interpretasi yang beragam. Ketiga adalah isu penyeragaman budaya. Memang pada RUU APP yang dulu, aroma penyeragaman sangat terlihat jelas, namun pada RUU Pornografi, daerah-daerah yang yang memiliki budaya telah diakomodasi. Budaya adalah hasil cipta karsa membentuk peradaban dan sejatinya bukan ditujukan untuk pornografi dan bukan salah satu pengecualian dari bentuk-bentuk pornografi. Namun, apa daya palu telah diketuk dan konsekuensi demokrasi memang tidak bisa memuaskan semua pihak. Keputusan di tingkat elit telah dibuat, sekarang bola menggelinding ke rakyat sebagai objek sekaligus subjek pemegang daulat. Beberapa tokoh masyarakat di Bali bahkan sudah menggelindingkan wacana pembangkangan sipil tanda tidak setuju dengan pengesahan tersebut. Menarik mendengar wacana pembangkangan sipil terhadap peraturan yang dibat oleh wakil rakyat sendiri. Ada aroma ketidakserasian antara wakil rakyat dengan suara rakyat. Pembangkangan sipil terjadi ketika sebuah negara yang didirikan

untuk

mencapai

kemakmuran,

keadilan

dan

kesejahteraan berubah wajah menjadi kekeuatan besar yang menindas hak-hak warganya, membelenggu kemerdekaan dan merampas

rasa

keadilan

masyarakat.

Rawls(1971

:

333)

menetapkan bahwa aksi pembangkangan sipil memiliki peran stabilisasi dalam sebuh pemerintahan yang hampir terbuka sebagai jaminan kerukunan anatara konstitusi dengan warga negara.

Rawls

mencatat

bahwa

ketidakadilan

sengaja

mengundang pembangkangan dan perlawanan. Senada dengan Rawls,

Jurgen

Habermars

berpandangan

pembenaran

pembangkangan sipil terletak pada pemahaman yang dinamis tentang konstitusi sebagai sebuah rancangan yang tidak pernah berakhir. Dari perspektif jangka panjang ini, sebuah negara konstitusional tidak merepresentasikan suatu struktur yang sudah berakhir, tetapi suatu struktur yang lunak dan sensitif yang tujuannya adalah mewujudkan sistem hak yang baru dalam keadaan-keadaan yang berubah, yaitu menafsirkan hak yang lebih baik, melembagakan secara lebih sesuai dan mendesak isinya secara lebih radikal. Dalam hal ketidaksetujuan rakyat terhadap pengesahan RUU Pornografi, pembangkangan sipil jangan sampai mengambil ruang-ruang sempit anarkisme, namun hendaknya memanfaatkan jalur-jalur konstitusional. Masyarakat bisa mengajukan judicial review

dalam

bentuk

pengajuan

gugatan

ke

Mahkamah

Konstitusi. Disini publik menyerahkan kepada pihak ketiga yang berwujud lembaga negara yang berwenang untuk menguji sebuah undang-undang. Adapun wacana otonomi khusus (otsus) belum menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak karena selain poin budaya sudah diakomodir oleh undang-undang dan pemerintah daerah (pemda) bisa menjabarkan ke dalam bentuk peraturan daerah (perda) sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal yang dimiliki daerah-daerah yang merasa terancam akan budayanya. Lagipula, wacana otonomi khusus (otsus) ini bisa menjadi “latah

wacana” bagi daerah-daerah lain yang mungkin saja berujung pada semangat disintegrasi. Kita semua sepakat untuk memerangi pornografi. Namun, disini

yang

terpenting

bukanlah

tataran

spiritnya,

namun

bagaimana proses yang mencerminkan rasa keadilan antar sesama warga negara. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi, rakyat diharapkan berpartisipasi aktif untuk

membangun

ruang

-

ruang

dialogis

dalam

bingkai

keberagaman. Tanpa itu semua, setiap peraturan hanya akan menjadi

otoritas

murni

elit

politik

karena

melihat

realitas

ketiadaan bargaining position rakyat untuk mempengaruhi setiap kebijakan.

Related Documents


More Documents from ""